Pengertian Ibadah
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan kepatuhan kepada Allah swt
dalam rangka mengabdi kepada-Nya, yang sudah diatur dalam syariat disertai dengan
rasa cinta dan memuliakan-Nya dari segala lainnya.
B. Manfaat Ibadah
Ibadah yang dikerjakan dengan baik dan benar sesuai syariat akan memiliki
manfaat bagi yang mengerjakannya. Adapun manfaat dari ibadah antara lain:
1. Dapat mengokohkan keimanan dalam kehidupan dunia dan akhirat
Sebagaimana Allah sudah berfirman daLam QS. Ibrahim/14:27 yang
artinya: “Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan „ucapan
yang teguh‟ dalam kehidupan di dunia dan akhirat dan Allah menyesatkan orang-
orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”
2. Merasakan manisnya keimanan akibat dari mengerjakan ibadah tersebut.
Sesuai sabda Rasulullah: “Akan merasakan manisnya/kelezatan iman,
orang yang ridha dengan Allah swt sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya
serta Nabi Muhammad sebagai rasulnya.”
3. Mendapat penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta‟ala
4. Sebagai solusi hidup dari setiap masalah karena Allah akan memberikan jalan
keluar (dalam semua masalah) bagi orang-orang yang bertakwa.
5. Terbebas dari segala kesempitan dan kesulitan hidup
C. Fungsi Ibadah
1. Sebagai bentuk realisasi manusia dalam mengabdi kepada Allah.
2. Sebagai bentuk realisasi bagi manusia yang diberi tanggung jawab sebagai
khalifah oleh Allah.
3. Sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas komunikasi vertical dengan
Sang Pencipta.
4. Meningkatkan derajat manusia di mata Allah.
5. Mencegah perbuatan maksiat
Hal ini seperti tergambar dalam ucapan takbir diiringi takbiratul ihram
yang menunjukkan bahwa Allah itu Maha Besar sedangkan manusia itu makhluk
yang lemah dan kecil. Hal ini membuat manusi sadar bahwa tidak baik jika
berperilaku congkak/sombong (arogan).
6. Mengendalikan willing (keinginan)
Hal ini tergambar dari ibadah puasa yang melatih diri untuk
mengendalikan hawa nafsu. Dengan kata lain, puasa melatih manusia untuk
mampu mengoff dan mengonkan kemauan/keinginan serta pemikiran.
D. Tujuan dan Pembagian Ibadah
a. Tujuan Ibadah
2. Ibadah dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah karena telah
menciptakan, memelihara, mengangkat manusia sebagai khilafah di bumi,
serta mengizinkan manusia untuk mengambil manfaat yang disediakan oleh
alam.
5. Ibadah dapat memberikan rasa aman, damai, dan tenang, karena Allah dapat
mengurus setiap urusan pada hambanya.
6. Ibadah dilakukan untuk menghilangkan rasa takabur karena hanya Allah Yang
Maha Besar yang memiliki segala kesempurnaan.
Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa dan logos yang
artinya ilmu pengetahuan. Secara etimologi psikologi merupakan ilmu yang mempelajari
jiwa, baik macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.
Dalam Islam, psikologi dipahami sebagai integritas yang padu dan padan serasi
dan seimbang faktor-faktor kejiwaan manusia dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dirinya, adaptasi dengan manusia lain, komunikasi dengan lingkungan dan alam yang
didasari oleh taqwa.
Materi kata al-ilah dalam bahasa Arab adalah alif, lam, dan ha. Dalam kamus-
kamus bahasa terdapat makna-makna berikut yang dihasilkan dari materi kata tersebut.
1. Alihtu ila fulaanin, yang bermakna ‘saya merasa tenang dengannya dan damai
bersamanya’.
3. Aliha ar-rajulu ila ar-rajuli yang bermakna ‘lelaki itu pergi mendatanginya karena
ia amat merindukannya’.
4. Aliha al-fashil bi-ummihi yang bermakna ‘anak itu merasa amat cinta terhadap
ibunya’.
