Anda di halaman 1dari 43

A.

Pengertian Ibadah

Ibadah menurut bahasa berarti tunduk (al-khudlu), taat/patuh (al-tha’ah),


mengikuti, dan doa. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ibadah adalah amalan yang
diniatkan dalam rangka berbakti kepada Allah yang pelaksanaannya diatur oleh syariat,
dikerjakan dengan taat menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah Allah. Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah mengatakan bahwa ibadah ialah merendahkan diri
(al-dzul) disertai dengan rasa cinta kepada Allah dan memuliakan-Nya dari segala
lainnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan kepatuhan kepada Allah swt
dalam rangka mengabdi kepada-Nya, yang sudah diatur dalam syariat disertai dengan
rasa cinta dan memuliakan-Nya dari segala lainnya.

B. Manfaat Ibadah

Ibadah yang dikerjakan dengan baik dan benar sesuai syariat akan memiliki
manfaat bagi yang mengerjakannya. Adapun manfaat dari ibadah antara lain:
1. Dapat mengokohkan keimanan dalam kehidupan dunia dan akhirat
Sebagaimana Allah sudah berfirman daLam QS. Ibrahim/14:27 yang
artinya: “Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan „ucapan
yang teguh‟ dalam kehidupan di dunia dan akhirat dan Allah menyesatkan orang-
orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”
2. Merasakan manisnya keimanan akibat dari mengerjakan ibadah tersebut.
Sesuai sabda Rasulullah: “Akan merasakan manisnya/kelezatan iman,
orang yang ridha dengan Allah swt sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya
serta Nabi Muhammad sebagai rasulnya.”
3. Mendapat penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta‟ala
4. Sebagai solusi hidup dari setiap masalah karena Allah akan memberikan jalan
keluar (dalam semua masalah) bagi orang-orang yang bertakwa.
5. Terbebas dari segala kesempitan dan kesulitan hidup
C. Fungsi Ibadah
1. Sebagai bentuk realisasi manusia dalam mengabdi kepada Allah.
2. Sebagai bentuk realisasi bagi manusia yang diberi tanggung jawab sebagai
khalifah oleh Allah.
3. Sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas komunikasi vertical dengan
Sang Pencipta.
4. Meningkatkan derajat manusia di mata Allah.
5. Mencegah perbuatan maksiat
Hal ini seperti tergambar dalam ucapan takbir diiringi takbiratul ihram
yang menunjukkan bahwa Allah itu Maha Besar sedangkan manusia itu makhluk
yang lemah dan kecil. Hal ini membuat manusi sadar bahwa tidak baik jika
berperilaku congkak/sombong (arogan).
6. Mengendalikan willing (keinginan)
Hal ini tergambar dari ibadah puasa yang melatih diri untuk
mengendalikan hawa nafsu. Dengan kata lain, puasa melatih manusia untuk
mampu mengoff dan mengonkan kemauan/keinginan serta pemikiran.
D. Tujuan dan Pembagian Ibadah

a. Tujuan Ibadah

Dalam islam, Ibadah memiliki banyak tujuan serta memberikan dampak


positif bagi hambanya, seperti:

1. Dapat menciptakan hubungan harmonis antara makhluk dan Sang


Penciptanya, yaitu Allah SWT.

2. Ibadah dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah karena telah
menciptakan, memelihara, mengangkat manusia sebagai khilafah di bumi,
serta mengizinkan manusia untuk mengambil manfaat yang disediakan oleh
alam.

3. Ibadah dilakukan untuk mengukur sejauh mana kepatuhan para makhluk


ciptaan Allah dalam melaksanakan perintah-Nya.

4. Patuh tidaknya seorang hamba dalam melaksanakan perintah Allah akan


mempengaruhi nasib mereka di dunia maupun di akhirat untuk kehidupan
yang akan datang.

5. Ibadah dapat memberikan rasa aman, damai, dan tenang, karena Allah dapat
mengurus setiap urusan pada hambanya.

6. Ibadah dilakukan untuk menghilangkan rasa takabur karena hanya Allah Yang
Maha Besar yang memiliki segala kesempurnaan.

7. Ibadah dilakukan sebagai bentuk ekspresi bahwa manusia hanya makhluk


yang lemak dan membutuhkan setiap pertolongan dan kekuatan dari Allah
SWT
b. Pembagian ibadah
Secara umum, ibadah dibagi atas dua:
1. Ibadah Mahdah (khusus)
Ibadah mahdah adalah Ibadah yang teknik pelaksanaannya telah
diatur secara rinci oleh Al-Qur‟an dan Hadits seperti shalat, zakat, puasa
dan haji.
Contohnya: Delapan golongan yang boleh menerima zakat, telah
disebutkan Allah SWT dengan jelas pada QS At-Taubah ayat 60 yang
artinya sebagai berikut:
Artinya: “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2. Ibadah Ghairu Mahdah (Umum)
Adalah Ibadah yang teknik pelaksanaannya tidak diatur secara
rinci oleh Al-Qur‟an dah Hadits seperti tolong menolong, dan tidak
mengganggu orang lain. Semuanya diserahkan kepada manusia sendiri.
Islam hanya memberi perintah/anjuran, dan prisnip-prinsip umum saja.
Ibadah dalam arti umum contohnya adalah pada QS Al-Maidah ayat 2
mengenai berbagai macam ibadah yang tidak disebutkan secara rinci yng
artinya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-
syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
E. Pengertian Psikologi dan Hubungannya dengan Ibadah

Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa dan logos yang
artinya ilmu pengetahuan. Secara etimologi psikologi merupakan ilmu yang mempelajari
jiwa, baik macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.

Dalam Islam, psikologi dipahami sebagai integritas yang padu dan padan serasi
dan seimbang faktor-faktor kejiwaan manusia dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dirinya, adaptasi dengan manusia lain, komunikasi dengan lingkungan dan alam yang
didasari oleh taqwa.

Ibadah dilaksanakan sebagai pengaturan pola hidup melalui pelaksanaan shalat,


pengaturan pola makan dan minum melalui puasa, pengaturan pola sosial dan
perekonomian melalui zakat, pengaturan pola integritas umat dan persaudaraan melalui
haji. Berdasarkan uraian tersebut ditunjukkan bahwa aktifitas ibadah manusia telah
menyatukan manusia pada satu tujuan, berupa penghambaan kepada Allah.

Dalam ibadah dapat disimpulkan bahwa konsep Islam memiliki intensitas


kesadaran berfikir. Psikologi ibadah akan membawa manusia pada sikap optimis
memperbaruhi jiwa dan ekspresi. Melalui kegiatan ibadah, seseorang dapat sembuh dari
berbagai krisis dan penyakit biologis, dengan mengembalikan manusia pada adaptasi
dengan diri, prinsip idealis dan toleransi.

F. Ruang Lingkup Psikologi Ibadah

Zakiah Drajat (dalam Jalaluddin, 2002:16), menjelaskan ruang lingkup yang


menjadi lapangan kajian psikologi ibadah, meliputi:

1. Kajian mengenai bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang


ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum). Seperti:

1) Rasa lega dan tentram sehabis sholat

2) Rasa lepas dari ketegangan batin setelah berdo‟a

3) Membaca ayat suci


4) Perasaan tenang atau pasrah/ menyerah setelah berzikir

5) Ingat Allah ketika dalam kesedihan/ kecewa/ musibah


2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap
Tuhannya, seperti rasa tentram dan kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya
hidup sesudah mati pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan
yang berhubungan dengan surga, neraka, dosa, dan pahala yang turut memberi
pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap
ayat-ayat suci.
A. Kandungan Makna Syahadat

Pengertian syahadat menurut kesepakatan ulama Tauhid adalah sumpah atau


persaksian. Syahadat dapat juga diartikan sebagai pengakuan, pembenaran atau
penjelasan (Ash- Shabuni, 1998). Al-Ilah dalam bahasa Arab berarti segala sesuatu yang
disembah atau diibadahi. Jin, iblis, manusia, gunung, laut, hewan, pohon, patung, dan lain
sebagainya bila disembah, diibadahi, diberikan persembahan kepadanya baik dalam
bentuk sesajen; makanan, minuman, ataupun lainnya maka itu semua termasuk ilah
(Kusnadi, 2009).

Materi kata al-ilah dalam bahasa Arab adalah alif, lam, dan ha. Dalam kamus-
kamus bahasa terdapat makna-makna berikut yang dihasilkan dari materi kata tersebut.

1. Alihtu ila fulaanin, yang bermakna ‘saya merasa tenang dengannya dan damai
bersamanya’.

2. Aliha ar-rajulu ya’lihu yang bermakna ‘lelaki itu meminta tolong’.

3. Aliha ar-rajulu ila ar-rajuli yang bermakna ‘lelaki itu pergi mendatanginya karena
ia amat merindukannya’.

4. Aliha al-fashil bi-ummihi yang bermakna ‘anak itu merasa amat cinta terhadap
ibunya’.

5. Aliha ilaahatan wa uluuhatan yang bermakna ‘menyembah’.


Menurut kaidah bahasa Arab, kata-kata yang berasal dari materi bentukan kata
yang sama di antara kata-kata tersebut terdapat keterkaitan. Jika kita mencermati
pengertian kata-kata sebelumnya, kita akan mendapati keterkaitan yang jelas di antara
kata-kata tersebut, “Saya tidak akan meminta tolong kecuali kepada orang yang saya
merasa yakin terhadapnya, yang saya senangi, dan saya anggap lebih kuat dari saya,
sehingga ia dapat menolong saya”. Oleh karena itu, Tuhan selalu menjadi tumpuan,
tempat mencari ketenangan, tempat meminta bantuan, tempat meminta perlindungan,
dicintai, dirindukan, disembah, sementara Dia terhijab dari hamba-Nya. Karenanya,
ketika kita mengucapkan, “Tidak ada tuhan selain Allah,” maka dalam kalimat tersebut
secara implisit terkandung makna-makna tertentu, seakan-akan berkata, tidak ada tempat
mencari ketenangan, tidak ada tempat meminta, tidak ada yang dicintai, dan tidak ada
yang disembah kecuali Allah (Hawwa, 2004).

