Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

“AGAMA ISLAM”

OLEH :
NAMA : TRIMILLANIA NIRWAN
NIM :

PRODI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS 19 NOVEMBER KOLAKA
2021
IBADAH
1. Pengertian Ibadah Dan Ruang Lingkup
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah
mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah.
1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para
rasulNya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu tingkatan tunduk
yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecin-taan) yang paling tinggi.
3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu
wa Ta’ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah
definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut)
adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad
adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam
ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ُ‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة ْال َمتِين‬ ْ ‫ق َو َما ُأ ِري ُد َأ ْن ي‬
ُ ‫﴾ ِإ َّن هَّللا َ ه َُو ال َّر َّزا‬٥٧﴿ ‫ُط ِع ُمو ِن‬ ٍ ‫﴾ َما ُأ ِري ُد ِم ْنهُ ْم ِم ْن ِر ْز‬٥٦﴿ ‫ُون‬ َ ‫ت ْال ِج َّن َواِإْل ْن‬
ِ ‫س ِإاَّل لِيَ ْعبُد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh. [Adz-Dazariyat/51 : 56-58]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar
mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan Allah Mahakaya, tidak
membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena
ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembahNya sesuai dengan aturan
syari’atNya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang
menyembahNya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkanNya maka ia adalah mubtadi’
(pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari’atNya, maka dia adalah
mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
Ruang Lingkup Ibadah
Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila
diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan
menurut cara-cara yang disyariatkan olehNya. Islam tidak membatasi ruang lingkup ibadah
kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan amal dan persediaan
bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti.

Islam mempunyai keistimewaan dengan menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah
apabila ia diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi untuk mencapai keridaan Nya serta
dikerjakan menurut cara cara yang disyariatkan oleh Nya. Islam tidak menganggap ibadah
ibadah tertentu saja sebagai amal saleh akan tetapi meliputi segala kegiatan yang mengandung
kebaikan yang diniatkan karena Allah SWT. Ruang lingkup ibadah di dalam Islam sangat luas
sekali. Mencakup setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang
bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam ketika ia
memenuhi syarat syarat tertentu.

Syarat syarat tersebut adalah :

1. Amalan yang dikerjakan itu hendaklah diakui Islam, sesuai dengan hukum hukum syara’
dan tidak bertentangan dengan hukum hukum tersebut. Adapun amalan – amalan yang
diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang haram dan maksiyat, maka tidaklah
bisa dijadikan amalan ibadah.
2. Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik dengan tujuan untuk memelihara
kehormatan diri, menyenangkan keluarga nya, memberi manfaat kepada seluruh umat
dan untuk kemakmuran bumi seperti yang telah diperintahkan oleh Allah.
3. Amalan tersebut haruslah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
4. Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum – hukum syara’ dan
ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak
menindas atau merampas hak orang.
5. Tidak melalaikan ibadah – ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya
dalammelaksanakan ibadah – ibadah umum.

2. Bentuk dan Macam-macam Ibadah

Macam – Macam Ibadah


Terdapat berbagai macam ibadah yakni ibadah Lisan/ Badaniah Dan Ibadah Hati/
Perasaan, Adapun penjabaran dari macam-macam ibadah tersebut yakni :

a. Macam-Macam Ibadah Lisan dan Badan

 Sholat
 Puasa
 Zakat
 Haji
 Berkata jujur
 Melaksanakan amanah
 Berbakti kepada orang tua ( Ayah&Ibu )
 Bersilatuhrahmi / Menyambung persaudaraan.
 Menepati janji
 Memerintahkan kepada yang ma’ruf,
 Melarang kemungkaran atau kejahatan.
 Berdoa
 Berdzikir
 Membaca Al-Qur’an.
 Berbuat baik terhadap orang miskin, tetangga, anak yatim, musafir, budak serta
hewan.

b. Macam-Macam Ibadah Hati

 Cinta(Mahabbah) kepada Allah dan Rasul-Nya.


 Takut (Khauf) kepada Allah
 Inabah (taubat dan bergantung) kepada Allah
 Sabar & Ridho terhadap hukum dan ketetatapan-Nya.
 Mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya.
 Sabar & Ridho terhadap hukum dan ketetatapan-Nya.
 Bersyukur atas nikmat yang selalu diberi oleh Nya
 Tawakkal kepada-Nya
 Mengharapkan rahmat-Nya

Karena ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah merupakan suatu hal
yang Dicintai dan ridhoi-Nya, yang karenanya Allah Azza Wa Jalla menciptakan makhluk,
sebagaimana yang telah difirman Allah ta’ala, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (Adz-Dzariyyat: 56)

3. Hikmah Ibadah
1. Hikmah Ibadah • Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifahtullah fil Ardhi dengan
missi memimpin, mengelola, memakmurkan, dan memelihara keselamatan alam semesta.
• Untuk kepentingan tersebut Allah menurunkan Agama Islam, agar dengan berpegang
pada ajaran Islam, manusia mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya sesuai dengan
maksud Allah. • Dengan tugas dan fungsi serta tanggung jawab manusia seperti tersebut
di atas, Allah menjadi manusia dalam bentuk yang paling sempurna lagi dimuliakan. •
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur
tersebut harus berkembang dengan baik dan seimbang. • Oleh karena itu harus mendapat
perhatian dan pembinaan yang seimbang, Unsur jasmani bersifat materi, kebutuhannya
adalah segala sesuatu yang bersifat maretial, seperti sandang, pangan dan papan, Sedang
unsur rohani bersifat immateri, oleh karena itu kebutuhannya adalah segala sesuatu yang
bersifat immaterial, sepertti ajaran akhlak, kesenian dan agama.
2. Hikmah Ibadah Lainnya, adalah :
a. Ibadah dalam Islam adalah merupakan makanan atau riadhah ruhi sebagaimana jasad
memerlukan makan dan minuman.
b. Untuk memerdekakan diri manusia daripada menghambakan diri kepada sesuatu
makhluk selain daripada Allah.
c. Untuk memberikan suatu keyakinan dan tempat pergantungan yang sebenarnya yang
telah menjadi fitrah atau tabi’at semula menjadi manusia.
d. Untuk mengembalikan dan meletakkan manusia itu di tempat fitrahnya yang betul
sebagai hamba Allah Taala.
e. Ibadah juga merupakan ujian Allah kepada hambanya dalam seluruh hidupnya.
f. Ibadah juga suatu garis pemisah yang membedakan antara Islam dengan kafir dan
antara manusia dengan makhluk- makhluk lain.
THAHARAH
A. Pengertian Thaharah
Thaharah berasal dari bahasa Arab yang berarti bersih atau suci dan ini sudah disarikan ke
dalam bahasa Indonesia. Pengertian thaharah secara bahasa adalah an-Nadafatu yang artinya
bersih atau suci.
Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah membersihkan diri, pakaian, dan tempat dari
najis dan hadas, sehingga seseorang diperbolehkan beribadah yang ditentukan harus dalam
keadaan suci.
Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudu, (untuk hadas kecil), atau mandi
(untuk hadas besar) dan tayamum bila dalam keadaan terpaksa.
Bersuci dari najis meliputi suci badan, pakaian, tempat, dan lingkungan yang
menjadi tempat beraktivitas bagi kita semua.
Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap bersuci (thahârah). Bersuci
merupakan perintah agama yang bisa dikatakan selevel lebih tinggi dari sekadar bersih-bersih.
Sebab, tidak semua hal yang bersih itu suci.

B. Macam-macam Thaharah atau Bersuci


Thaharah pun terbagi menjadi dua bagian seperti berikut:
1. Thaharah Ma'nawiyah
Thaharah ma'nawiyah merupakan bersuci rohani misalnya membersihkan segala penyakit
hati yaitu iri, dengki, riya dan lainnya.
Pasalnya, thaharah ma'nawiyah ini penting dilakukan sebelum melakukan thaharah
hissiyah, karena ketika bersuci harus dalam keadaan bersih dari sifat-sifat sirik tersebut.

2. Thaharah Hissiyah
Thaharah hissiyah adalah bersuci jasmani, atau membersihkan bagian tubuh dari sesuatu
yang terkena najis (segala jenis kotoran) maupun hadas (kecil dan besar).
Untuk membersihkan dari najis dan hadas ini, bisa dilakukan dengan menggunakan air seperti
berwudu, mandi wajib, serta tayamum (bila dalam kondisi tidak ada air).
Akan tetapi, air yang boleh dipakai untuk bersuci juga bukan sembarang air. Penjelasnnya
adalah di bawah ini:

a. Jenis Air untuk Thaharah


Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air bersih (suci dan mensucikan) yang
turun dari langit atau keluar dari bumi dan belum pernah dipakai bersuci, di antaranya:

 Air hujan
 Air sumur
 Air laut
 Air sungai
 Air salju
 Air telaga
 Air embun

b. Pembagian Air untuk Thaharah


Pengertian thaharah dan pembagiannya juga ditinjau dari segi hukum Islam dengan
mengelompokkan jenis air yang diperbolehkan maupun tidak dalam bersuci.
Air tersebut dibagi menjadi empat yaitu:
Air suci dan menyucikan, yaitu air mutlak atau masih murni dapat digunakan untuk bersuci
dengan tidak makruh (digunakan sewajarnya tidak berlebihan).

