Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN II
ISLAM : PERSOALAN HIDUP SERTA KERJA

NAMA KELOMPOK :
1. ZUBAIDAH (20151660108)
2. SISILLIYA ROSITA (20151660111)

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2016-2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur senantiasa ita ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia yang telah diberikan, kami dapat menyusun makalah mengenai “Persoalan Hidup
Serta Kerja” sebagai tugas mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan ll. Makalah ini
merupakan hasil membaca berbagai referensi yang telah saya lakukan sebelumnya. Makalah
yang kami susun bertujuan agar para pembaca dapat lebih memahami mengenai Persoalan
Hidup Serta Kerja.
Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan bermakna serta bermanfaat
dalam proses belajar dan dalam kehidupan sehari-hari. Dari lubuk hati yang paling dalam,
kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan
saran membangu sangat kami harapkan. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah yang telah memberikan masukan dalam membuat makah ini, serta semua orang
yang telah membantu kelancaran pembuatan makalah ini.

Surabaya, 4 Oktober 2016

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar ................................................................................................ i
Daftar isi .......................................................................................................... ii
Bab l Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan penulisan makalah ............................................................. 2

Bab ll Pembahasan ......................................................................................... 3


2.1 Islam dan persoalan hidup dan kerja ............................................. 3
2.1.1 Hakikat hidup dan kerja .................................................... 3
2.1.2 Rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja ............. 4
2.1.3 Akhlaq dalam bekerja ...................................................... 5
2.1.4 Keharusan profesionalisme dalam bekerja ..................... 6
2.2 Hakikat hidup ............................................................................... 7
2.3 Implikasi kerja dalam kehidupan ................................................. 9
2.4 Wawasan Islam tentang kerja ...................................................... 9
2.4.1 Etos kerja dalam perspektif islam ................................... 9
2.4.2 Tujuan kerja dalam wawasan ......................................... 10
2.4.3 Kerja dan martabat hidup ............................................... 11
2.4.4 Nilai-nilai ibadah dalam islam ......................................... 12
Bab lll Penutup ............................................................................................. 14
3.1 Kesimpulan .................................................................................. 14
3.2 Saran ........................................................................................... 14
Daftar pustaka ............................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi,
seperti kebutuhan makan, minum, handphone, tas, rumah, kendaraan dan lain
sebagainya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita harus bekerja. Agama
Islam yang berdasarkan Alquran dan Hadis sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja
melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah
yang berkenaan dengan kerja. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita
dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan
tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak
boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan Alquran dan Hadist. Dalam
makalah ini akan membahas tentang hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah
terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak dalam bekerja, keharusan
profesionalisme dalam bekerja, hakikat hidup, implikasi kerja dalam kehidupan,
etos kerja dalam perspektif Islam, tujuan kerja dalam wawasan Islam, kerja dan
martabat hidup, nilai-nilai ibadah dalam kerja.
Persoalan hidup yang semakin hari semakin kompleks, tuntutan hidup yang
menghimpit, persaingan ekonomi, terbatasnya waktu luang, menjadi indikator
manusia menjadi robot. Sejak bangun pagi sampai tidur kembali akan terisi oleh
rutinitas yang akan selalu diulang setiap harinya. Akan tetapi yang menjadi
masalah jika rutinitas tersebut tidak dilandasi oleh niat yang benar, akan
menjadi semacam tekanan batin manusia yang membawa manusia menjadi
mesin bernyawa. Jelaslah bahwa manusia membutuhkan ibadah dan ketaatan.
Berbagai penyakit jiwa banyak merajalela di zaman sekarang. Hal ini disebabkan
manusia jauh dari ibadah. Ada semacam kebutuhan yang kosong yang belum
terpenuhi dan hal tersebut adalah beragama. Sedangkan beragama erat
kaitannya dengan iman dan komitmen dengan aqidah yang diajarkan. Banyak
anggapan yang salah mengenai iman dan aqidah keagamaan yang bisa
mengurangi dan melambatkan produksi dan prestasi kerja atau menghalangi
pertumbuhan dan perkembanggannya. Kesalahan tersebut timbul akibat
persepsi yang salah tentang iman. Iman akan mengurangi perasaan bebas
seseorang atau orang yang beriman tidak lagi mementingkan pekerjaan untuk
kehidupan di dunia dan akibatnya 1 masyarakat menjadi rugi 2 dan mengalami
kemunduran, anggapan yang salah tersebut disebabkan kurangnya pengertian
tentang agama dan iman
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana hakekat hidup dan kerja dalam Islam?
2. Seperti apa rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja?
3. Bagaimana akhlak dalam bekerja menurut Islam?
4. Bagaimana keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam?
5. Seperti apa hakikat hidup?
6. Bagaimana Implikasi kerja dalam kehidupan?
7. Bagaimana etos kerja dalam perspektif Islam?
8. Apa tujuan kerja dalam wawasan Islam?
9. Bagaimana kerja dan martabat hidup?
10.Seperti apa nilai-nilai ibadah dalam kerja?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan hakekat hidup dan kerja dalam Islam
2. Menjelaskan rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja
3. Menjelaskan akhlak dalam bekerja menurut Islam
4. Menjelaskan keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam
5. Menjelaskan hakikat hidup
6. Menjelaskan implikasi kerja dalam kehidupan
7. Menjelaskan etos kerja dalam kehidupan
8. Menjelaskan tujuan kerja dalam wawasan Islam
9. Menjelaskan kerja dan martabat hidup
10.Menjelaskan nilai-nilai ibadah dalam kerja
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ISLAM DAN PERSOALAN HIDUP DAN KERJA


Hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin
bekerja, akhlak dalam bekerja, keharusan professionalisme dalam
bekerja.
2.1.1 Hakikat hidup dan kerja
Dalam diri manusia terdapat apa yang disebut dengan nafs sebagai
potensi yang membawa kepada kehidupan. Dalam pandangan Al-Qur’an,
nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.
Allah swt. Katakana dalam surat Al-Syams ayat 7-8 “Demi Nafs serta
penyempurnaan ciptaannya, Allah mengilhamkan kepadanya kejahatan
dan ketaqwaan”. Allah mengilhamkan, berarti memberi potensi agar
manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta
dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Meskipun nafs berpotensi positif dan negative, namun diperoleh
pula isyaratkan bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia lebih
kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya tarik keburukan lebih
kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar
memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah dalam surat Al-Syams ayat 9-
10 ”Sungguh beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan
merugilah orang-orang yang mengotorinya”. Kecendrungan nafs lebih
kuat untuk kebaikan dipahami dari isyarat ayat, misalnya terdapat dalam
surat Al-Baqarah ayat 286 “Allah tidak membebani seseorang,
tetapi sesuai dengan kesanggupan nya”.
Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan
memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya”. Selain nafs, dalam diri
manusia juga terdapat qalb yang sering diterjemahkan hati. Seperti
dikemukakan di atas, bahwa nafs ada dalam diri manusia, qalbu pun
demikian, hanya saja qalb yang merupakan wadah dipahami dalam arti
alat, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 179 “Mereka
mempunyai qalb, tetapi tidak digunakan untuk memahami”. Selain kata
qalb dalam Al-Qur’an juga terdapat kata fu’ad, seperti dalam firman-Nya
dalam surat Al-Nahl “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu maka Dia memberimu (alat)
pendengaran, (alat) penglihatan serta hati, agar kamu
bersyukur (mempergunakannya memperoleh pengetahuan) ”Kemudian
manusia juga memiliki ruh, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Isra’
ayat 85 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah Ruh
adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”. Ada yang
berpendapat, bahwa ruh itu sama dengan nyawa, tetapi apa bedanya
manusia dengan orang utan, monyet dan binatang yang lain? Dalam surat
Al-Mu’minun dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh, maka
menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda
dengan makhluk lain. Karena manusia memiliki ruh lah ia mudah
menerima wahyu dari Allah swt.
Mempelajari wahyu dikatakan santapan rohani, bukan santapan
nyawa. Manusia berpotensi mendapatkan hidayah karena mempunyai
roh. Selain memiliki nafs, qalb, dan ruh manusia juga memiliki ‘aql. Kata
‘aql dalam al-qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan
lampau. Dari segi bahasa, kata ini dapat diartikan tali pengikat,
penghalang. ‘Aql merupakan sesuatu yang mengikat atau menghalangi
seseorang terjerumus dalam kesalahan atau berbuat dosa.
Allah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 151 “Dan janganlah
kamu mendekati perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali demi
kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu agar kamu ber’aqal (dapat
memahaminya)” Menurut Hamka, dalam bukunya Falsafah Hidup,
Islam sangat memuliakan ‘aql, maka dari itu Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi ‘aql. Orang yang dapat menempatkan dirinya merasa
terikat pada aturan-aturan Allah dalam firman-firman-Nya, maka itulah
sebenarnya orang-orang yang ber’aqal.
Seorang muslim dalam aktifitas kehidupnya dapat menggunakan
‘aqalnya jauh dari perbuatan keji, ruhnya banyak berisikan wahyu Allah,
hatinya jadi tentram sehingga dirinya terkendali kejalan yang diridhoi
Allah, terhindar dari langkah-langkah syetan yang buruk. Demikianlah
hakekat hidup manusia dengan berbagai potensi yang terdapat dalam
dirinya untuk melaksanakan pekerjaan.