Menurut Kusnadi (2009) Al-Ilah ialah yang disembah dan yang ditaati, dimana
hati manusia sangat bergantung kepadanya dalam mahabbah (perasaan kasih sayang),
ta’zhim (hal mengagungkan Allah), khudhu ’(ketundukan), khauf (perasaan takut), dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Al-Ilah berarti yang berhak untuk disembah, karena
kebesarannya, keagungannya, dan ketinggian derajatnya. Bisa juga berarti, yang memiliki
kekuatan raksasa, yang akal manusia tidak mampu memahami batas-batasnya. Dalam
bahasa Indonesia, ilah diterjemahkan tuhan. Maka segala sesuatu yang disembah dan
diibadahi disebut tuhan. Lebih lanjut Kusnadi menegaskan bahwa kata ‘Allah ’adalah
identitas bagi Tuhan yang benar. Dia satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah.

B. Implikasi Dua Kalimat Syahadat


1. Syahadat sebagai konsep (manhaj) kehidupan

Asy-Syahid sayyid Quthb dalam bukunya Ma‟alim fith Thariq, dalam


subjudul, “Laa Ilaaha Illallah Adalah Manhaj Kehidupan”, menyatakan bahwa
beribadah hanya kepada Allah semata adalah bagian rukun pertama dalam akidah
Islam yang tercermin dalam syahadat “Laa ilaaha illallah”. Sedangkan menerima
penjelasan dari Rasulullah saw. tentang bagaimana beribadah kepada Allah itu
adalah bagian yang keduanya, yang tercermin dalam syahadat bahwa Muhammad
adalah Rasulullah.
Hati seorang muslim yang mukmin adalah tempat bersemayam dasar
(syahadat) ini dengan dua cabangnya. Karena segala sesuatu setelah keduanya,
berupa unsur-unsur keimanan dan rukun-rukun Islam pada dasarnya adalah
pengejawantahan kedua hal ini. Keimanan terhadap unsur rukun Iman, rukun
Islam, serta aturan dan hukum Islam, semua itu berdiri di atas dasar penyembahan
kepada Allah. Juga referensi semua itu adalah apa yang disampaikan oleh
Rasulullah.

Masyarakat muslim adalah masyarakat yang padanya terwujudkan dasar


tersebut beserta seluruh elemennya. Oleh karenanya, syahadat “tidak ada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah” merupakan dasar bagi konsep
(manhaj) yang sempurna bagi kehidupan umat Islam dengan segala pernak-
perniknya.

2. Syari’at Alam

Allah adalah Zat yang menciptakan alam dan manusia, Zat yang
menjadikan alam dan manusia tunduk kepada hukum-hukum yang telah
ditetapkan. Namun disamping manusia adalah bagian dari alam yang
menjadikannya harus tunduk pada hukum alam, ia juga mempunyai sisi
kehidupan yang berbeda dari alam, karena kelebihan yang dikaruniakan oleh
Allah kepadanya yaitu berupa kehendak dan keinginan. Oleh karena itu, Allah
juga menetapkan sebuah syariat bagi manusia yang akan mengatur kehidupannya
dalam kapasitas sebagai manusia yang mempunyai kelebihan atas unsur alam
yang lain. Dengan tujuan agar kehidupannya sebagai manusia berjalan teratur dan
serasi dengan kehidupan alamiahnya atau dengan kata lain berjalan teratur dan
serasi dengan kehidupan manusia dalam kapasitasnya sebagai salah satu unsur
atau bagian dari alam.

Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa syariat yang diturunkan Allah
tidak lain adalah salah satu bagian dari seluruh hukum Tuhan yang
mengendalikan dan mengatur fitrah alami manusia dan tabiat seluruh alam. Jadi,
semua yang bersumber dari Allah, baik berupa ketetapan, perintah, larangan,
janji, ancaman, peraturan, tuntunan, dan lainnya adalah salah satu bagian dari
bagian hukum alam Tuhan. Oleh karena itu, syariat tersebut juga pasti nyata
kebenarannya seperti benarnya hukum-hukum yang sering kita sebut sebagai
hukum alam (sunnatullah).

3. Kebudayaan dan Peradaban

Ketika kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Islam adalah hanya dimiliki


oleh Allah semata, yang tercerminkan dalam kedaulatan syariat Tuhan, maka
manusia benar-benar terbebaskan dari penghambaan terhadap sesama manusia
atau makhluk. Terciptanya kebebasan manusia dari penghambaan terhadap
sesamanya adalah hakikat peradaban manusia yang tertinggi.

Masyarakat yang terbentuk karena dijaminnya kebebasan. Jika


“kemanusiaan” manusia telah menjadi nilai tertinggi dalam suatu masyarakat dan
ciri-ciri khas kemanusiaan dalam masyarakat itu telah menjadi suatu hal yang
dimuliakan dan diakui, maka masyarakat itu adalah masyarakat yang
berkebudayaan.

4. Kepercayaan Diri Yang Bersumber Dari Iman

Agustian (2001) menyatakan bahwa dua kalimat syahadat berimplikasi


terhadap pembentukan karakter seseorang. Untuk membentuk karakter tidak
cukup dengan hanya mengadakan pelatihan selama seminggu saja, atau dengan
hanya membaca buku. Dibutuhkan suatu pembiasaan yang dilakukan secara
berulang-ulang, konsisten, dan berkesinambungan.

Ikrar kalimat syahadat yang terdapat dalam tahiyyat awal dan akhir dalam
shalat ini diucapkan paling sedikit sembilan kali dalam sehari semalam. Kalimat
syahadat yang diucapkan berulang-ulang akan menjadi doktrin yang akan mengisi
serta menghidupkan pikiran dan jiwa (Agustian, 2001). Proses ini merupakan
suatu energi yang tercipta dari hukum kekekalan energi, yang artinya bahwa
energi tidak dapat dihilangkan tetapi hanya dapat dirubah menjadi bentuk energi
lain. Pengulangan yang terus-menerus ini akan berfungsi mengangkat kekuatan
rekaman pikiran bawah sadar sekaligus membangun kesadaran diri, sehingga
tercipta sebuah doktrin yang akan menghasilkan suatu kebiasaan dan pada
akhirnya akan membentuk sebuah karakter (Agustian, 2001).

Jadi, dua kalimat syahadat memiliki implikasi yang besar dalam


kehidupan. Selain sebagai konsep, syari‟at dan menjadi budaya dalam kehidupan,
dua kalimat syahadat juga berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan
membangun kepercayaan diri. Dua kalimat syahadat yang diucapkan berulang-
ulang dalam tahiyyat awal dan akhir setiap shalat atau di luar shalat, akan
berfungsi sebagai suatu doktrinyang akan menghasilkan kebiasaan dan
membentuk karakter yang kuat.

C. Aspek Psikologis Dalam Dua Kalimat Syahadat

1. Aspek Psikofisis

Dalam tubuh manusia, terdapat tiga macam otak yang berkembang secara
bertahap. Yaitu Otak Reptil, Otak Mamalia, dan Neo Cortex. Otak reptil bermula
dari batang otak yang terletak di dasar otak dan terhubung ke tulang belakang.
Kebanyakan orang tidak menyadari, bahwa pada dasarnya otak Reptil-lah yang
menjadi bagian penting dari doktrin simbologi, baik itu dalam bentuk simbol
visual atau auditorial. Otak reptil memiliki fungsi untuk merespon segala hal
terhadap apa yang ia dengar dan saksikan, termasuk sebuah simbol, insting
sugestif terhadap simbol, lagu-lagu, serta tampilan visual yang mengandung pesan
simbolisme akan maksimal terserap ketika gelombang otak manusia berada pada
level kondisi alpha dan thetha. Demikian halnya dengan orang yang membaca dan
menghayati syahadatain, baik di dalam shalat atau di luar shalatnya.

Kalimat syahadatain memiliki dampak besar bagi psikologis seseorang


yang membacanya, yaitu berupa perasaan tenang karena ia hanya ber”ilah” pada
Tuhan yang satu. Kebahagiaan, kesedihan, senang, kekecewaan, dan juga
kemarahan adalah produk mental yang diproduksi oleh beberapa bagian otak
sekaligus. Respon yang dimunculkannya saat membaca kalimat syahadatain
bergantung pada persepsi yang dihasilkan oleh kerja sama antara sistem memori-
emosi di sistem limbik dan lobus frontalis di kulit otak yang bertugas
mempertimbangkan sikap terbaik. Dalam suatu penelitian lain, talamus, sebuah
stasiun pemancar sinyal otak yang terletak di otak bagian depan juga akan
bereaksi terhadap stimulus.

Jadi, perasaan nyaman dan tenang yang ditimbulkan dari internalisasi


syahadatain ini serta hormon yang bekerja pada proses pembentukannya ini
menghasilkan perasaan positif, sehingga dapat mengarahkan pada pikiran yang
positif, serta perilaku dan tindakan yang positif.
2. Aspek Spiritual
Syahadatain secara tidak langsung dapat berimplikasi terhadap
kepribadian seseorang. Orang yang memiliki kepribadian syahadatain
(menginternalisasikan syahadatain) memiliki sikap yang positif, mereka bebas,
merdeka, dan tidak terbelenggu oleh tuhan-tuhan yang nisbi. Mereka hanya
meyakini Tuhannya sehingga tidak ada keraguan dalam menggapai harapan dan
tujuannya. Syahadatain harusnya menjadikan seseorang memiliki ketenangan,
kedamaian, dan pikiran yang positif, terkadang tidak dapat menghilangkan pikiran
negatif yang mendatangkan kegelisahan, kecemasan, dan ketergantungan kepada
orang batil pada sebagian generasi muslim yang juga mengetahui makna
syahadatain.
Manusia merupakan bagian dari jagad raya yang hidup dan bergelora di
mana realita sejatinya adalah spirit dan ruh. Ketika manusia belajar hidup harmoni
dengan spirit ini dan bisa menangkap ritmenya, maka manusia akan seirama
dengan kekuatan maha dahsyat itu. Hasil akhirnya adalah membawa manusia
semakin mendekati Tuhan. Manusia juga akan semakin sadar bahwa eksistensi
manusia dengan Tuhan tidak hanya diikat oleh dunia fisik tetapi juga dunia
spiritual yang jauh lebih besar. Manusia harus menemukan bahwa dirinya bagian
dari spirit kekal dari Tuhan dengan cara berpikir positif tentang Tuhan dan
eksistensi-Nya. Dengan demikian, manusia akan memahami bahwa Tuhan tidak
akan menginginkan manusia menjadi lemah, kalah atau kecil, tetapi agar manusia
bisa berjalan dengan tegak di dunia dengan spirit pesan dari Tuhan.
A. Pengertian Sholat

Ditinjau dari aspek bahasa (etimologi), shalat berasal dari bahasa arab yang
berarti “do‟a”, seperti tercantum dalam Q.S At-Taubah (9): 103.
)٣٠١ ‫َََه ََ مه ْم‬ َ ‫ص ِِّل َعلَ ْي ِه ْم ِإ َّن‬
َ َََ‫صالَت‬ َ ‫َو‬

Artinya : Dan kerjakan sholat untuk mereka, karena shalat (do‟a)mu menjadi
penenang bagi mereka (Jamal Elzaky, 2011: 59).

Dan menurut Ash-Shiddieqy, perkataan shalat dalam bahasa arab berarti : do‟a
memohon kebajikan dan pujian (Sentot Haryanto, 2007: 59).

Secara hakekat, menurut Ash- Shiddieqy shalat berarti berharap hati (jiwa)
kepada Allah dan mendatangkan takut kepadaNya, serta menumbuhkan di dalam jiwa
rasa keagungan, kebesaranNya dan kesempurnaan kekuasaanNya (Sentot Haryanto,
2007: 59).

Ditinjau dari aspek fiqih, menurut Ibnu al-Qodamah, shalat adalah ibadah kepada
Allah yang meliputi ucapan dan tindakan tertentu, yang dibuka dengan takbir dan ditutup
dengan salam (Jamal Elzaky, 2011: 60).

Shalat disebut ibadah menurut ibnu al Qudamah, karena di dalamnya terkandung


do‟a. Menurut Muhammad Ibnu Husai Ali Syekh, dalam pengertian do‟a, shalat meliputi
dua bentuk do‟a, yaitu :

1. Do‟a sebagai permohonan

Yaitu: doa untuk mendapatkan kebaikan dan segala yang bermanfaat bagi
orang yang berdo‟a atau do‟a agar terhindar dari masalah, malapetaka dan
penderitaan atau permohonan akan kebutuhan tertentu sesuai dengan situasi yang
dihadapi oleh orang yang berdo‟a.
2. Do‟a sebagai ibadah
Yaitu: permohonan agar diri mendapatkan pahala dengan melakukan amal
soleh, yang meliputi tindakan berdiri, ruku‟, sujud disertai bacaan-bacaan tertentu
(Jamal Elzaky, 2011: 60).
B. Kedudukan Shalat dalam Islam

Dalam ajaran agama Islam, shalat memiliki kedudukan yang amat penting,
bahkan di sisi Allah shalat memiliki kedudukan yang agung dan mulia. Diantara
kedudukan shalat dalam ajaran Islam:

1. Shalat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim/ muslimah
yang sudah baligh dan berakal. Firman Allah Q.S Al-Baqarah (2): 43.
َّ ‫ار َكعمىا َم َع‬
)٣١ َ‫اَزا ِكعِيه‬ ْ ‫اَزكَاة َ َو‬ َّ َ‫َوأَقِي ممىا ا‬
َّ ‫صالة َ َوآَتمىا‬

Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah beserta


orang-orang yang ruku‟.

Bahkan menurut Jamal Elzaky (2011, 61), shalat merupakan kewajiban


pertama yang dibebankan atas manusia dan merupakan ibadah yang paling
terakhir diangkat dari dunia. HR. Muttafaqun Alaih menyatakan:

Artinya: Dari Abdullah Ibnu Umar r.a, bahwa Nabi Saw bersabda: Islam
dibangun atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa
Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, memberikan zakat, berpuasa
romadhon dan berhaji ke baitullah (HR. Muttafaqun Alaih).

Dan HR. Ahmad menyatakan:

Artinya: dari Abu Umamah secara marfu‟, keagungan Islam akan hilang
satu demi satu. Ketika satu keagungan hilang, manusia akan berlindung pada
keagungan berikutnya. Keagungan yang pertama kali hilang adalah hukum dan
keagungan yang terakhir diangkat adalah sholat (HR. Ahmad).
2. Shalat merupakan pembeda antara Muslim dengan Kafir. HR. Ibnu Majah,
Artinya: dari ayah Abd Allah Ibn Buraidah, Nabi Saw bersabda: perjanjian
(amanat yang membedakan) antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang
siapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir (HR. Ibnu Majah).
Shalat merupakan tiang agama. Ini berarti bahwa shalat yang dikerjakan
oleh setiap muslim/muslimah menjadi penanda bahwa ajaran islam itu masih tetap
berdiri dengan kokoh. Sebaliknya jika setiap orang muslim/ muslimah itu tidak
lagi mengerjakan shalat, itu berarti Islam itu sudah runtuh/ punah.
Dalam HR. At-Tarmidzi, nabi bersabda:
Artinya: dari Muaz bin Jabal, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kepala
urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncak keagungannya jihad (HR.
At- Tirmidzi).
Dari hadists ini dapat dipahami, jika tiangnya runtuh karena muslim/
muslimah tidak lagi mengerjakan sholat, maka runtuh pulalah bangunan yang
ditopang oleh tiang itu (Islam menjadi runtuh).
3. Sholat merupakan amal seseorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari
kiamat. Dalam HR. At-Tabrani Nabi bersabda,
Artinya: Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: amal seorang hamba
yang pertama kali dihisab dihari kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya, baik
pula seluruh amalnya. Jika rusak shalatnya, rusak pulalah seluruh amalnya (HR.
At-Tabrani).
4. Sholat merupakan amal yang paling utama, karena sholat merupakan penghubung
(shilah) antara hamba dengan Allah, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
Artinya: Dari Tsauban, Rasulullah bersabda: Ketahuilah bahwa amal
kalian yang paling baik adalah shalat (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
5. Sholat sebagai benteng dan pelindung mausia dari perbuatan keji dan mungkar.
Firman Allah Q.S Al- Ankabut (29): 45.
ِ ‫صالة َ َت َ ْن َهى َع ِه ْاَفَحْ ش‬
‫َاء‬ ِ ‫ي إََِيََْ ِمهَ ْاَ َِت َا‬
َّ َ‫ب َوأَقِ ِم ا‬
َّ َ‫صالة َ إِ َّن ا‬ ِ ‫اَتْ مل َما أ م‬
َ ‫وح‬

ْ َ‫َّللام َي ْعلَ مم َما َت‬


)٣٤ َ‫صنَعمىن‬ َّ ‫َو ْاَ مم ْنَ َِز َوََ ِذ ْك مز‬
َّ ‫َّللاِ أ َ ْكبَ مز َو‬

Artinya: sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan


mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar keutamaannya.
6. Shalat menjadi media efektif untuk menyampaikan permohonan/ minta
pertolongan kepada Allah ketika menghadapi persoalan duniawi. Firman Allah
Q.S. Al- Baqarah (2): 153.
)٣٤١ َ‫صا ِب ِزيه‬ َّ ‫صالةِ ِإ َّن‬
َّ َ‫َّللاَ َم َع ا‬ َّ َ‫يَا أَيُّ َها اََّذِيهَ آ َمنمىا ا َْت َ ِعينمىا ِبا‬
َّ َ‫صب ِْز َوا‬
Artinya: Hai orang- orang beriman, minta tolonglah kalian dengan sabar
dan sholat. Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.

7. Shalat dapat menjadi penghapus kesalahan. Dalam HR. Al- Bukhari, Nabi
bersabda:

Artinya: seandainya ada sungai di depan rumah salah seorang diantara


kalian dan ia mandi setidaknya lima kali dalam sehari, bagaimanakah menurut
kalian, apakah masih ada kotoran yang tersisa di tubuhnya, tentu saja tidak ada
sedikitpun, jawab para sahabat. Seperti itulah faedah sholat lima waktu. Allah
menghapus kesalahan seseorang dengan sholatnya (HR. Bukhari dan Muslim).

C. Aspek Psikologis Dalam Ibadah Sholat

Shalat merupakan tingkah laku yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam. Perilaku yang sekurang-kurangnya dilakukan lima kali dalam sehari itu dilandasi
oleh ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan kepada Allah sebagai Tuhan penguasa alam
semesta.

Bagi orang yang tunduk, patuh dan taat kepada Allah, maka perilaku shalat itu
akan muncul secara spontan ketika adanya stimulus suara azan yang dikumandangkan
atau ketika adanya kesadaran didalam pemikiran bahwa waktu sholat sudah masuk. Jadi
jika dilihat dari teori S= R yang dikemukakan oleh aliran Behaviorisme maka suara azan
menjadi stimulus yang kemudian melahirkan perilaku shalat sebagai responnya.
Sedangkan ditinjau dari teori kognitif, maka adanya kesadaran di dalam otak manusia
bahwa waktu untuk melakukan pengabdian pada Allah sudah tiba, maka seseorang akan
melakukan shalat.

Ditinjau dari dimensi perilaku dalam psikologi, maka perilaku dalam shalat
merupakan kolaborasi dari dimensi afektif, kognitif dan psikomotor/ konatif.