Menurut Kusnadi (2009) Al-Ilah ialah yang disembah dan yang ditaati, dimana
hati manusia sangat bergantung kepadanya dalam mahabbah (perasaan kasih sayang),
ta’zhim (hal mengagungkan Allah), khudhu ’(ketundukan), khauf (perasaan takut), dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Al-Ilah berarti yang berhak untuk disembah, karena
kebesarannya, keagungannya, dan ketinggian derajatnya. Bisa juga berarti, yang memiliki
kekuatan raksasa, yang akal manusia tidak mampu memahami batas-batasnya. Dalam
bahasa Indonesia, ilah diterjemahkan tuhan. Maka segala sesuatu yang disembah dan
diibadahi disebut tuhan. Lebih lanjut Kusnadi menegaskan bahwa kata ‘Allah ’adalah
identitas bagi Tuhan yang benar. Dia satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah.
2. Syari’at Alam
Allah adalah Zat yang menciptakan alam dan manusia, Zat yang
menjadikan alam dan manusia tunduk kepada hukum-hukum yang telah
ditetapkan. Namun disamping manusia adalah bagian dari alam yang
menjadikannya harus tunduk pada hukum alam, ia juga mempunyai sisi
kehidupan yang berbeda dari alam, karena kelebihan yang dikaruniakan oleh
Allah kepadanya yaitu berupa kehendak dan keinginan. Oleh karena itu, Allah
juga menetapkan sebuah syariat bagi manusia yang akan mengatur kehidupannya
dalam kapasitas sebagai manusia yang mempunyai kelebihan atas unsur alam
yang lain. Dengan tujuan agar kehidupannya sebagai manusia berjalan teratur dan
serasi dengan kehidupan alamiahnya atau dengan kata lain berjalan teratur dan
serasi dengan kehidupan manusia dalam kapasitasnya sebagai salah satu unsur
atau bagian dari alam.
Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa syariat yang diturunkan Allah
tidak lain adalah salah satu bagian dari seluruh hukum Tuhan yang
mengendalikan dan mengatur fitrah alami manusia dan tabiat seluruh alam. Jadi,
semua yang bersumber dari Allah, baik berupa ketetapan, perintah, larangan,
janji, ancaman, peraturan, tuntunan, dan lainnya adalah salah satu bagian dari
bagian hukum alam Tuhan. Oleh karena itu, syariat tersebut juga pasti nyata
kebenarannya seperti benarnya hukum-hukum yang sering kita sebut sebagai
hukum alam (sunnatullah).
Ikrar kalimat syahadat yang terdapat dalam tahiyyat awal dan akhir dalam
shalat ini diucapkan paling sedikit sembilan kali dalam sehari semalam. Kalimat
syahadat yang diucapkan berulang-ulang akan menjadi doktrin yang akan mengisi
serta menghidupkan pikiran dan jiwa (Agustian, 2001). Proses ini merupakan
suatu energi yang tercipta dari hukum kekekalan energi, yang artinya bahwa
energi tidak dapat dihilangkan tetapi hanya dapat dirubah menjadi bentuk energi
lain. Pengulangan yang terus-menerus ini akan berfungsi mengangkat kekuatan
rekaman pikiran bawah sadar sekaligus membangun kesadaran diri, sehingga
tercipta sebuah doktrin yang akan menghasilkan suatu kebiasaan dan pada
akhirnya akan membentuk sebuah karakter (Agustian, 2001).
1. Aspek Psikofisis
Dalam tubuh manusia, terdapat tiga macam otak yang berkembang secara
bertahap. Yaitu Otak Reptil, Otak Mamalia, dan Neo Cortex. Otak reptil bermula
dari batang otak yang terletak di dasar otak dan terhubung ke tulang belakang.
Kebanyakan orang tidak menyadari, bahwa pada dasarnya otak Reptil-lah yang
menjadi bagian penting dari doktrin simbologi, baik itu dalam bentuk simbol
visual atau auditorial. Otak reptil memiliki fungsi untuk merespon segala hal
terhadap apa yang ia dengar dan saksikan, termasuk sebuah simbol, insting
sugestif terhadap simbol, lagu-lagu, serta tampilan visual yang mengandung pesan
simbolisme akan maksimal terserap ketika gelombang otak manusia berada pada
level kondisi alpha dan thetha. Demikian halnya dengan orang yang membaca dan
menghayati syahadatain, baik di dalam shalat atau di luar shalatnya.
Ditinjau dari aspek bahasa (etimologi), shalat berasal dari bahasa arab yang
berarti “do‟a”, seperti tercantum dalam Q.S At-Taubah (9): 103.
)٣٠١ َََه ََ مه ْم َ ص ِِّل َعلَ ْي ِه ْم ِإ َّن
َ َََصالَت َ َو
Artinya : Dan kerjakan sholat untuk mereka, karena shalat (do‟a)mu menjadi
penenang bagi mereka (Jamal Elzaky, 2011: 59).
Dan menurut Ash-Shiddieqy, perkataan shalat dalam bahasa arab berarti : do‟a
memohon kebajikan dan pujian (Sentot Haryanto, 2007: 59).
Secara hakekat, menurut Ash- Shiddieqy shalat berarti berharap hati (jiwa)
kepada Allah dan mendatangkan takut kepadaNya, serta menumbuhkan di dalam jiwa
rasa keagungan, kebesaranNya dan kesempurnaan kekuasaanNya (Sentot Haryanto,
2007: 59).
Ditinjau dari aspek fiqih, menurut Ibnu al-Qodamah, shalat adalah ibadah kepada
Allah yang meliputi ucapan dan tindakan tertentu, yang dibuka dengan takbir dan ditutup
dengan salam (Jamal Elzaky, 2011: 60).
Yaitu: doa untuk mendapatkan kebaikan dan segala yang bermanfaat bagi
orang yang berdo‟a atau do‟a agar terhindar dari masalah, malapetaka dan
penderitaan atau permohonan akan kebutuhan tertentu sesuai dengan situasi yang
dihadapi oleh orang yang berdo‟a.
2. Do‟a sebagai ibadah
Yaitu: permohonan agar diri mendapatkan pahala dengan melakukan amal
soleh, yang meliputi tindakan berdiri, ruku‟, sujud disertai bacaan-bacaan tertentu
(Jamal Elzaky, 2011: 60).
B. Kedudukan Shalat dalam Islam
Dalam ajaran agama Islam, shalat memiliki kedudukan yang amat penting,
bahkan di sisi Allah shalat memiliki kedudukan yang agung dan mulia. Diantara
kedudukan shalat dalam ajaran Islam:
1. Shalat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim/ muslimah
yang sudah baligh dan berakal. Firman Allah Q.S Al-Baqarah (2): 43.
َّ ار َكعمىا َم َع
)٣١ َاَزا ِكعِيه ْ اَزكَاة َ َو َّ ََوأَقِي ممىا ا
َّ صالة َ َوآَتمىا
Artinya: Dari Abdullah Ibnu Umar r.a, bahwa Nabi Saw bersabda: Islam
dibangun atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa
Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, memberikan zakat, berpuasa
romadhon dan berhaji ke baitullah (HR. Muttafaqun Alaih).
Artinya: dari Abu Umamah secara marfu‟, keagungan Islam akan hilang
satu demi satu. Ketika satu keagungan hilang, manusia akan berlindung pada
keagungan berikutnya. Keagungan yang pertama kali hilang adalah hukum dan
keagungan yang terakhir diangkat adalah sholat (HR. Ahmad).
2. Shalat merupakan pembeda antara Muslim dengan Kafir. HR. Ibnu Majah,
Artinya: dari ayah Abd Allah Ibn Buraidah, Nabi Saw bersabda: perjanjian
(amanat yang membedakan) antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang
siapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir (HR. Ibnu Majah).
Shalat merupakan tiang agama. Ini berarti bahwa shalat yang dikerjakan
oleh setiap muslim/muslimah menjadi penanda bahwa ajaran islam itu masih tetap
berdiri dengan kokoh. Sebaliknya jika setiap orang muslim/ muslimah itu tidak
lagi mengerjakan shalat, itu berarti Islam itu sudah runtuh/ punah.
Dalam HR. At-Tarmidzi, nabi bersabda:
Artinya: dari Muaz bin Jabal, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kepala
urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncak keagungannya jihad (HR.
At- Tirmidzi).
Dari hadists ini dapat dipahami, jika tiangnya runtuh karena muslim/
muslimah tidak lagi mengerjakan sholat, maka runtuh pulalah bangunan yang
ditopang oleh tiang itu (Islam menjadi runtuh).
3. Sholat merupakan amal seseorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari
kiamat. Dalam HR. At-Tabrani Nabi bersabda,
Artinya: Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: amal seorang hamba
yang pertama kali dihisab dihari kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya, baik
pula seluruh amalnya. Jika rusak shalatnya, rusak pulalah seluruh amalnya (HR.
At-Tabrani).
4. Sholat merupakan amal yang paling utama, karena sholat merupakan penghubung
(shilah) antara hamba dengan Allah, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
Artinya: Dari Tsauban, Rasulullah bersabda: Ketahuilah bahwa amal
kalian yang paling baik adalah shalat (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
5. Sholat sebagai benteng dan pelindung mausia dari perbuatan keji dan mungkar.
Firman Allah Q.S Al- Ankabut (29): 45.
ِ صالة َ َت َ ْن َهى َع ِه ْاَفَحْ ش
َاء ِ ي إََِيََْ ِمهَ ْاَ َِت َا
َّ َب َوأَقِ ِم ا
َّ َصالة َ إِ َّن ا ِ اَتْ مل َما أ م
َ وح
7. Shalat dapat menjadi penghapus kesalahan. Dalam HR. Al- Bukhari, Nabi
bersabda:
Shalat merupakan tingkah laku yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam. Perilaku yang sekurang-kurangnya dilakukan lima kali dalam sehari itu dilandasi
oleh ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan kepada Allah sebagai Tuhan penguasa alam
semesta.
Bagi orang yang tunduk, patuh dan taat kepada Allah, maka perilaku shalat itu
akan muncul secara spontan ketika adanya stimulus suara azan yang dikumandangkan
atau ketika adanya kesadaran didalam pemikiran bahwa waktu sholat sudah masuk. Jadi
jika dilihat dari teori S= R yang dikemukakan oleh aliran Behaviorisme maka suara azan
menjadi stimulus yang kemudian melahirkan perilaku shalat sebagai responnya.
Sedangkan ditinjau dari teori kognitif, maka adanya kesadaran di dalam otak manusia
bahwa waktu untuk melakukan pengabdian pada Allah sudah tiba, maka seseorang akan
melakukan shalat.
Ditinjau dari dimensi perilaku dalam psikologi, maka perilaku dalam shalat
merupakan kolaborasi dari dimensi afektif, kognitif dan psikomotor/ konatif.
Selain melalui niat, dimensi afektif ini didapatkan ketika shalat itu
dilakukan dengan khusyu‟. Ketika shalat itu dilakukan dengan khusyu‟, maka
orang yang shalat akan melupakan semua hal, karena pemikiran dan perasaannya
hanya tertuju pada Allah.
2. Dimensi kognitif dalam sholat
Dimensi ini berkaitan dengan pengenalan da pemahaman dari bacaan-
bacaan shalat yang dilakukan. Jadi, dimensi ini didapat dari rukun qawliyyah
shalat, seperti: mengucapkan takbir, membaca al-fatihah, tasyahud awal dan akhir
dan salam.
3. Dimensi psikomotorik/ konatif dalam ibadah shalat
Dimensi ini berkaitan dengan gerakan yang dilakukan dalam sholat.
Dimensi ini didapatkan dari rukun Fi‟liyyah shalat, seperti: berdiri, ruku‟, sujud
dan duduk (Abdul Mujib, 2006: 257).
Di dalam sholat terjadi hubungan rohaniah antara manusia dengan Allah
dan melibatkan seluruh dimensi tigkah laku, baik afektif, kognitif, maupun
psikomotor/ konatif. Dengan kondisi itu, maka perilaku dalam ibadah shalat itu
dapat memeliara dan menumbuhkembangkan berbagai potensi psikologis yang
ada dalam diri manusia, diantaranya.
a. Menumbuhkembangkan motivasi dalam diri manusia.
Menurut Kuntjoro (2002), motivasi merupakan fenomena kejiwaan yang
mendorong seseorang untuk bertingkah laku demi mencapai sesuatu yang
diinginkan atau yang dituntut oleh lingkungan (dalam Rafy Safuri, 2009: 220).
Mengacu kepada konsep motivasi tersebut, ternyata perilaku dalam shalat
dapat menumbuhkembangkan motivasi dalam diri individu baik motivasi
instrinsik maupun ekstrinsik.
1) Motivasi instrinsik dalam ibadah shalat
Motivasi instrinsik melalui ibadah shalat tumbuh karena
adanya dorongan dalam diri bahwa shalat iu merupakan suatu
kewajiban seorang hamba pada Allah tanpa dikaitkan dengan
kebutuhan-kebutuhannya (Abdul Mujib, 2006: 258).
Inisiatif melaksanakan shalt didasarkan atas kewajiban
untuk melaksanakan ajaran agama, baik kewajiban itu relevan atau
tidak dengan kebutuhannya. Dorongan yang ada dalam diri yang
melandasi untuk melaksanakan kewajiban hamba pada Allah
dalam bentuk perilaku shalat inilah yang dikategorikan sebagai
motivasi instrinsik.