2.1.2 Rahmat Allah Terhadap Orang Yang Rajin Bekerja


Umar bin Khattab khalifah ke dua setelah Abu bakar siddiq berkata
“Aku benci orang berpangku tangan, tanpa ada aktifitas kerja, baik kerja
untuk dunia atau untuk kepentingan di akhirat kelak. Dalam hal ini
khalifah umar sangat menghargai dan menyenangi orang yang rajin
bekerja dan beraktifitas sebagai muslim yang ta’at, Umar selalu
mendorong umat Islam untuk memiliki semangat bekerja dan beramal,
serta menjauhkan diri dari sifat malas.
Rasulullah bersabda “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari
lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit
utang dan dikendalikan orang lain. Dan akau berlindung kepada-Mu dari
siksa kubur, dan dari fitnah (ketika hidup dan mati) (H.R Bukhari dan
Muslim). Orang muslim yang akan berhasil dalam hidupnya adalah
kemampuannya meninggalkan perbuatan yang melahirkan
kemalasan/tidak produktif dan digantinya dengan amalan yang
bermanfa’at. Sabda Rasulullah Saw dari Abu Hurairah “Sebaik-baik
Islamnya seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak
bermanfa’at” (HR. Tarmidzi).
Bekerja bagi seorang muslim adalah dalam rangka mendapatkan
rezki yang halal dan memberikan manfa’at yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat sebagai ibadahnya kepada Allah swt. Firman-Nya : “Apabila
shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu
beruntung” (al-Jmu’ah: 10. )Dalam pandangan Islam bekerja merupakan
bagian dari ibadah, maka aplikasi dan implementasinya perlu diikat dan
dilandasi oleh akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika profesi.
Etika/akhlaq yang mencerminkan sifat terpuji, yaitu shiddiq, istiqamah,
futhanah, amanah dan tablig. Dari uraian diatas dapat difahami bahwa
seorang muslim yang akan mendapat kasih sayang dari Allah swt
adalah apabila orang itu jauh dari sifat malas, senang melakukan
kegiatan-kegiatan yang bermanfa’at, rajin bekerja, tidak menyia-nyiakan
waktu, menyadari bahwa semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam
rangka beribadah kepada Allah Swt.

