Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibadah merupakan unsur mutlak dalam agama. Agama yang intinya adalah
keyakinan tentang adanya zat yang berkuasa di atas alam raya, dan kerinduan
manusia untuk mengagumkan dan berhubungan dengan-Nya, melahirkan berbagai
macam cara pengabdian, pemujaan dan ibadah. Dalam pelaksanaannya pun
mempunyai cara yang berbeda-beda. Misalnya, para penganut kepercayaan
animisme memuja roh yang dipercaya mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
manusia. Meraka yang beragama dinamisme memuja kekuatan yang terdapat pada
benda-benda tertentu yang dianggap kramat, misalnya benda-benda alam seperti
matahari dan bintang-bintang. Sedangkan kaum paganis memuja berhala-berhala
sebagai peragaan dari dewa-dewa gaib, dan lain sebagainya.1
Sejak dilahirkan di dunia, kita telah membawa beberapa kecenderungan
alami yang tidak berubah. Salah satunya ialah mengabdi kepada Yang Maha Kuasa
sekaligus mengagungkan-Nya. Karena itu, perpindahan dari satu bentuk
‘Ubudiyyah ke bentuk ‘Ubudiyyah yang lain dapat dilihat sebagai tindakan
substitutif belaka. Sebab, kenyataannya hampir tidak seorangpun yang bebas
sepenuhnya dari bentuk ekspresi pengagungan bernilai ibadah dan ketundukan. Jika
seseorang tidak melakukan suatu bentuk ibadah tertentu, Ia pasti sedang melakukan
bentuk ibadah yang lain.2
Oleh karena itu, Allah mengajarkan bahwa pentingnya diutus para rasul
untuk memberi petunjuk tentang siapa yang berhak disembah dan bagaimana cara
melakukan penyembahan kepada-Nya. Allah berfirman dalam surat An-Nahl
(16):36 yang berbunyi:
‫ت‬‫تولتقتود بتتعوثنتاَّفنوي غكلل اغطمةة ترغسووللاتنن اوعبغغدواات تواوجتتننغبواالططاَّغغوو ت‬....
Artinya:” Sesungguhnya telah Kami utus seorang rasul pada tiap-tiap umat
(untuk mengajarkan), beribadahlah kamu sekalian kepada Allah, dan hindarilah
penyembahan kepada selain Allah “.

B. Rumusan Masalah

1Sidik Tono, dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998).
Hal. 1-2.
2Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992). Hal. 63 dalam buku Yunasril Ali. Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah,
(Jakarta: Zaman, 2012). Hal. 18.

1
1. Apa pengertian Ibadah ?
2. Apa Hakikat Ibadah ?
3. Apa Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah ?
4. Bagaimana hubungan Ibadah dan Iman ?
5. Apa tujuan Ibadah ?
6. Bagaimana Syarat diterimanya Ibadah ?
7. Apa saja macam-macam Ibadah ditinjau dari berbagai segi ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ibadah

Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama
kita mengenal istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan,

2
kehinaan, dan kerendahan. Karena itu, inti ibadah ialah pengungkapan rasa
kekurangan, kehinaan dan kerendahan diri dalam bentuk pengagungan, penyucian
dan syukur atas segala nikmat. Kata ‘abd diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi abdi, seorang yang mengabdi dengan tunduk dan patuh kepada orang lain.
Dengan demikian, segala bentuk sikap pengabdian dan kepatuhan merupakan
ibadah walaupun tidak dilandasi suatu keyakinan.3

Kata “Ibadah” menurut bahasa berarti “taat, tunduk, merendahkan diri dan
menghambakan diri” (Basyir, 1984:12). Adapun kata “Ibadah” menurut istilah
berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai keridhoan Allah
dan mengharap pahala-Nya di akhirat” (Ash-Shiddiqy, 1954:4).4

Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau penghambaan diri


kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan
manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya
kepada Allah. Jadi, semua tindakan mukmin yang dilandasi oleh niat tulus untuk
mencapai ridha Allah dipandang sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung
dalam firman Allah :

‫ت النجطن تووا ط نلون ت‬


‫س اطللنيتوعبغغدوون‬ ‫تو تماَّتخلتوق غ‬

Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untu mengabdi kepada-Ku, (al-
Dzariyat [51]: 56).5

Dengan demikian, segenap tindakan mukmin yang dilakukan sepanjang hari


dan malam tidak terlepas dari nilai ibadah, termasuk tindakan yang dianggap
sepele, seperti senyum kepada orang lain. Atau bahkan tindakan yang dianggap
kotor atau tabu jika dituturkan kepada orang lain, seperti buang hajat, melakukan
hubungan seks, dan lain-lain. Beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw. tentang
pahala shalat, puasa, dan sedekah. Rasulullah saw. juga bersabda, “Seseorang

3Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992). Hal. 63 dalam buku Yunasril Ali. Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah,
(Jakarta: Zaman, 2012). Hal. 5.
4Sidik Tono, dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998). Hal. 2.
5
Ibid., hal. 6.
Ibid., Hal. 5.