Dengan motivasi instrinsik ini, maka seseorang akan
melaksanakan shalat tanpa paksaan dan tidak dilandasi oleh
kebutuhan duniawi, tapi ikhlas karena dan untuk Allah.
Jadi, melalui ibadah shalat dapat menumbuhkembangkan
motivasi instrinsik yang ada dalam diri individu.
2) Motivasi Ekstrinsik dalam Ibadah Shalat
Motivasi ekstrinsik dapat tumbuh dan berkembang melalui
sholat karena dibentuk oleh kebutuhan yang dihadapkan atau
diinginkan melalui ibadah shalat yang dilakukan (Abdul Mujib,
2006: 258).
Ada beberapa jenis shalat yang dianjurkan untuk dilakukan
pada saat seseorang memiliki suatu kebutuhan. Dengan demikian
kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan itu menjadi pendorong
seseorang melakukan shalat. Ini berarti kebutuhan-kebutuhan yang
diinginkan itu menjadi motivasi ekstrinsik dari munculnya perilaku
sholat.
Diantara shalat yang dianjurkan untuk dilakukan pada saat
seseorang hamba memiliki kebutuhan:
a) Shalat hajat, shalat yang dilakukan karena didorong agar
keinginannya tercapai.
b) Shalat tahajjud, shalat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk memperoleh kedudukan yang tinggi, baik
di dunia dan akhirat.
c) Shalat istikharoh, shalat yang dilakukan karena didorong
oleh keinginan untuk memilih slah satu yang terbaik dari
dua pilihan.
d) Shalat Taubah, shalat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan pengampunan dari Allah atas
segala dosa yang diperbuat.
e) Shalat Dhuha, shalat yang dilakuka karena didorong oleh
keinginan untuk memperoleh rezeki yang banyak.
f) Shalat istisqa, shalat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan hujan.
g) Shalat tarawih, sholat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan mendapatkan keampunan.
h) Shalat Idain, sholat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk merayakan dua hari raya yang
menyenangkan (Abdul Mujib, 2006: 258)
Ibadah sholat yang dilakukan dengan benar, ikhlas dan khusyuk, daat
membuat jiwa menjadi sehat dan tenang didukung oleh pendapat beberapa
ahli dan hasil penelitian, diantaranya:
1) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Dhiya
Hamid.
Dalam penelitiannya dia menemukan: sujud dalam sholat
dapat mengurangi resiko terserang gangguan kejiwaan yang
diakibatkan oleh kegelisahan, kekhawatiran dan depresi. Gerakan
sujud juga dapat menyembuhkan sakit kepala, gangguan saraf dan
mengurangi risiko kanker.
2) Hasil penelitian para ahli Radiologi.
Dalam penelitiannya mereka menemukan: sujud yang
dilakukan dalam sholat dengan menghadap ka‟bah di kota Makkah
merupakan posisi paling tepat untuk mengosongkan gelombang
elektromagnetik dari dalam tubuh, sehingga seseorang akan
terbebas dari pengaruh buruknya dan merasakan ketenangan serta
kenyamanan.
Catatan: gelombang elektromagnetik merupakan materi
asing yang berbahaya yang dapat menyebabkan berbagai penyakit
seperti: nyeri leher, sakit kepala, radang sendi, kelelahan, dll.
3) Pendapat Dr. Thomas Haysolfe (dari perspektif kedokteran)
Menurutnya: Sholat merupakan media paling efektif yang
dikenal manusia yang dapat menciptakan ketenangan jiwa dan
kenyamanan bagi seluruh anggota tubuh.
4) Pendapat Dr. Alexis Carell (peraih nobel kedokteran)
Menurutnya: sholat dapat melahirkan semangat dan
kekuatan yang besar pada seluruh sistem metabolisme tubuh.
Sholat berfungsi bagaikan sumber gelombang radiasi yang
melahirkan semangat dan kesegaran (Jamal Elzaky, 2011: 165-
166)
Shalat tidak sah dilakukan jika seseorang tidak suci dari hadas dan najis,
karena suci dari hadas dan najis merupakan syarat sahnya shalat. Selain itu,
pakaian dan tempat yang digunakan untuk shalat juga harus bersih dan suci.
Bersih berarti terhindar dari kotoran, sedang suci terhindar dari najis.
Agar musholli suci dari hadas dan najis, maka sebelum melakukan shalat,
terlebih dulu mandi wajib (bagi yang berhadas besar), berwudhu (untuk
mengangkat hadas kecil), beristinjak (untuk membersihkan diri setelah buang air
besar maupun kecil), membersihkan tubuh (jika terkena najis atau kotoran) dan
membasuh pakaian dan peralatan serta tempat yang akan digunakan untuk shalat
agar tehindar dari kotoran (Abdul Mujib, 2006: 266).
4) Menurut Muhdi al- Islam (pelatih sepak bola asal Brasil yang
masuk Islam), dari pengamatan yang saya lakukan, sesungguhnya
gerakan shalat yang dilakukan kaum muslim serupa dengan
gerakan-gerakan olahraga yang sangat bermanfaat bagi kesehatan
tubuh (Jamal Elzaky, 2011: 210).
Berdasarkan ayat tersebut, ibadah shalat disebut pertama kali dalam urutan
aktivitas manusia dan merupakan perilaku pertama kali yang akan dihitung di
akhirat kelak (lihat hadist yang telah dikemukakan sebelumnya) selain itu, shalat
juga merupakan kewajiban pokok yang bersifat individual (Abdul Mujib, 2006:
263)
Shalat tidak sah dilakukan jika tidak dilakukan dengan niat, karena niat
merupakan rukun pertama dalam shalat. Secara etimologi kata niyyah atau an-
niyyah indentik dengan al-qashd, al-azzimah, al-iradah, al-himmah yang berarti
“maksud”, “keinginan”, “kehendak”, “keinginan yang kuat”, dan “menyengaja”
(Moh. Shaleh, 2009: 90). Menurut Yusuf Qardhawi (1998: 33) dengan mengutip
beberapa pendapat ulama, niat berarti kemauan yang kuat, tujuan yang terbetik
dalam hati, tuntutan yang kuat.
Jika ditinjau dari teori tingkah laku yang menganggap bahwa “aktivitas
individu tidak saja bertumpu pada kemampuan, tetapi juga pada kemauan. Dan
aspek kemauan ini dapat dijelaskan dengan niat (Abdul Mujib, 2006: 269). Maka
dapat dipahami, niat merupakan penyebab seseorang beraktivitas, karena niat itu
sendiri merupakan kemauan atau keinginan yang kuat untuk berbuat/ beraktivitas.
Aktivitas shalat dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Takbir
merupakan tingkah laku yang berorientasi teologis dengan mengangkat kedua
tangan sebagai tanda penghormatan. Sementara salam merupakan tingkah laku
yang berorientasi sosiologis dengan melihat ke kanan dan ke kiri pada orang
sekitar (Abdul Mujib, 2006: 270).
Makna yang terkandung dari aktivitas takbir dan salam dalam ibadah
shalat itu adalah perilaku yang berorientasi sosiologis sangat ditentukan oleh
orientasi teologis. Dengan kata lain, orang yang telah bersih dirinya setelah
melakukan kontak person dengan Allah, maka selayaknya dia memberi
kesejahteraan kepada sesama manusia dengan melihat lingkungan sekitarnya.
Aktivitas salam yang dilakukan sebagai penutup dari shalat menginspirasi
mushalli untuk melakukan berbagai aktivitas sosial, peduli pada lingkungan,
saling tolong-menolong, saling memberi nasehat dan mencegah berbagai
kemungkaran yang terjadi di lingkungan. Seperti Firman Allah Q.S Al-Ankabut:
45
(٤٥)
Artinya: ... dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar.
Perilaku salam itu sekurang-kurangnya dilakukan mushalli lama kali
dalam sehari. Jika hal itu dihayati dengan baik, maka melalui rutinitas melakukan
shalat dan membuat mushalli menjadi seorang bersifat sosial dengan menebarkan
kebaikan di lingkungan dimana dia berdo‟a juga membersihkan diri dan
lingkungannya dari berbagai perilaku kemaksiatan dan kemungkaran.
h. Mengembangkan Kepribadian yang Lurus dan Dinamis
Di dalam shalat ada “berdiri, membungkuk (ruku‟), berdiri tegak kembali
(i‟tidal), sujud dan duduk. Aktivitas itu dilakukan secara bergantian dan berulang-
ulang. Secara biogenetik gerakan-gerakan shalat itu memberikan respon kinestetik
yang ritmis, serasi, indah dan sehat (Abdul Mujib, 2006: 271).
Berbagai kegiatan yang bervariasi dalam shalat itu, jika dikaitkan dengan
masalah ketuhanan dan keberagamaan, maka seorang mushalli seharusnya
bersikap tegak, tegas, berprinsip kuat, tidak plin-plan dan tidak tergoda dengan
kepentingan sesaat. Ketegasan ini tergambar dalam gerakan berdiri tegak (qiyam)
dalam shalat. Sementara itu, terhadap masalah kehidupan yang instrumental
seperti masalah muamalah, seorang mushalli harus bersikap luwes, kondisional
dan menjunjung tinggi kepentingan bersama. Keluwesan itu tergambar dalam
gerakan ruku‟, i‟tidal, sujud dan duduk (Abdul Mujib, 2006: 271).
Dengan demikian, berbagai variasi gerakan yang biasa dilakukan dalam
ibadah shalat, jika disadari dan dihayati dengan baik akan mengantarkan mushalli
memiliki kepribadian yang dinamis, luwes dan tidak kaku atau statis.
i. Membiasakan diri Menjaga Kehormatan
Shalat tidak sah dilakukan jika tidak menutup aurat. Aurat berarti
kekurangan, aib, dan cacat. Maka menutup aurat berarti menutup kekurangan atau
aib, sehingga kehormatan tetap terjaga. Sebaliknya jika aurat terbuka maka
kehormatan akan berkurang atau bahkan hilang (Abdul Mujib, 2006: 268).
Dengan melakukan shalat, dimana mushalli wajib menutup auratnya,
maka rutinitas yang terjadi minimal lima kali itu akan melatih individu untuk
membisakan diri menjaga kehormatannya.
j. Melatih dan Membiasakan Kedisiplinan
Dalam Al-qur‟an surat An-Nisa: 103, Allah berfirman:
(١٠٣)
Artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah
diwaktu berdiri, diwaktu duduk, dan diwaktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman.
Berdasarkan ayat di atas, maka shalat itu hanya bisa dilakukan pada
waktu-waktu yang telah ditetapkan. Tidak sah melakukan shalat di luar waktu
yang telah ditetapkan itu. Ini berarti melalui ibadah shalat, seorang mushalli
melatih dirinya untuk membiasakan hidup disiplin taat waktu sekaligus
menghargai waktu itu sendiri.
k. Menumbuhkembangkan Kemampuan Membuat Program dan Melakukan Prioritas
Shalat disyariatkan dengan berbagai variasi, ada shalat wajib dan ada
shalat sunat. Shalat wajib sendiri ada yang harian dan ada yang mingguan, begitu
pula dengan shalat sunat, ada yang harian, ada yang tahunan bahkan ada yang
sekurang-kurangnya dilakukan sekali seumur hidup dan ada pula shalat sunat
yang hanya boleh dilakukan pada malam hari saja.
Adanya pilihan shalat yang wajib dan sunat, memberikan isyarat agar para
mushalli dalam melakukan berbagai aktivitas membuat skala prioritas. Dengan
skala prioritas itu maka akan membinasakan diri untuk menentukan mana
aktivitas yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan dan mana pula aktivitas yang
pelaksanaannya boleh ditunda atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi atau
disesuaikan dengan kemampuan, kesempatan, kepentingan, keuangan dll.
Sementara itu, pilihan shalat harian, mingguan dan tahunan memberikan
isyarat agar para mushalli dalam melaksanakan berbagai aktivitas dalam rangka
mencapai tujuan tertentu membiasakan untuk membuat program kerja, sehingga
jelas mana aktivitas yang menjadi rutinitas harian, mingguan, dan tahunan.
Dengan melaksanakan shalat wajib harian dan mingguan, kemudian
diikuti oleh keputusan untuk mengerjakan shalat sunat atau tidak, secara tidak
langsung melatih mushalli untuk membiasakan diri membuat prioritas dan
membuat program dalam melaksanakan berbagai aktivitas dalam kehidupan.
l. Mengaktualisasikan Kebutuhan untuk Berorganisasi
Walau merupakan kewajiban yang bersifat individual, namun dalam
pelaksanaannya sangat dianjurkan untuk melakukan shalat secara berjamaah.
Dalam hadits dari Abdullah Ibnu Umar, Nabi bersabda,
Artinya: Keutamaan shalat berjamaah itu dua puluh tujuh derajat
dibanding shalat sendirian (HR. Bukhari, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Sholat berjemaah yang dilakukan secara bersama-sama menunjukkan
sikap persatuan, kebersamaan, saling cinta kasih, sling menyapa, toleransi dan
tolong menolong yang pada akhirnya membentuk team building yang kokoh.
Berjemaah membentuk barisan yang kokoh dan lurus, mampu mengontrol
kekurangan satuan-satuan individu yang berada dalam komunitasnya, sebab
kualitas shalat berjemaah tergantung pada kekompakannya, bahkan dalam
berjemaah mampu menembus sekat-sekat birokratis, perbedaan states, golongan,
ras, usia, dll. Dan siapa yang datang lebih dahulu berhak mengambil tempat yang
paling depan.
Dalam shalat berjemaah ada pemimpin atau imam dan ada makmum.
Makmum tunduk pada komando imam dan imam dipilih dari individu yang
memiliki kualitas tertentu (Abdul Mujib, 2006: 276).
Gambaran yang terjadi dalam shalat berjemaah ini selaras dengan
kehidupan dalam suatu organisasi.
Dalam organisasi harus ada saling kerja sama, saling menolong,
mengedepankan sikap persatuan dan kekompakan. Dalam organisasi juga ada
seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis dan semua anggota harus
mentaati pemimpinnya.
Dengan rutin melakukan shalat berjemaah, membiasakan mushalli dalam
situasi kebersamaan di bawah komando seorang pemimpin. Kondisi ini dapat
menjadi pemicu untuk menumbuhkankembangkan kebutuhan untuk berorganisasi
yang ada dalam diri individu yang pada akhirnya akan dapat diaktualisasikan.
A. Pengertian Puasa
Menurut bahasa puasa berarti “menahan diri”. Menurut syara‟ mencegah diri dari
segala sesuatu yang membatalkannya, dari mulai terbit fajar hingga matahari terbenam,
karena perintah Allah semata, serta disertai niat dan syarat-syarat tertentu. Sedangkan arti
shaum menurut istilah syariat adalah menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang
membuat puasa, disertai niat oleh pelakunya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya
matahari. Artinya ,puasa adalah tersingkir dari syahwat perut dan syahwat kemaluan,
serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan
sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yaitu fajar
shadiq) sampai terbenamnya matahari yang dilakukan oleh orang tertentu yang
memenuhi syarat-syarat yaitu beragama islam, berakal, dan tidak sedang dalam haid dan
nifas, disertai niat untuk melakukan keinginan hati untuk melakukan secara pasti tanpa
ada perbuatan kebimbangan , agar ibadah berbeda dari kebiasaan.
Pada ayat 183 surah Al Baqarah, Allah SWT mewajibkan bagi orang-orang yang
beriman kepada-Nya untuk menjalankan puasa Ramadan.
Pada ayat 184 surah Al Baqarah, Allah SWT menjelaskan bagaimana kewajiban
puasa Ramadan ini bisa ditangguhkan bagi orang yang sakit. Namun orang itu diwajibkan
menggantinya di hari lain.
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau
dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang
dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi
barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya,
dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah: 184)
Puasa terdiri dari dua rukun.Dari dua rukun inilah hakikat puasa terwujud. Dua
rukun tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t “maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan ) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang)
malam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 187.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)
2. Niat
Dasar diwajibkannya niat adalah firman Allah SWT dalam surat Al-
Bayyinah ayat 5:
Pada ibadah puasa tertanan nilai kejujuran baik jujur tehadap Allah SWT,
diri sendiri maupun kepada orang lain. Jika sifat jujur telah tertanam pada diri
seseorang, maka dirinya akan merasa tentram, ia tidak akan dihinggapi rasa takut,
salah dan berdosa, karena segala sesuatu jelas dan tidak ada yang disembunyikan.
4. Pembelaan (Sanctify)
Dalam ilmu Kesehatan Mental, terdapat salah satu cara penyesuaian diri
yang tidak sehat, yang disebut pembelaan (sanctify) yaitu orang yang tidak berani
mengakui kepada dirinya bahwa ia telah melanggar nilai-nilai yang dianutnya
sendiri. Jika hal ini sering terjadi maka seseorang akan merasa sakit dan ia merasa
tertipu oleh dirinya sendiri.