2.1.3 Akhlak Dalam Bekerja


Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka
pikirannya kepada keindahan ciptaan Allah.
Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol segala urusan dunia dan
kehidupan manusia. Dia mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya,
senantiasa berdzikir dan tawakal kepada-Nya. “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang,
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertawakal yaitu orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (sambil berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan
semua ini dengan sis-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari
api neraka” (Ali Imran ayat 190-191).
Dalam bekerja dia tulus dan patuh kepada Allah dalam keadaan
bagaimanapun, tidak boleh melampaui batas, selalu ta’at mengikuti
bimbingan Allah meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Dia
bertanggung jawab menjalankan kewajiban pekerjaan yang telah
ditetapkan untuknya. Bila ia mendapatkan kendala, segera mencari
penyebabnya dan siap memikul semua konsekwensinya.
Dia memahami sabda Rasul Saw “Betapa indahnya urusan orang
Islam seluruh urusan (kerjanya) adalah baik bagi dirinya. Jika ia mengalami
kemudahan ia bersyukur dan yang demikian itu baik bagi dirinya jika ia
mengalami kesulitan ia menghadapinya dengan sabar dan tabah dan
itupun juga baik bagi dirinya” (HR. Bukhari).
Akhlak seorang muslim dalam bekerja menemukan kemudahan
selalu bersyukur, ketika menghadapi kesulitan dia tabah dan sabar .
Mudah dan sulit baginya sama, karena semua itu adalah untuk menguji
kekuatan imannya. Pada sa’atnya ia mendapatkan kesalahan dalam
bekerja, menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya, ia segera
bertobat, segera ingat akan Tuhannya, menghentikan segala
kesalahannya dan memohon ampun atas kekeliruannya.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila dalam dirinya
timbul perasaan was-was dari setan, mereka segera ingat kepada Allah,
maka waktu itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (Al-A’raf
:201) Demikianlah akhlak seorang muslim dalam bekerja.

2.1.4 Keharusan Profesionalisme Dalam Bekerja


Profesional berarti berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu
bidang pekerjan yang menjadi profesinya. Suatu pekerjaan yang
dilaksanakan oleh seseorang yang memang ahlinya, tentu akan
mendapatkan hasil yang bermutu dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan
yang dilaksanakan oleh seseorang yang bukan profesinya, akan
mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan bahkan akan berantakan.
Sabda Rasul Saw “Bila menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah kehancuran”.
Menurut sabda Rasul ini, seseorang dalam bekerja, apapun
pekerjaannya, kalau ingin mengharapkan hasil yang berkualitas dan baik,
maka dia harus profeisinal/ahli dalam pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya itu.
Ahli dalam bekerja, berarti menguasai ilmu pengetahuan yang
berhubungan langsung dengan pekerjannya. Seorang pekerja yang
bekerja dalam dunia pertanian, tentu dia harus berilmu tentang tanaman,
pemupukan, pengairan dan lain-lain. Dia harus mengerti, memahami dan
menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan
kewajibannya dalam pertanian. Sifat kreatifitas dan kemampuan
melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfa’at tentang pertanian
akan muncul dalam dirinya.
Tentunya kreatif dan inovatif hanya mungkin akan dimiliki
manakala seseorang selalu berusaha untuk menambah berbagai ilmu
pengetahuan, peraturan, dan informasi yang berhubungan dengan
pekerjaan apapun bentuk pekerjanya.
Sebagai seorang guru (pengejar) dituntut harus ahli dalam ilmu
keguruan jangan setengah-setengah tapi belajar terus belajar tentang
profesi keguruan sampai akhir hayatnya.
Firmam Allah dalam surat Al-Baqarah 208 ”Hai orang yang
beriman, masuklah kamu kedalam kedamaian Islam secara menyeluruh,
dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah
musuhmu yang nyata”. Tersirat dalam ayat ini, bahwa aktifitas apapun
yang dilakukan menuntut pelakunya untuk berilmu secara mendalam
dan menyeluruh (kaffah) sesuai dengan profesinya.
Orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas
dirinya kedalam wadah islam secara menyeluruh, sehingga semua
kegiatannya berada dalam wadah islam/kedamaian. Ia damai dengan
dirinya, keluarganya, seluruh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan
alam raya semuanya. Wadah Islam secara menyeluruh yang dimaksud
juga penguasaan ilmu islam secara menyeluruh sehingga mampu
melaksanakan aktifitas Islam dengan berkualitas dan bermutu.

2.2 HAKIKAT HIDUP


Dunia laksana fatamorgana. Sebagian orang tidak jarang terkecoh
dengan gemerlap dunia dan lupa hakikat hidup yang hakiki. Padahal Allah
telah mengingatkan dalam Al-Qur’an, yang artinya : “Ketauhilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melal
Ikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur.
Karena asyik dengan kehidupan dunia, manusia sering mengidap
hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut mati). Ketika
dari hari ke hari hidup demikian super sibuk sejak bangun hingga tidur dan
bangun kembali di shubuh hari.
Ketika kegiatan demi kegiatan begitu padat, berkeliling dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Hidup yang
tidak jarang disertai pertaruha, perebutan, konflik, dan ketegangan yang
melebihi takaran. Bahkan manakala hidup begitu penuh pergaulatan
seolah tak pernah berujung dan bermuara dalam sejuta ambisi yang terus
membara.
Mencari nafkah, menjalankan profesi, mengemban mandat rakyat,
berniaga, dan apapun yang dilakukan harus memiliki nilai ibadah dan
kekhalifahan, bukan sekedar pekerjaan rutin dan duniawi semata-mata.
Apapun yang kita lakukan dari hal yang sehari-hari (yaumiyah) sampai ke
urusan-urusan besar seperti berniaga, berpolitik, dan seterusnya
(mu’amalat-dunyawiyyat) harus bermakna dan berfungsi ibadah serta
dalam rangka menjalankan kekhalifahan untuk memakmurkan dunia.
Karena itu setiap langkah kita jika dilandasi ibadah dan fungsi
kekhalifahan tidak akan sia-sia, selalu manfaat dan bermakna.
Hidup hanya disini dan saat ini, tidak ada hidup di akhirat setelah
kematian. Hidup hanya mencari kesenangan dan bermegah-megahan
dengan perhiasan dunia belaka, tanpa arah dan tujuan yang pasti. Hidup
hanya silau dengan keindahan dan kejayaan duniawi semata. Mereka
bahkan menganggap kehidupannya yang makmur secara duniawi, banyak
dikarunia anak, harta, dan kekuasaan merasa diridhoi Tuhan, sehingga
tanpa beriman pun hidupnya sejahtera di dunia. Anak-anak, harta,
kekuasaan, dan apapun yang ada di dunia ini, jika tak pandai-pandai
dimaknai dan disyukuri, akan menjadi fitnah dan melalaikan manusia dari
fondasi,fungsi, dan tujuan hidup yang hakiki sebagaimana dilakukan
mereka yang ingkar.
2.3 IMPLIKASI KERJA DALAM KEHIDUPAN
Al- qur’an menyerukan pada semua manusia yang memiliki
kemampuan fisik untuk bekerja dalam usaha mencari sarana hidup untuk
dirinya sendiri. Tak seorang pun dalam situasi normal, dibolehkan untuk
meminta-minta atau menjadi beban bagi kerabat dan Negara sekalipun.
Al-Qur’an sangat menghargai mereka yang berjuang untuk mencapai dan
memperoleh karunia Allah. Apa yang disebut karunia Allah ini adalah
meliputi segala macam sarana kehidupan.
Rasulullah Saw., menyatakan bahwasanya orang yang mencari
nafkah hidupnya untuk dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang tidak
yang beribadah sepanjang waktu, lebih baik dari saudaranya yang tidak
bekerja