3
muslim yang menanam pohon atau tumbuhan lain, kemudian buahnya dimakan
burung, orang atau binatang ternak, semua itu menjadi sedekah baginya.”6

B. Hakikat Ibadah
Tujuan di ciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah
kepada-Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu
kemampuan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan, hakikat
perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan kewajiban terhadap
Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya.
Hakikat ibadah itu antara lain firman Allah yang berbunyi:

Artinya: “Wahai para manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah
menjadikan kamu dan telah menjadikan orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah (2) ;21).
Adapun hakikat ibadah yaitu :7
1. Ibadah adalah tujuan hidup kita.
2. Melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukkan dan
perendahan diri kepada Allah SWT.
3. Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan
meniggalkan larangan-Nya.
4. Cinta, maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengandung makna
mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun
tanda-tandanya : mengikuti sunnah Rasulullah saw.
5. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang
dicintai Allah).
6. Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk
dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.

Dengan demikian orang-orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah


yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itu tujuan
hidupnya akan terwujud.

C. Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah


6 Ibid., hal. 6.
7

4
Membicarakan ruang lingkup ibadah, tentunya tidak dapat melepaskan diri
dari pemahaman terhadap pengertian ruang lingkup itu sendiri. Oleh sebab itu,
menurut Ibnu Taimiyah (661-726 H/ 1262-1371 M) yang dikemukakan oleh
Ritonga, bahwa ruang lingkup ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan
kepada Allah, baik dalam perkataan maupun batin; termasuk dalam pengertian ini
adalah salat, zakat, haji, benar dalam pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat
baik kepada orang tua, menjalin silahturrahmi, memenuhi janji, amar ma’ruf nahi
munkar, jihad terhadap orang kafir, berbuat baik pada tetangga, anak yatim, fakir
miskin dan ibn sabil, berdo’a, zikir, baca Al-qur’an, rela menerima ketentuan Allah
dan lain sebagainya.8
Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:9
1. Ibadah Umum, artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan
dalam rangka mencari keridhoan Allah. Unsur terpenting agar dalam
melaksanakan segala aktivitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar
bernilai ibadah adalah “niat” yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan
agama dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang
haram.
2. Ibadah Khusus, artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya
ditentukan dalam syara’ (ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad
SAW). ibadah khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal
melaksanakan sesuai dengan peraturan dan yuntutan yang ada, tidak
boleh mengybah, menambah, dan mengurangi, seperti tuntutan bersuci
(wudhu), salat, puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat.
Secara garis besar sistematika ibadah ini sebagaimana dikemukakan
Wahbah Zuhayli, sebagai berikut :10
1. Taharah
2. Shalat
3. Penyelenggaraan jenazah
4. Zakat
5. Puasa
6. Haji dan Umroh
7. I’tikaf
8. Sumpah dan Kaffarah
9. Nazar
10. Qurban dan Aqiqah

8A. Rahman Ritonga, dkk, Fiq Ibadah, (Jakarta: Gay Media Pratama, 1997). Hal.
6
9Sidik Tono, dkk,Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998).
Hal. 7.
10Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu al Islamy waadilatuhu,I, Daar Al-Fikr, 1989. Hal. 11

5
D. Hubungan Ibadah dengan Iman
Ibadah, yang merupakan ekspresi kehinaan dan kerendahan diri di hadapan
Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahaagung, harus dilandasi oleh keimanan dan
keyakinan yang kukuh kepada-Nya. Sejatinya, ketundukan dan kepatuhan manusia
di hadapan Tuhannya dengan melakukan berbagai bentuk ibadah merupakan
manifestasi iman yang bersifat abstrak ke dalam perbuatan yang konkret,
ketundukan dan kepatuhan yang tidak dilandasi keimanan, seperti ketundukan
seseorang kepada pemimpinnya, tidak termasuk ibadah. Begitu pula kekaguman
dan pengabdian seseorang kepada kekasihnya.11 Jadi, iman yang bersifat abstrak
belum sempurna sebelum direalisasikan dalam bentuk amal nyata, yakni ibadah.
Karena itulah Al-Qur’an selalu menggandengkan kata iman dengan amal shaleh,
karena iman tidak sempurna tanpa amal shaleh. Rasulullah saw. sendiri selalu
menegaskan realisasi iman dengan amal shaleh. Misalnya beliau bersabda,
“Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” (HR
Bukhari dan Muslim). Ia juga bersabda, “Tidak (sempurna) iman salah seorang
kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, ibadah merupakan institusi iman.
Karena tidak terlihat, keimanan seseorang tak dapat diukur dan diperkirakan.
Namun, kita dapat melihat realitas imannya dari ibadah yang dilakukannya. Kita
sendiri dapat merasakan, saat iman menurun, ibadah kita pun menurun, begitu pun
sebaliknya.
Iman dan ibadah sering pula saling menguatkan dan saling
menyempurnakan. Ketika seseorang memiliki kesempatan yang luas untuk
beribadah, tetapi keimanannya belum kokoh, ia meningkatkan dan memperkukuh
imannya dengan terus-menerus menambah kualitas dan kuantitas ibadahnya.
Sebaliknya, iman yang semakin mantap pasti akan membuahkan ibadah yang
banyak dan berkualitas. Itulah hubungan timbal-balik antara iman dan ibadah.12
E. Tujuan Ibadah
Ada lima tujuan yang dicapai melalui pelaksanaan ibadah:13
1. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak, seperti ilmu,
kekuasaan, dan kehendak-Nya. Artinya, kesempurnaan sifat-sifat Allah tak

11Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992). Hal. 63
12Ibid., hal. 22.
13Murtadha Muthahhari, Energi Ibadah, (Jakarta: Serambi, 2007). Hal. 16-17.

6
terbatas, tak terikat syarat, dan meniscayakan-Nya tanpa membutuhkan yang
lain.
2. Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, seperti kemungkinan untuk
binasa, terbatas, bodoh, lemah, kikir, semena-mena, dan sifat-sifat tercela
lainnya,
3. Bersyukur kepada Allah sebagai sumber segala kebaikan yang kita dapatkan
berasal dari-Nya, sedangkan segala sesuatu selain kebaikan hanyalah perantara
yang Dia ciptakan.
4. Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara mutlak.
Mengakui bahwa Dialah yang layak ditaati dan dijadikan tempat berserah diri.
Dialah yang yang berhak memerintah dan melarang kita, karena Dialah Tuhan
kita. Kita semua wajib taat dan menyerahkan diri kepada-Nya, sebab kita
adalah hamba-Nya.
5. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah apapun yang kami sebutkan di atas,
dialah satu-satunya yang Mahasempura. Dialah satu-satunya yang Mahasuci
dari segala cela dan kekurangan. Dan dialah satu-satunya pemberi nikmat yang
sebenarnya, serta pencipta segala kenikmatan. Karena itu, segala bentuk syukur
layak dipanjatkan hanya kepada-Nya. Dialah satu-satunya yang layak ditaati
dan dijadikan tempat berserah diri secara tulus. Ketaatan kita kepada Nabi,
imam, pemimpin, agama, ayah, ibu, atau guru harus kita lakukan dalam bingkai
ketaatan kita kepada-Nya. Inilah sikap yang layak bagi seorang hamba di
hadapan Penciptanya Yang Mahaagung. Sikap semacam itu hanya boleh
dilakukan kepada Dia yang betul-betul nyat keagungan dan kebesaran-Nya.
F. Syarat diterimanya Ibadah
Tidak semua tindakan manusia dianggap ibadah kecuali jika memenuhi dua
syarat berikut ini.
Pertama, niat yang ikhlas, suatu perbuatan dinilai ibadah kalau diniatkan sebagai
ibadah. Rasulullah saw. bersabda, “Suatu suatu amal hanya (akan dinilai sebagai ibadah)
sesuai dengan niatnya, dan masing-masing orang akan meraih sesuatu sesuai dengan
niatnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Hussein Ateshin, pakar Islam asal Turki, mengatakan,
“Suatu tindakan dianggap ibadah hanya jika dimulai dengan niat, yakni secara mental kita
harus menyadari bahwa apa yang akan kita lakukan itu demi dan dalam kerangka
kepatuhan serta ketaatan kepada kehendak Allah Yang Mahakuasa.”14
Kedua, tidak bertentangan dengan syariat. Bila bertentangan dengan syariat, suatu
tindakan tidak akan dianggap ibadah meskipun dilandasi dengan niat ibadah, misalnya

14Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban. Hal. 17-18.

7
memperkosa, mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya. Semua itu tidak dianggap
ibadah meskipun hasil dari tindakan itu dipergunakan untuk kebaikan, misalnya
bersedekah dengan harta hasil korupsi. Allah berfirman, Janganlah kamu campurkan yang
hak dengan yang batil ... (al-Baqarah [2]: 42).15
G. Macam-macam Ibadah ditinjau dari berbagai segi
1. Dilihat dari segi umum dan khusus, maka ibadah dibagi dua macam:16
a. Ibadah Khoshoh adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan dalam
nash (dalil/dasar hukum) yang jelas, yaitu sholat, zakat, puasa dan haji.
b. Ibadah Ammah adalah semua perilaku baik yang dilakukan semata-mata
karena Allah SWT seperti bekerja, makan, minum dan tidur sebab semua itu
untuk menjaga kelangsungan hidup dan kesehatan jasmani supaya dapat
mengabdi kepada-Nya.
2. Ditinjau dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, ibadah ada dua
macam:
a. Ibadah wajib (fardhu) seperti sholat dan puasa.
b. Ibadah ijtima’i, seperti zakat dan haji.
3. Dilihat dari cara pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi tiga:
a. Ibadah jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan puasa
b. Ibadah ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
c. Ibadah jasmaniyah, ruhiyah dan amaliyah seperti pergi haji.
4. Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dibagi menjadi:
a. Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu dengan perkataan dan perbuatan,
seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
b. Ibadah yang berupa ucapan, seperti membaca Al-Qur’an, berdo’a dan
berdzikir.
c. Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti
membela diri, menolong orang lain, mengurus jenazah dan jihad.
d. Ibadah yang berupa menahan diri, seperti ihrom, berpuasa dan i’tikaf
(duduk di masjid); dan
e. Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang atau
membebaskan hutang orang lain.

15Ibid., hal. 18.


16

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan.ibadah ialah
pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan dan kerendahan diri dalam bentuk
pengagungan, penyucian dan syukur atas segala nikmat.
2. Hakikat ibadah yaitu agar manusia di muka bumi ini untuk beribadah
kepada-Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan
suatu kemampuan yang besar kepada makhluknya, karena apabila
direnungkan, hakikat perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita
menunaikan kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-
Nya.
3. menurut Ibnu Taimiyah (661-726 H/ 1262-1371 M) yang dikemukakan oleh
Ritonga, bahwa ruang lingkup ibadah mencakup semua bentuk cinta dan
kerelaan kepada Allah, baik dalam perkataan maupun batin.
4. meningkatkan dan memperkukuh imannya dengan terus-menerus
menambah kualitas dan kuantitas ibadahnya. Sebaliknya, iman yang

9
semakin mantap pasti akan membuahkan ibadah yang banyak dan
berkualitas. Itulah hubungan timbal-balik antara iman dan ibadah,
5. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak,
Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, bersyukur kepada
Allah, Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara
mutlak, Dialah satu satunya yang Mahasempura.
6. Niat yang ikhlas, tidak bertentangan dengan syariat.
7. Dilihat dari segi umum dan khusus : ibadah khosoh dan ammah
dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat : ibadah wajib dan
ijma’i
dari cara pelaksanaannya : ibadah jasmaniyah dan ruhiyah, ruhiyah dan
amaliyah, jasmaniyah,ruhiyah dan amaliyah.
dari segi bentuk dan sifatnya : ibadah yang berupa pekerjaan, ucapan,
perbuatan, menggugurkan diri dan ibadah yang sifatnya menggugurkan hak.

B. SARAN

Dalam setiap penulisan makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan


dan memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan saran
yang dapat membangun untuk lebih baik, karena hasil dari setiap pemikiran
saran dari banyak pihak akan berkembang sesuai zaman dan realitas yang
ada.

10
DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman Ritonga, dkk, Fiq Ibadah, (Jakarta: Gay Media Pratama, 1997).

Murtadha Muthahhari, Energi Ibadah, Serambi, 2007,Jakarta.

Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban , Yayasan Wakaf Paramadina, 1992,
Jakarta.

Sidik Tono, dkk,Ibadah dan Akhlak dalam Islam,UII Press, 1998, Yogyakartadi akses pada
27 Agustus 2015.

Tono Sidik, dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, UII Press, 1998, Yogyakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai