Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN Ibadah adalah masalah terpokok dalam ajaran agama islam, karena hakekat diciptakannya manusia di muka

bumi ini adalah untuk beribadah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-dzariyat 56 : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku Ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaahn Allah SWT, karena Allah SWT-lah yang telah menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya. Perlu ditegaskan bahwa ibadah merupakan hak Allah SWT atas hambaNya. Yang dijelaskan dalam sebuah dialog antara Rasulullah SAW dengan seorang sahabat yaitu Muaz bin Jabal (W.18H/639M) sebagai berikut : Wahai Muaz tahukah engkau tentang hak Allah terhadap hamba-hambaNya? Jawab Muaz Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya. Rasulullah menjelaskan: Hak Allah atas hamba-hambanya adalah mereka (hamba) menyembah (beribadah) kepada-Nya dan tidak menyekutukannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi, Urgensi dan Kedudukan Ibadah Definisi Ibadah Secara etimologi Ibadah berasal dari kata abada-yabudu-ibadatan yang berarti mengesakan, beribadah menyembah dan mengabdi1 kepada Allah SWT. Ibadah juga dapat bererti taat, tunduk, menurut, mengikut dan juga doa2. Beberapa pengertian tersebut di ambil dari ayat-ayat Al-Quran diantaranya QS. Yasin, An-Nisa dan Al-Mumin. Secara terminologis definisi ibadah dikemukakan oleh para ulama yaitu 3: 1. Menurut ulama Tauhid, Tafsir dan Hadis, Ibadah mempunyai makna tauhid, mengesakan Allah, mentazhimkan-Nya dengan sepenuh-penuhnya takhzim serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya. Tauhid adalah mengesakan Allah, Tuhan yang disembah serta mengitikadkan pula keesaan pada zat-Nya dan pada pekerjaan-Nya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan seuatupun (An-Nisa:36) 2. Menurut ulama Akhlak, Ibadah adalah mengerjakan segala sesuatu dengan ketatan badan dan menegakkan syariat (hukum). Yang dimaksud dengan mengerjakan segala sesuatu dengan ketatan badan dan menegakkan syariat yaitu berperilaku akhlakul karimah dalam berbagai bentuk kehidupan, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bernegara.

Louis Maluf, al-Munjid fi al-lughah wa al-Ilam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987,h. 487. Bandingkan dengan Habsi al-Shiddieqy, kuliah ibadah, Jakarta:Bulan bintang, 1968, cet. IV, H.7. lihat pula ensiklopedia Hukum islam, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hove, 1997, Jilid II, h.592 2 Lihat Hasbi al-Shiddieq, Kuliah Ibadah, dan bandingkan dengan Ensiklopedia Hukum Islam, h.592 3 Lihat Hasbi al-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, h. 7-10. Lihat juga Himpunan Putusan Tarjih , h.277

3. Menurut ulama Tasawuf, Ibadah adalah seorang mukalaf mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsunya untuk membesarkan tuhannya. Mereka mengartikan ibadah dengan menepati segala janji yang ditepati Allah, memelihara segala batas ketentuan serta meridhoi segala yang ada, dan bersabar terhadap sesuatu yang tidak diperolehnya atau bersabar akan sesuatu yang telah hilang. Para ulama tasawuf membagi ibadah menjadi 3 bagian yaitu : Beribadah kepada Allah karena mengharap benar akan memperoleh pahalaNya, atau karena takut akan siksa-Nya. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa ibadah itu perbuatan mulia yang dilakukan oleh orang yang mulia jiwa-Nya. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa Allah berhak disembah dengan tidak memprdulika apa yang akan diterimanya atau diperoleh dari-Nya. 4. Menurut Fuqaha (para ulama fiqih), Ibadah adalah apa-apa yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala di Akhirat. Ibadah dalam hal ini diartikan al-qiyamu bi haqqihi taala (mengerjakan semua hak Allah). 5. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam dikemukakan bahwa Ulama mahzab Syafii mengartikan Ibadah adalah perbuatan yang dibebankan Allah SWT kepada hambanya yang tidak selamanya sesuai dengan keinginan yang bersangkutan. Dan menurut ulama mahzab Hanafi, ibadah adalah perbuatan mukallaf untuk melawan hawa nafsunya dalam rangka menggangungkan Allah SWT. 6. Menurut Ibnu Taimiyah (Seorang pembaharu Islam, Yusuf Qardlawi (pemikir islam kontemporer) dan Syekh Abu al-Ainain Badran (ahli fikih dari mesir), Ibadah adalah ketatan dan ketundukan yang sempurna. 7. Menurut Yusuf al-Qardlawi secara tersendiri, Ibadah sebagai nama bagi semua yang akan membuat Allah SWT senang dan ridha, baik yang terdiri atas perkataan maupun perbuatan, baik yang bersifat lahir maupun batin dan hanya ditujukan kepada Allah SWT tidak kepada yang lain.