2.4 WAWASAN ISLAM TENTANG KERJA


2.4.1 Etos Kerja Dalam Perspektif Islam
Etos kerja termasuk salah satu diantara global narrative,
pembicaraa global. Salah satu diantara ciri sumber daya manusia (SDM)
yang diharapkan oleh negara-negara maju dan berkembang adalah warga
yang memiliki etos kerja tinggi. Dalam manajemen industri, ada empat
parameter yang biasanya digunakan untuk melihat seseorang atau
kelompok memiliki etos kerja atau tidak. Pertama, bagaimana pandangan
seseorang tentang kerja. Orang yang memiliki etos kerja tinggi dan baik
pasti mempunyai pandangan bahwa kerja sebagai hal yang mulia. Karena
sebagai hal yang mulia, dia menghargai kerja. Kedua, ada atau tidak
adanya semangat untuk melakukan pekerjaan, semangat bekerjaatau
menyelesaikan pekerjaan. Orang-orang yang mempunyai etos kerja baik,
apabila ditugasi untuk melakukan pekerjaan akan tumbuh semangatnya
untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Ketiga, adalah adanya
upaya untuk menyempurnakan suatu kerja agar menjadi lebih produktif.
Dia tidak hanya melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan semangat atau
perintah saja, tetapi berusaha menjadikan cara kerja, model kerja, atau
sistem kerja menjadi lebih baik dan bernilai produktif. Keempat, adanya
kebanggaan dapat melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Dia
merasa bangga dan puas kalau dapat melakukan pekerjaan itu dengan
baik.
Bagaimana islam memandang kerja? Dalam kajian tasawud, posisi
manusia terhadap kerja dapat dibagi kedalam dua kategori atau dua tipe.
Pertama, adalah orang yang berada di maqom tajrid, artinya orang-orang
yang posisinya sudah tidak lagi membutuhkan kerja. Beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang tidak membutuhkan kerja misalnya karena usia
yang sudah lanjut. Kedua, yaitu orang yang berada pada maqom ikhtiyar,
masih memerlukan usaha. Mengapa? Sebab dia masih membutuhkan
rumah, kendaraan, baju baru, menyekolahkan anak, dan berbagai
kebutuhan lain. Oleh sebab itu, jika ada orang yang masih menginginkan
makan enak, tetapi tidak mau bekerja pada dasarnya dia menempatkan
sesuatu bukan pada tempatnya. Mestinya dia berada pada maqom
ikhtiyar tetapi menjadikan diri di maqom tajrid.
Islam sebagai agama yang mempunya konsep mengenai sesuatu
kehidupan bahagia (way of life) memberi petunjuk bahwa bekerja adalah
sesuatu yang harus dilakukan. Nabi menjelaskan yang menyangkut etos
kerja ada yang dalam bentuk fi’liyah atau ‘amaliyah
(tindakan/perbuatan). Dalam bentuk ungkapan lisan misalnya Nabi
pernah bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Syaikh
dalam kitab Ats-Tsawab atau Abu Nuaim dalam kitab Hilyatul Auliya’,
atau Imam Baihaqi dalam Syu’bul Imam. Nabi menyatakan ada empat
prinsip kerja yang menyebabkan seseorang akan menemui Allah dalam
keadaan gembira. Pertama, Man thalaba d-dunya halalan, “Orang yang
mencari kekayaan dunia (kerja) dengan secara halal”. Artinya,
pekerjaannya halal dan caranya juga halal. Sebab ada pekerjaan halal
tetapi caranya tidak halal. Kedua, kata Nabi adalah wata’affufan ‘ain
lmas’alah, “bekerja demi menjaga diri jangan sampai meminta-minta”,
agar tidak mengemis, menjadi tanggungan orang lain atau menjadi beban
orang lain. Ketiga, Wasa’yan ‘ala ‘iyalihi, “bekerja untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya”. Dan keempat, Wa ta’aththufan ala jarihi,
“karena rasa kasih sayang terhadap tetangganya”. Mungkin tetangganya
membutuhkan bantuan karena itu dia kerja lembur agar bisa membantu
tetangganya.
Orang yang bekerja atas dasar empat prinsip diatas : kerjanya halal,
menjaga diri jangan sampai hidup dari meminta-minta, bekerja untuk
mencukupi kebutuhan keluarga, dan demi membantu tetangga.