1. Air suci dan dapat menyucikan, yaitu air musyammas (air yang dipanaskan dengan
matahari) di tempat logam yang bukan emas.
2. Air suci tapi tidak menyucikan, yaitu air musta'mal (telah digunakan untuk bersuci)
menghilangkan hadas atau najis walau tidak berubah rupa, rasa dan baunya.
3. Air mutanajis, yaitu air yang kena najis (kemasukan najis), sedangkan jumlahnya kurang,
maka tidak dapat menyucikan.
4. Air haram, yaitu air yang diperoleh dengan cara mencuri (ghashab), atau mengambil
tanpa izin, sehingga air itu tidak dapat menyucikan.

Macam-macam Najis dalam Islam dan Cara Mensucikan Diri


C. Macam-macam Najis dalam islam
Berikut adalah uraian singkat mengenai macam-macam najis dalam Islam.
1. Najis Mukhaffafah atau najis ringan
Najis ringan atau Najis Mukhaffafah ialah yang berupa air kencing bayi laki-
laki yang belum berusia dua tahun. Najis yang tergolong ringan ini, cara
membersihkannya cukup mudah cukup dengan membersihkan tubuh atau bagian
tubuh yang terkencingi.

Akan tetapi, walau najis ini tergolong ringan, akan lebih baik jika tidak terkena
olehnya. Setelah membersihkan diri dari najis ringan ini, Anda harus mensucikan diri
dengan air wudhu.
Najis Mukhaffafah dapat dibersihkan dengan tiga cara, antara lain sebagai berikut:
a. Dengan memercikkan air sekali percikan ke area yang terkena najis lalu
mengambil wudhu
b. Mandi lalu mengambil wudhu
c. Mencuci badan yang terkena kencing dengan sabun sehingga tidak bau lalu
mengambil wudhu
2. Najis Mutawwasithah
Najis Mutawwasithah ialah najis yang cukup berat. Contoh najis
Mutawwasithah ialah kotoran manusia, darah haid, air mani yang cair, minuman
keras, kotoran hewan yang haram dimakan, bangkai hewan kecuali bangkai manusia,
ikan dan belalang.
Najis mutawassithah sendiri dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
 Najis Ainiyah yakni najis yang terlihat rupa, rasa atau tercium baunya.
 Najis Hukmiyah yakni najis yang tidak tampak seperti bekas kencing dan miras.

Untuk mensucikan diri dari Najis Mutawwasithah, Anda harus membasuh diri
dengan menggunakan air yang mengalir sampai najis benar-benar hilang. Anda harus
membersihkannya sampai tuntas tanpa ada bekas yang melekat.

Caranya gunakan air mengalir, gosok-gosok bagian tubuh yang terkena najis, bisa
dibantu dengan menggunakan tanah atau debu. Setelah itu, basuh tubuh dengan air
mengalir. Cuci tubuh dengan sabun sampai bersih.

Hilangkan keberadaan najis di tubuh sampai najis itu tidak bersisa, tidak ada lagi
bau yang tercium, dan rasanya tentu saja harus sudah hilang sama sekali.

3. Najis Mughallazah
Najis ketiga dari salah satu macam-macam najis dalam Islam ialah najis
Mughallazah. Najis ini antara lain menyentuh atau disentuh babi, terkena air liur
anjing baik secara sengaja ataupun tidak disengaja.

Najis ini tergolong najis berat. Untuk membersihkan diri dari najis ini, diperlukan
bilasan air sebanyak tujuh kali dari air mengalir. Hilangkan juga dengan mencuci
tubuh pakai sabun.

4. Najis Lainya
Selain macam-macam najis di atas, masih ada jenis najis lainnya, yaitu najis
Mafu atau najis yang dimaafkan. Najis Mafu adalah najis yang tidak perlu dicuci atau
dibasuh. Contohnya menyentuh bangkai yang tidak mengalirkan darah, keluar darah
atau nanah dari kulit karena sakit.

D. Tata Cara Thaharah


1. Mandi Wajib
Mandi atau ghusl merupakan syarat mutlak ketika bersuci, istilah mandi wajib dalam
thaharah yaitu mengalirkan air ke seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Mandi wajib ini harus dibarengi dengan membaca niat yang menyucikan diri dari
hadas kecil dan besar seperti kutipan dari NU Online yaitu:

‫ث اَْأل ْكبَ ِر ِمنَ ْالِجنَابَ ِة فَرْ ضًا هلِل ِ تَ َعالَى‬


ِ ‫ْت ْال ُغ ْس َل لِ َر ْف ِع ْال َح َد‬
ُ ‫نَ َوي‬

"Nawaitul ghusla liraf'il-hadatsil-akbari fardhal lillaahi ta'aala."

Artinya: Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari janabah, fardhu karena
Allah ta'ala."
Menurut madzhab Syafi'i, saat pertama membaca niat harus dibarengi dengan
menyiram tubuh dengan air secara merata.
Kedua, mengguyur seluruh bagian luar badan, tak terkecuali rambut dan bulu-
bulunya. Sedangkan bagian tubuh yang berbulu atau berambut harus dengan air mengalir.

2. Berwudu
Sementara itu, thaharah dengan berwudu menurut syara' adalah untuk
menghilangkan hadas kecil ketika akan salat.
Orang yang hendak melaksanakan salat sudah wajib hukumnya melakukan wudu,
karena berwudu merupakan syarat sahnya salat.
Thaharah berwudu juga sama halnya dengan mandi wajib yang diawali dengan
membaca niat wudu seperti ini:
‫ضاِهللِ تَ َعالَى‬ ِ ‫ث ْاالَصْ غ‬
ً ْ‫َر فَر‬ ِ ‫ْت ْال ُوضُوْ َء لِ َر ْف ِع ْال َح َد‬
ُ ‫نَ َوي‬
"Nawaitul wudhuu'a liraf'il-hadatsil-ashghari fardhal lillaahi ta'aalaa."
Artinya: Aku niat berwudu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah.

Kemudian melaksanankan fardu wudu enam perkara, di antaranya:

 Niat
 Membasuh seluruh muka
 Membasuh kedua tangan sampai siku-siku
 Mengusap sebagian rambut kepala
 Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
 Tertib, artinya mendahulukan mana yang harus dahulu dan mengakhirkan yang harus
diakhiri.

3. Tayamum
Thaharah tayamum ini merupakan cara yang menggantikan mandi dan wudu,
apabila dalam kondisi tidak ada air.
Syarat tayamum adalah menggunakan tanah yang suci tidak tercampur benda lain.
Lalu diawali niat

َّ ‫ْت التَّيَ ُّم َم ِال ْستِبَا َح ِة ال‬


‫صالَ ِة فَرْ ضً ِهللِ تَ َعالَى‬ ُ ‫نَ َوي‬

"Nawaitut tayammuma lisstibaahatishsholaati fardhol lillaahi taala."


Artinya: Saya niat tayamum agar diperbolehkan melakukan fardu karena Allah.

