(COPAS)
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Makna
Ibadah Dalam Kehidupan Spiritual Manusia”.Penulisan makalah ini merupakan salah
satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Agama Islam di Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk
itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah
ini, khususnya kepada dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Zainal Rusdi
NIM. 20181220041
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari zaman dahulu telah kita ketahui kewajiban kita sebagai hamba Allah yang
lemah adalah beribadah. Setiap ibadah sebagaimana yang diperintahkan Allah
mengandung maksud tersendiri dan di dalam pelaksanaannya terdapat hikmah. Segala
bentuk dan jenis ibadah yang di syari’atkan Allah kepada manusia di janjikan pahala
dunia dan akhirat, juga mengandung hikmah yang luar biasa bagi siapa saja yang
menaatinya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
4
BAB I
PENDAHULUAN
1. Sholat
''Bagaimana aspek sosial dari ibadah shalat?'' Rasanya bahwa ritual shalat hanya bersifat
vertikal, antara manusia dengan Allah SWT (Hamblumminallah).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengkajinya melalui Alquran.
Dalam sebuah ayatnya, Allah SWT berfiman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan rukulah beserta orang-orang yang ruku” (Al Baqarah :43).
Ayat itu menyiratkan bahwa shalat dan ibadah sosial (zakat) merupakan ‘satu paket’
ibadah yang harus dilakukan secara bersamaan. Karena shalat merupakan wakil dari
jalur hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan
sesama manusia.
Allah SWT berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.” (QS. Al-Ma’uun, 107 : 1-7)
Dari ayat ini kita bisa memahami bahwa orang yang shalat itu dapat dimasukkan ke
dalam neraka bilamana shalat mereka tidak membuatnya menjadi pembela kepada fakir
miskin dan anak yatim.
Sebagian ulama besar berpendapat, jika shalat adalah tiang agama, maka ibadah sosial
(zakat) merupakan mercusuar agama. Atau dengan kata lain shalat merupakan ibadah
5
jasmaniah yang paling mulia. Sedangkan ibadah sosial dipandang sebagai ibadah
hubungan kemasyarakatan yang paling mulia.
Dengan demikian, shalat dapat dipahami sebagai sarana melatih diri untuk menjaga hak-
hak sosial. Menjaga hak-hak orang lain adalah diantara bukti nyata keadilan. Untuk
menjaga hak-hak orang lain.
Shalat yang juga merupakan ibadah terbaik, mempunyai peran luar biasa dalam
mengokohkan kekuatan pengontrol pada diri manusia. Untuk itu, shalat sangat
berpengaruh pada perluasan keadilan individu dan sosial.
2. Zakat
Dengan didistribusikannya zakat kepada mereka yang berhak menerimanya. Maka jelas
bahwa zakat bukan hanya sebagai ibadah vertikal kepada Allah swt, akan tetapi zakat
juga memiliki dampak sosial yang cukup tinggi. Yaitu bermuara pada kesejahteraan dan
kemaslahatan umat.
Zakat adalah salah satu bagian dari aturan jaminan sosial dalam islam, dimana jaminan
sosial ini tidak dikenal di Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu
jaminan pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir. Islam
memperkenalkan aturan ini dalam ruang lingkup yang lebih dalam dan lebih luas, yang
mencakup segi kehidupan material dan spiritual, serta jaminan akhlak, pendidikan,
politik, pertahanan, pidana, ekonomi, kemanusiaan, kebudayaan dan yang terakhir
adalah jaminan sosial.[1]
Sesungguhnya zakat dipandang sebagai aturan jaminan sosial yang tidak berpegang
pada sedekah sunat individual, akan tetapi berpegang pada pertolongan penguasa secara
teratur dn tersusun. Pertolongan, dimana tujuan akhirnya adalah memenuhi kebutuhan
orang yang membutuhkan, baik makanan, pakaian, perumahan maupun kebutuhan
lainnya, segi pribadi orang itu mampu bagi keluarganya, dengan tanpa berlebih –
lebihan maupun tanpa menyempitkan.
6
Sesungguhnya zakat telah menutup segala bentuk kebutuhan yang timbul dari
kelemahan psribadi atau cacat mayarakat atau sebab lain yang datang dan tidak bisa
dihindari oleh manusia.
Zakat adalah satu lembaga sosial dalam masyarakat Islam. Tujuan zakat ialah meratakan
jurang antara si kaya dan si miskin (to have and have not), dimana yang punya
berkewajiban memberikan bantuan kepada yang tidak punya. Sebaliknya yang tidak
punya berhak menerima harta (bantuan) dari yang punya. [2]
Ajaran Islam menjadikan ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai landasan
membangun satu system yang mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan
mengintegrasikannya dalam ibadah berarti memberikan peranan penting pada keyakinan
keimanan yang mengendalikan seorang mukmin dalam hidupnya.[3]
Sejarah mencatat, dalam membangun peradaban baru di Madinah, Rasulullah SAW juga
menghimpun zakat, infak, dan sedekah, serta wakaf dalam berbagai bentuknya.
Tujuannya adalah memberdayakan umat mengentaskan kemiskinan dan
mengambangkan dak’wah islam. Rasulullah SAW mewajibkan kaum agniya (orang
kaya), yakni orang-orang yang memiliki kelebihan harta, untuk mewakafkan sebgian
harta miliknya. Kewajiban ini menjadi salah satu motivasi bagi kaum muslim untuk
meningkatkan solidaritas dan keshalehan sosial.
3. Puasa
Sungguh sangat disayangkan saat umat islam sudah melaksanakan puasa setiap tahun,
tetapi cerminan dari hasil puasa itu terasa masih jauh panggang dari api. Puasa yang
sudah dilaksanakan bertahun-tahun itu belum juga membekas dalam diri. Itu sebabnya
pasti ada yang salah dalam berpuasa. Niat menjadi kunci utama dalam melaksanakan
amal ibadah. Itu sebabnya yang perlu evaluasi adalah kebenaran dan ketulusan atas
niatan puasa.
Hasil dari puasa belum tercermin dalam kehiudupan yang penuh kasih sayang dan
tolong menolong sebagaimana yang dianjurkan dalam islam. Sebaliknya masih banyak
melihat pertengkaran atarumat terutama sesama muslim di negeri ini. Ironisnya hanya
karena berbeda pandangan, berbeda pilihan partai, berbeda pilihan calon presiden
sampai memutus persaudaraan. Lebih ironis lagi kita sangat mudah mengkafirkan
saudara sesama muslim.
7
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah
kedua saudara kalain, dan bertakwalah kalaian kepada Allah sudapa kalian
mendapatkan rahmat (QS Al-Hujurat : 10). Islam menganjurkan berkasih sayang
dengan sesama muslim karena mereka ibarat satu tubuh. Dimana jika salah satu bagian
ada yang terasa sakit maka bagian lain ikut merasakannya (HR Bukhari, At-Tirmizi, an-
Nasa’i dan Ahmad).
Sudah sangat jelas bagaimana ajaran islam untuk saling bersatu, terutama sesama
muslim. Karena tidak akan masuk surga bagi kita yang masih saling bertengkar dan
ingin menang sendiri. Apapun alasannya perbedaan tidak boleh memecah belah
implementasi persaudaraan sesama muslim. Jikapun terjadi perbedaan apalagi sekedar
perbedaan pandangan mengenai persoalan dunia maka semua harus dikalahkan dan
harus lebih mengutamakan persaudaraan. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam
seubuah hadits; “Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna
keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.. (HR Muslim).
Menurut Rakhmat S Labib (2011), sesama muslim harus bersikap Dzillah: yang
meliputi sifat kasih sayang, welas asih dan lemah lembut (QS. Al Maidah: 54), bersikap
ramah terhadap umat islam (QS AL Fath:29); dan rendah hati kepada kaum mukmin
(QS Al Hijr:88). Dengan demikian sesama muslim harus saling mengasihi dan saling
tolong menolong dalam kebaikan (QS Al-Maidah: 2). Saling beramar makruf dalam
kebaikan dan gotongroyong menumpas kemungkaran (QS Al-Baqarah: 177).
4. Haji
8
ketika ngantri di kamar mandi, makan makanan ketering bersama, thawaf atau lempar
jumrah bersama dan lain sebagainya. Tidak jarang setelah pulang haji, terbentuk
keakraban dengan sesama jama’ah dimana sebelumnya belum pernah terjadi.
Hadirnya lembaga atau organisasi pasca haji, seperti IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia) dan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), merupakan salah satu
parameter dalam mewujudkan kesadaran sosial. Pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) di
Klaten, Jawa Tengah, SMU unggulan di Bogor, Jawa Barat, Koperasi Haji di Jawa
Timur, BPR di Jakarta dan lainnya merupakan kerja nyata para jema’ah haji yang
melembagakan diri melalui IPHI dan KBIH serta lembaga sejenis lainnya untuk
kegiatan-kegiatan bermotif sosial.
9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara bahasa, kata ibadah berasal dari bahasa arab al-abdiyyah, al-‘ubudiyyah,
dan al-‘ibadah yang berarti ketaatan. Kata al-‘ubudiyyah identik dengan kata al-
khudhu dan adz-dzull yang berarti ketundukan dan kehinaan.
Sedangkan menurut terminologi syariat, Muhammad Abduh menafsirkan ibadah
sebagai suatu bentuk ketundukkan dan ketaatan sebagai dampak dari rasa
pengagungan yang bersemai didalam lubuk hati seseorang terhadap siapa yang
menjadi tujuan ketundukannya.
Ibadah memiliki dimensi keakhiratan sekaligus keduniawian. Ibadah dalam
ajaran Islam tidak hanya dimaksudkan dalam kerangka hubungan dengan Allah
semata, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang tinggi bagi para
pemeluknya. Semua bentuk ibadah memiliki makna sosialnya masing-masing.
10
DAFTAR PUSTAKA
http://lazismukalsel.org/web/2018/05/15/makna-ibadah-zakat-dalam-kehidupan-sosial/
Referensi
[2] Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam, Kalam Mulia, Cet. I, hlm 750.
[3] Ali yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 233.
https://www.kompasiana.com/ahmadwazier/54f6a97ca33311f7598b4586/ibadah-puasa-dan-
transformasi-sosial
https://tulisanterkini.com/artikel/artikel-ilmiah/11670-haji-dalam-perspektif-sosial.html
[20] A. Chunaini Saleh, 2008, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Alvabet
Anggota IKAPI, hlm. 212.
11