2.4.2 Tujuan Kerja Dalam Wawasan


Kerja apapun asal halal nilainya jauh lebih berharga daripada tidak
kerja, menganggur. Menurut Islam, ada tiga tujuan dasar kerja. Pertama,
mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarga. Kebutuhan diri dan
keluarga yang sudah tercukupi dengan baik dengan begitu akan
mengurangi dorongan untuk meminta-minta atau dorongan untuk
melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskan diri pada tindakan tidak
terpuji. Kedua, untuk memberikan kemaslahatan atau kesejahteraan bagi
masyarakat luas, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau
pada tujuan pertama mungkin seseorang mudah mengatasi, hasil kerja itu
tidak sebatas untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi harus ada yang
digunakan untuk mengembangkan kemaslahatan umum. Ketiga, untuk
meningkatkan mutu pengabdian dan ketaatan kepada Allah. Atau dalam
bahasa yang sederhana, untuk meningkatkan kualitas ibadah. Misalnya
bekerja agar bisa menunaikan ibadah haji, shadaqoh, menjadi donatur
pembangunan masjid, madrasah, dan lain-lain.

2.4.3 Kerja Dan Martabat Hidup


Kadang orang tidak mau melakukan pekerjaan karena gengsi,
misalnya sarjana gengsi berjualan bakso. Pekerjaan ini dianggap dana’ah,
dianggap rendah dan tidak sesuai dengan martabat dirinya. Akan tetapi,
dalam pandangan ‘Umar tersebut, sarjana yang menjual bakso jauh lebih
mulia ketimbang sarjana yang hanya meminta bantuan orang tua atau
menyusahkan teman-temannya. Persepsi demikian menunjukkan betapa
besarnya pengaruh kerja dalam pandangan Islam kaitannya dengan
penilaian terhadap derajjjaaat seseorang.
Sahabat senior Nabi melihat bahwa kerja sebagai upaya untuk
mengangakat martabat hidup tidak mengurangi kedudukannya sebagai
sahabat yang mempunyai tempat khusus di hadapan Nabi. Dalam
masyarakat modern maupun tradisional masalah pekerjaan menjadi
suatu yang diperhatikan. Orang yang tidak memiliki pekerjaan akan
dipandang remeh. Sebaliknya, orang yang sudah memiliki pekerjaan bisa
menjaga atribut kediriannya dan mengangkat martabat hidupnya. Kerja,
dengan demikian, menjadi parameter keberhasilan seseorang dalam
kehidupannya.
Dari pembahasan di atas, ajaran Islam baik secara qauliyah maupun
fi’liyah mengapresiasi bahwa untuk menjadi muslim yang baik standar
umumnya adalah punya pekerjaan. Kalau tidak bekerja karena suatu
udzur, misalnya sakit atau fisik tidak memungkinkan, menjadi
pengecualian. Tetapi Islam menegaskan : Inna l-Laha yuhibbu l-‘abda l-
muhtarif. “Tuhan menyukai hambanya yang memiliki pekerjaan”. Ini
merupakan tema penting yang patut dipikirkan dalam mempersiapkan
generasi muda di masa mendatang. Ada satu pandangan, the world view,
yang harus ditanamkan kepada generasi muda bahwa “kerja sebagai
suatu kegiatan yang mulia”.