Setelah membaca niat, dilanjut dengan meletakkan dua belah tangan ke atas debu
misalnya debu pada kaca atau tembok dan usapkan ke muka sebanyak dua kali.
Dilanjut mengusap dua belah tangan hingga siku sebanyak dua kali juga, dan
memindahkan debu kepada anggota tubuh yang diusap.
Yang dimaksud mengusap bukan sebagaimana menggunakan air dalam berwudu,
tatapi cukup menyapukan saja bukan mengoles-oles seperti memakai air.
Dengan begitu pengertian thaharah dan pembagiannya ini wajib dipahami sebagai
mana mestinya, karena sewaktu-waktu sudah pasti diperlukan.
SHALAT
A. Pengertian Sholat
Secara bahasa sholat bermakna do’a, sedangkan secara istilah, sholat merupakan
suatu ibadah wajib yang terdiri dari ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul
ihram dan diakhiri dengan salam dengan rukun dan persyaratan tertentu.
Menurut hakekatnya, sholat ialah menghadapkan jiwa kepada Allah SWT, yang
bisa melahirkan rasa takut kepada Allah & bisa membangkitkan kesadaran yang dalam pada
setiap jiwa terhadap kebesaran & kekuasaan Allah SWT.
Menurut Ash Shiddieqy, sholat ialah menggambarkan rukhus shalat atau jiwa
shalat; yakni berharap kepada Allah dengan sepenuh hati dan jiwa raga, dengan segala
kekhusyu’an dihadapan Allah dan ikhlas yang disertai dengan hati yang selalu berzikir,
berdo’a & memujiNya.
Dalam mengerjakan sholat harus selalu berusaha menjaga kekhusu’annya. Secara
bahasa, khusyu ‘berasal dari arti khasya’a yakhsya’u khusyu’an, yang artinya memusatkan
penglihatan pada bumi & menutup mata atau meringankan suara saat shalat.
Khusyu’ itu artinya lebih dekat dengan khudhu’ yakni tunduk & takhasysyu’ yakni
membuat diri menjadi khusyu’. Khusyu’ ini bisa melalui suara, gerakan badan atau
pengelihatan. ketiganya itu menjadi tanda kekhusyu’an bagi seseorang dalam melaksanakan
shalat.
Secara istilah syara’, khusyu’ ialah keadaan jiwa yang tenang & tawadhu’,
kemudian khusyu’ dihati sangat berpengaruh dan akan tampak pada anggota tubuh lainnya.
Menurut A. Syafi’i khusyu’ berarti menyengaja, ikhlas, tunduk lahir batin; dengan
menyempurnakan keindahan bentuk ataupun sikap lahirnya (badan), serta memenuhinya
dengan kehadiran hati, kesadaran dan pemahaman segala ucapan maupun sikap lahiriyah
tersebut.

B. Macam-Macam Shalat
1. Shalat Fardu (Shalat Lima Waktu)
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah
lima kali dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah pada
malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah bilangan shalat
yang difardukan. Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi’i, berpendapat Bahwa jumlah
shalat yang wajib hanya lima, sebagai mana yang disebutkan dalam hadist tentang mi’raj,
yaitu : subuh, duhur, ashar, maghrib, dan isya. Disamping hadist mi’raj, terdapat hadist lain
yang meriwayatkan seorang arabiy datang kepada Nabi dan bertanya tentang islam. Beliau
bersabda : “ lima shalat sehar semalam ”. ketika orang itu bertanya lagi : “apakah ada
yang wajib bagiku selain itu ?” Nabi menjawab : ” tidak ada, kecuali engkau ber-tathawu.”
Namun, abu Hanifah dan para pengikutnya menganggap shalat witir termasuk
shalat wajib, sehingga bilangan shalat fardu ada enam. Ia melandasi pendapatnya dari hadist
Nabi, diantaranya berasal dari syu’aib, yang menyatakan bahwa nabi bersabda :

“Allah telah menambahkan sebuah shalat bagi kamu yaitu witir. Oleh kareana itu ,
hendaklah kamu memeliharanya.”
Disamping itu, ada hadist dari Buraidah Al-Islamiy yang mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda :

“shalat witir itu hak (benar) maka barang siapa tidak melakukannya, dia bukan dari
(umat) kami.”

a. Waktu-waktu Shalat
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat  103: “sesungguhnya shalat itu
merupakan kewajiban yang di tentukan waktunya bagi orang-orang beriman.”
Ketetapan hukum islam yang diperoleh dari nash al qur’an dan sunnah yag qath’i
dan sharih adalah bersifat universal dan fix, dan nerlaku berlaku untuk seluruh umat
mansia sepanjang masa. Namm, sesuai dengan asas-asas hukum islam yang fleksibel.
Praktis, dan tidak menyulitkan dalam batas jangkauan kemampan manusia sejalan dengan
kemaslahatan umm dan kemajuan zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan, maka
ketentuan waktu shalat berdasarkan al qur’an surat al-isra ayaat 78 dan al-baqorah ayat 187
tidak berlaku untuk seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zone bumi yang
noramal, yang perbedaan waktu siang dan malamnya relatif kecil, yakni di daerah-daerah
khatulistiwa (ekuator) dan tropis (daerah khatulistiwa sampai garis paralel 45o dari garis
lintang utara dan selatan). Lebih dari tiga perlima bumi yang dihuni manusia termasuk di
daerah yang normal, ialah selruh Afrika, Timur tengah, India, Pakistan, Cina, Asean,
Australia, dan seluruh Amerika (Kecuali Canada dan sedikit daerah selatan dari Argentina-
Chili), dan Oceania. Maka waktu Shalat bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-
daerah normal tersebut  adalah waktu setempat ( local time) berdasarkan waktu terbit dan
tenggelam matahari di daerah-daerah yang bersangkutan yang perbedaan waktunya sekitar
satu menit setiap jarak 15 mil.
Adapun waktu shalat bagi masyarakat islam yang tinggal diluar daerah khatulistiwa
dan tropis yakni di daerah-daerah diluar garis paralel 45 o dari garis litang utara dan selatan
yang abnormal itu, karena perbedaan siang dan malamnya terlalu besar terutama di daerah
sekitar kutub yang 6 bulan dalam keadaan siang terus menerus dan 6 bulan berikutnya
dalam keadaan malam, adalah mengikuti waktu shalat di daerah normal yang terdekat
yakni pada garis paralel 45o dari garis lintang utara dan selatan.
Karena itu bagi masyarakat islam yang tinggal misalnya di negeri Belanda, Inggris,
dan negara-negara Skandivania mengikuti waktu shalatnya dengan waktu bordeaux
(Prancis bagian selatan), yang terletak di garis paralel 45o dari garis lintang utara.
Demikian pula bagi masyarakat Islam yang tinggal di Amerika Utara mengikuti waktu
shalat dengan waktu Halifax atau Portland (Canada).
Adapun dalil syar’i yang memberikan dispensasi (hukum rukhsah, istilah Fiqh)
bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti
waktu shalat dari daerah normal yang terdekat, antara lain menurut surat Al-baqarah ayat
286:
 
‫ال يكلف هللا نفسا أال وسعها‬
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Masail
Fiqhiyyah. 1993: 274-275)
 
Adapun waktu bagi masing-masing shalat yang 5 waktu tersebut (Fiqih Islam.
2001: 61-62) adalah sebagai beikut:
1)   Shalat Dzuhur. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengaahan
langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan panjangnya
selain dari bayang-bayang ketika matahari menonggak (tepat diatas ubun-ubun).
2)   Shalat Ashar. Waktunya dimulai dari habisnya waktu dzuhur; bayang-bayang sesuatu
lebih dari pada panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari sedang
menonggak, sampai terbenam matahari.
3)  Shalat Maghrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam syafaq (mega)
merah.
4)  Shalat Isya. Waktinya mulai dari terbenamnya syafaq merah (sehabis waktu maghrib)
sampai terbit fajar kedua.
5)   Shalat Shubuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.
 
2. Shalat Jama’ah
Apabila dua orang shalat bersama-sama dan salah seorang diantara mereka mengikuti
yang lain, keduanya dinamakan shalat berjama’ah. Orang yang diikuti (di hadapan)
dinamakan imam, sedangkan yang mengikuti dibelakang dinamakan ma’mum. (Fiqih
Islam. 2001: 106)
Shalat jama’ah (Fiqih Isalam Praktis. 1995: 198) juga bisa tercapai dengan shalat
seorang laki-laki di rumah bersama istrinya dan yang lainnya. Akan tetapi, di dalam masjid
itu lebih utama dengan lebih banyak orang. Dan seandainya di dekat masjid itu jama’ahnya
sedikit dan yang jauh jama’ahnya banyak maka yang jauh itu lebih utama kecuali dalam
dua hal atau keadaan.
Pertama : bila yang dekat sedikit jama’ahnya.
Kedua  : bila Imam yang jauh itu orang yang berbuat bid’ah dan orang fasik.
Rasulullah senantiasa melaksanakan shalat fardhu berjama’ah, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat dan beberapa hadits berikut:
“apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu.’’ (QS. An-nisa: 102).
Adapun hadits Nabi yang menjelaskan hal ini diantaranya:
“sesungguhnya saya telah bermaksud untuk menyuruh seseorang memimpin dan
melaksanakan shalat dengan orang banyak, kemudian saya pergi dan dengan beberapa
orang yang membawa kayu bakar, ke tempat orang yang tidak menghadiri shalat itu dan
membakar rumah-rumah meraka dengan api.’’  ( HR.Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan: “ shalat berjama’ah lebih utama ketimbang shalat
sendirian dengan dua puluh  tujuh derajat’’ (HR. Bukhari dan Muslim) dalam (Materi
Pendidikan Agama Islam. 2001: 46)
3. Shalat ‘Idain
Shalat ‘idain (Shalat dua hari Raya) termasuk sunah muakadah yang disyari’atkan
berdasarkan al qur’an, as-sunnah, dan ijma’. Dalil al-Qur’an dapat dijumpai dalam Q.S Al
Kautsar ayat 2 yang artinya:” maka dirikanlah shalat, karena tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Shalat dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai perintah shalat idul adha namun,
perintah itu tidak menunjukan wajib, sebab ada hadist riwayat bukhori dan muslim bahwa
seseorang (‘arabiy) setelah mendapatkan penjelasan tentang kewajiban shalat fardu,
bertanya kepada Nabi : “apakah masih ada shalat  yang wajib atasku selain itu ?” beliau
menjawab : “tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan tatthawu.” (Materi Pendidikan
Agama Islam. 2001: 48)
Hadits Nabi Saw.:
 
‫قا ل رسو ل هللا صلى هللا عليه و سلم أ‬: ‫عن عا ئشة رضي ا هلل عنها قا لت‬

) ‫ يوم يفطر ا لنا س و االضحى يوم يضحى ا لناس ( روه ا لتر مذي‬ ‫لفطر‬
 
Artinya: Dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda : Fithri itu ialah hari
orang- orang berbuka puasa dan Adha itu ialah hari orang-orang berqurban. (H.R.At Turmudziy)
Dalam Hadits tersebut terkandung dalil bahwa  yang perlu di perhatikan dalam
penetapan hari raya itu ialah kesepakatan orang banyak dan orang yang hanya sendirian
mengetahui Hari raya dengan melihat Bulan, harus atasnya di cocokkan dengan oranglain
dan dia harus mengikuti keputusan orang banyak dalam penentuan shalat Hari raya,
berbuka dan berkurban. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 259)
Pelaksanaan shalat ‘Idain (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48) ini, menrut
kesepakan ulama, dituntut secara berjama’ah. Abu Hanifah dan ulama lainnya
mengatakan tuntutan melakukan shalat ‘id hanya ditunjukan kepada orang yang bertempat
tinggal di kota. Namun, menurut Syafi’i, tuntutan itu berlaku secara luas, meliputi orang
musafir, perempuan dan budak bahkan orang yang sedirian. Waktu shalat ‘id itu sejak
matahari sampai kepada waktu zawal, dan sebaiknya dilaksanakan setelah matahari naik
setinggi tombak.
 
4. Shalat Istisqa
Shalat istisqa (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49) dilakukan dalam rangka
memohon turunnya hujan. Ulama sepakat, bila kebutuhan akan air menjadi sulit karena
lama tidak turun hujan, disunahkan melakukan istisqa, pergi keluar kota, berdo’a,
memohon agar Allah menurunkan hujan. Mayoritas mereka memasukan shalat sebagai
istisqa dari upacara istisqa itu, namun Abu Hanifah tidak memandang demikian.
Hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkad, yaitu apabila shalat itu dilaksanakan
ketika membutuhkan air, dengan tata cara- tata caranya. ( Fiqih empat Madzhab. 1994:
318)
Dalam kitab “al hudan nabawiy” telah dihitung macam-macam cara nabi saw,
melakukan minta hujan itu.
Pertama : keluarnya Nabi saw. menuju tempat shalatnya dan khutbahnya sambil
memohon.
Kedua : beliau meminta hujan itu pada hari jum’at di atas mimbar sewaktu tengah
khutbahnya.
Ketiga : beliau berdo’a minta hujan di atas mimbar di madinah, dengan do’a minta hujan
saja bukan pada hari jum’at tanpa melakukan shalat meminta hujan.
Keempat : bahwa beliau meminta hujan sewaktu beliau duduk dalam mesjid, beliau
mengangkat tangannya sambil berdo’a kepada Allah SWT.
Kelima : bahwa nabi saw. Pernah berdo’a minta hujan itu dengan duduk pada batu licin
dekat zaura (nama tempat yang menjadi pasar pada masa utsman) yaitu suatu tempat di
luar pintu mesjid
Keenam : beliau pernah berdo’a minta hujan pada suatu peperangan, karena sumber mata
air sudah dahulu dikuasai oleh kafir musyrik (musuhnya). Lalu mulai saat itu juga pada
daerah yang dikuasai Nabi saw. diturunkan hujan. (Terjemahan Subulus salam. 1991: 316)
 
5. Shalat Tahiyat masjid
Orang yang masuk masjid disunatkan melakukan salat dua raka’at, sebelum
duduk, sebagai penghormatan (tahiyat) masjid, sesuai hadits Nabi:” jika seseorang diantara
kamu datang ke masjid, maka hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at.’’ Tatapi, jika ia
masuk ketika shalat jama’ah akan dimulai, ia tidak di tuntut lagi melakukannya. Lagipula,
penghormatan terhadap masjid itu telah tercapai dengan melekukan shalat wajib tersebut.
Jika seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at ketika Imam sedang
menyampaikan khotbah, hendaklah ia melakukan shalat tahiyatul masjid dengan ringkas.
Dalam suatu riwayat dikatakan:” apabila seseorang diantara kamu datang ketika Imam
sedang berkhotbah, maka hendaklah ia shalat dua raka’at, dan hendaklah ia
melakukannya dengan ringkas.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 50)
 
Sabda Rasulullah Saw:
 
‫ و سلم أذا دخل أحدكم ا لمسجد فال‬ ‫عن أ بى قتادة قال رسول هللا صلى ا هلل عليه‬ ‫يجلس حتى يصلى‬
‫ رواه البخارى و مسلم‬. ‫ركعين‬
 
Dari Abu Qatadah, “Rasulullah Saw. Berkata, ‘Apabila salah seorang diantara kamu
masuk ke mesjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat dahulu’.“
(Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqih Islam. 2001: 146)
 
6. Shalat Dhuha
Shalat Dhuha ialah shalat sunnat dua rakaat atau lebih. Sebanyak-banyaknya dua
belas rakaat. Shalat ini dikerjakan ketika waktu dhuha, yaitu waktu matahari naik setinggi
tombak yaitu kira-kira pukul 8 atau pukul 9 sampai tergelincir matahari.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw.) telah berpesan
kepadaku tiga macam pesan:
(1) Puasa tiga hari setiap bulan,
(2) Shalat Dhuha dua rakaat, dan
(3) Shalat Witir sebelum tidur.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqh Islam. 2001:
147)
Shalat Dhuha hukumnya Sunnat menurut pendapat tiga Imam Madzhab.
Malikiyyah menyangkal pendapat itu. Mereka berpendapat bahwa shalat Dhuha itu
hukumnya mandub muakkad, bukan sunnat. Adapun waktunya adalah sejak matahari
menyingsing sebatas ketinggian satu tombak hingga tergelincir (zawal). Yang lebih utama
hendaknya ia memulai shalat itu setelah seperempat siang.  Batas minimal shalat dhuha
adalah dua rakaat. Sedangkan maksimalnya 8 rakaat. Apabila Ia menambah jummlah
rakaatnya lebih dari batas itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalat dhuha, maka
selebihnya dari 8 rakaat itu tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia lakukan karena
lupa dan tidak tahu, maka menurut Syafi’iyah dan Hanabillah ia sah sebagai
shalat nafilah mutlak.(Fiqih empat Madzhab. 1994: 269)
 
7. Shalat Tahajud
Shalat sunnah tahajud utama dilakukan pada waktu malam setelah tidur terlebih
dahulu. Keutamaan ini terkait dengan beratnya melakukan shalat setelah tidur dan juga
terkait dengan pelaksanaannya pada saat manusia sedang tidur dan lalai mengingat Allah.
Waktu yang terbaik baginya pada akhir malam sesuai dengan ayat 17-18 dari Surat Al-
dzariyyat.” Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir malam-malam
mereka memohon (kepada Allah).”
Bila malam dibagi tiga, maka sepertiga bagian setelah tengah malam merupakan
waktu terbaik. Sebagaimana diriwayatlkan Umar bahwa shalat yang paling disukai Allah
adalah shalat Nabi Daud. Ia tidur sepuluh malam, kemudin bangkit berdiri (shalat)
sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49)
Sabda Rasulluh Saw.:
 
‫عن أ بي هريرة لما سئل ا لنبى صلى ا هلل عليه و سلم أ ى ا لصالة افضل بعد ا‬
‫ روه مسلم و غيره‬.‫لمكتوبة ؟ قا ل ا لصالة فى جوف ا لليل‬
 
Dari Abu Hurairah, tatkala Nabi Saw. Ditanya orang,’ Apakah shalat yang lebih
utama selain dari shalat fardhu yang lima?’ Jawab Beliau,” Shalat pada waktu tengah
malam.” (Riwayat Muslim dan lainnya) dalam ( Fiqih islam. 2001: 148)
 
8. Shalat Jum’at
Shalat Jum’at (Fiqih Islam. 2001: 123) ialah shalat dua raka’at sesudah khatbah pada
waktu dzuhur pada hari jum’at. Hukum shalat jum’at itu adlah fardhu a’in, artinya wajib
atas setiap laki-laki dewasa yang beragama Islam, merdeka, dan tetap di dalam Negeri.
Perempuan, kanak-kanak, hamba sahaya, dan orang yang sedang dalam perjalanan tidak
wajib shalat jum’at.
Firman Allah Saw.:
.‫من يو م الجمعة فا سعو األى ذ كر ا هلل و ذرواالبيع‬  ‫يا أ يها ا لذ ين أ منوا أذا نودى للصلوة‬ 9 : ‫الجمعه‬

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila di seru untuk menunaikan shalat pada hari jum’at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Al-jumu’ah:
9)
Yang dimaksud ”jual beli” ialah segala pekerjaan selain dari urusan shalat.
Ada sebagian Ulama yang  berpendapat bahwa shalat jum’at merupakan fardu kifayah.
Bahkan, Imam Malik menganggapnya sunat. Sebab perbedaan pendapat ini karena shalat
jum’at hampir sama dengan shalat Id (Meteri pendidikan Agama islam. 2001: 41)
Pendapat Ibnu Hanbal (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 42) Orang yang wajib
shalat jum’at haram melakukan Safar, meninggalkan wilayah setelah tergelincir matahari
pada hari jum’at,  kecuali ia yakin dapat melaksanakannya di perjalanan. Hukum ini berlaku
juga bagi perjalanan sebelum tergelincir matahari, sebab kewajiban shalat tersebut terkait
dengan hari jum’at.
Abu Abdullah bin Hamid (Rahasia di Balik Shalat. 2003: 30) mengatakan: Barang
siapa mengingkari wajibnya jum’at berarti telah kufur. Jika ia mengerjakannya empat rakaat
namun meyakini wajibnya, yaitu dengan mengatakan bahwa shalat jum’at itu adalah shalat
dzuhur yang pendek, maka ia tidak kufur, jika tidak demikian maka ia kufur.
 
9. Shalat Rawatib
Shalat Rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat
fardhu. Seluruh shalat sunnah rawatib ini ada 22 raka’at, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat shubuh (sebelum shalat shubuh tidak ada sunnah ba’diyah)
b) 2 raka’at sebelum shalat zhuhur, 2 atau 4 ra’kaat sesudah shalat dzuhur)
c) 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat ashar (sesudah shalat ashar tidak ada sunnah
ba’diyah)
d) 2 raka’at sesudah shalat maghrib
e) 2 raka’at sebelum shalat isya
f) 2 raka’at sesudah shalat isya
Di antara shalat-shalat tersebut ada yang di namakan “sunnah muakkad” artinya
sunnah yang sangat kuat, yaitu:
a) 2 raka’at sebelum shalat dzuhur, dengan niatnya:
‫ ا هلل أ كبر‬. ‫أ صلى سنة ا لظهر ركعتين قبلية هلل تعلى‬
Artinya:
“ aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua  raka’at karena Allah Ta’ala. Allahu akbar.”
b) 2 raka’at sesudah dzuhur
c) 2 raka’at sebelum ashar
d) 2 raka’at sesudah maghrib
e) 2 raka’at sebelum isya
f) 2 raka’at sesudah isya
Shalat-shalat tersebut, yang dikerjakan sebelum shalat fardhu dinamakan
“Qabliyyah”, dan yang dikerjakan sesudah shalat fardhu dinamakan “Ba’diyyah”.
Ketentuan-ketetuan shalat Rawatib:
a) Niatnya menurut macam shalatnya
b) Tidak dengan adzan dan iqamah
c) Dikerjakan tidak dengan berjama’ah
d) Bacaannya tidak dinyaringkan
e) Jika lebih dari dua raka’at, tiap-tiap dua raka’at satu salam
f) Diutamakan sebaiknya tempat mengerjakan pindah bergeser sedikit dari tempat shalat
fardhu yang baru dikerjakan. (Risalah Tuntunan shalat lengkap. 2011: 80-83)

C. SYARAT SAH SHALAT


1. Masuk Waktu Sholat
Sholat adalah ibadah yang sudah ditentukan waktunya. Sebagaimana Allah SWT
berfirman dalam Al Quran Surah An Nisa ayat 103 berikut ini:
Artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholat, ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa
aman, maka dirikanlah sholat itu. Sesungguhnya sholat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
2. Suci dari Hadast Besar dan Kecil
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits bersabda:
Yang artinya : "Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika dia
berhadats sampai dia wudhu."
3. Suci Badan, Tempat dan Pakaian
Dalil bahwa sholat harus suci badan, tempat dan pakaian ini seperti Firman Allah
SWT dalam Al Quran Surah Al-Mudatsir ayat 4
Yang artinya: Dan pakaianmu maka bersihkanlah,
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:

Yang artinya: "Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid, hendaklah
ia mengeriknya kemudian membasuhnya dengan air. Setelah itu, ia boleh
mengenakannya untuk shalat.

4. Menutup Aurat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat memperhatikan penampilan
umatnya. Termasuk saat masuk ke dalam masjid. Dalam Al Quran Surah Al A'raf ayat
31, Allah SWT berfirman:
Yang artinya: Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid

5. Menghadap Kiblat
Dalam kitab Manhajus Salikin, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di
rahimahullah menulis bahwa menghadap kiblat menjadi salah satu syarat sahnya sholat.
Ini seperti firman Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 150
Yang artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram.

D. Rukun Shalat
1. Berdiri bagi yang mampu
Rukun pertama adalah salat dengan berdiri bagi yang mampu. Islam memberikan
keringanan untuk salat dengan duduk atau tidur jika tidak mampu berdiri.
2. Niat
Niatkan melakukan salat hanya karena Allah SWT. Niat juga bisa dibaca secara lisan
berdasarkan bacaan niat yang ada. Bacaan niat umumnya mencakup nama salat yang
dikerjakan, jumlah rakaat, dan melakukannya karena Allah SWT.
3.Takbiratul ihram
Takbiratul ihram adalah bacaan takbir Allahu Akbar saat salat.
4. Membaca surat Al-Fatihah pada setiap rakaat
Pada setiap rakaat salat, surat Al-Fatihah wajib dibaca pada setiap rakaatnya. Surat
atau ayat pendek sunah dibaca setelah membaca Al-Fatihah.
5. Rukuk dan tuma'ninah
Setelah itu, rukuk wajib dilakukan dengan tuma'ninah atau tidak tergesa-gesa. Rukuk
adalah gerakan membungkukkan badan dengan kedua tangan berada di lutut.
6. Iktidal dan tuma'ninah
Setelah rukuk, tegakkan badan untuk beriktidal dengan tuma'ninah, sebelum
melakukan sujud.

7. Sujud dengan tuma'ninah


Setelah iktidal, lakukan sujud dengan tuma'ninah. Terdapat dua kali sujud yang
dihubungkan dengan duduk di antara dua sujud.
8. Duduk di antara dua sujud
Pada setiap rakaat setelah sujud pertama, harus melakukan duduk di antara dua
sujud sebelum sujud yang kedua. Duduk di antara dua sujud juga dilakukan dengan
tuma'ninah.
9. Duduk tasyahud akhir
Di rakaat terakhir salat, setiap orang harus melakukan duduk tasyahud akhir sebelum
salam.
10. Membaca tasyahud akhir
Saat gerakan duduk tasyahud akhir, maka wajib membaca bacaan tasyahud akhir.
11. Membaca salawat nabi
Saat tasyahud akhir wajib membaca salawat yang dikirimkan kepada Nabi
Muhammad dan Nabi Ibrahim serta keluarganya.
12. Salam
Setelah itu, baca salam dengan menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri.
13. Tertib
Tertib adalah rukun ke-13 atau yang terakhir. Tertib berarti berarti melakukan salat
atau semua rukun salat dengan beraturan.

E. Hal-hal Yang Membatalkan Shalat


1. Hadas kecil maupun hadas besar
2. Kejatuhan najis yang tidak segera terbuang seperti kotoran cicak.
3. Terbuka auratnya yang tidak segera ditutup.
4. Bercakap-cakap
5. Sengaja melaksanakan perkara yang membatalkan puasa seperti makan dan minum
6. Makan yang banyak walaupun tidak disengaja
7. Bergerak hingga tiga kali berturut-turut walaupun tidak sengaja
8. Bergerak dengan gerakan besar, seperti melompat dan memukul
9. Mendahului atau terlambat mengikuti gerakan imam sampai dua rukun yang tanpa sebab
seperti imam rukuk makmum sudah itidal, imam sujud makmum sudah bangun dari
sujud ataupun sebaliknya.
10. Berbalik arah dari kiblat (Kakbah).
11. Tertawa dengan keras, berdahak, dan batuk ringan dengan sengaja tanpa sebab. Namun
tidak batal jika hanya senyum.
12. Berubah niat seperti sewaktu sholat niat 'kalau hujan saya mau mengangkat jemuran',
maka sholatnya batal seketika.
13. Ragu-ragu akan berubah niat, seperti sewaktu sholat ada hajatan yang baru datang,
kemudian hatinya ragu-ragu seakan mau membatalkan sholatnya atau tidak
membatalkan.
14. Punya niat membatalkan sholat dengan kondisi tertentu seperti sewaktu sholat
berlangsung, hati berkata nanti kalau ada tamu sholatku akan kubatalkan.
15. Mengurangi rukun sholat seperti tidak tahiyat.
16. Menambah rukun sholat selain Fatihah dan tahiyat
ZAKAT
A. Pengertian Zakat
Zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh umat Muslim untuk
diberikan kepada golongan yang berhak menerima, seperti fakir miskin dan semacamnya,
sesuai dengan yang ditetapkan oleh syariah. Zakat termasuk rukun Islam ke-4 dan menjadi
salah satu unsur paling penting dalam menegakkan syariat Islam.
Oleh karena itu, hukum zakat adalah wajib bagi setiap Muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat juga merupakan bentuk ibadah seperti shalat, puasa, dan lainnya
dan telah diatur dengan rinci berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

B. Zakat Maal
Pengertian Maal (harta)
Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali sekali
oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya.
Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat
digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim).
Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
a. Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai
b. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil
pertanian, uang, emas, perak, dll.

Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib Zakat


a. Milik Penuh (Almilkuttam)
Yaitu : harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat
diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang
dibenarkan menurut syariat islam, seperti : usaha, warisan, pemberian negara atau orang lain
dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram,
maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus dibebaskan dari
tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli warisnya.
b. Berkembang
Yaitu : harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau
mempunyai potensi untuk berkembang.
c. Cukup Nishab
Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'.
sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat
d. Lebih Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan
keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan
tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja
sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.
e. Bebas Dari Hutang
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus
dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut
terbebas dari zakat.
f. Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun.
Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang hasil
pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.
Harta(maal) yang Wajib Zakat
a. Emas Dan Perak
Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain merupakan tambang elok, juga
sering dijadikan perhiasan. Emas dan perak juga dijadikan mata uang yang berlaku dari waktu
ke waktu. Islam memandang emas dan perak sebagai harta yang (potensial) berkembang.
Oleh karena syara' mewajibkan zakat atas keduanya, baik berupa uang, leburan logam, bejana,
souvenir, ukiran atau yang lain.
Termasuk dalam kategori emas dan perak, adalah mata uang yang berlaku pada
waktu itu di masing-masing negara. Oleh karena segala bentuk penyimpanan uang seperti
tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya, termasuk kedalam kategori emas
dan perak. sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak.
Demikian juga pada harta kekayaan lainnya, seperti rumah, villa, kendaraan, tanah,
dll. Yang melebihi keperluan menurut syara' atau dibeli/dibangun dengan tujuan menyimpan
uang dan sewaktu-waktu dapat di uangkan. Pada emas dan perak atau lainnya yang berbentuk
perhiasan, asal tidak berlebihan, maka tidak diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.

b. Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing,
domba) dan unggas (ayam, itik, burung).
c. Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis
seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan,
dedaunan, dll.
d. Harta Perniagaan
Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam
berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll.
Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan seperti CV, PT,
Koperasi, dsb.
e. Ma-din dan Kekayaan Laut
Ma'din (hasil tambang) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan
memiliki nilai ekonomis seperti emas, perak, timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi,
batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut seperti
mutiara, ambar, marjan, dll.
f. Rikaz
Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut dengan harta
karun. Termasuk didalamnya harta yang ditemukan dan tidak ada yang mengaku sebagai
pemiliknya.

C. ZAKAT FITRAH
Pengertian Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang harus ditunaikan bagi seorang muzakki yang telah
memiliki kemampuan untuk menunaikannya. Zakat fitrah adalah zakat wajib yang harus
dikeluarkan sekali setahun yaitu saat bulan ramadhan menjelang idul fitri. Pada prinsipnya,
zakat fitrah haruslah dikeluarkan sebelum sholat idul fitri dilangsungkan. Hal tersebut yang
menjadi pembeda zakat fitrah dengan zakat lainnya.
Zakat fitrah berarti menyucikan harta, karena dalam setiap harta manusia ada
sebagian hak orang lain. Oleh karenanya, tidak ada suatu alasan pun bagi seorang hamba
Allah yang beriman untuk tidak menunaikan zakat fitrah karena telah diwajibkan bagi setiap
muslim, laki-laki maupun perempuan, orang yang merdeka atau budak, anak kecil atau orang
dewasa. Ini perkara yang telah disepakati oleh para ulama.

Hukum Zakat Fitrah


Zakat fitrah hukumnya wajib ditunaikan bagi setiap muslim yang mampu. Besar
zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebesar satu sha’ yang nilainya sama dengan 2,5 kilogram
beras, gandum, kurma, sagu, dan sebagainya atau 3,5 liter beras yang disesuaikan dengan
konsumsi per-orangan sehari-hari. Ketentuan ini didasarkan pada hadits sahih riwayat Imam
Ahmad, Bukhari, Muslim dan Nasa’i dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah telah mewajibkan
membayar membayar zakat fitrah satu sha’ kurma atau sha’ gandumkepada hamba sahaya,
orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dari kaum muslim.

Tata Cara Membayar Zakat Fitrah


Zakat fitrah dapat disalurkan melalui Lembaga Amil Zakat terpercaya di Indonesia.
Zakat fitrah dapat dikeluarkan sebelum waktu sholat idul fitri di hari-hari terakhir bulan suci
ramadhan. Itulah dasar pokok yang membedakan zakat fitrah dengan sedekah-sedekah
lainnya. Sebagaimana tercantum pada hadits Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang
berbunyi :
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fitri sebelum shalat Id maka zakatnya diterima dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat Id maka itu hanya dianggap sebagai
sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud).
Selanjutnya dalam menunaikan zakat fitrah diawali dengan membaca niat sebagai
berikut :
"Nawaitu an uhrija zakat fitri anna wa 'an jami'i maa yalzamuni nafqu tuhun syiar a'an far
dzolillahi ta'ala".
Artinya : " Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas sekalian yang saya wajibkan
memberi nafkah pada mereka secara syari'at, fardhu karena Allah ta'ala."

Syarat-syarat Zakat
Secara umum, syarat orang-orang yang wajib membayarkan zakat jika mampu
adalah orang-orang dengan kriteria di bawah ini:
1. Islam
2. Merdeka
3. Berakal dan baligh
4. Berkecukupan, mampu secara finansial
5. Hartanya memenuhi nisab
Jika kamu merupakan seorang muslim yang memenuhi kelima syarat di atas, harta
yang kamu miliki wajib untuk diamalkan kepada orang-orang yang masuk ke dalam golongan
yang  berhak mendapatkan zakat. Tetapi, perlu diingat bahwa terdapat juga syarat untuk
barang-barang yang akan dizakatkan. 

5 Syarat Zakat
1. Harta dimiliki secara sempurna
Harta seseorang memenuhi syarat awal jika memang harta tersebut benar-benar
sepenuhnya milik orang yang bersangkutan.
Jika masih terdapat hutang, seseorang harus melunasi terlebih dahulu, baru
membayar zakat dari harta yang miliknya seutuhnya.  Piutang yang dipinjamkan ke orang
yang mampu atau sudah berjanji akan membayar dalam waktu tertentu, juga masuk ke dalam
harta yang harus kamu bayarkan. Beda halnya jika orang yang diberi pinjaman tidak mampu
atau sulit melunasi hutang, harta tersebut tidak termasuk ke dalam yang harus dibayarkan
dalam zakat.

2. Termasuk ke dalam harta yang berkembang


Harta yang berkembang adalah harta yang dapat mendatangkan keuntungan dan
manfaat bagi pemilik harta.
Harta yang dimaksud juga terbagi menjadi dua, yaitu harta yang berkembang dari
segi kuantitas (harta hakiki, seperti hasil perdagangan dan perkembangbiakkan hewan ternak),
dan harta yang berkembang secara kualitas (takdiri). Harta primer atau yang disimpan untuk
kebutuhan pokok seperti simpanan makanan, kendaraan, dan rumah, tidak termasuk ke dalam
harta yang harus dizakatkan. 

3. Harta mencapai Nishab


Nishab merupakan ukuran atau jumlah minimum setiap barang yang wajib
dibayarkan zakatnya.
Setiap barang memiliki nishab nya masing-masing. Seperti contohnya untuk harta
hasil perdagangan, Nishab nya adalah setara dengan 85 gram emas.
Untuk zakat pertanian, nishab nya adalah 653 kg gabah atau 520 kg jika yang
dihasilkan adalah makanan pokok.

4. Harta mencapai satu Haul


Satu haul sama dengan satu tahun, atau 12 bulan Hijriyah. Syarat ini hanya
berlaku untuk zakat yang berhubungan dengan kepemilikan harta dalam bentuk mata uang
dan hewan ternak, tidak untuk jenis zakat lainnya.

5. Harta melebihi kebutuhan pokok


Sama dengan apa yang sudah dijelaskan di poin-poin sebelumnya, bahwa seseorang
harus mapan atau mampu secara ekonomi untuk bisa membayarkan zakat.
Jika semua kebutuhan pokok diri dan keluarga sudah terpenuhi, membayar zakat
menjadi sebuah kewajiban. 
Harta yang termasuk dalam kebutuhan pokok adalah stok makanan untuk keluarga, rumah
atau tempat tinggal, dan pakaian. 

KELOMPOK PENERIMA ZAKAT


1. Fakir
Golongan masyarakat yang nyaris tidak memiliki apapun sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan utama dalam hidupnya.
2. Miskin
Golongan masyarakat yang hartanya sangat sedikit tapi masih dapat memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya.
3. Amil
Orang-orang yang mengumpulkan zakat dan membagikannya kepada yang berhak.
4. Mu'alaf
Orang-orang yang baru memeluk agama Islam dan membutuhkan bantuan dalam
menyesuaikan kondisi hidupnya.
5. Gharimin
Orang-orang yang memiliki utang untuk mencukupi kebutuhannya di mana
kebutuhan tersebut halal tapi tidak sanggup untuk membayar utangnya tersebut.
6. Fisabilillah
Mereka yang berjuang di jalan Allah. Misalnya pendakwah, orang yang negaranya
mengalami peperangan, dan lainnya.
7. Ibnus Sabil
Orang-orang yang mengalami kehabisan uang dalam perjalanannya.
8. Hamba sahaya
Budak atau orang-orang yang ingin memerdekakan dirinya.
PUASA
A. Pengertian Puasa
Puasa merupakan rukun Islam yang ketiga. Puasa adalah salah satu ibadah umat
Islam yang memiliki arti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa yang
dapat berupa memperturutkan syahwat, perut dan farji (kemaluan) sejak terbit fajar sampai
terbenamnya matahari dengan niat khusus.
Perintah untuk untuk melaksanakan puasa Ramadhan berdasarkan Al-Quran, Hadits
dan kesepakatan ulama. Dalil yang menyatakan kewajiban berpuasa disebut dalam Al-
Quran surat al-Baqarah ayat 183 yang memiliki arti sebagai berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa".
Selain puasa ramadhan yang wajib, ada pula ibadah puasa sunnah yang dianjurkan
untuk dilakukan di momen selain Ramadhan. Puasa sunnah sendiri merupakan ibadah puasa
yang tidak wajib hukumnya, namun sangat dianjurkan dan banyak pahala yang bisa kita petik
ketika dikerjakan. Terdapat waktu-waktu tertentu dalam puasa sunnah, namun ada juga puasa
sunnah yang bisa dilakukan kapan saja.

B. Syarat sah puasa 


Masih dalam buku yang sama, Ahmad Sarwat menyatakan, yang dimaksud syarat
sah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang dilakukan seseorang menjadi sah
hukumnya di hadapan Allah Subhanahu Wa'tala. 
Dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu dicantumkan syarat sah puasa menurut
empat mazhab, yaitu; - Mazhab Hanafi, syarat sah puasa ada tiga, yakni:
1. Niat
2. Bebas dari perkara yang menafikan puasa (haid dan nifas)
3. Bebas dari perkara yang membatalkannya.

- Madzhab Maliki, syarat sah puasa ada lima, yakni:


1. Niat
2. Suci dari haid dan nifas
3. Beragama Islam
4. Waktu yang boleh untuk diisi dengan puasa (puasa tidak sah pada hari Raya Ied) 
5. Berakal

- Madzhab Syafi`i, ada empat syarat sah puasa:


1. Beragama Islam
2. Berakal
3. Suci dari haid dan nifas pada keseluruhan siang. 
4. Niat

- Madzhab Hambali menetapkan tiga syarat:


1. Beragama Islam
2. Niat
3. Suci dari haid dan nifas.

Syarat sah di atas adalah dalam perspektif fiqih. Artinya, jika memenuhi syarat-
syarat tersebut, maka puasa seorang muslim/muslimah sudah dan gugur kewajiban.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu mengemukakan
lima syarat diwajibkannya puasa, yaitu:
1. Beragama Islam Puasa non-muslim tidak sah. Hal ini dilandaskan pada khitab perintah
puasa dalam QS. Al-Baqarah: 183 yang didahului dengan sapaan kepada orang-orang
beriman (Yaa ayyuhal ladzina aamanu).
2. Aqil dan Baligh Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang gila (tidak
berakal) dan orang mabuk, karena mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang
sudah masuk dalam konstitusi hukum), sebagaimana dalam hadist: "Seseorang tidak
termasuk mukallaf pada saat sebelum baligh, hilang ingatan dan dalam keadaan tidur".
3. Tidak dalam keadaan haid atau nifas Oleh sebab itu, jika perempuan yang sedang haid atau
nifas, maka puasanya tidak sah. Namun, dalam ajaran Islam, perempuan yang mengalami
haid dan nifas untuk mengganti puasanya di lain hari selain di bulan Ramadan.
Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. 
ُ ‫ت لَس‬
‫ْت‬ ُ ‫ت قُ ْل‬
ِ ‫ُوريَّةٌ َأ ْن‬
ِ ‫ت َأ َحر‬
ْ َ‫صالَةَ فَقَال‬
َّ ‫ضى ال‬ ِ ‫ضى الصَّوْ َم َوالَ تَ ْق‬ ِ ‫ض تَ ْق‬ِ ‫ت َما بَا ُل ْال َحاِئ‬
ُ ‫ت عَاِئ َشةَ فَقُ ْل‬
ُ ‫ت َسَأ ْل‬
ْ َ‫ع َْن ُم َعا َذةَ قَال‬
َ‫صال ِة‬َّ ‫ضا ِء ال‬ َ ‫ُْؤ‬ َ
َ ‫ضا ِء الصَّوْ ِم َوال ن َم ُر بِق‬ َ ‫ُْؤ‬
َ ‫ك فن َم ُر بِق‬َ َ
َ ِ‫صيبُنَا ذل‬ َ ْ َ َ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ِّ َ
ِ ُ‫ قالت كانَ ي‬.ُ‫ُوريَّ ٍة َول ِكنى ْس ل‬ ِ ‫بِ َحر‬.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa
gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah
menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami
haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk
mengqadha’ shalat’.
4. Sehat dan mampu Puasa Ramadan tidak diwajibkan atas orang sakit (tidak mampu).
Konsekuensinya, harus menggantinya di hari lain selain bulan Ramadan saat ia sudah
sehat. Ibadah fardlu ini boleh ditinggalkan khusus bagi mereka yang memiliki uzur atau
penghalang, tapi diganti dengan membayar fidyah. 
Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 184.
" Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin."
5. Bermukim Orang yang bermukim atau tidak sedang melakukan perjalanan (musafir) tidak
diwajibkan berpuasa. 
Allah Subhananu Wa'tala bersabda;
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-
Baqarah: 185)
C. Rukun Puasa
Berdasarkan fikih islam, ada empat rukun puasa, antara lain sebagai berikut:
1. Niat Puasa
Rukun puasa yang pertama adalah niat puasa. Niat dilakukan untuk
mempertegas amalan yang sedang dilakukan. Niat dibaca ketika Anda mau puasa
wajib dan juga sunah. Oleh karenanya, mempelajari niat puasa wajib atau sunah
menjadi laku yang sangat penting.
Adapun niat berpuasa ada tiga macam, antara lain:
 Berniat di malam hari sebelum subuh
Anda bisa mengucapkan niat puasa di malam hari sebelum subuh. Berdasarkan
hadis dari Haffashah–Ummul Mukminin, niat puasa wajib yang disebutkan
sebelum dimulainya fajar subuh dapat menyebabkan puasa tidak sah. Namun,
untuk puasa sunah, kamu boleh mengucapkan niat di pagi hari. Dengan catatan
dilakukan sebelum waktu zawal atau tergelincirnya matahari ke barat.
 Menegaskan Niat
Niat puasa harus didasarkan pada tujuan untuk menegaskan puas wajib atau
puasa sunah.
 Niat yang harus diulang setiap malam
Ada jenis niat puasa yang harus dibaca tiap malam sebelum memasuki subuh.
Niat tersebut ditujukan untuk puasa hari berikutnya. Misalnya niat puasa wajib
hari senin diucapkan pada hari minggu malam ketika sahur.