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ibadah mencakup semua aktifitas yang dilakukan manusia yang disenangi Allah SWT dan diridhai-Nya, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniyah. Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyah tersebut, Yusuf AlQardlawi mengatakan bahwa segenap aspek kehidupan manusia bernilai ibadah. Muhammad Abduh berpendapat, perbedaan beribadah kepada Allah SWT dengan ibadah kepada selain Allah SWT bukan terletak pada tingkatan kedudukan dan ketaatan tapi pada munculnya perasaan tunduk dan taat tersebut. Apabila sumber dan penyebabnya adalah sesuatu yang bersifat lahiriyah seperti kekutan dan kekuasaan yang bukan dari Allah SWT maka bukan merupakan ibadah. Apabila sumber ketundukan dan ketaatan berasal dari suatu keyakinan (al-itiqad) bahwa yang disembah (Al-Mabud) yaitu Allah memiliki keagungan, maka disebut ibadah4. Urgensi Ibadah Beribadah pada hakekatnya ditujukan kepada Allah SWT, tetapi Allah tidak memiliki kebutuhan dan kepentingan apapun terhadap perbuatan hamba-hambaNya. Allah menegaskan hukum atau aturan-aturan tentang ibadah dan tata caranya, namun kepentingan maupun manfaat ibadah (orang yang melakukan ibadah) itu sendiri. Bahwa hakekat ibadah adalah ketundukkan, kepatuhan, kecintaan yang sempurna kepada Allah SWT. Ketundukan dan kepatuhan ini akan melahirkan : 1. Kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dan harus mengabdi dan menyaembah kepada-Nya, sehingga ibadah menjadi tujuan hidupnya5 2. Kesadaran bahwa sesudah kehidupan didunia ini akan ada kehidupan di akhirat sebagai masa untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan perintah Allah SWT selama menjlani kehidupan di dunia6

4 5

Lihat Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hove, 1997, jilid IIh.593 Lihat QS.Al-Dzariat /51:56

3. Kesadaran bahwa dirinya diciptakan Allah SWT bukan sebagai pelengkap alam semesta, tetapi justru menjadi sentral alam semesta.7 Allah mewajibkan manusia untuk selalu beriman dan membersihkan hati dari perbuatan syirik. Diwajibkan shalat untuk mensucikan diri dari ketakutan. Diperintahkan berzakat agar mensucikan jiwa serta dapat menumbuhkan harta atau menambah rezeki. Diperintahkan berpuasa untuk menguji keikhlasan manusia. Diperintahkan silahturahmi untuk menciptakan persaudaraan, persatuan dan kesatuan umat Islam. Mewajibkan berlaku taat agar memperoleh nilai yang tinggi di hadapan Allah 8 Dengan demikian, agar kita mampu mengambil hikmah dari pelaksanaan ibadah,hendaknya kita pelajari berbagai macam hikmah ibadah tersebut. Apabila kita mengetahui hikmah ibadah, ibadah kita akan terasa lebih khusyu dan ikhlas. Kedudukan Ibadah Ibadah merupakan suatu hal yang prinsipil dan menjadi ciri khas setiap orang yang beragama. Maka, berbeda agama berbeda pula cara peribadatannya. Pelaksnaan ibadah sangat berkait dengan faktor keimanan atau keyakinan dan juga tidak terlepas dari akhlak atau perilaku, serta berhubungan erat dengan muamalah atau persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam sistem ajaran islam, terdapat persoalan-persoalan yang prinsip yaitu : akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, saling terkait dan berjalin berkelindan. Ajaran islam sangat mendambakan kehidupan sosial yang penuh kedamaian, saling menolong(taawun), saling mengingatkan (tawashaw), dan menjalin hidup penuh rasa persaudaraan (ukhuwwah). Iman tanpa ibadah tidak memiliki bentuk. Ibadah tanpa akidah laksana bangunan yang rapuh, tidak kokoh. Ibadah tanpa diiringi perbuatan baik /
6 7