1. Dimensi afektif dalam ibadah shalat


Dimensi ini berkaitan dengan perasaan yang khas atau daya emosi yang
kuat pada saat melakukan shalat. Dimensi afektif ini didapatkan pada saat
melakukan rukun qalbiyah shalat yaitu niat. Dengan niat, seseorang yang sholat
dengan perasaan tulus di dalam hati untuk menujukan shalatnya hanya kepada
Allah.

Selain melalui niat, dimensi afektif ini didapatkan ketika shalat itu
dilakukan dengan khusyu‟. Ketika shalat itu dilakukan dengan khusyu‟, maka
orang yang shalat akan melupakan semua hal, karena pemikiran dan perasaannya
hanya tertuju pada Allah.
2. Dimensi kognitif dalam sholat
Dimensi ini berkaitan dengan pengenalan da pemahaman dari bacaan-
bacaan shalat yang dilakukan. Jadi, dimensi ini didapat dari rukun qawliyyah
shalat, seperti: mengucapkan takbir, membaca al-fatihah, tasyahud awal dan akhir
dan salam.
3. Dimensi psikomotorik/ konatif dalam ibadah shalat
Dimensi ini berkaitan dengan gerakan yang dilakukan dalam sholat.
Dimensi ini didapatkan dari rukun Fi‟liyyah shalat, seperti: berdiri, ruku‟, sujud
dan duduk (Abdul Mujib, 2006: 257).
Di dalam sholat terjadi hubungan rohaniah antara manusia dengan Allah
dan melibatkan seluruh dimensi tigkah laku, baik afektif, kognitif, maupun
psikomotor/ konatif. Dengan kondisi itu, maka perilaku dalam ibadah shalat itu
dapat memeliara dan menumbuhkembangkan berbagai potensi psikologis yang
ada dalam diri manusia, diantaranya.
a. Menumbuhkembangkan motivasi dalam diri manusia.
Menurut Kuntjoro (2002), motivasi merupakan fenomena kejiwaan yang
mendorong seseorang untuk bertingkah laku demi mencapai sesuatu yang
diinginkan atau yang dituntut oleh lingkungan (dalam Rafy Safuri, 2009: 220).
Mengacu kepada konsep motivasi tersebut, ternyata perilaku dalam shalat
dapat menumbuhkembangkan motivasi dalam diri individu baik motivasi
instrinsik maupun ekstrinsik.
1) Motivasi instrinsik dalam ibadah shalat
Motivasi instrinsik melalui ibadah shalat tumbuh karena
adanya dorongan dalam diri bahwa shalat iu merupakan suatu
kewajiban seorang hamba pada Allah tanpa dikaitkan dengan
kebutuhan-kebutuhannya (Abdul Mujib, 2006: 258).
Inisiatif melaksanakan shalt didasarkan atas kewajiban
untuk melaksanakan ajaran agama, baik kewajiban itu relevan atau
tidak dengan kebutuhannya. Dorongan yang ada dalam diri yang
melandasi untuk melaksanakan kewajiban hamba pada Allah
dalam bentuk perilaku shalat inilah yang dikategorikan sebagai
motivasi instrinsik.
Dengan motivasi instrinsik ini, maka seseorang akan
melaksanakan shalat tanpa paksaan dan tidak dilandasi oleh
kebutuhan duniawi, tapi ikhlas karena dan untuk Allah.
Jadi, melalui ibadah shalat dapat menumbuhkembangkan
motivasi instrinsik yang ada dalam diri individu.
2) Motivasi Ekstrinsik dalam Ibadah Shalat
Motivasi ekstrinsik dapat tumbuh dan berkembang melalui
sholat karena dibentuk oleh kebutuhan yang dihadapkan atau
diinginkan melalui ibadah shalat yang dilakukan (Abdul Mujib,
2006: 258).
Ada beberapa jenis shalat yang dianjurkan untuk dilakukan
pada saat seseorang memiliki suatu kebutuhan. Dengan demikian
kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan itu menjadi pendorong
seseorang melakukan shalat. Ini berarti kebutuhan-kebutuhan yang
diinginkan itu menjadi motivasi ekstrinsik dari munculnya perilaku
sholat.
Diantara shalat yang dianjurkan untuk dilakukan pada saat
seseorang hamba memiliki kebutuhan:
a) Shalat hajat, shalat yang dilakukan karena didorong agar
keinginannya tercapai.
b) Shalat tahajjud, shalat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk memperoleh kedudukan yang tinggi, baik
di dunia dan akhirat.
c) Shalat istikharoh, shalat yang dilakukan karena didorong
oleh keinginan untuk memilih slah satu yang terbaik dari
dua pilihan.
d) Shalat Taubah, shalat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan pengampunan dari Allah atas
segala dosa yang diperbuat.
e) Shalat Dhuha, shalat yang dilakuka karena didorong oleh
keinginan untuk memperoleh rezeki yang banyak.
f) Shalat istisqa, shalat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan hujan.
g) Shalat tarawih, sholat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan mendapatkan keampunan.
h) Shalat Idain, sholat yang dilakukan karena didorong oleh
keinginan untuk merayakan dua hari raya yang
menyenangkan (Abdul Mujib, 2006: 258)

Jadi, dengan rutin melakukan beberapa shalat sunnah di


atas, dapat melatih seseorang untuk lebih sensitif terhadap berbagai
ransangan yang ada di luar diri untuk mendorong munculnya
tingkah laku.
b. Menciptakan dan memelihara kesehatan serta ketenangan jiwa
Melalui ibadah shalat yang dilakukan secara rutin dan dilakukan dengan
ikhlas dan penuh kekusyukan akan dapat membuat jiwa menjadi sehat dan
tenang. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan:
1) Dengan melakukan ibadah shalat, seorang musholli akan memiliki
kepercayaan diri bahwa ia mampu menghadapi berbagai persoalan
hidup, karena semuanya merupakan kehendak Allah. Dengan
keyakinan bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya berasal
dari Allah akan menimbulkan ketenangan jiwa.
2) Ketika seseorang mendirikan shalat, sebenarnya ia sedang
menyampaikan segala permasalahan, kesulitan dan persoalan
hidup yang dialaminya kepada Allah. Dengan sikap berserah diri
dan mengharapkan pertolongan Allah itu akan membuat jiwa
menjadi sehat dan tenang.
3) Dari dalam shalat, seseorang melakukan berbagai gerakan yang
berbeda-beda. Perubahan gerakan shalat yang konstan itu dapat
menghilangkan kesedihan dan kegelisahan yang memenuhi
dadanya.
4) Bacaan-bacaan Al-Qur‟an yang dibaca dalam sholat jika sesuai
tajwid akan berpengaruh kepada stabilitas fungsi pernafasan.
Sistem pernafasan yang baik dan lancar akan mengurangi tingkat
keresaha, kegelisahan, dan stres. Selain itu, gerakan bibir ketika
membaca ayat-ayat Qur‟an dalam sholat juga dapat mengurangi
perasaan sedih dan marah.
5) Sholat wajib dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Waktu dimana
sholat diwajibkan itu adalah waktu dimana tubuh benar-benar
membutuhkan istirahat dari berbagai aktivitas dunia yang
melelahkan. Dengan melakukan sholat secara berulang-ulang pada
saat dimana tubuh sedang membutuhkan istirahat akan dapat
memuuskan siklus stres, gelisah dan berbagai bentuk tekanan jiwa
lainnya (Jamal Elzaky, 2011: 163-167)
6) Ditinjau dari terapi kejiwaan, dalam proses penyembuhan klien,
biasanya terjadi dialog antara klien dengan terapis. Klien akan
mengungkapkan perasaannya, keluhannya dan permasalahannya,
sementara terapis mendengarkan, memahami, memperhatikan serta
menerimanya. Dengan cara demikian, klien akan merasa lega
karena perasaan, keluhan, dan permasalahannya didengar,
dipahami, diperhatikan dan diterima oleh terapis. Dalam sholat
semua perasaan, keluhan dan permasalahan itu diungkapkan
kepada Allah. Dengan pertemuan sekurang-kurangnya lima kali
dalam sehari semalam, seorang mushalli akan tenang jiwanya
karena tidak ada lagi perasaan yang dapat mengguncangkan
jiwanya.
7) Penghayatan terhadap makna do‟a dalam setiap bacaan sholat yang
berisi pengagungan terhadap Allah, permohonan ampunan atas
segala dosa dan permohonan rahmat serta kebaikan akan
membentuk jiwa yang suci dan tenang (A.F. Jaelani, 2001: 101).

Ibadah sholat yang dilakukan dengan benar, ikhlas dan khusyuk, daat
membuat jiwa menjadi sehat dan tenang didukung oleh pendapat beberapa
ahli dan hasil penelitian, diantaranya:
1) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Dhiya
Hamid.
Dalam penelitiannya dia menemukan: sujud dalam sholat
dapat mengurangi resiko terserang gangguan kejiwaan yang
diakibatkan oleh kegelisahan, kekhawatiran dan depresi. Gerakan
sujud juga dapat menyembuhkan sakit kepala, gangguan saraf dan
mengurangi risiko kanker.
2) Hasil penelitian para ahli Radiologi.
Dalam penelitiannya mereka menemukan: sujud yang
dilakukan dalam sholat dengan menghadap ka‟bah di kota Makkah
merupakan posisi paling tepat untuk mengosongkan gelombang
elektromagnetik dari dalam tubuh, sehingga seseorang akan
terbebas dari pengaruh buruknya dan merasakan ketenangan serta
kenyamanan.
Catatan: gelombang elektromagnetik merupakan materi
asing yang berbahaya yang dapat menyebabkan berbagai penyakit
seperti: nyeri leher, sakit kepala, radang sendi, kelelahan, dll.
3) Pendapat Dr. Thomas Haysolfe (dari perspektif kedokteran)
Menurutnya: Sholat merupakan media paling efektif yang
dikenal manusia yang dapat menciptakan ketenangan jiwa dan
kenyamanan bagi seluruh anggota tubuh.
4) Pendapat Dr. Alexis Carell (peraih nobel kedokteran)
Menurutnya: sholat dapat melahirkan semangat dan
kekuatan yang besar pada seluruh sistem metabolisme tubuh.
Sholat berfungsi bagaikan sumber gelombang radiasi yang
melahirkan semangat dan kesegaran (Jamal Elzaky, 2011: 165-
166)

c. Meningkatkan kemampuan berpikir dan berkonsentrasi

Kemampuan berfikir dan berkonsentrasi dapat ditingkatkan melalui sholat,


karena:

1) Dalam melakukan ibadah sholat, Al-Qur‟an menyebutkan agar


dilakukan dengan khusyuk, seperti firman Allah dalam surat Al-
Baqarah: 45.
(٤٥)
Artinya: Dan minta tolonglah dengan sabar dan sholat,
karena sesungguhnya sholat itu sangat berat kecuali bagi orang-
orang yang khusyuk.
Menurut Jamal Elzaky (2011: 191), khusyuk merupakan
ibadah yang paling penting dan paling sulit, karena membutuhkan
konsentrasi yang sangat besar. Karena itulah kata khusyuk
menunjukkan tingkatan meditasi yang paling tinggi yang disertai
pemikiran yang mendalam.
Dengan demikian, karena dalam sholat ada aspek
kekhusyukan dan untuk mencapai kekhusyukan itu diperlukan
konsentrasi, maka dengan melakukan sholat yang diulang-ulang
minimal lima kali akan dapat meningkatkan kemampuan
konsentrasi musholli.
2) Shalat memiliki kemiripan dengan meditasi. Dalam kondisi shalat
yang khusyuk, seorang musholli hanya akan mengingat Allah dan
tidak mengingat yang lainnya. Pemusatan pemikiran juga terjadi
dalam meditasi. Kondisi seperti inilah yang menurut Djamaludin
Ancok bahwa shalat memiliki kemiripan dengan meditasi (Sentot
Haryanto, 2007: 82).
Para peneliti dari Harvard University menemukan bahwa
volume otak orag yang terbiasa berfikir dan bermeditasi lebih
besar dibanding orang yang jarang menggunakan otaknya untuk
berfikir dan bermeditasi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa meditasi dapat menambah kualitas dan volume otak
sehingga seseorang bisa lebih kreatif, inovatif, sehat dan bahagia.
Selain itu, para peneliti itu juga menemukan bahwa
beberapa bagian korteks serebral mengalami penambahan kaliper
jika secara melakukan meditasi atau mencapai kekhusyukan dalam
ibadah. Sementara itu, disisi lain sel-sel saraf pada bagian korteks
serebral berkurang dan kinerjanya menurun seiring penambahan
usia. Jadi bisa dikatakan, kekhusyukan shalat akan memperlambat
penuaan dan menjauhkan dari kepikunan (Jamal Elzaky, 2011:
193).
Sementara itu, dalam sebuah penelitian yang menggunakan
metode fungtional magnetic resonance imaging (FMRI)
menemukan, orang yang sering bermeditasi (sama seperti orang
yang mencapai kekhusyukan dalam sholat) memiliki kemampuan
yang lebih besar untuk mengambil keputusan ketika menghadapi
berbagai persoalan, termasuk masalah emosi (Jamal Elzaky, 2011:
194).
Dengan demikian, kekhusyukan dalam sholat yang
dilakukan minimal lima kali dalam satu hari akan dapat membantu
meningkat konsentrasi dan dapat meningkatkan kesehatan dan
fungsi otak, sehingga meningkatkan kemampuan berfikir serta
menjauhkan dari kepikunan.
3) Di dalam shalat terjadi proses yang mirip dengan relaksasi
kesadaran indra. Dalam relaksasi kesadaran indra, seseorang
biasanya diminta untuk membayangkan tempat-tempat yang
mengenakkan. Kemampuan membayangkan itu tidak akan terjadi
jika seseorang tidak bisa memusatkan pemikirannya (konsentrasi).
Dalam sholat, seseorang musholli tidak membayagkan
tempat-tempat yang menyenangkan, tetapi seolah-olah terbang ke
atas menghadap Allah secara langsung tanpa ada perantara. Setiap
bacaan dan gerakan senantiasa dihayati dan dimengerti dan
ingatannya sentiasa kepada Allah. Seperti inilah manusia
diperintahkan dalam melakukan sholat, seperti dikemukakan dalam
firman Allah surat Thoha: 14.
(١٤)
Artinya : sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk
mengingat Aku (Sentot Haryanto, 2007:78)
Dengan demikian, dengan sering melakukan shalat dimana
di dalamnya terjadi relaksasi kesadaran indra yang memicu
terjadinya pemusatan pemikiran maka kondisi itu dapat
meningkatkan kemampuan konsentrasi.
d. Membiasakan berperilaku hidup bersih dan sehat

Shalat tidak sah dilakukan jika seseorang tidak suci dari hadas dan najis,
karena suci dari hadas dan najis merupakan syarat sahnya shalat. Selain itu,
pakaian dan tempat yang digunakan untuk shalat juga harus bersih dan suci.
Bersih berarti terhindar dari kotoran, sedang suci terhindar dari najis.

Agar musholli suci dari hadas dan najis, maka sebelum melakukan shalat,
terlebih dulu mandi wajib (bagi yang berhadas besar), berwudhu (untuk
mengangkat hadas kecil), beristinjak (untuk membersihkan diri setelah buang air
besar maupun kecil), membersihkan tubuh (jika terkena najis atau kotoran) dan
membasuh pakaian dan peralatan serta tempat yang akan digunakan untuk shalat
agar tehindar dari kotoran (Abdul Mujib, 2006: 266).

Perilaku mensucikan diri dan membersihkan pakaian/ tempat shalat itu


dilakukan sekurang-kurangnya lima kali dalam satu hari. Dengan kegiatan
tersebut, maka secara otomatis seseorang yang melakukan ibadah shalat berarti ia
telah terbiasa untuk berperilaku hidup sehat.

Selain dapat membiasakan berperilaku hidup sehat, aktivitas shalat yang


dilakukan itu ternyata dapat membuat tubuh menjadi sehat karena gerakan yang
dilakukan dalam shalat mengandung unsur olahraga. Hal ini sesuai dengan
pendapat beberapa tokoh, diantaranya:

1) Menurut Vonschreber, gerakan-gerakan shalat merupakan cara


untuk memperoleh kesehatan dalam arti dan pengertian yang luas
sekali, mencakup gerakan dengan tujuan untuk mempertinggi daya
prestasi tubuh, menjadi lincah, menambah kekuatan serta daya
tahan (Sentot Haryanto, 2007: 75).
2) Menurut Mainuddin, dalam satu hari paling sedikit seseorang
musholli melaksanakan tujuh blas rokaat yang terdiri dari 19 posisi
yang terpisah pada setiap rokaatnya. Dan dalam satu hari ada 19
postur. Siapapun yang melaksanakan akan terlindung dan tercegah
dari sekumpulan penyakit ringan dan berat, seperti: serangan
jantung, empisema (bengek pada rongga paru-paru), radang sendi,
problem kandung kemih, ginjal dan usus besar, infeksi virus dan
bakteri, penyakit mata, hilang ingatan dan pikun, penyakit pegal
pada pinggang dan tulang belakang (Sentot Haryanto, 2007: 73)

3) Menurut sebagian dokter, shalat dengan seluruh gerakannya seperti


ruku‟ dan sujud akan menguatkan otot punggung, melenturkan
ruas tulang belakang, khususnya ketika seseorang bangun untuk
mendirikan shalat di pagi hari. Selain itu, gerakan dalam shalat
akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan
penyakit yang diakibatkan oleh lemahnya jaringan otot pada tulang
belakang dan jaringan otot lainnya (Jamal Elzaky, 2011: 210).

4) Menurut Muhdi al- Islam (pelatih sepak bola asal Brasil yang
masuk Islam), dari pengamatan yang saya lakukan, sesungguhnya
gerakan shalat yang dilakukan kaum muslim serupa dengan
gerakan-gerakan olahraga yang sangat bermanfaat bagi kesehatan
tubuh (Jamal Elzaky, 2011: 210).

e. Menumbuhkembangkan dan melatih sikap tanggung jawab

Dalam al qur‟an surat al-an‟am:162, Allah berfirman:


(١٦٢)
artinya: Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.

Berdasarkan ayat tersebut, ibadah shalat disebut pertama kali dalam urutan
aktivitas manusia dan merupakan perilaku pertama kali yang akan dihitung di
akhirat kelak (lihat hadist yang telah dikemukakan sebelumnya) selain itu, shalat
juga merupakan kewajiban pokok yang bersifat individual (Abdul Mujib, 2006:
263)

Sebagai aktivitas yang menempati urutan pertama dan merupakan


kewajiban yang bersifat individual, maka dengan mengerjakan shalat akan
mencerminkan bahwa mushalli bedalah orang yang memiliki sikap tanggung
jawab, karena bersedia mengerjakan apa yang ditugaskan kepadanya. Sebaliknya
jika terhadap kewajiban yang menempati urutan pertama dan pokok ini seseorang
tidak menjadikannya, maka sulit untuk dipastikan orang itu akan bertanggung
jawab untuk melaksanakan tugas-tugas yang lainnya.

Dengan demikian, melalui konstitusi seseorang mushalli dalam


mengerjakan shalat dapat menjadi indikasi untuk melihat dedikasi, sikap tanggung
jawab dan komitmennya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diamanatkan dalam
berbagai aktivitas kehidupan. Jadi, shalat yang dikerjakan secara rutin dan
berulang-ulang akan dapat mengembang suburkan dan melatih sikap tanggung
jawab dalam diri seorang mushalli.

f. Memperkuat kemauan atau keinginan

Shalat tidak sah dilakukan jika tidak dilakukan dengan niat, karena niat
merupakan rukun pertama dalam shalat. Secara etimologi kata niyyah atau an-
niyyah indentik dengan al-qashd, al-azzimah, al-iradah, al-himmah yang berarti
“maksud”, “keinginan”, “kehendak”, “keinginan yang kuat”, dan “menyengaja”
(Moh. Shaleh, 2009: 90). Menurut Yusuf Qardhawi (1998: 33) dengan mengutip
beberapa pendapat ulama, niat berarti kemauan yang kuat, tujuan yang terbetik
dalam hati, tuntutan yang kuat.
Jika ditinjau dari teori tingkah laku yang menganggap bahwa “aktivitas
individu tidak saja bertumpu pada kemampuan, tetapi juga pada kemauan. Dan
aspek kemauan ini dapat dijelaskan dengan niat (Abdul Mujib, 2006: 269). Maka
dapat dipahami, niat merupakan penyebab seseorang beraktivitas, karena niat itu
sendiri merupakan kemauan atau keinginan yang kuat untuk berbuat/ beraktivitas.

Dengan rutin melakukan shalat, seorang mushalli akan membiasakan


melakukan niat. Kebiasaan, rutinitas melakukan niat itu akan memperkuat
kemauan atau keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat
mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam diri.

Niat sebagai penggerak tingkah laku sesuai dengan pendapat Al-Ghazali


yang mengatakan “semua perilaku manusia bermula dari al-khatir (sesuatu yang
menggerakkan hati manusia) dan al-khatir menggerakkan kecintaan, dan
kecintaan menggerakkan keinginan yang kuat, dan keinginan yang kuat
menggerakkan niat, dan niat menggerakkan anggota tubuh (Al-Ghozali, tt: 25).

g. Menumbuhkan sikap sosial

Aktivitas shalat dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Takbir
merupakan tingkah laku yang berorientasi teologis dengan mengangkat kedua
tangan sebagai tanda penghormatan. Sementara salam merupakan tingkah laku
yang berorientasi sosiologis dengan melihat ke kanan dan ke kiri pada orang
sekitar (Abdul Mujib, 2006: 270).

Makna yang terkandung dari aktivitas takbir dan salam dalam ibadah
shalat itu adalah perilaku yang berorientasi sosiologis sangat ditentukan oleh
orientasi teologis. Dengan kata lain, orang yang telah bersih dirinya setelah
melakukan kontak person dengan Allah, maka selayaknya dia memberi
kesejahteraan kepada sesama manusia dengan melihat lingkungan sekitarnya.
Aktivitas salam yang dilakukan sebagai penutup dari shalat menginspirasi
mushalli untuk melakukan berbagai aktivitas sosial, peduli pada lingkungan,
saling tolong-menolong, saling memberi nasehat dan mencegah berbagai
kemungkaran yang terjadi di lingkungan. Seperti Firman Allah Q.S Al-Ankabut:
45
(٤٥)
Artinya: ... dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar.
Perilaku salam itu sekurang-kurangnya dilakukan mushalli lama kali
dalam sehari. Jika hal itu dihayati dengan baik, maka melalui rutinitas melakukan
shalat dan membuat mushalli menjadi seorang bersifat sosial dengan menebarkan
kebaikan di lingkungan dimana dia berdo‟a juga membersihkan diri dan
lingkungannya dari berbagai perilaku kemaksiatan dan kemungkaran.
h. Mengembangkan Kepribadian yang Lurus dan Dinamis
Di dalam shalat ada “berdiri, membungkuk (ruku‟), berdiri tegak kembali
(i‟tidal), sujud dan duduk. Aktivitas itu dilakukan secara bergantian dan berulang-
ulang. Secara biogenetik gerakan-gerakan shalat itu memberikan respon kinestetik
yang ritmis, serasi, indah dan sehat (Abdul Mujib, 2006: 271).
Berbagai kegiatan yang bervariasi dalam shalat itu, jika dikaitkan dengan
masalah ketuhanan dan keberagamaan, maka seorang mushalli seharusnya
bersikap tegak, tegas, berprinsip kuat, tidak plin-plan dan tidak tergoda dengan
kepentingan sesaat. Ketegasan ini tergambar dalam gerakan berdiri tegak (qiyam)
dalam shalat. Sementara itu, terhadap masalah kehidupan yang instrumental
seperti masalah muamalah, seorang mushalli harus bersikap luwes, kondisional
dan menjunjung tinggi kepentingan bersama. Keluwesan itu tergambar dalam
gerakan ruku‟, i‟tidal, sujud dan duduk (Abdul Mujib, 2006: 271).
Dengan demikian, berbagai variasi gerakan yang biasa dilakukan dalam
ibadah shalat, jika disadari dan dihayati dengan baik akan mengantarkan mushalli
memiliki kepribadian yang dinamis, luwes dan tidak kaku atau statis.
i. Membiasakan diri Menjaga Kehormatan
Shalat tidak sah dilakukan jika tidak menutup aurat. Aurat berarti
kekurangan, aib, dan cacat. Maka menutup aurat berarti menutup kekurangan atau
aib, sehingga kehormatan tetap terjaga. Sebaliknya jika aurat terbuka maka
kehormatan akan berkurang atau bahkan hilang (Abdul Mujib, 2006: 268).
Dengan melakukan shalat, dimana mushalli wajib menutup auratnya,
maka rutinitas yang terjadi minimal lima kali itu akan melatih individu untuk
membisakan diri menjaga kehormatannya.
j. Melatih dan Membiasakan Kedisiplinan
Dalam Al-qur‟an surat An-Nisa: 103, Allah berfirman:

(١٠٣)
Artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah
diwaktu berdiri, diwaktu duduk, dan diwaktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman.
Berdasarkan ayat di atas, maka shalat itu hanya bisa dilakukan pada
waktu-waktu yang telah ditetapkan. Tidak sah melakukan shalat di luar waktu
yang telah ditetapkan itu. Ini berarti melalui ibadah shalat, seorang mushalli
melatih dirinya untuk membiasakan hidup disiplin taat waktu sekaligus
menghargai waktu itu sendiri.
k. Menumbuhkembangkan Kemampuan Membuat Program dan Melakukan Prioritas
Shalat disyariatkan dengan berbagai variasi, ada shalat wajib dan ada
shalat sunat. Shalat wajib sendiri ada yang harian dan ada yang mingguan, begitu
pula dengan shalat sunat, ada yang harian, ada yang tahunan bahkan ada yang
sekurang-kurangnya dilakukan sekali seumur hidup dan ada pula shalat sunat
yang hanya boleh dilakukan pada malam hari saja.
Adanya pilihan shalat yang wajib dan sunat, memberikan isyarat agar para
mushalli dalam melakukan berbagai aktivitas membuat skala prioritas. Dengan
skala prioritas itu maka akan membinasakan diri untuk menentukan mana
aktivitas yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan dan mana pula aktivitas yang
pelaksanaannya boleh ditunda atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi atau
disesuaikan dengan kemampuan, kesempatan, kepentingan, keuangan dll.
Sementara itu, pilihan shalat harian, mingguan dan tahunan memberikan
isyarat agar para mushalli dalam melaksanakan berbagai aktivitas dalam rangka
mencapai tujuan tertentu membiasakan untuk membuat program kerja, sehingga
jelas mana aktivitas yang menjadi rutinitas harian, mingguan, dan tahunan.
Dengan melaksanakan shalat wajib harian dan mingguan, kemudian
diikuti oleh keputusan untuk mengerjakan shalat sunat atau tidak, secara tidak
langsung melatih mushalli untuk membiasakan diri membuat prioritas dan
membuat program dalam melaksanakan berbagai aktivitas dalam kehidupan.
l. Mengaktualisasikan Kebutuhan untuk Berorganisasi
Walau merupakan kewajiban yang bersifat individual, namun dalam
pelaksanaannya sangat dianjurkan untuk melakukan shalat secara berjamaah.
Dalam hadits dari Abdullah Ibnu Umar, Nabi bersabda,
Artinya: Keutamaan shalat berjamaah itu dua puluh tujuh derajat
dibanding shalat sendirian (HR. Bukhari, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Sholat berjemaah yang dilakukan secara bersama-sama menunjukkan
sikap persatuan, kebersamaan, saling cinta kasih, sling menyapa, toleransi dan
tolong menolong yang pada akhirnya membentuk team building yang kokoh.
Berjemaah membentuk barisan yang kokoh dan lurus, mampu mengontrol
kekurangan satuan-satuan individu yang berada dalam komunitasnya, sebab
kualitas shalat berjemaah tergantung pada kekompakannya, bahkan dalam
berjemaah mampu menembus sekat-sekat birokratis, perbedaan states, golongan,
ras, usia, dll. Dan siapa yang datang lebih dahulu berhak mengambil tempat yang
paling depan.
Dalam shalat berjemaah ada pemimpin atau imam dan ada makmum.
Makmum tunduk pada komando imam dan imam dipilih dari individu yang
memiliki kualitas tertentu (Abdul Mujib, 2006: 276).
Gambaran yang terjadi dalam shalat berjemaah ini selaras dengan
kehidupan dalam suatu organisasi.
Dalam organisasi harus ada saling kerja sama, saling menolong,
mengedepankan sikap persatuan dan kekompakan. Dalam organisasi juga ada
seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis dan semua anggota harus
mentaati pemimpinnya.
Dengan rutin melakukan shalat berjemaah, membiasakan mushalli dalam
situasi kebersamaan di bawah komando seorang pemimpin. Kondisi ini dapat
menjadi pemicu untuk menumbuhkankembangkan kebutuhan untuk berorganisasi
yang ada dalam diri individu yang pada akhirnya akan dapat diaktualisasikan.
A. Pengertian Puasa
Menurut bahasa puasa berarti “menahan diri”. Menurut syara‟ mencegah diri dari
segala sesuatu yang membatalkannya, dari mulai terbit fajar hingga matahari terbenam,
karena perintah Allah semata, serta disertai niat dan syarat-syarat tertentu. Sedangkan arti
shaum menurut istilah syariat adalah menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang
membuat puasa, disertai niat oleh pelakunya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya
matahari. Artinya ,puasa adalah tersingkir dari syahwat perut dan syahwat kemaluan,
serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan
sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yaitu fajar
shadiq) sampai terbenamnya matahari yang dilakukan oleh orang tertentu yang
memenuhi syarat-syarat yaitu beragama islam, berakal, dan tidak sedang dalam haid dan
nifas, disertai niat untuk melakukan keinginan hati untuk melakukan secara pasti tanpa
ada perbuatan kebimbangan , agar ibadah berbeda dari kebiasaan.
Pada ayat 183 surah Al Baqarah, Allah SWT mewajibkan bagi orang-orang yang
beriman kepada-Nya untuk menjalankan puasa Ramadan.

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al Baqarah:
183)

Pada ayat 184 surah Al Baqarah, Allah SWT menjelaskan bagaimana kewajiban
puasa Ramadan ini bisa ditangguhkan bagi orang yang sakit. Namun orang itu diwajibkan
menggantinya di hari lain.

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau
dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang
dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi
barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya,
dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah: 184)

B. Rukun dan Syarat Puasa

Puasa terdiri dari dua rukun.Dari dua rukun inilah hakikat puasa terwujud. Dua
rukun tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t “maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan ) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang)
malam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 187.

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)
2. Niat

Dasar diwajibkannya niat adalah firman Allah SWT dalam surat Al-
Bayyinah ayat 5:

“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah


Allah Dengan mengikhlaskan Ibadah kepada-Nya, lagi tetap teguh di atas tauhid;
dan supaya mereka mendirikan sembahyang serta memberi zakat. dan Yang
demikian itulah agama Yang benar.” (Al-Bayyinah:5).

C. Hal-hal yang Membatalkan Puasa


Adapun yang membatalkan puasa adalah sebagaimana yang dikemukakan
Zakariya al Ansariy dalam kitabnya as- Syarqawiy sebagai berikut:
“Bab pada menerangkan sesuatu yang membatalkan puasa, sekalipun
sebahagiannya telah diketahui dari keterangan yang telah lalu, yaitu memasukkan benda
dari lubang kerongkongan, walaupun dengan injeksi atau air kumur-kumur atau air yang
dimasukkan ke hidung dengan cara yang bersangatan. Dan muntah, sebagai
tambahanku, sekalipun dia yakin muntah itu tidak kembali dalam kerongkongan, dan
mengeluarkan mani, dengan menyentuh kulit dengan bersyahwat, seperti wati’ yang
tidak keluar mani kecuali pada saat tidur atau penglihatan atau memikir-mikir atau
menyentuh dengan syahwat atau merangkul isteri kepada suaminya dengan lapis, maka
tidaklah membatan wati’lkan puasa keluarnya mani dengan salah satu cara yang
demikian. Dan wati’ pada faraj baik qubul atau dubul dengan sengaja dan dengan
kehendaknya, serta dia mengetahui hukumnya haram.”
Dari keterangan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
membatalkan puasa itu adalah:
1. Memasukkan sesuatu benda ke dalam rongga badan.
2. Muntah dengan sengaja
3. Mengeluarkan mani
4. Melakukan wati‟ (bersetubuh) pada faraj dan dubur dengan sengaja dan
5. Mengetahui haramnya
D. Hubungan Puasa dengan psikologis
Emosi yang kuat akan mengacaukan ingatan kerja seseorang (mengingat dan
berpikir). Jika emosi negatif berlangsung terus-menerus, kemungkinan akan timbul cacat
pada kemampuan intelektual dan melemahkan kemampuan belajar seseorang. Di samping
itu, orang yang terus-menerus dilanda emosi negatif berisiko dua kali lipat terserang
penyakit, termasuk asma, artritis, sakit kepala, tukak lambung, dan penyakit jantung.
Emosi negatif yang berlangsung terus-menerus juga berhubungan dengan sistem
kekebalan melalui pengaruh hormon yang dilepaskan apabila seseorang mengalami stres.
Katekolamain (adrenalin dan noradrenalin), kortisol, prolaktin, serta betaendorfin dan
enkefalin semuanya dilepaskan ketika terjadi rangsangan emosi negatif. Masing-masing
mempunyai pengaruh kuat terhadap kekebalan dan stres menekan perlawanan sistem
kekebalan.
Puasa ramadan merupakan sebuah upaya untuk memutus rangkaian panjang
gelombang emosi negatif tersebut. Setelah hampir sebelas bulan otak kita penuh dengan
gelombang emosi negatif yang sangat panjang, Ramadan datang dan berperan sebagai
pereda, memotong gelombang emosi negatif yang meracuni otak kita. Syarat Ramadan,
yang penuh taburan pahala dan pengampunan dosa, dengan menahan diri dari nafsu
manusia dan memperbanyak ibadah, membuat kita berlomba-lomba melakukan ritual
keagamaan dengan kuantitas dan kualitas yang makin meningkat. Kegiatan ritual serta
upaya pengendalian diri berperan penting dalam “mengadu pikiran-pikiran yang memicu
lonjakan emosi negatif”. Dengan begitu gelombang emosi negatif yang menumpuk di
otak sedikit demi sedikit memendek sampai akhirnya menghilang. Implikasinya, ingatan
kerja berjalan normal, pikiran lebih tenang, dan kondisi tubuh lebih sehat.
Puasa membuat mental kita menjadi lebih sehat dan akan menghilangkan berbagai
hal yang negatif yang dapat merusak atau mengganggu kesehatan mental kita. Beberapa
di antaranya adalah (1) ketahanan fisik, (2) nilai dan pengalaman keagamaan, (3) nilai
sosial, (4) kontrol diri, (5) kreativitas, (6) agresivitas, dan (7) perilaku seks.
1. Puasa adalah aktivitas jasadi, nafsani, dan ruhani. Tentang pengaruh puasa
terhadap kesehatan (fisik) manusia, ada sebuah hadis dari Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Shuumuu tasihhuu. Berpuasalah maka engkau
sehat. Sebagaimana kita ketahui dan alami, seseorang yang berpuasa akan
memulainya dengan sahur sebelum fajar dan berbuka puasa ketika matahari
terbenam (saat maghrib tiba). Total waktu yang digunakan untuk berpuasa (di
Indonesia) adalah sekitar 14 jam.
2. Puasa Meningkatkan Nilai dan Pengalaman Keagamaan, salah satu aspek
penting puasa adalah nilai hidup. Menurut Eduard Spranger (Sumadi Suryabrata,
2011), nilai hidup yang berkembang dalam diri seseorang dipengaruhi oleh
aktivitas latihan yang dilakukan orang tersebut. Nilai hidup sendiri, menurut
Spranger adalah nilai keagamaan, nilai sosial, nilai teori, nilai estetika, nilai
ekonomi, dan nilai politik. Puasa ramadhan adalah aktivitas yang dapat
mengembangkan nilai keagaman. Dalam tradisi beragama (Islam di Indonesia),
setiap menjelang shalat tarawih dan sehabis shalat shubuh selalu diselenggarakan
kajian keagamaan di masjid-masjid, di samping berbagai acara lain. Pengetahuan
agama disampaikan secara massif dan intensif. Salah satu hal terpenting dalam
pengetahuan agama adalah strategisnya posisi aktivitas di bulan ramadhan di mata
Allah ’Azza wa jalla.
3. Puasa Meningkatkan Nilai Sosial, di samping itu, pada waktu puasa seseorang
dianjurkan untuk melakukan ibadah horisontal (memberi makan orang yang
berpuasa, memberi infaq, menyerahkan zakat fitrah, menyerahkan zakat mal,
mengganti ketidakmampuan berpuasa dengan fidyah, dan sebagainya), maka puasa
akan meningkatkan nilai sosial. Rasulullah sendiri memberi contoh untuk beramal
yang sebanyak-banyaknya kepada orang lain. ”Rasulullah SAW adalah orang
yang paling dermawan, dan sifat dermawannya itu lebih menonjol pada bulan
Ramadhan, yakni ketika ia ditemui malaikat Jibril” (HR Bukhari, dalam Sabiq,
2007). Suasana puasa yang mendorong orang untuk beramal bagi kesejahteraan
dan kebaikan orang lain ini pada gilirannya akan menghidupkan nilai sosial.
4. Puasa Meningkatkan Kontrol Diri, salah satu aspek terpenting dari puasa adalah
kontrol diri. Kontrol diri, menurut Calhoun dan Acocella (1990), adalah
kemampuan individu untuk memandu, mengarahkan dan mengatur perilakunya
dalam menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang diinginkan dan
menghindari hal yang tidak diinginkan. Seorang ahli psikologi agama bernama
Bergin (1987) mengungkapkan bahwa orientasi religius intrinsik dapat memiliki
konsekuensi positif, termasuk terhadap variabel kepribadian seperti kontrol diri,
kecemasan, keyakinan irrasional, depresi, dan sifat yang lain. Saat berpuasa,
seseorang mengontrol diri dari berbagai macam keinginan, baik makan, minim,
berhubungan seks, membicarakan orang lain, memaki, berkelahi, dan sebagainya.
Beberapa ayat suci al-Qur‟an dan al-Hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah
sebagai berikut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda,
”Puasa adalah perisai (dari api neraka). Maka, orang yang berpuasa janganlah
berhubungan badan dengan istrinya atau berbuat jahil, dan apabila seseorang
memaki atau mengajak berkelahi, katakan kepadanya, ’Aku sedang berpuasa.’”
Nabi SAW menambahkan, ”Demi Dia yang menggenggam jiwaku, bau mulut
orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misk. (Dan inilah
perkataan Allah terhadap orang-orang yang sedang berpuasa), ”Ia tidak akan
makan dan minum dan meninggalkan nafsunya karena aku. Puasa adalah untuk-
Ku dan Akulah yang akan membalasnya, dan setiap kebaikan akan dibalas 10 kali
lipatnya.” (HR Bukhari, dalam Az-Zabidi, 2002).
5. Puasa Meningkatkan Kreativitas, aktivitas beribadah (berdoa, puasa, shalat
sunnat) adalah aktivitas yang dipandang penting oleh kreator Muslim. Dalam
situasi inkubasi, ide akan lebih mudah turun bila mereka berupaya menjolok turun
ide itu dari pemiliknya, yang tak lain adalah Allah „Azza wa jalla. Kreator Muslim
percaya sepenuhnya bahwa ide adalah milik Allah. Ide akan sampai ke otak kita
bila melakukan usaha yang langsung berhubungan dengan Allah, seperti berdoa,
shalat, dan berpuasa. Saat orang berpuasa, ia dalam keadaan berproses
membersihkan jiwa mereka. Pembersihan jiwa sendiri dilakukan dengan
memperbanyak amal baik (yang bisa menutupi dosa-dosa), taubat, istighfar,
meminta ampunan kepada orang lain, serta bersalaman. Bersihnya jiwa
mempermudah datangnya cahaya atau pengetahuan yang berasal dari Allah.
Dengan kebersihan jiwa, maka berbagai persoalan kreatif yang kita hadapi dalam
kegiatan-kegiatan sehari-hari dapat ditemukan jawaban-jawaban penyelesaiannya.
6. Puasa Menurunkan Agresivitas, agresivitas adalah kecenderungan untuk
melakukan perilaku menyakiti orang lain, baik secara fisik ataupun verbal (Baron
& Byrne, 2004). Agresi dapat dikurangi atau diperbesar oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal di antaranya adalah kesulitan hidup, rasa marah,
dan sebagainya. Faktor eksternal di antaranya adalah provokasi dari orang lain,
cuaca yang panas, adanya senjata, dan sebagainya.
7. Puasa Meningkatkan Pengendalian Perilaku Seks, salah satu peran puasa
adalah menurunkan dorongan seksual manusia, sekurang-kurangnya selama
periode puasa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh suatu hadits Nabi:
Diriwayatkan dari ’Alqamah: Ketika aku sedang berjalan bersama ) Abdullah ra,
ia berkata, ”Kami sedang bersama Rasulullah SAW dan beliau bersabda, ’Laki-
laki yang sudahmampu untuk menikah,maka meniahlah, sebab (menikah) akan
menundukkan pandangannya dan memelihara kelaminnya; dan laki-laki yang
belum sanggup menikah, maka beruasalah, karenan aku mengurangi
nafsunya.”Penjelasan yang dapat diberikan adalah nafsu yang berpusat di pertu
dalamm keadaan berkurang dayanya. Nafsu sendiri berpusat di perut manusia.
Istirahatnya perut manusia saat berpuasa menjadikan nafsu atau dorongan seks
mengalami penurunan.

E. Aspek-Aspek Psikologis Puasa


1. Puasa Sebagai Pengobatan Terhadap Gangguan Kejiwaan
Pengobatan kejiwaan yang paling baik adalah menghilangkan penyebab
terjadinya gangguan tersebut. Diantara penyebab gangguan kejiwaan yang banyak
terdapat adalah rasa berdosa atau bersalah dan rasa dendam. Perasaan itu dapat
diobati dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dan salah satu cara
adalah dengan melaksanakan ibadah wajib seperti ibadah puasa serta ditambah
dengan ibadah-ibadah sunnah.
Puasa mampu meredam dendam yang ada pada diri seseorang. Dendam
merupakan beban bathin yang dapat mempengaruhi hubungan antara satu sama
lain. Dendam yang terlalu besar dan mendalam dapat menimbulkan serangan
berbagai gejala psikomatik (penyakit yang disebabkan oleh perasaan). Selain itu
puasa juga merupakan latihan untuk menghadapi berbagai hal yang dapat
menimbulkan stress.
2. Puasa Sebagai Pencegahan Gangguan Kejiwaan
Puasa bulan Ramadhan merupakan salah satu cara perawatan kejiwaan.
Puasa yang dilakukan dengan ikhlas dan atas dasar kesadaran serta kemaun untuk
mematuhi perintah Allah akan dapat menjadi kebiasaan yang dapat menghasilkan
kepuasan dan kegembiraan yang mempunyai pengaruh dan kesan yang mendalam
bagi yang melaksanakannya. Dengan demikian puasa diharapkan mampu
membuat seseoarang mengendalikan diri.
3. Puasa Untuk Pembinaan Kesehatan Mental

Pada ibadah puasa tertanan nilai kejujuran baik jujur tehadap Allah SWT,
diri sendiri maupun kepada orang lain. Jika sifat jujur telah tertanam pada diri
seseorang, maka dirinya akan merasa tentram, ia tidak akan dihinggapi rasa takut,
salah dan berdosa, karena segala sesuatu jelas dan tidak ada yang disembunyikan.

4. Pembelaan (Sanctify)

Dalam ilmu Kesehatan Mental, terdapat salah satu cara penyesuaian diri
yang tidak sehat, yang disebut pembelaan (sanctify) yaitu orang yang tidak berani
mengakui kepada dirinya bahwa ia telah melanggar nilai-nilai yang dianutnya
sendiri. Jika hal ini sering terjadi maka seseorang akan merasa sakit dan ia merasa
tertipu oleh dirinya sendiri.

5. Mencegah Terjadinya Kelainan Kejiwaan


Adapun fungsi dari ibadah puasa disini dapat mencegah terjadinya
kelainan kejiwaan, dimana nilai puasa benar-benar dapt menjangkau ke lubuk hati
yang terdalam pada diri manusia, sehingga dapat menunjang kepada pembinaan
akhlak. Selain itu, terdapat juga beberapa aspek terapeutik dalam ibadah puasa.
6. Aspek Relaksasi Usus
Menurut Andang Gunawan, ketika orang sedang berpuasa terjadi
detoksifikasi (proses pengeluaran zat-zat beracun dari dalam tubuh) yang bersifat
total dan holistik (menyeluruh). Secara alamiah usus besar merupakan pusat
kotoran sehingga wajar kalau organ yang satu ini tidak bisa bersih 100%. Lebih
lanjut Andang menjelaskan, puasa detoksifikasi dapat dilakukan selama 2-14 hari,
tergantung kondisi dan tingkat keasaman dalam tubuh.
7. Membantu Mengendalikan Stres
Disebutkan pula sebaiknya di lakukan pada akhir pekan atau hari libur
tatkala pikiran dan tubuh sedang dalam keadaan santai. Bahkan menurut
Soekirno, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) puasa dan
membantu mengendalikan stress dan menjadi terapi bagi berbagai penyakit
tertentu seperti hipertensi, kanker kardiovaskuler, ginjal dan depresi, akan lebih
cepat dan efektif bila diikuti dengan aksi puasa.
8. Aspek Meditasi
Selama sepuluh terakhir bulan Ramadhan sangat dianjurkan untuk I‟tikaf.
Beri‟tikaf dalam keadaan puasa memiliki efek seperti meditasi atau yoga bahkan
merupakan meditasi atau yoga tingkat tinggi bila dijalankan dengan benar, khusu‟
dan sabar.
9. Melatih Kesabaran
Dalam khusu‟ dan sabar dengan memperbanyak zikir dan mengurangi
berkata serta bersenda gurau, seorang hanya mengingat Allah SWT(dzikrullah)
akan mendatangkan ketenangan jiwa. Hal ini seperti firman-Nya “hanya dengan
berzikir kepada Allah hati menjadi tenang” (QS Ar-Ra‟du:11)
10. Aspek auto-sugesti/self-hipnosis
Seseorang yang berpusa hendaknya memperbanyak berdoa karena doa
orang yang berpuasa adalahh makbul. Thoules (1992) Auto Sugesti adalah suatau
upaya untuk membimbing diri pribadi melalui proses pengulangan suatu
rangkaian ucapan secara rahasia kepada diri sendiri yang menyatakan suatu
keyakinan atau perbuatan. Dan salah satu doa yang dianjurkan oleh Rasulullah
untuk diperbanyak membacanya antara lain:
“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Mulia, Engkau
selalu mengampuni kesalahan, maka ampuni aku. Ya Allah akumemohon ridha-
Mu dan syurga-Mu dan aku berlindung dari azab-mu dan siksa neraka.”
11. Aspek Pengakuan dan Penyaluran/katarsis
Puasa merupakan sarana hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam kondisi
berpuasa, dimana nilai ruhiyah seseorang yang berpuasa sedang meningkat, ian
dapat memohon apa saja secara langsung tanpa perantara dengan Sang Pencipta.
Sehingga hal ini memberikan efek ia merasa bahwa dirinya tidak sendiri
(lonely), tidak merasa kesepian, selalu ada yang melihatnya ada yang memelihara
dan memerhatikan yaitu Allah SWT. Adanya perasaan ini akan melegakan
perasaannya dan akan membantu proses penyembuhan.
12. Sarana Pembentukan Kepribadian
Kepribadian seseorang senantiasa perlu dibentuk sepanjang hayatnya dan
pembentukan bukan merupakaan pusnya di bulan Ramadhan) atau mingguan
(senin-kamis) atau bulanan (puasa Ayyamul Baith). Jadi berpuasa juga dapat
menjadi sarana pembentukan kepribadian yaitu manusia yang bercirikan: disiplin,
jujur, sabar, mencintai dan kasih sayang kepada sesama manusia, senantiasa
menjaga lisan, membentuk pribadi shaleh secara individu maupun sosial.
13. Meningkatkan Kadar Keimanan
Puasa yang dikerjakan bukan karena beriman kepada Allah biasanya
menjadikan puasa itu hanya akan menyiksa diri saja. Tetapi apabila puasa
dikerjakan sebagaimana aturan dalam Islam pastinya akan mendatangkan banyak
manfaat salah satunya dalam aspek psikologi diri. Dengan begitu puasa akan
membangun pribadi dengan akhlak yang baik.

Anda mungkin juga menyukai