2. Menahan Diri dari Hal-hal yang Membatalkan Puasa


Anda harus mampu menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Sejumlah hal yang dapat membatalkan puasa ialah:
 Makan dan minum dengan sengaja
 Memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh
 Marah sampai lupa diri
 Berhubungan seksual
 Nifas
 Murtad
 Muntah disengaja
3. Menahan Diri dari Jima
Jima artinya berhubungan badan. Persoalan ini ditegaskan dalam surah Al
Baqarah ayat 187, yakni:
“Dihalalkan untuk kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istrimu.
Istrimu adalah pakaian untukmu dan kamu adalah pakaian untuk istrimu. Allah Swt
mengetahui bahwas kamu tidak bisa menahan nafsu. Karena itu, Allah Swt
mengampuni dan memberi maaf kepadamu. Maka campurilah istrimu dan ikuti apa
yang ditetapkan oleh Allah Swt untukmu, dan makan minumlah hingga terang untukmu
benang putih dari benang hitam, yakni  fajar. Sempurnakan puasa hingga malam,
janganlah kamu mencampuri istrimu, sedang kamu beritikaf di dalam massjid. Itulah
larangan Allah Swt, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah Awt
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”

4. Berbuka Puasa Saat Magrib Tiba


Rukun keempat ialah membatalkan / berbuka puasa di waktu yang tepat atau
ketika magrib tiba. Anda bisa menyantap makanan dan minum untuk melepas dahaga.
Sebelum menyantap makanan dan minuman, berbukalah dengan membaca doa buka
puasa lebih dulu. Syukuri nikmat yang Anda peroleh hari itu, dan berbukalah dengan
suka cita. 
Itulah penjelasan tentang rukun puasa. Semoga amal ibadah Anda diterima
Allah SWT.

D. Macam-macam Puasa
1. Puasa Wajib
Dalam agama Islam, wajib berarti harus memenuhi kewajiban puasa. Jika seseorang
berpuasa, ia akan diberi pahala dan jika tidak mengerjakan puasa ia akan berdosa. Berikut
ini beberapa macam puasa wajib:
 Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan merupakan jenis puasa yang paling umum karena wajib berpuasa
sebulan bagi setiap muslim yang telah melewati baligh selama bulan Ramadhan.
Kewajiban untuk berpuasa selama bulan Ramadhan tercantum dalam Al-Quran surat Al-
Baqarah ayat 183.
 Puasa nadzar
Jenis puasa wajib kedua adalah puasa nazar yang puasa berdasarkan janji. Nazar
sendiri secara harfiah berarti janji sehingga puasa yang didelegasikan memiliki hukum
yang mengikat.
 Puasa Kifarat
Jenis puasa wajib terakhir adalah puasa kifarat atau denda yaitu puasa yang
dilakukan untuk mengganti denda atau dam karena melanggar hukum wajib misalnya tanpa
melaksanakan puasa. Tujuan puasa ini bertujuan untuk menghapus dosa yang dilakukan.

2. Puasa Sunnah
Puasa sunnah merupakan puasa yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika
tidak dikerjakan tidak berdosa. berikut beberapa puasa sunnah yaitu :
 Puasa Sya’ban (Nisfu Sya’ban)
Bulan ramadhan tidak hanya memiliki keistimewaannya sendiri, bulan sya’ban juga
memiliki keistimewaannya sendiri. Di bulan sya’ban direkomendasikan bahwa umat islam
mencari pahala sebanyak mungkin. Salah satu caranya dengan berpuasa semaksimal
mungkin di awal pertengahan bulan sya’ban.
 Puasa Ashura
Bulan Muharram merupakan bulan yang disunnahkan untuk meningkatkan puasa.
Bisa dilakukan diawal, diakhir maupun dipertengahan bulan. Namun, puasa utama nya
adalah pada hari asyura yaitu hari kesepuluh di bulan muharram. Puasa ini dikenal sebagai
Yaumu Ashura yang berarti pada hari kesepuluh bulan muharram.
 Puasa Senin dan Kamis
Puasa jenis ini juga merupakan puasa sunnah paling populer. Puasa pada hari Senin
dimulai ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari
senin dan mamis. Karena senin merupakan hari ulang tahunnya, sedangkan kamis
merupakan pertama kalinya Al-Quran diturunkan.

 Puasa Tarwiyah
Puasa Tarwiyah merupakan puasa yang dilakukan pada hari tarwiyah pada tanggal 8
Dzulhijjah. Istilah tarwiyah sendiri berasal dari kata tarawwa yang berarti menyediakan air.
Hal ini karena para peziarah membawa banyak air zam-zam pada hari itu untuk
mempersiapkan menuju mina dan arafah.
 Puasa Daud
Puasa jenis ini merupakan puasa yang unik karena puasadaud bersifat intermiten
(sehari puasa dan sehari tidak). Puasa daud bertujuan untuk meniru puasa Nabi daud. Puasa
jenis ini Merupakan puasa yang disukai Allah SWT.
 Puasa Syawal
Jenis puasa lainnya dari puasa sunnah merupakan puasa Syawal. Syawal sendiri
merupakan nama bulan setelah bulan ramadhan. Puasa syawal merupakan puasa enam hari
di syawal. Puasa ini dapat dilakukan secara berurutan dari hari kedua syawal atau
dilakukan dengan tidak berurutan.
 Puasa Arafah
Puasa arafah merupakan jenis puasa sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat islam
yang tidak berhaji. Bagi muslim yang sedang berhaji, tidak ada keutamana untuk berpuasa
pada hari arafah atau pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa arafah sendiri memiliki hak
istimewa untuk yang melaksanakannya yaitu penghapusan dosa di tahun lalu dan dosa di
tahun mendatang.
 Puasa Ayyamul Bidh
Umat muslim disunnahkan berpuasa setidaknya tiga kali sebulan. Namun, puasa
paling utama dilakukan pada ayyamul bidh yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15 dari bulan
pada kalender islam atau bulan hijriah. Ayyamul bidh itu sendiri berarti hari putih karena
pada malam-malam ini bulan purnama bersinar dengan cahaya bulan berwarna putihnya.

3. Puasa Makruh
Jika Anda berpuasa pada hari jumat atau sabtu dengan tujuan untuk disengaja atau
dikhususkan maka hukum itu makruh kecuali Anda bermaksud atau ingin mengganti puasa
Ramadhan, puasa kifarat atau puasa karena nadzar.
4. Puasa Haram
Puasa haram yaitu puasa yang jika dikerjakan mendapat dosa dan jika tidak
dikerjakan mendapat pahala. Berikut macam puasa haram :
 Idul Fitri. Yang jatuh pada tanggal 1 Syawal yang disebut sebagai hari raya umat islam.
Puasa dilarang pada hari ini karena hari ini merupakan hari kemenangan karena sudah
puasa selama sebulan di bulan ramadhan.
 Idul Adha. pada tanggal 10 dzulhijjah merupakan hari raya kurban serta hari raya
kedua bagi umat islam. Puasa dilarang pada hari ini.
 Hari Tasyrik. Itu jatuh pada tanggal 11, 12 dan 13 Dhulhijjah.
Puasa setiap hari atau sepanjang tahun serta selamanya.

E. Hal yang Dapat Membatalkan Puasa


1. Makan dan minum
Syarat sahnya puasa adalah menahan hawa nafsu, keinginan untuk makan dan
minum adalah jenis nafsu yang bisa membatalkan puasa. Makan dan minum dapat
membatalkan puasa karena memasukan sesuatu kedalam mulut, tetapi apabila hal ini
terjadi secara tidak sengaja maka puasa tetap dikatan sah. Selanjutnya hanya perlu
membasuh mulut.
2. Muntah secara sengaja
Muntah yang dimaksud adalah muntah yang terjadi karena memasukkan
sesuatu ke dalam tenggorokan hingga muntah.
3. Keluar mani
Keluar mani yang disebabkan oleh bersentuhan kulit dengan lawan jenis dan
onani bisa membatalkan puasa, namun keluarnya mani yang disebabkan  ihtilam atau
mimpi basah tidak membatalkan puasa karena terjadi tanpa sengaja.
4. Haid atau menstruasi
Seorang yang sedang menjalani puasa lalu ia mengeluarkan darah haid maka
puasanya tidak sah. Darah haid adalah darah yang keluar karena siklus hormonal pada
wanita

5. Berhubungan badan
Berhubungan badan pada waktu puasa akan membatalkan puasa. Bagi siapa
yang melakukan hubungan badan saat itu diharuskan mengganti puasanya dan juga
membayar denda atau kafarat.
6. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar setelah seorang wanita melakukan proses
melahirkan. Darah ini akan keluar selama 40 hari setelah melahirkan
7. Gila (junun)
Puasa dikatakan tidak sah atau batal apabila orang yang menjalani puasa
mengalami kondisi ini.
8. Murtad
Murtad adalah keadaan dimana seorang Muslim keluar dari agama Islam. Orang
yang murtad maka puasanya otomatis batal.

Anda mungkin juga menyukai