Lihat Qs. Al- Zalzalah/99:7-8 Lihat Qs. Al- Baqarah/2 :29 8 Lihat Hasbi Al- Shiddieqy yang mengutip sebuah Atsar, Kuliah Ibadah,h.

akhlakuk karimah bagaikan pohon tak berbuah atau sayur tanpa garam. Karena posisi ibadah merupaka suatu hal yang prinsip dalam islam, tanpa mengamalkan ibadah tidak akan dinyatakan sebagai orang islam. Ibadah merupakan perwujudan ketaatan dan ketundukkan serta kecintaan makhluk kepada khaliknya. B. Tujuan, Macam-macam dan Prinsip Ibadah Tujuan Ibadah Allah SWT menciptakan manusia dimuka bumi ini sebagai khalifah, yang mengemban misi untuk menjadi pemimpin, pengelola, pemakmur dan pemelihara keselamatan alam semesta. Allah juga telah menganugerahkan manusia sebuah perangkat istimewa yaitu berupa ilmu pengetahuan dan akal pikiran yang membedakan dari makhluk tuhan lainnya. Dengan bekal ilmu pengetahuan, manusia melaksanakan amanat yang diperintahkan Allah SWT, sehingga memperoleh kedudukan yang sangat tinggi bahkan melebihi kedudukan malaikat sekalipun. Hanya saja selain manusia memiliki potensi kebaikan, juga memiliki potensi keburukan (seperti Zhalim dan Jahil) yang akan menjurumuskan kedalam jurang yang paling dalam. Dan keadaan manusia yang dilingkupi hawa nafsu akan menempatkan dirinya dalam posisi yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari makhluk Allah yang paling rendah (binatang). Beberapa nash al-Quran tentang tugas dan fungsi manusia serta kedudukan mereka : Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat:

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi... Dan dia mengajarkan kepada Adam nama (benda-benda) seluruhnya,... (QS. Al-baqarah: 30-31) Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS.Al-Ahzab:72)

Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ketempatnyang serendahrendahnya (neraka). (QS.At-Tin :4-5) Manusia terdiri dari 2 unsur yaitu jasmani dan rohani, yang harus berkembang dengan baik dan seimbang. Unsur jasmani yang memiliki sifat material seperti sandang, papan, dan pangan. Sedangkan unsur rohani bersifat immateri yang membutuhkan sesutau yang bersifat immaterial seperti ajaran akhlak, kesenian dan agama. Jika manusia dalam kehidupan hanya mementingkan unsur jasmani saja, maka akan menjadi materialistik. Sebaliknya, jika hanya mementingkan unsur rohani saja, maka akan menjadi immaterialistik atau spiritualistik. Tuntutan ajaran islam tidak mementingkan ajaran islam saja, namaun sekaligus kedua-duanya. Islam mengandung ajaran yang berwawasan dunia dan akhirat, dan tidk memisahkan antara dunia dan akhirat. Allah menjadikan manusia bukan untuk sekedar hidup di dunia kemudian mati tanpa pertanggungjawaban manusia, sebagaimana dalam firmannya: Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepda kami ?. (QS. Al-Muminun:115) Islam adalah agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Sehingga diperlukan manusia yang bertaqwa yang mematuhi segala perintah dan meninggalkan segala larangan Allah. Karena manusia yang bertaqwa memiliki akhlak yang mulia yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan, memeliharadan menyelamatkan alam semesta sehingga islam sebagai rahmat bagi seluruh alam akan dapat terwujud. Terwujudnya rahmat bagi seluruh alam semesta merupakan tujuan dari ibadah itu sendiri. Tapi perlu ditegaskan bahwa ibadah hanya sebagai washilah