2.4.4 Nilai-nilai Ibadah Dalam Islam


Membicarakan nilai-nilai ibadah dalam kerja memerlukan ukuran-
ukuran tertentu apakah kerja itu bisa menilai ibadah atau tidak. Islam
menghendaki agar ibadah bisa built-in dengan kerja, dan sebaliknya kerja
yang bernilai ibadah. Ada dua syarat yang dapat dijadikan ukuran bekerja
dengan benar dalam Islam: Pertama, benar dariaspek niatnya (shabibun
fi n-niyat). Niatlah yang menetukan amal atau kerja seseorang. Kedua,
benar dari apek pelaksanaan (shabibun fi t-tabsbil), bagaimana
menghasilkan pekerjaan.
Kerja yang mempunyai nilai ibadah harus dimulai dari niat yang
benar dan pelaksanaannya (bentuk kerjanya) juga benar. Bentuk dan cara
kerja yang dibenarkan syara’ dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pekerjaan
yang tidak menyimpang dari aturan syara’ dan tidak melalaikan terhadap
tugas-tugas keagamaan (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Ada tujuh aktivitas / pekerjaan yang pahalanya akan selalu mengalir pada
orang yang mengerjakannya meskipun dia sudah berada di kubur atau
setelah dia meninggal dunia.
 Man ‘allama ‘ilma : Orang yang mengajarkan ilmu
 Man karo nahro : Orang yang mengalirkan sungai baik untuk irigasi
pertanian atau kepentingan masyarakat sekitarnya
 Man hafaro bi’ro : Orang yang menggali sumur atau pengadaan air bersih
 Man ghorosa nakhlan : Orang yang menanam kurma. Dalam konteks
Indonesia bisa diartikan tanaman produktif yang memberi manfaat
kepada orang lain (untuk konsumsi buah-buahan, kelestarian lingkungan,
obat, makanan sehat, dan lain-lain)
 Au bana masjidan : Orang yang membangun masjid atau sarana
peribadatan dan sarana umum lainnya
 Au warratsa mushafan : Orang yang mewariskan atau mewakafkan
mushaf Al-Qur’an. Dalam kitab Hilyatu l-Awliya’ karya Abu Nu’aim,
pengertian mushaf bukan sekedar fisik, tetapi juga orang yang
mengajarkannya pada orang lain.
 Au taroka walada yastaghfirulahu ba’da mautihi : Orang yang mendidik
anak secara baik sehingga saat orang tuanya meninggal dia
mendoakannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik
kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Selain itu, kerja adalah
aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Manusia
diwajibkan untuk berusaha, bukan menunggu karena Allah tidak
menurunkan harta benda, iptek dan kekuasaan dari langit melainkan
manusia harus mengusahakannya sendiri. Manusia harus menyadari
betapa pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim.
Kemandirian atau ketidak ketergantungan kepada belas kasihan orang
lain ini mengandung resiko, bahwa umat Islam wajib bekerja keras. Dan
syarat itu adalah memahami konsep dasar bahwa bekerja merupakan
ibadah. Dengan pemahaman ini, maka akan terbangun etos kerja yang
tinggi.
Tujuan bekerja menurut Islam ada dua, yaitu memenuhi kebutuhan
sendiri dan keluarga, dan memenuhi ibadah dan kepentingan sosial. Islam
menjunjung tinggi nilai kerja, tetapi Islam juga memberi balasan dalam
memilih jenis pekerjaan yang halal dan haram.

3.2 Saran
Bekerja dengan sunguh-sunguh merupakan mencirikan seorang muslim
yang taat kepada Allah Swt. Allah tidak merubah nasib suatu kaum selain
kaum itu merubah nasibnya sendiri, kehidupan kita tidak terlepas dari
kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangan. Untuk memperoleh itu
semua kita harus bekerja untuk memperoleh kondisi ekonomi yang baik,
Islam sudah memberikan penjelasan bagaimana cara bekerja secara
sungguh-sungguh dan professional. Marilah kita bekerja dengan sungguh-
sungguh untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah Swt dan
memperoleh rezeki yang halal.
DAFTAR PUSTAKA

Listafariska putra, Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta, 2000


KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
2002
Dr. Haedar Nashir, Ibrah Kehidupan, Yogyakarta, 2012
Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema
Insani Press, Jakarta, 1992
Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV. Pustaka
Mantiq, Solo, 1992
Eki-blogger.blospot.co.idi2013/02/bekerja-dalam-panduan-islam.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai