Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


KONSEP IBADAH DALAM ISLAM

Disusun Oleh :
1. Alfiany Nur Safitri (17101005)
2. Frida Salma Hijriya (17101016)

Dosen Pengampu : Imam Labib Hibaurrohman, Lc., M.S.I


Tanggal Pengumpulan : Rabu, 2 Mei 2018

INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO


JL. DI. PANJAITAN 128 PURWOKERTO
2018
BAB I
KONSEP IBADAH DALAM ISLAM

A. Pengertian Ibadah
Secara umum ibadah memiliki arti segala sesuatu yang dilakukan manusia
atas dasar patuh terhadap pencipta Nya sebagai jalan untuk mendekatkan diri
kepada Nya. Ibadah menurut bahasa (etimologis) adalah diambil dari kata
ta’abbud yang berarti menundukkan dan mematuhi dikatakan thariqun
mu’abbad yaitu : jalan yang ditundukkan yang sering dilalui orang. Ibadah
dalam bahasa Arab berasal dari kata abda’ yang berarti menghamba. Jadi,
meyakini bahwasanya dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki
keberdayaan apa- apa sehingga ibadah adalah bentuk taat dan hormat kepada
Tuhan Nya.
Sementara secara terminologis, Hasbi- Al Shiddieqy dalam kuliah
ibadahnya, mengungkapkan : Menurut ulama’ Tauhid ibadah adalah :
“pengesaan Allah dan pengagungan- Nya dengan segala kepatuhan dan
kerendahan diri kepada- Nya.” Menurut ulama’ Akhlak, ibadah adalah:
“Pengamalan segala kepatuhan kepada Allah secara badaniah, dengan
menegakkan syariah- Nya.” Menurut ulama’ Tasawuf, ibadah adalah:
“Perbuatan mukalaf yang berlawanan dengan hawa nafsunya untuk
mengagungkan Tuhan- Nya.” Sedangkan menurut ulama’ Fikih, ibadah
adalah: “Segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah, dengan
mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”
Menurut jumhur ulama’: “Ibadah adalah nama yang mencakup segala
sesuatuyang disukai Allah dan yang diridlai- Nya, baik berupa perkataan
maupunperbuatan, baik terang- terangan maupun diam- diam.”. Dengan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ibadah disamping merupakan
sikap diri yang pada mulanya hanya ada dalam hati juga diwujudkandalam
bentuk ucapan dan perbuatan, sekaligus cermin ketaatan kepada Allah.
Ibadah merupakan satu pola hubungan yang menghubungkan diri seorang
hamba dengan Tuhannya. Dengan beribadah, seseorang akan dekat dengan
Allah. Hal ini bermakna bahwa Allah dengan segala keagungan dan
kebesaran-Nya, akan terhubung dengan manusia. Memahami makna ibadah
tersebut, seorang muslim dapat terhubung dengan kasih sayang Allah,
karuniadan perlindungan Allah, pertolongan dan pemeliharaan-Nya yang
maha luas.
Insan yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk
senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdi diri
kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya
sebagai seorang muslim diragukan dan dipertanyakan. Apabila terjadi
kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami
sepenuhnya konsepsi syari’at tentang kewajiban pengabdian kepada
AllahSWT. [1]
Muslim yang telah memiliki iman dalam hatinya masih bersifat abstrak
belum sempurna sebelum direalisasikan dalam bentuk nyata yakni ibadah.
Ibadah merupakan institusi dari iman. Karena tidak terlihat, keimanan
seseorang tak dapat diukur dan diperkirakan. Namun, kita dapat melihat
realitas imannya dari ibadah yang dilakukannya. Kita sendiri dapat merasakan
saat iman menurun, ibadah kita menurun, begitu pula sebaliknya. Ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu fitrah manusia. Fitrah
keagamaan yang senantiasa memunculkan ketundukan dan pengagungan
kepada Allah dan merupakan pembawaan dan pengetahuan asli manusia. Ia
akan tetap hidup dalam jiwa manusia. Fitrah itu merupakan hakikat
[2]
keberadaan manusia. Karena tujuan penciptaan manusia, jin dan
makhluklainnya tiada lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Seperti
halnya dalam surat Adz-Zariyat (51) ayat 56 yang berbunyi:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz-Zariyat/51:56). [3]
Bentuk ibadah secara global diantaranya, shalat, puasa, zakat, haji,
menyantuni anak yatim, berbuat baik kepada orang tua, bersedekah dan lain
sebagainya. Bahkan tersenyum dinilai sebagai suatu ibadah. Kendati
demikian, harus dengan niat yang ikhlas. Suatu perbuatan dinilai ibadah kalau
diniatkan dengan ibadah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya perbuatan itu
tergantung kepada niat-niatnya. Dan sesungguhnya setiap sesuatu itu
tergantung dari yang diniatkan.” (HR Bukhari dan Muslim). [4] Pada intinya,
semakin tulus seseorang beribadah, semakin dekat dia kepada Allah SWT.
Manusia merupakan makhluk sempurna yang diciptakan Allah di muka bumi.
Hubungannya dengan manusia lain (hablun minan-nas), Allah memberikan
ruang yang sangat luas untuk berbuat baik kepada sesame manusia. Selain itu,
manusia mempunyai kewajiban memperlakukan makhluk lainnya seperti
binatang, tumbuhan yang berada di semesta dengan baik pula,karena mereka
saling membutuhkan dan tidak bisa dipisahkan.

B. Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah


Ibadah mahdhah adalah ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah
WST semata-mata, yakni hubungan vertikal. Ibadah ini hanya terbatas pada
ibadah-ibadah khusus. Ciri-ciri ibadah mahdhah adalah semua ketentuan dan
aturan pelaksanaanya telah ditetapkan secara rinci melalui penjelasan-
penjelasan Al-Qur’an dan hadits. Ibadah-ibadah dilakukan semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Misalnya, shalat harus mengikuti
petunjuk Rasulullah SAW dan tidak diizinkan menambah atau
menguranginya. Rasulullah SAW bersabda :

“Shalatlah kamu sebagaimana aku mengerjakan shalat.”


(HR. Al Bukhari)
Contoh lainnya adalah ibadah haji, pelaksanaan ibadah haji harus
mengikuti jejak yang telah dilakukan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits
disebutkan :

“Ambillah contoh dari aku tentang cara-cara melakukan ibadah haji” (HR
Abu Daud)
Ibadah ghairu mahdhah ialah ibadah yang tidak sekedar menyangkut
hubungan dengan Allah SWT, tetapi juga berkaitan dengan hubungan sesama
makhluk (hablum minallah wahablum minannas), disamping hubungan
vertikal, juga ada unsur hubungan horizontal. Hubungan sesama makhluk ini
tidak hanya terbatas pada hubungan antarmanusia, tetapi juga hubungan
manusia dengan lingkungannya, seperti ayat yang artinya: “Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumu sesudah (Allah) memperbaikinya”.
(QS Al A’raf [7]: 56) [5]

C. Konsep Ibadah dalam Ajaran Islam


1. Ruang lingkup ibadah
Ibadah bukan hanya berupa shalat, zakat, puasa dan haji seperti
yang menjadi pengertian banyak orang. Ibadah mempunyai pengertian
yang lebih luas lagi . Untuk lebih detail berikut disebutkan macam atau
ruang lingkup ibadah sebagai berikut:
a. Ibadah umum
Semua perbuatan yang diizinkan Allah, bila dikerjakan dengan
tujuan memperoleh keridloan Allah. Unsur terpenting (niat) yang
ikhlas (menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram).
b. Ibadah khusus
Di antara ibadah khusus adalah sebagai berikut :
1) Ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan dalam
syara’.
2) Bersifat tetap, mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai
dengan peraturan dan tuntunan yang ada, tidak boleh mengubah,
menambah, mengurangi. Seperti : wudlu, shalat, puasa ramadlan,
zakat,dan haji.
2. Prinsip ibadah
Untuk memberikan pedoman ibadah yang bersifat final, Islam
memberikan prinsip-prinsip ibadah sebagai berikut:
a. Yang berhak disembah hanya Allah SWT.
b. Ibadah tanpa perantara (hubungan manusia dengan Allah langsung)
dapat dilaksanakan dimanapun.
c. Ikhlas.
d. Ibadah sesuai tuntunan.
e. Memelihara keseimbangan (rohani dan jasmani).
f. Mudah dan meringankan.
3. Urgensi ibadah
Beberapa ayat Al-Qur’an telah jelas mengaitkan perintah ibadah
kepada Tuhan dengan tujuan memperoleh takwa.Takwa dalam ajaran
Islam merupakan satu-satunya ukuran nilai kemuliaan manusia di hadapan
Allah. Beberapa urgensi ibadah antara lain :
a. Tujuan seluruh yang wujud di ala mini.
b. Iman untuk membersihkan hati dari syirik.
c. Shalat mensucikan diri dari takabur.
d. Zakat untuk pemerataan rezeki.
e. Puasa menguji keikhlasan manusia.
f. Mewajibkan amar ma’aruf-nahi munkar kemaslahatan manusia. [6]

D. Model-model Ibadah
1. Ghuluw
Ghuluw adalah sikap melampaui batas kebenaran. Sesuatu yang
berlebih-lebihan pasti akan keluar dari jalan yang lurus. Ibn Hajar
mengatakan: “Ghuluw adalah berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan
menekan hingga melampau batas.” (Fathul Bāri, 13, hal. 278).
Sikap ghuluw telah lama menjangkiti umat-umat terdahulu.
Sebelum Nabi Muhammad, umat-umat Nabi Nuh, Nabi Musa dan Isa
dikecam karena telah melebih-lebihkan aturan yang telah diberikan.
Allah berfirman:

َ‫ضا ِهؤُونَ قَ ْو َل الَّذِين‬ ‫ارى ْال َمسِي ُح ا ْبنُ ه‬


َ ُ‫ّللاِ ذَلِكَ قَ ْولُ ُهم بِأ َ ْف َوا ِه ِه ْم ي‬ َ ‫ص‬ ْ َ‫ّللاِ َوقَال‬
َ َّ‫ت الن‬ ‫عزَ ي ٌْر ا ْبنُ ه‬ ُ ُ ‫ت ْاليَ ُهود‬ِ َ‫َوقَال‬
َ‫ّللاُ أَنَّى يُؤْ فَ ُكون‬
‫َكفَ ُرواْ ِمن قَ ْب ُل قَاتَلَ ُه ُم ه‬

“Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang


Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan
mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang
kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka
sampai berpaling?”
Inilah sikap ghuluw, seorang nabi dilebih-lebihkan menjadi
dipertuhankan. Mereka melampau batas (had) yang telah ditentukan
Allah. Adakalahnya ghuluw itu mulanya dilakukan oleh orang-orang
yang baik, bertujuan mengabdi kepadanya. Hanya saja, karena tidak
berilmu, semangat yang berlebihan tidak terarahkan.
Jadi ghuluw dalam beragama adalah sikap melampau batas-batas
dalam perintah agama. Hal itu dilakukan dengan cara menambah dengan
porsi yang berlebihan sehingga mengeluarkannya dari apa yang
diinginkan syariat. Sebab menjalankan perintah syariat itu tidak
berlebihan (ifrāth) tidak pula menganggap remeh (tafrīth) (Mas’ud
Shobri, al-Ghuluw fi al-Dīn wa al-Hayāh,14).
Seperti pendapat Imam Fakhruddin al-Rāzi, ghuluw yang dilarang
di sini adalah ghuluw madzmūm (sikap berlebihan yang dikecam). Yaitu
ghuluwun bāthil. Imam al-Rāzi mencontohkan ghuluw madzmūm ayat
al-Qur’an surat al-Mā’idah: 77:

ً‫ضلُّواْ َكثِيرا‬
َ َ‫ضلُّواْ ِمن قَ ْب ُل َوأ‬ ِ ‫ب الَ ت َ ْغلُواْ فِي دِي ِن ُك ْم َغي َْر ْال َح ه‬
َ ْ‫ق َوالَ تَتَّ ِبعُواْ أ َ ْه َواء قَ ْو ٍم قَد‬ ِ ‫قُ ْل يَا أ َ ْه َل ْال ِكت َا‬
‫سبِي ِل‬ َ ‫ضلُّواْ َعن‬
َّ ‫س َواء ال‬ َ ‫َو‬

Katakanlah: “Hai Ahlul Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan


(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus.”
Secara umum, ghuluw dalam agama itu dilarang. Akan tetapi yang
dilarang itu yang telah melampaui batas syari’at seperti yang dilakukan
oleh kaum Ahlul Kitab. Mereka melewati batas-batas kebenaran,
sehingga mengeluarkannya dari agama yang diridlai. Adapun ghuluw
yang dilakukan dalam kerja penelitian, meneliti hakikat sesuatu dan
berusaha menemukan argumentasi yang tepat sebagaimana yang
dilakukan oleh mutakallimun menurut Imam al-Razi disebut ghuluw
mahmūdah (yang terpuji).
Sikap ghuluw madzmūmah (tercela) itu melingkupi ghuluw dalam
ibadah, ghuluw dalam hukum takfir, ghuluw dalam akidah dan ghuluw
dalam hidup.
Pertama, ghuluw dalam Ibadah. Yaitu mewajibkan dirinya kepada
sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah. Mengharamkan sesuatu
untuk dirinya, padahal Allah tidak pernah mengharamkan untuknya, atau
ada pula yang terlalu berlebihan melaksanakan ibadah sunnah tapi
kewajiban-kewajibannya dilalaikan. Seperti mengharamkan dirinya
untuk tidak menikahi wanita dengan tujuan untuk beribadah secara total.
Sikap seperti ini meski maksudnya baik, akan tetapi karena melampau
batas, maka sikap tersebut mengeluarkan dari jalur kebenaran. Seperti
kisah seorang sahabat Nabi Muhammad yang mengaku di depan Nabi
bahwa dia shalat malam tidak berhenti-berhenti, puasa setiap hari dan
tidak menikah. Rasulullah pun terperangah dengan sikap ekstrim
tersebut. Beliau melarang sikap tersebut. Beliau memberi saran, cukup
laksanakan apa yang telah diperintahkan syariat.
Kedua, ghuluw dalam hukum takfir. Selama seorang Muslim itu
mengamalkan ijtihad fiqh para ulama, maka ia tidak boleh dikafirkan.
Perbedaan dalam ijtihad fiqih di kalangan para ulama tidak sampai
kepada hukum saling mengkafirkan. Seperti hukum membaca qunut
subuh, jumlah shalat tarawih dan ijtihad-ijtihad lainnya tidak
diperkenankan sampai mengkafirkan. Perkara-perkara ijtihad itu disebut
ikhtilaf tanawwu (perbedaan fariatif). Adapun jika seseorang telah keluar
jauh dari al-haq, berbuat kekufuran secara jelas, dan hal-hal lain yang
dalam teks agama masuk ke dalam kelompok yang dikafirkan, maka
otoritas hukum tentu menghukumi kafir.
Ketiga, ghuluw dalam akidah. Ghuluw jenis ini seperti yang
dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Menuhankan para nabinya. Dan kaum
nabi Nuh yang menyembah matahari, bulan dan bintang padahal
mengaku percaya pada Allah. Dalam hal ini, para ulama’ menyebut kaum
Yahudi paling ekstrim. Mereka adalah kaum yang sangat mudah
menyamakan makhluk dan khaliq (pencipta), menyamakan Allah dengan
manusia. Di antara kaum juga ada yang berlebihan mencintai pemimpin
hingga menyematkan sifat ketuhanan kepadanya.
Keempat, ghuluw dalam kehidupan. Di antaranya, makan, minum
dan memakai air secara berlebihan. Rasulullah melarangnya: ”Tidaklah
Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari pada perutnya.
Hendaklah Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya. Jika
tidak bisa, maka makanlah sepertiganya untuk makanan, sepertiganya
untuk minuman, dan sepertiganya untuk napasnya.” (HR Tirmidzi).
Meskipun, ghuluw jenis ini tidak sampai mengancam keislaman
seseorang, akan tetapi hal ini tetap dilarang. Akibatnya, bisa
menjerumuskan seseorang kepada kerusakan diri, kesehatan dan
kehidupannya. Seseorang bersikap ghuluw disebabkan karena bebarapa
hal. Bisa dikarenakan kekurangan ilmu dan tidak memahami hakikat
agama. Seseorang yang enggan menikah dengan alasan agar lebih
konsentrasi dalam beribadah, itu disebakan tidak memahami konsep
nikah dan ibadah. Di antara fenomena ghuluw disebabkan tidak
memahami hakikat agama adalah memahami nash agama dengan satu
pandangan yang sempit serta mengesampingkan persoalan yang lebih
besar yang menimpa umat (Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah
bain al-Juhud wa al-Tatharruf). Bisa pula disebabkan oleh fanatisme
buta dan sempitnya wawasan. Oleh sebab itu, Islam itu ajaran yang
komprehensif, maka setiap sesuatu dipandang secara integral dan
berdasarkan ilmu.
Pada hakikatnya, Islam juga melarang orang untuk meremehkan
(tafrīth) ajaran dan perintah agama. Orang meremehkan perintah agama
juga akan jatuh kepada kekeliruan. Ajaran Islam merupakan ajaran yang
lurus, tidak tafrith tidak pula ifrath. Karakter ini menyangkut setiap
aspek, baik keyakinan, ibadah, akhalk, muamalah, dan kehidupan sehari-
hari.
2. Futur
Melemahnya iman seseorang sebenarnya dapat bermula dari model
ibadah yang pertama “Ghuluw”. Dan biasanya hal ini terjadi jika
seseorang memiliki banyak aktivitas, yang dapat menimbulkan sebuag
alasan yang biasa disebut “LELAH”. Namun, jika kita biarkan hal ini
terlalu lama maka akan berakhir dengan ke Fasik-an, na’udzubillah.
Rasulullah SAW juga mengatakan, “iman itu sifatnya naik dan
turun”. Oleh karena itu, perlu suatu cara untuk menghindari hal tersebut.
salah satu caranya adalah tetap berada dalam lingkaran orang-orang
shaleh dan berjama’ah lah. Jangan pernah merasa bangga dengan amal
kita sendiri dan jangan pernah merasa nyaman dengan kesendirian.
3. Istiqamah
Model ibadah seperti inilah yang sangat baik dan tepat. Tidak perlu
tergesa-gesa atau menggebu-gebu. Berjalanlah sesuai dengan kemampuan
masing-masing, karena setiap orang memiliki tingkat kemampuan yang
berbeda, karena islam mengutamakan atau berorientasi pada proses,
bukan hasil. Walau begitu namun tetap diperlukan percepatan dalam
proses perjalanannya.
Ciri-ciri orang yang istiqamah:
a. Tidak suka mengeluh.
b. Tidak berduka atas hilangnya sesuatu, karena meyakini segala sesuatu
di dunia ini fana, dan hanya Allah SWT lah yang memiliki. [7]
DAFTAR PUSTAKA

[1] Ahmad Thib Roya, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam. Jakarta:
Kencana Media, 2003.

[2] Yunasril Ali, Buku Induk Rahasia Dan Makna Ibadah. Jakarta: Zaman, 2011.

[3] Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Mekar Surabaya,
2002.

[4] Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, Syarah Hadits Hukum
Bukhari. Jakarta: Pustaka As-sunnah, 2012.

[5] Misbahus Surur, Dahsyatnya Sholat Tasbih. Jakarta: Qultum Media, 2009.

[6] Dhea Ayu Agasthis Widjaya. (2013, Maret) Konsep Ibadah dalam Islam.
[Online]. http://dheawidjaya.students.uii.ac.id/2013/03/26/konsep-ibadah-
dalam-islam/

[7] Anonymous. (2012, April) Ghuluw, Berlebih-lebihan Dalam Beragama.


[Online]. http://www.alhikmah.ac.id/ghuluw-berlebih-lebihan-dalam-
beragama/

Anda mungkin juga menyukai