(perantara,metode atau cara), maka perwujudan ibadah berlebih-lebihan tidak dibenarkan menurut ajaran islam9. Macam-macam Ibadah Ibadah terdiri atas beberapa macam tergantung sudut pandang yang digunakan dalam memandangnya, diantaranya: 1. Ditinjau Secara Umum Ibadah khassah (ibadah khusus) atau ibadah mahdlah Ibadah khusus yaitu segala kegiatan yang ketentuannya ditetapakan oleh syariaat (Al-Quran dan Al-Sunnah) mulai dari ketentuan umum hingga ketentuan rinci. Ibadah dalam arti khusus ini tidak menerima perubahan, baik penambahan maupun pengurangan contohnya seperti shalat. Ketentuan shalat tentang berapa rakaatnya, kapan waktunya, bagaimana tata caranya adalah sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kecuali hal-hal yang berkenan dengan sarana ibadah shalat karena masalah sarana tidak termasuk ibadah. Ibadah ammah (ibadah umum) atau ibadah ghairu mahdlah Ibadah umum ketentuannya secara garis besar ditetapkan oleh syariat tetapi rincian pelaksanaanya diserahkan epenuhnya kepada manusia sesuai dengan situasi, kondisi dan kemampuan manusia itu sendiri. Ibadah dalam artian ini adalah segala macam bentuk perbuatan manusia secara umum, asalkan mengandung hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi semua pihak serta ditujukan karena Allah semata. Contohnya seperti tolong-menolong, dan kasih-mengasihi. 2. Ditinjau dari Segi Pelaksanaanya Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah Ibadah yang pelaksanaanya memerlukan kegiatan fisik disertai jiwa yang tulus ikhlas kepada Allah, contohnya: shalat dan puasa.

Lihat dan bandingkan dengan Djaelani Husnan dkk, Kuliah Ibadah, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1997,h.15

Ibadah ruhaniyah-maliyah Ibadah yang pelaksananya seperti perbuatan mengeluarkan sesuatu harta yang menjadi hak miliknya yang diiringi niat ikhlas semata karena Allah, contohnya: Ibadah zakat. Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah-maliyah Ibadah yang memerlukan kegiatan fisik dengan melakukan beberapa bentuk amalan, dan perlu mengeluarkan biaya sebagai ongkos perjalanannya, serta diniatkan untuk memenuhi panggilan Allah. Contohnya: Naik Haji 3. Ditinjau dari Segi Kepentingannya Ibadah fardiy Bentuk ibadah yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melakukannya saja, dan tidak ada hubungannya dengan orang lain. Ibadah ini memeiliki hubungan hanya antara manusia dengan tuhannya, seperti Shalat dan Puasa. Ibadah ijtimaiy Ibadah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh yang mengerjakan ibadah tersebut, juga mengandung aspek sosial yakni dapat dirasakan langsung oleh orang lain, seperti Zakat. Ibadah jenis ini memiliki hubungan antara manusia dengan tuhannya (hablum minallah) juga memilii hubungan antara sesama manusia (hablum minannas). 4. Ditinjau dari Segi Waktu Pelaksanaanya Ibadah muwaqqat (terikat waktu) Ibadah yang waktu pelaksanaanya sangat terikat oleh waktu yang telah ditetapkan oleh Allah Rasul-Nya. Apabila melaksaakannya diluar waktu yang ditetapkan, maka nilainya akan menjadi hampa, atau menjadi tidak sah scara hukum, bahkan dianggap berdosa. Misalnya, Shalat dan Puasa.

Setiap shalat memiliki waktu-waktu tertentu, artinya tiap-tiap shalat dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Begitu juga dengan puasa, waktunya telah ditetapkan pada bulan Ramadhan dan ibadah haji pada bulan dzulqaedah. Ibadah ghairu muwaqqat (tidak terikat waktu) Ibadah yang waktu pelaksanaanyatiadak tergantung dengan waktu-waktu tertentu, selama diizikan Allah hal itu dapat dilakukan. Contohnya, bertasbih, berzikir dan bersedekah. Tapi dalam pelaksanaanya ada yang afdhal (diutamakan) waktunya yaitu pada bulan ramadhan. 5. Ditinjau dari Segi status Hukum Ibadah Wajib Ibadah yang harus dilaksanakan, bagi pelanggarnya dianggap berdosa dan akan memperoleh siksa Allah SWT. Contohnya: Shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat dan haji. Ibadah sunnah Ibadah yang dianjurkan pelaksanaanya, pelaksanaanya akan memperoleh pahala dari allah SWT, namun bagi yang tidak melaksanakannya tidak dianggap berdosa. Contohnya: shalat sunnat rawatib, sedekah,dan lain-lain. 6. Ditinjau dari Segi Bentuk dan Sifat Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, contohnya: berzikir, berdoa, tahmid dan memebaca Al-Quran. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya. Contohnya: menolong orang lain, jihad dan mengurus jenazah. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya. Contohnya: shalat, puasa, zakat dan haji. Ibadah yang tata cara dan pelaksanaanya berbentuk menahan diri. Contohnya: puasa, iktikaf dan ihram.

10

Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak. Contohnya: memaafkan orang yang melakukan kesalahanterhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berutang kepadanya. Prinsip Ibadah Prinsip ibadah yang akan dibahas dibatasi hanya ibadah khashshah dan ibadah mahdah saja. Prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut: 1. Ada perintah dan ketentuan Islam tidak memberikan otoritas kepada manusia untuk turut menentukan ibadah, kecuali nabi utusan-Nya. Dalam melakukan ibadah kepada Allah manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukannya, bahkan sebaliknya manusia terikat pada ketentuan-ketentuan yang diberikan Allah dan Rasul-Nya. Berbeda halnya dengan muamalah (masalah keduniaan), terdapat kelonggaran yang

demikian luas bagi manusia untuk menentukannya. Dalam suatu qaidah ushul dikemukakan sebagi berikut: Ashal (hukum pokok) terhadap ibadah itu batal atau haram (tidak boleh dikerjakan) sehingga ada dalil yang memerintahkannya. Ashal (hukum pokok) dari segala sesuatu adalah boleh sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya. 2. Meniadakan Kesukaran Dan Tidak Banyak Beban Keseluruhan ibadah dalam syariat tidak ada yang menyukarkan dan memberatkan mukallaf. Semua ibadah berada dalam batas kewajiban dan berjalan dengan kadar kesanggupan manusia. Prinsip ini sebagaimana diterangkan Allah dalam Al-Quran berikut: ...Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran... (QS. Albaqarah:185) Allah tidak mebebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kejahatan) yang di usahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS.Al-baqarah:286)

11

Seperti ibadah shalat bagi yang tidak mampu melaksanakanya karena sakit, diperbolehkan shalat dengan cara berbaring. Demikian pula dengan puasa bagi yang sedang melakukan perjalanan jauh, maka boleh berbuka (tidak berpuasa) dan harus membayar puasa tersebut sebanyak yang ditinggalkannya. 3. Hanya Allah yang Berhak Disembah Terdapat keanekaragaman dalam tata cara pelaksanaan serta bermacammacam tujuan ibadah, yang membuktikan bahwa keanekaragaman itu tidak berasal dari satu sumber. Oleh karena itu, ajaran Islam yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan memperoleh wahyu terakhir pula, menegaskan bahwa satu hal yang mutlak dalam hidup beragama bahwa hanya Allah saja yang berhak disembah. 4. Tanpa Perantara Islam sebagai agama lebih mempertegas bahwa hubungan agama dengan tuhan (melalui ibadah) tidak perlu dengan perantara apa-apa dan melalui siapa pun. Manusia harus melakukan langsung dengan Allah SWT. Begitu dekatnya Allah dengan manusia, Allah sendiri yang menyatakan secara langsung di dalam Al-Quran bahwa ia lebih dekat dari urat leher10. Hal ini menunjukkan bahwa islam mengajarkan hubungan langsung dengan Allah dalam beribadah. 5. Ikhlas Dalam Beribadah Dalam beribadah harus disadari dengan niat yang tulus, semata-mata hanya mengharap ridha Allah. Dalam hadis nabi dinyatakan bahwa segala sesuatu itu tergantung dar niatnya (innama al-aamal bi al-niat). Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang-orang ahli kitab hanya untuk beribadah kepada Allah dengan niat yang tulus dan murni, taat kepada Allah dan menjauhi kemusyrikan serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

10

Lihat Qs. Qaf/50: 16

12

Niat yang tulus murni adalah ikhlas dalam istilah ajaran islam. Oleh karena itu ikhlas adalah sikap jiwa yang menjadi landasan atau sendi dalam beribadah. Dengan ikhlas itu manusia akan terhindar dari perbuatan sesat dantindak kemusyrikan yang merupakan dosa terebesar yang tidak akan diampuni. C. Hubungan Ibadah Dengan Akhlak Pada hakekatnya, manusia diperintahkan supaya mengabdi kepada allah SWT, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya.11 Ibadah merupakan inti ajaran islam yang mengandung makna adanya penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah. Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut senantiasa melaksanakan ibadah sebagai petanda keikhlasan mengabdikan diri kepada-Nya. Tanpa ketaatan beribadah, berarti pengakuannya sebagai eorang muslim perlu dipertanyakan. Ibadah secara ritus atau tindakan ritual mempunyai dimensi eksetoris (simbol), yakni kaifiat atau manasik ibadah yang harus dilaksanakan menurut tuntunan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Disamping itu, ibadah juga mengandung dimensi esoteris yakni esensi (inti sari) dan substansi (hakikat) ibadah, yang hanya dipahami oleh beberpa orang tertentu saja.12 Dalam banyak isyarat Al-Quran dan Al-Sunnah, dimesi esotoris ini menjadi lebih penting tanpa meninggalkan dimensi eksetorisnya karena merupakan ruha ibadah. Dimensi Eksetoris Ibadah Ibadah memiliki prinsip adanya perintah dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Sebagai misalnya, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk mengamalkan shalat sedangkan tata caranya mengikuti petunjuk Rasul-Nya. Pelaksanaan shalat sesuai dengan petunjuk Rasul, sebagaimana cara berdiri, ruku, sujud dan duduk serta bacaanya dengan baik dan benar adalah makna eksoteris ibadah.
11

Lihat Qs. Al-Dzariyat/51: 56 John M.Echols Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990, h.218

12

13

Perintah dapat berupa suruhan maupun larangan sedangkan ketentuan adalah adalah ketetapan berupa hukum, waktu dan tata cara semuanya tidak boleh bertentangan dengan perintah dan ketentuan tersebut. Apabila terjadi

penyimpangan dari perintah dan ketentuan, maka akan menjadikan ibadah itu tergelincir kepada sikap primitif dalam mengekspresikan ketundukkanya kepada al-Khaliq (Pencipta). Oleh karena itu, dimensi eksoterik (khususnya dalam ibadah mahdhah) pelaksanaanya haruslah berdasarkan perintah dan ketentuan dari nash (syariaat), berdasarkan petunjuk dari Allah yang tercantum dalam al-Quran, serta mengikuti praktek perbuatan rasul yang menjadi suri tauladan umat manusia. Bahwa dalam melaksanakaan ibadah (mahdhah) tidak boleh disusupi unsur bidah, yakni mengada-ngadakan yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Jadi, dimensi eksoteris dalam beribadah adalah mengamalkan praktek ibadah, yang bersifat lahiriah sesuai dengan tuntunan syariat. Dimensi Esoteris ibadah Pengalaman ibadah seharusnya tidak sekedar berdimensi eksoteris, yang hanya bersifat simbolik dan lahiriah namun hendaknya sampai kepada pemahaman dan penghayatannya. Pemahaman dalam ibadah adalah memahami makna-makna dan nilai-nilai dari esensi ibadah, sedangkan penghayatan ibadah adalah melakukan apresiasi dan ekspresi ibadah dengan diiringi perbuatanperbuatan yang bersifat aplikatif yang sejalan dengan hakikat dan hikmah ibadah. Ibadah yang dilakukan manusia harus bermakna didalam kehidupan kesehariannya. Bila pengalaman ibadah tidak memiliki makna, maka amalan ibadah secara eksoterik tidak akan membawa manfaat , baik bagi dirinya maupun sesama. Ibadah dalam dimensi esoteris lebih tertuju kepada kandungan makna ibadah itu sendiri diiringi rasa keikhlasan untuk mendapat ridha ilahi. Pelaksanaan ibadah harus mencapai esensi dan hakikat tujuannya, yang akan memberi dampak positif bagi si pelaku sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

14

Dari uraian diatas, makna ibadah tidaklah semata dilakukan dalam satu dimensi saja. Kedua-duanya harus seiring dan sejalan. Bila hanya berdimensi eksoteris, maka ibadah tidak memiliki makna dan tidak memperoleh hakikat tujuan ibadah itu sendiri. Namun jika hanya mengamalkan ibadah esoteris saja juga dianggap tidak sah, sebab ibadah itu harus secara lahiriahpraktek perbuatannya dilakukan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan syariat. Hubungan ibadah dengan akhlak walaupun tidak tepat benar dapat ditarik suatu kesamaan pandangan bahwa pengamalan ibadah tidak berdiri sendiri, baik dari segi lahiriah maupun kandungan jiwa ibadah tersebut. Ibadah dan akhlak satu dengan lainnya menyatu dan seharusnya demikian, antara satu dengan lainya tidak terpisahkan. Dalam melakukan ibadah mengandung implikasi akhlak . Demikian halnya dengan berakhlakul karimah merupakan efek atau akibat melakukan ibdah yang teratur, baik dan benar. Setelah memahami makna eksoteris dan esoteris ibadah, maka dalam mempraktekkan ibadah akan timbul suatu kesadaran terhadap aplikasi dan implikasi amaliah ibadahnya, baik terhadap dirinya maupun masyarakat sekitarnya.

15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Ibadah adalah segala bentuk ucapan dan perbuatan manusia yang ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka ketaatan dengan mematuhi perintahNya mengharapkan ridha dan pahala-Nya dan mengagungkan-Nya, sekaligus menundukkan dan serta menghambakan diri sebagai rasa cinta kepada-Nya Hakikat tujuan beribadah adalah untuk mencapai ridha Allah dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Kaitan implikasi ibadah bagi perwujudan kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan di dunia, ditujukan untuk membina jiwa dan akhlak manusia kepada jalan kebenaran yang akan menuntun kepada perbaikan-perbaikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Ibadah terdiri atas beberapa macam tergantung sudut pandang yang digunakan dalam memandangnya, diantaranya: Ditinjau Secara Umum, seperti :ibadah mahdlah, ibadah ghairu mahdlah Ditinjau dari Segi Pelaksanaanya, Seperti: Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah, Ibadah ruhaniyah-maliyah, Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah-maliyah Ditinjau dari Segi Waktu Pelaksanaanya, seperti: Ibadah muwaqqat (terikat waktu), Ibadah ghairu muwaqqat (tidak terikat waktu) Ditinjau dari Segi status Hukum, seperti: Ibadah Wajib, Ibadah sunnah Hubungan Ibadah Dengan Akhlak dibagi menjadi dua yaitu: Dimensi Eksetoris Ibadah Dimensi eksoterik pelaksanaanya haruslah berdasarkan perintah dan ketentuan dari syariaat, berdasarkan petunjuk dari Allah yang tercantum dalam al-Quran, serta mengikuti praktek perbuatan rasul yang menjadi suri tauladan umat manusia. Dalam melaksanakaan ibadah (mahdhah) tidak boleh

16

disusupi unsur bidah, yakni mengada-ngadakan yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW Dimensi Esoteris Ibadah dalam dimensi esoteris lebih tertuju kepada kandungan makna ibadah itu sendiri diiringi rasa keikhlasan untuk mendapat ridha ilahi. Pelaksanaan ibadah harus mencapai esensi dan hakikat tujuannya, yang akan memberi dampak positif bagi si pelaku sendiri maupun lingkungan sekitarnya. B. SARAN Pembuatan makalah ini masih banyak membutuhkan kritik dan saran untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan lagi. Jika masih ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kritik juga dapat membangun kreativitas kami lebih luas dan lebih baik lagi

17

DAFTAR PUSTAKA Marifat iman KH dkk, Ibadah-Akhlak untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: UHAMKA Press, 2012 Djaelani Husnan dkk, Kuliah Ibadah, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1997 Majelis Tarjih PP.Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Jakarta: 1996 Marifat iman KH dan Nandi Rahman, Ibadah Akhlak Tinjauan Eksoteris dan esoteric, Jakarta: UHAMKA Press,1998 Ensiklopedia Hukum Islam,Jakarta : PT.Ikhtiar Baru van Hove, 1997, jilid II

18

Anda mungkin juga menyukai