Anda di halaman 1dari 23

INTERVENSI DALAM RUANG SIBER

MATA KULIAH PSIKOLOGI RUANG MAYA

Anggota Kelompok

Tsurayya Maknun 111411131123

Sabrina Rizkahil F 111411131130

Agung Ardhito 111411131164

Anis Fathurreza Azhari 111411133040

Ilena Dwika M 111411133042

Siska Septya Ariana 111511133115

Nur Solikhah 111511133117

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
BAB I
Peta Permasalahan

Penggunaan internet saat ini semakin tinggi. Banyak aspek dalam


kehidupan yang terkoneksi dengan adanya internet. Seperti halnya dalam bidang
pendidikan, manusia memanfaatkan internet untuk mendapatkan sumber ajar,
mengerjakan tugas dan sebagainya. Penggunaan internet juga merambah dalam
aspek kehidupan lainnya seperti pekerjaan, berbelanja kebutuhan, komunikasi
hingga sekedar hiburan. Dinamika pada ruang siber yang tak kalah tinggi dengan
dunia nyata, menjadi bahan pertimbangan untuk membangun intervensi berbasis
ruang siber. Saat ini mulai berkembang aplikasi maupun website yang
menyediakan basis intervensi dalam berbagai aspek kehidupan. Pada bidang
pendidikan misalnya, hadir berbagai macam aplikasi maupun website untuk
mengikuti kursus bahkan kuliah online.
Keberadaan internet yang mampu memfasilitasi berbagai hal membuat
individu mampu mendapatkan apa saja yang ingin dicari atau diketahui. Hal
tersebut karena adanya disinhibition effect pada ruang siber dimana individu tidak
lagi memiliki hambatan karena keterjaminan privasi saat pencarian data (Suler,
2015). Ketidakterbatasan tersebut bisa jadi bumerang bagi individu khususnya
untuk anak dan remaja yang harusnya masih berada dalam pengawasan orangtua.
Untuk itu, penting bagi orangtua menjalankan internet safety dalam keluarga.
Adanya mediasi dari orangtua dalam penggunaan internet pada keluarga
membantu anak untuk mengurangi risiko dan kerugian dari ruang siber
(Livingstone & Duerager, 2012).
Intervensi pada ruang siber dapat menjadi solusi bagi manusia tanpa
adanya keterbatasan jarak atau waktu. Penggunaan ruang siber untuk intervensi
juga menjadi alternatif bagi individu yang merasa kurang nyaman untuk beratatap
muka secara langsung. Namun, tentu saja intervensi pada ruang siber memiliki
keterbatasan dan kelebihan yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
BAB II

Pemaparan Konsep

2.1 Intervensi dalam Bidang Pendidikan

Media massa bukan merupakan suatu hal yang baru dalam kehidupan
manusia, khususnya anak-anak. Media massa setiap harinya terus berkembang dan
tereksposnya anak-anak pada media adalah hal yang wajar karena adanya
sosialisasi dan globalisasi. Penelitian saat ini yang memfokuskan kajian pada
televisi menyatakan bahwa media memberi banyak dampak pada anak-anak.
Peneltiian tersebut menjelaskan bahwa anak-anak yang lebih sering menonton
televisi dibandingkan dengan mereka yang lebih jarang menonton televisi
memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi, memiliki stereotipe yang lebih kuat
tentang wanita dan kaum minoritas, kurang sehat, dan memiliki prestasi yang
tidak terlalu tinggi di sekolah. (Jennifer L. Chakroff, 2008)

Namun tidak semua dampak penggunaan media bagi anak-anak bersifat


negatif. Penggunaan televisi yan bersifat edukatif pada anak-anak ditemukan
dapat menambah perbendaharaan kata anak dan meningkatkan kesiapan anak
terhadap dunia sekolah. Selain itu permainan berjenis video game juga ditemukan
dapat meningkatkan kemampuan visual dan spasial serta meningkatkan
keterampilan koordinasi pada anak. (Jennifer L. Chakroff, 2008)

Melihat beberapa fakta tersebut, tentunya merupakan sebuah hal yang


penting bagaimana mencegah anak-anak dari efek negatif penggunaan media
namun tetap memaksimalkan efek positif dari penggunaan media. Peneliti
menemukan dua faktor besar yang dapat menentukan keberhasilan penggunaan
media. Faktor pertama berada pada keluarga terutama orang tua, orang tua harus
menjadi mediator yang menyaring media apa saja yang bisa menjadi konsumsi
bagi anak dan menjelaskan konten yang menjadi konsumsi anak, orang tua juga
harus memiliki aturan tersendiri bagi anak terkait penggunaan media. Faktor
kedua berada pada institusi pendidikan baik formal maupun non formal yang
mana dalam hal ini sekolah memiliki peran penting untuk membuat kurikulum
yang "melek media" dengan tujuan mengenalkan dan mengedukasi anak
mengenai media serta membuat anak menjadi konsumen media yang lebih kritis.
(Jennifer L. Chakroff, 2008)

Dalam dunia pendidikan, kurikulum "melek media" dalam bahasa inggris


disebut dengan media literacy curricula. Dalam peneltiian yang dilakukan oleh
Chakroff and Nathanson (2008) disebutkan bahwa pembuatan kurikulum ini
dalam dunia pendidikan dapat membantu menjaga anak dari efek negatif
penggunaan media. Media literacy pada awalnya merupakan sebuah konsep
perlindungan bagi anak dari efek negatif dalam menonton televisi, yakni tingginya
tingkat agresivitas anak serta tingginya sikap stereotipe seorang anak. Dalam
perkembangannya, media literacy dinilai tepat digunakan sebagai sebuah teknik
intervensi, khususnya dalam dunia pendidikan. Medai literacy pada dasarnya
merupakan sebuah cara pandang kritis terhadap suatu media. Konsep ini memiliki
dua tujuan utama yakni pertama, meningkatkan kepekaan terhadap struktur
ekonomi suatu media dan memahami ciri dari tiap-taip media. Kedua, adalah
memahami bagaimana memproses dan menginterpretasi konten dari sebuah
media. Menurut Potter (1998), media literacy merupakan sebauh konsep
mutidimensi yang meliputi 4 aspek yakni kognitif, emosi, keindahan, dan moral.
(Jennifer L. Chakroff, 2008)

Dalam bidang pendidikan, pembuatan kurikulum media literacy ini


merupakan salah satu langkah yang disarankan untuk mencegah anak terekspos
oleh efek negatif penggunaan media. Secara teknis kurikulum ini tidak jauh
berbeda dengan kurikulum pada umumnya, perbedaan kurikulum terletak pada
media pembelajran dan materi yang disampaikan. Percobaan kurikulum meldia
literacy dilakukan langsung oleh beberapa peneliti. Secara dasar, percobaan
dilakukan dengan memeberikan kurikulum dan semua bahan pembelajaran pada
sebuah instansi pendidikan. Keberhasilan percobaan kurikulum media literacy
dilakukan dengan pre dan post test dengan kelompok kontrol yang tidak
mendapatkan kurikulum ini sebagai kelompok pembanding. Hasil percobaan in
menunjukkan adanya perbedaan dalam memahami dan menginterpretasi media
(khususnya mengenai televisi) antara kelompok yang menerima kurikulum ini
dengan yang tidak. Mereka yang menerima kurikulum ini lebih memahami
produksi program televisi, hal ini terbukti dari pemahaman yang mereka miliki
mengenai perbedaan jenis program televisi, realita dan skenario serta hal-hal lain
dalam media televisi. Mereka yang menerima kurikulum ini juga mampu
memahami dengan lebih mendalam tentang special effect dan seberapa realistis
suatu program televisi, membedakan mana yang merupakan efek dari kamera dan
proses editing. (Jennifer L. Chakroff, 2008)

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda
mengenai kurikulum media literacy, yakni memberi dampak positif bagi anak-
anak, seperti anak jadi mampu membedakan antara iklan komersil dengan
program televisi, serta bagaimana melihat dan menyikapi iklan komersil di
televesi. Lebih lanjut, Singer, Zuckerman, and Singer (1980) menemukan bahwa
anak-anak yang mendapatkan kurikulum media literacy, ketika mendiskusikan
suatu topik atau figur yang digambarkan secara stereotip di televisi, memeiliki
pengetahuan yang lebih luas mengenai stereotipe tersebtu serta bagaimana
sebaiknya menyikapi sebuah stereotipe.

2.2 Intervensi Preventif dalam Keluarga

Dewasa ini media menduduki peran yang esensial dalam kehidupan


masyarakat, bahkan telah menjadi agen sosialisasi pada anak-anak. Sebagai hal
yang tidak dapat terpisahkan lagi oleh perkembangan masyarakat, media
membawa berbagai dampak bagi para penggunanya, terlebih anak-anak yang
masih membutuhkan bimbingan dalam penggunaannya. Media tidak dapat
dipisahkan dengan interaksi digital melalui ruang maya yang dihubungkan oleh
internet. Duerager dkk pada tahun 2012 menyampaikan data bahwa anak-anak di
Eropa berdasarkan reratanya menghabiskan 88 menit perhari untuk berada dalam
jaringan/ online dengan rentang usi 9-16 tahun (Duerager, Andrea and
Livingstone, & Sonia, 2012)
Berbagai penelitian mengungkapkan dampak-dampak positif penggunaan
media pada anak seperti dalam perkembangan bahasa, kognitif, perilaku prososial,
intensi menolong, bahkan dengan memanfaatkan video game dapat meningkatkan
kemampuan visual spasial serta koordinasi gerak seorang anak. Namun, dampak
negatif tetap eksis sebagai pelengkap kehadiran media di tengah-tengah
masyarakat. Anak-anak yang lebih dini menggunakan media memungkinkan
terpapar konten-konten yang kurang sesuai dengan usia seperti pornografi, pesan
kekerasan, kata umpatan, dan memungkinkan untuk melakukan kontak dengan
orang asing lebih dini (Chakroff & Nathanson, 2008). Fakta lain menyebutkan
bahwa semakin dini anak-anak dipaparkan dengan dunia online mereka cenderung
mengalami kekacauan saat menghadapi ancaman saat ia beranjak remaja
(Duerager, Andrea and Livingstone, & Sonia, 2012).
Disinilah orangtua memiliki peran yang penting untuk
mendampingi putra-putrinya. Terdapat hal-hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah anak-anak mengalami dampak buruk dari media seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Dengan memanfaatkan media secara bijak justru dapat
membantu mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki seorang anak. Dua
mekanisme yang memungkinkan dilakukan dalam kasus ini yakni 1) melibatkan
orangtua sebagai mediasi terhadap penggunanaan media oleh putra-putrinya 2)
melibatkan sekolah untuk mendesain kurikulum agar sesuai dengan peran media
literasi dalam pendidikan (Chakroff & Nathanson, 2008). Selanjutnya kita akan
berfokus untuk membahas poin pertama lebih dalam termasuk bagaimana
intervensi pencegahan dampak buruk media yang melibatkan peran keluarga.
Chakroff & Nanthanson pada tahun 2008 berpandangan bahwa
mediasi sebagai konstruksi perintah yang lebih tinggi dimana didalamnya terdapat
berbagai tipe interaksi yakni active mediation, restrictive mediation, dan co-
viewing. Yang pertama yakni active mediation adalah tipe mediasi yang
menggunakan diskusi sebagai sarananya, meskipun diskusi yang dimaksud masih
diartikan beragam. Mediasi ini melibatkan orangtua untuk terlibat aktif dalam
mendiskusikan mengenai media yang digunakan oleh anak dan memperkenalkan
nilai-nilai baik dan buruk mengenai apa yang harus dan tidak boleh dilakukan saat
menggunakan media. Terdapat perkembangan yang berbeda-beda dalam tipe
mediasi ini, diantaranya mediasi evaluatif dan instuksif mediasi, hal ini muncul
sebagai konsekuensi dari pengukuran mediasi tersebut.
Selanjutnya restrictive mediation, mediasi ini muncul dengan berbagai
peraturan yang membatasi anak-anak dalam mengakses media. Peraturan yang
diberlakukan oleh keluarga atau orangtua yang mendampingi seharusnya telah
dijelaskan, dimengerti, dan disetujui oleh anak mengapa mereka harus mematuhi
peraturan tersebut dan apa dampak yang akan terjadi bila tidak dipatuhi. Hal ini
akan membuat peraturan tersebut lebih dapat dipahami dan diterima oleh anak,
sebab ketika mediasi ini tidak diberikan sosialsasi yang jelas dan terbuka akan
menghasilkan reaksi yang berbeda pula ketika tidak disertai dengan penjelasan.
Menjadi sorotan penuh bagaimana orangtua mampu mendiskusikan dengan baik,
bernegosiasi, dan menciptakan peraturan terhadap seberapa baik respon anak
untuk mampu memahami apa yang diharapkan (Chakroff & Nathanson, 2008).
Survei yang dilakukan oleh EU Kids Online menunjukkan bahwa ketika orangtua
membatasi penggunaan internet oleh anak-anak berimplikasi pada turunnya risiko
yang harus dihadapi oleh anak-anak seperti pornografi, perundungan melalui
interaksi ruang maya, serta bersinggungan dengan orang yang tidak dikenal
(Duerager, Andrea and Livingstone, & Sonia, 2012).
Co-viewing merupakan jenis mediasi dimana orangtua dan anak sama-
sama mengamati media. Perlu dibedakan mengenai active mediation dengan co-
viewing, perbedaan yang mendasar terletak pada keberadaan diskusi yang terjadi
antara anak dengan orangtua atau keluarga. Karena keduanya akan memberikan
dampak yang berbeda. Ahli menemukan bukti bahwa terdapat dua kemungkinan
yang terjadi saat melakukan mediasi tipe ini, yakni intensional dan pasif co-
viewing. Intensional co-viewing terjadi ketika orangtua hadir menemani anak
ketika memperhatikan tontonan media dikarenakan fokus terhadap dampak media
terhadap anak mereka sehingga ingin terlibat dalam tontonan tersebut untuk
melindungi putra-putrinya. Sedangkan pasif co-viewing terjadi ketika seorang
anak berada dalam ruangan untuk menonton tayangan apa yang telah disediakan
oleh orangtua mereka tanpa ada inisiatif terhadap media dari sisi anak (Chakroff
& Nathanson, 2008).
Pembatasan akses terhadap media oleh orangtua berimbas pada sempitnya
ruang gerak anak untuk menggunakan fasilitas internet sebagaimana umumnya
pada anak. Situasi ini mengurangi kesempatan anak dalam dunia online mereka
yang seharusnya dapat ia optimalkan seperti metode pembelajaran, komunikasi,
keikutsertaan serta keseruan dengan teman sebaya. Oleh sebab itu penelitian
(Duerager, Andrea and Livingstone, & Sonia, 2012) berusaha membandingkan
strategi pendampingan orangtua yang paling efektif untuk menurunkan risiko
dalam penggunaan media namun tanpa mengorbankan kesempatan yang lain.
Tipe interaksi mediasi yang sebelumnya telah disampaikan diadaptasi oleh
Duereger dkk dalam fokusnya penggunaan intenet oleh anak dan mengalami
perkembangan sehingga terbentuklah strategi mediasi orangtua dalam lima
strategi yakni active-mediation of internet use, active-mediation of internet safety,
restrictive mediation, monitoring, dan technical mediation. Lima strategi ini
merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk mendukung
tercapainya internet safety bagi anak-anak mereka sesuai dengan usia
perkembangan anak dan risiko menghadapi kejahatan dalam internet (Duerager,
Andrea and Livingstone, & Sonia, 2012).
Strategi ini merupakan sebuah intervensi pencegahan terhadap risiko
terancamnya anak-anak dari pengaruh negatif media. Selanjutnya merupakan
hasil-hasil penelitian mengenai efektivitas serta dampak penggunaan masing-
masing tipe intervesi dalam penerapanya sebagai usaha preventif. Dalam
penelitian eksperimen menunjukkan hasil bahwa active mediation memiliki pesan
serta fokus yang baik dalam mengekang response yang tidak diinginkan mengenai
kekerasan yang ditampilkan dalam media. Secara keseluruhan hasil menunjukkan
bahwa melalui intervensi mediasi orangtua terhadap penggunaan media oleh anak
dapat menghambat respon agresi pada anak, khususnya pada anak laki-laki,
mereka yang lebih dini, serta penonton aktif. Selain itu anak yang terpapar dengan
media tayangan yang menampilkan aksi petualangan dengan unsur kekerasan
memiliki sikap prososial yang tinggi ketika disertai dengan pemberian moral
mediasi dibandingkan yang tanpa memperoleh intervensi mediasi tersebut
(Chakroff & Nathanson, 2008).
2.3 Keterbatasan dan Kekuatan Intervensi Ruang Siber

2.3.1 Kekuatan
1. Aman (telepsychology)
Intervensi ruang siber memberikan rasa aman pada pasien sehingga,
pasien dapat bertindak tanpa merasa terancam. Perspektif rasa aman ini
sesuai juga dengan teori Bowlby (1973, dalam Botella dkk., 2009)
tentang kebutuhan akan keaman dan perlindungan. Konteks ruang
maya dapat memposisikan pasein pada situasi-situasi yang mereka
anggap mengancam dan menempatkan pasien pada posisi aman
menurut cara mereka sendiri.
2. Dapat mengontrol rasa takut (VR)
Intervensi ruang siber memungkinkan pasien memilih tingkat
ketakutan yang mereka atur sendiri sesuai dengan kemampuan mereka.
Dalam hal ini adalah intervensi menggunakan VR pada pasien fobia.
Pasien dapat maju dari tugas mudah menuju ke tugas sulit, sehingga
hal ini dapat membantu pasien belajar membangun strategi yang
dibutuhkan dalam menghadapi ketakutan pada dunia nyata.
3. Memberikan penghargaan pada diri sendiri (VR)
Dalam intervensi ruang cyber, pasien dapat memberikan penghargaan
pada diri mereka sendiri melalui belajar dari kesalahan. Hal ini
berkaitan dengan teori Bandura (1977, dalam Botella dkk., 2009)
tentang self-efficacy . Pada perspektif ini dimaksutkan pada intervensi
VR, dimana pasien akan terus mencoba dan mencoba ketika mereka
gagal hingga akhirnya berhasil dan mendapatkan penghargaan dari diri
mereka sendiri.
4. Mudah membangun pengetahuan (telepsychology)
Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi membuat cara pikir
manusia mudah untuk dipahami. Hal ini menjadikan, pengetahuan
tentang kesehatan mental dapat dibangun secara mudah pada manusia
sehingga promosi tentang kesehatan mental pun dapat di aksese dan
disebarluaskan secara mudah.
5. Beyond reality (telepsychology & VR)
Dalam konteks ini, intervensi dalam ruang siber menghapuskan norma
sosial yang berlaku saat inidividu berada di ruang nyata sehingga
individu tidak perlu mematuhi peraturan ruang dan waktu. Oleh karena
hal itu, proses terapi dapat dilakukan kapan pun dan dimanapun tanpa
perlu mempertimbangkan ruang dan waktu. Melalui dunia maya,
pasien dapat menggeneralisasi kemajuan terapi yang dijalaninya
karena pasien dapat berlatih dalam konteks virtual yang berbeda-beda.
6. Murah (telepsychology)
Intervensi dalam dunia siber dapat menghemat biaya karena seperti
poin sebelumnya, intervensi dunia siber merupakan beyond reality,
dimana pasien ataupun terapis tidak perlu mematuhi peraturan ruang
dan waktu. Proses terapi dapat dilakukan kapan pun dan dimanapun.
Menggunakan media elektronik yaitu ponsel ataun handphone, proses
konseling atau terapi dapat dilakukan dan diakses secara mudah dan
murah.

2.3.2 Keterbatasan
1. Cybersickness dan Aftereffect (VR)
Cybersickness dapat berupa mual, muntah, disorientasi, lelah mata,
ataxia dan vertigo. Sedangkan Aftereffect dapat berupa munculnya
gejalan gangguan gerak, gangguan motorik, flashback, kantuk,
kelelahan dan penurunan gairah. Dampak negative ini dapat terjadi
karena durasi pemberian VR yang tidak sesuai. Namun selama sepuluh
tahu penelitian dilakukan, dampak negative seperti cybersickness dan
aftereffect masih belum terbukti menjadi sebuah masalah yang sering
ditemui.
2. Faktor Usia (VR)
Usia dianggap sebagai kunci kelayakan dilakukan VR pada seorang
individu. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan secara hati-hati
pemberian VR pada anak-anak dan lansia terutama yang memiliki
gangguan emosional.
3. Tidak menyembuhkan, justru makin membuat semakin terluka (VR)
Intervensi ruang maya yaitu VR, perlu dipertimbangkan kembali
apakah cocok digunakan untuk terapi pada gangguan kecemasan,
terutama gangguan kecemasan yang berat seperti, PTSD dan
agoraphobia. Karena jika diberikan secara tidak sesuai, proses terapi
justru menimbulkan trauma lebih berat dibandingkan kesembuhan
pasien.
4. Tidak dapat diaplikasikan pada semua gangguan psikologis (VR)
Intervensi ruang siber menggunakan VR tidak dapat diberikan pada
seluruh gangguan psikologis terutama gangguan psikotik seperti,
bipolar, paranoid dan penyalahgunaan dimana berkaitan dengan
pengujian realitas dan masalah identitas diri. Hal ini dikarenakan
dalam intervensi menggunakan VR, menstimulasi kenyataan secara
lebih nyata, oleh karena itu akan menjadi sulit dilakukan pada pasien
penderita gangguan psikotik dimana mereka sulit membedakan antara
realita dan imajinasi.
5. Kurangnya pemahaman terhadap teknologi (telepsychology)
Dalam intervensi siber dalam bentuk telepsychology, diperlukan
pemahaman teknologi baik dari sisi terapis maupun dari sisi pasien.
Karena, jika salah satu, antara terapis atau pasien tidak mengetahui
secara benar bagaimana sebuah sistem teknolgi bekerja, mereka dapat
menolak dan membatalkan terapi secara online karena kurang percaya
diri dan kurangnya keterampilan yang dimiliki dalam menjalankan
aplikasi program.
6. Self-diagnosis (telepsychology)
Banyaknya dan mudahnya akses informasi tentang kesehatan mental
membuat individu mudah belajar dan mempelajari pengetahuan
kesehatan mental secara mandiri tanpa bantuan dari expert atau orang
yang lebih ahli. Sehingga, banyak dari mereka yang pada akhirnya
salah menyimpulkan apa yang mereka pahami dengan mendiagnosa
diri mereka sendiri tanpa pertimbangan dari seorang ahli kesehatan
mental. Fenomena seperti ini dikenal dengan self-diagnosis.

2.4 Penggunaan Ruang Siber untuk Intervensi

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat pertumbuhan yang pesat dalam


dunia teknologi, informasi dan komunikasi atau TIK yang berkaitan dengan
intervensi psikologis. Aplikasi terapeutik ini diantaranya adalah e-theraphy,
virtual theraphy, dll yang berada dibawah payung “cybertheraphy” . Istilah
“cybertheraphy” disahkan pada salah satu konferensi bergengsi pada bidang
Computeraided Psychotheraphy. Cybertheraphy melibatkan computer sebagai
media terapeutik, dimana menggunakan computer proses terapi dapat terjadi
dengan cara, menghubungkan komunikasi antara terapis dengan pasien yang
terbatas oleh ruang dan waktu. Cybertheraphy merupakan penggunaan perangkat
teknologi yang dapat membantu intervensi psikologis. Terdapat dua bentuk
cybertheraphy yaitu, Virtual Reality (VR) dan Telepsychology atau Online
Counseling. Berikut penjelasan mengenai dua bentuk cybertheraphy :

1. Virtual Reality (VR)


Virtual reality merupakan bentuk cybertheraphy yang
dikembangkan pertama kali sebagai bentuk intervensi psikologi. VR ini
digunakan untuk intervensi pada pasien yang mengidap acrophobia.
Kemudian, terapi dalam bentuk VR ini menjadi semakin berkembang dan
dapat digunakan untuk intervensi pada pasien dengan gangguan
kecemasan. VR juga telah dikembangkan dan terbukti efektif dalam
bidang psikologi klinis dan neuropsikologi. Terdapat bentuk intervensi
yang dikembangkan dari model VR, yaitu AR atau Augmented Reality.
Dalam bentuk AR, mengkombinasikan elemen real dan virtual. Selain itu,
dalam bentuk AR, gangguan psikologi yang diberikan terapi lebih spesifik,
yaitu acrophobia dan fobia pada hewan kecil.
2. Telepsychology atau Online Counseling
Dalam bentuk ini, peralatan elektronik dan komunkasi terapeutik
bertemu. Brown (1998, dalam Botella dkk., 2009) mendefinisikan
Telepsychology atau konseling online sebagai penggunaan teknologi,
informasi dan komunikasi untuk menghubungkan pasien dengan ahli
kesehatan mental dalam melakukan diagnosa ataupun perawatan dan
menyebarluaskan informasi dalam rangka melakukan penelitian atau hal
lainnya yang berkaitan dengan kesehatan mental. E-theraphy mengacu
pada layanan kesehatan mental yang diberikan secara online, seperti
melalui e-mail, ruang obrolan ataupun audiovisual. Terapi semacam ini
akan akan berkembang seacara pesat apabila sebuah aplikasi memiliki
potensi untuk memajukan bidang psikologi dalam banyak cara terlebih
bila kontak tatap muka dengan psikolog berlisensi tidak mungkin
dilakukan.
Keuntungan utama dari konseling online ini adalah dapat
menjangkau pasien-pasien yang tidak memungkinkan untuk menemui
psikolog secara mudah seperti, orang dengan cacat fisik ataupun orang
yang tinggal pada daerah terpencil. Selain itu, terapi online dapat
memberikan kemudahan baik dari sisi terapis maupun pasien, karena
mereka tidak terkait dengan ruang dan waktu.
BAB III

Uraian Kasus

3.1 Kasus

Pada era globalisasi yang semakin berkembang, semakin banyak pula


pemenuhan kebutuhan yang harus terpenuhi pada seorang individu. Namun tidak
semua dapat memenuhi hal tersebut. Setiap harinya individu akan mengalami
tekanan dalam kehiduapan, bagaimana seorang menghadapi dan menilai tekanan
tersebut merupakan hal menentukan cara penyelesaian yang akan dilakukan.
Bunuh diri merupakan cara yang seringkali digunakan untuk menyelesaikan
masalah karena tidak mampunya seorang individu dalam menangani hal
permsahalahan yang ada. WHO menyebutkan bahwa setiap 40 detik, terjadi
bunuh diri dan hal ini juga diperkirakan akan meningkat di tahun 2020 menjadi
tiap 20 detik terjadi bunuh diri. Menurut Audrey (CEO Riliv), hal ini terjadi
karena kurangnya akses perawatan kesehatan mental, termasuk terapi kejiwaan.
Kebanyakan orang merasa malu, enggan, atau takut untuk datang dan
menceritakan permasalahan yang dimilikinya kepada psikolog. Padahal banyak
cara yang dapat digunakan untuk melakukan hal tersebut, seperti melalui obrolan
atau mencurahkan keluhan pada orang yang tepat. Kejadian ini membuat Audrey
untuk membuat Riliv agar memungkinkan seseorang dapat mencurahkan
masalahnya. Riliv sendiri merupakan aplikasi private messaging perantara
seseorang yang bermasalah dengan ‘Reliever’ atau penenang batin. Cara kerja
yang digunakan oleh para Reliever itu pun berinteraksi dengan pengguna aplikasi
Riliv, seperti memberikan saran-saran atau kata-kata yang menentramkan (Irfany,
2017; Ermina, 2017). Platform ini juga bertujuan agar dapat memberdayakan
kaum muda antara 18-35 tahun untuk mengatasi permsalahan yang dimilikinya
seperti kegelisahan, depresi, kecanduan, kelelahan kerja dan kondisi lain yang bisa
mendapatkan manfaat dan perawatan (Ermina, 2017).
Selain Riliv, masih banyak platform yang menyediakan pelayanan terapi online,
seperti

1. BetterHelp
Sebuah website penyedia layanan online konseling yang berasal
dari Amerika, dengan 1761 terapis yang tercatat dan 25 juta lebih sesi
yang sudah terlaksana.
2. Breakthrough
Sebuah website penyedia layanan online terapi yang berasal dari
Amerika yang juga telah memiliki aplikasi mobile-nya sendiri dengan
1000 lebih terapis yang terdaftar dan 8 dari 10 orang memiliki peningkatan
setelah melakukan terapi melalui layanan dari breakthrough.
3. Talkspace
Penyedia layanan online terapi dari Amerika dengan 1000 lebih
terapis profesional yang terdaftar, klien akan diasesmen terlebih dahulu
yang kemudian akan memilih rencana pembayaran yang sesuai dengan
kemampuan klien, baru setelah itu memilih terapis yang sesuai kebutuhan
klien sebelum memulai terapinya
4. PlusGuidance
Layanan online terapi asal Inggris yang memiliki misi untuk
meningkatkan kesehatan mental dunia dengan menciptakan akses on-
demand terhadap terapi dengan moto bahwa setiap orang berhak memiliki
kesempatan untuk berbicara dengan seorang terapis yang sesuai dengan
mereka sesegera mungkin, secara rahasia dan mudah dengan berbagai
macam pelayanan konseling yang disediakan seperti terapi kecemasan,
konseling karir, terapi depresi, pernikahan, psikoseksual, dan lain-lain.
5. iPrevail

Layanan online terapi yang berbeda dari sebelumnya, layanan ini


mengandalkan spesialis sebaya yang telah terlatih sebagai terapis klien
dalam mendengarkan pemasalahan yang dimiliki oleh klien. Klien dapat
memilih untuk merahasiakan data pribadinya sehingga dirinya anonimus
dan mendapatkan hasil pemeriksaan secara anonimus pula, baru kemudian
pihak iPrevail akan menyarankan program-program online terapi yang
sesuai dengan kebutuhan klien.

3.2 Pembahasan Kasus

Online therapy atau terapi online dapat didefinisikan Rochlen, Zack, &
Speyer (2004) sebagai interaksi terapis profesional yang dilakukan melalui
internet untuk menghubungkan para profesional dalam bidang kesehatan mental
dan kliennya, media ini bersifat terbuka karena yang diperlukan kedua belah pihak
hanyalah komputer dan koneksi internet yang biasanya dilakukan melalui email,
daftar diskusi, obrolan online, atau konferensi audiovisual. Hal ini juga bisa
disebut dengan “telepsikologi” atau penggunaan ICTs dalam interaksi antara
praktisi profesional kesehatan mental dengan pasien atau klien dalam menentukan
diagnosis atau treatment, menyebarkan informasi, atau untuk melakukan
penelitian atau kegiatan lain yang berhubungan dengan kesehatan mental (Brown,
1998, dalam Botella, Garcia-Palacios, Baños, & Quero, 2009).

Penggunaan ruang maya sebagai salah satu media untuk melakukan


intervensi psikologis bukanlah suatu hal yang baru, bahkan hal ini sudah menjadi
perdebatan di antara para praktisi profesional kesehatan mental selama 15 tahun
mengenai integrasi antara psikoterapi dengan teknologi, dengan terapis online
sebagai sebutan bagi praktisi profesional yang menggunakan terapi online sebagai
salah satu media pelayanan prakteknya (Rochlen, Zack, & Speyer, 2004).
Beberapa penelitian yang mendukung keefektifan dari program yang dijalankan
dengan internet di antaranya adalah treatment untuk gangguan makan,
posttraumatic stress disorder dan pathological grief, gangguan panik, depresi,
schizophrenia, managemen diabetes, promosi untuk menurunkan berat badan,
penghentian merokok, antiretroviral medication adherence, dan sakit kronis
(Andersson, 2009; Carlbring & Andersson, 2006; Ritterband, dkk., 2003, dalam
Botella, Garcia-Palacios, Baños, & Quero, 2009; Sigman, 2010; American
Psychological Association, 2015).

Namun ada pula pihak yang masih skeptikal dengan terapi cyber seperti
yang telah dikatakan oleh psikoanalis dan penulis dari Los Angeles, David James
Fisher bahwa pendekatan ini bersifat manipulatif terhadap keberadaan manusia
terutama pasien yang sedang bermasalah (Sigman, 2010). Para ahli masih
mempelajari mengenai bagaimana konseling online dapat dibandingkan dengan
terapi secara tatap muka, mengingat aspek anonimitas dari internet yang dapat
menjadi masalah utama (Ratcliffe, 2017).

Sebelum media ini terwujud, media lain yang digunakan para praktisi
profesional adalah melalui telepon dan surat, yang kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan email yang selanjutnya dirasa kurang sinkron karena interaksi
konseling tidak berada dalam waktu yang bersamaan dan hanya dilakukan ketika
kedua belah pihak memiliki waktu untuk membalas email satu sama lain
(Haas,Benedict,&Kobos, 1996; Padach, 1984; Wiederhold, Wiederhold, Jang, &
Kim, 2000; Stofle, 2001, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004). Kemudian
seiring dengan kemajuan teknologi dan koneksi serta akses internet yang semakin
mudah dan cepat, terdapat peningkatan pada pelayanan jasa terapis yang
menawarkan sesi konferensi video untuk praktek konseling yang lebih mudah.
Dan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, media terapi online masih
menjadi perdebatan dikalangan praktisi dengan pihak yang menganggap bahwa
media ini memiliki beberapa keuntungan dan tantangan tersendiri mengenai
situasi dan tipe dari klien yang dihadapi yang bisa saja lebih nyaman
menggunakan terapi online (e.g., Alleman, 2002; Barak, 1999; Maheu & Gordon,
2000; Stofle, 2001, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004). Selain itu ada juga
pihak yang masih mempertanyakan mengenai kelekatan ikatan antara terapis dan
klien yang melakukan konseling secara online, juga pihak yang masih merasa
skeptis dengan praktek tersebut.

Tentu saja terdapat beberapa keuntungan yang dimiliki oleh online terapi
sebagai salah satu media intervensi kesehatan mental seperti yang disebutkan oleh
Rochlen, Zack, & Speyer (2004), terdapat peningkatan dan kemudahan akses bagi
klien dan terapis online yang melakukan terapi ini, terutama bagi mereka dengan
mobilitas atau waktu yang terbatas, atau mereka yang memiliki akses terbatas
terhadap pelayanan kesehatan mental, selain itu juga bagi orang-orang yang
tinggal, bekerja, atau sedang bepergian di daerah dengan keterbatasan bahasa
yang menjadi kendala bagi mereka untuk melakukan terapi secara tatap muka.
kemudian bagi orang-orang yang mungkin merasa kurang nyaman dengan proses
terapi secara tatap muka dan merasa rasa malu akan berkurang bila tidak ada
kehadiran terapis secara langsung, bisa menggunakan media terapi online
(Mitchell & Murphy, 1998, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004; Botella,
Garcia-Palacios, Baños, & Quero, 2009).

Kemudian juga efek disinhibisi juga mungkin terjadi di dalam terapi


online, ketika disinhibition mampu memunculkan ekspresi terapi dan refleksi diri,
karena dalam pelaksanaannya, media ini mampu mengelakkan persona asli atau
topeng sosial yang mungkin dimiliki oleh klien dan biasanya klien akan langsung
fokus ke masalah utama, efek ini juga dapat terjadi ketika klien cenderung
nyaman dan lebih terbuka saat mereka berbicara melalui media online (Suler,
2002, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004; Ratcliffe, 2017). Selain itu juga
adanya penemuan oleh beberapa terapis online yang melaporkan adanya intimasi
dan kejujuran yang lebih tinggi dari pertukaran email pertama dengan klien
mereka, selain itu media ini juga dapat menghilangkan segala tingkat kekuasaan
yang dimiliki karena kedua belah pihak telah mengambil sudut pandang dari
klien, klien juga dapat membaca, mengulang, menguatkan kembali solusi dan
resolusi yang terdapat di dalam interaksi antara klien dan terapisnya.

Selanjutnya, terapi online dapat memungkinan beberapa klien untuk


melakukan refleksi diri melalui proses menulis mengenai masalah atau konflik
yang dialami, atau yang disebut Suler (2002, dalam Rochlen, Zack, & Speyer,
2004) sebagai “zona refleksi”. Berdasarkan bukti yang didapat oleh Pennebaker
(1997, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004), menuliskan pengalaman emosional
dapat membantu klien secara umum, namun baik terapis maupun klien mungkin
saja salah mengintepretasikan tulisan yang kemudian justru memunculkan adanya
kesalahpahaman atau human error lainnya karena klarifikasi secara langsung
kurang mungkin untuk dilakukan, berbeda dengan terapi yang dilakukan dengan
tatap muka, terlebih lagi apabila ada pihak yang kurang mampu mengekspresikan
masalah atau konfliknya dalam bentuk tulisan dan cenderung lebih ekspresif
secara verbal, sehingga terapi online hanya nyaman digunakan bagi mereka yang
mampu mengekspresikan dirinya secara tertulis dengan baik dan efektif. Berbeda
dengan proses terapi dengan tatap muka yang mengharuskan kehadiran dari klien
dan terapis, di dalam media terapi online, kedua belah pihak dapat mengalami
pengalaman “telepresence” yaitu perasaan atau ilusi akan kehadiran seseorang
yang secara fisik tidak hadir secara langsung (Fink, 1999, dalam Rochlen, Zack,
& Speyer, 2004), sehingga hal tersebut dapat membuat klien lebih terhubung
dengan psyche atau keintiman seseorang tanpa terdistraksi dengan fisik atau hal-
hal yang berhubungan dengan keberadaan seseorang di sekitar klien (Suler, 2002,
dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004), hal itu sekaligus dapat menjadi kendala
terapis dalam mengobservasi dari perilaku sang klien, dengan menghilangkan
interaksi secara verbal di antara kedua belah pihak sehingga terapis tidak dapat
mengobservasi perilaku nonverbal yang ditunjukan oleh klien yang tentu saja hal
tersebut salah satu hal yang penting dalam proses terapi. Namun tentu saja hal
tersebut dapat membatasi terapis dalam menghadapi krisis yang mungkin terjadi
seperti saat klien menjadi suicidal atau memiliki keinginan untuk bunuh diri
(Mitchell & Murphy, 1998 dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004) sehingga
dalam menghadapi situasi tersebut tentu memiliki kemungkinan yang sangat kecil
untuk dilakukan mengingat terapi online memiliki keterbatasan dalam tindakan
nyata, meskipun Fenichen, dkk, berpendapat bahwa terapis masih mungkin untuk
menghadapi krisis dengan cara lain seperti menghubungi nomer darurat saat
khawatir dengan keselamatan kliennya. Dengan terapi online juga akan
memudahkan terapis dalam memberikan materi yang mendukung proses terapi,
seperti website, dokumen, video, alat asesmen yang telah tersedia untuk
kemudahan proses pelaksanaan terapi (Grohol, 2000, dalam Rochlen, Zack, &
Speyer, 2004).

Beberapa contoh website penyedia layanan terapi online di antaranya adalah:

1. BetterHelp
Sebuah website penyedia layanan online konseling yang berasal dari
Amerika, dengan 1761 terapis yang tercatat dan 25 juta lebih sesi yang
sudah terlaksana.
2. Breakthrough
Sebuah website penyedia layanan online terapi yang berasal dari Amerika
yang juga telah memiliki aplikasi mobile-nya sendiri dengan 1000 lebih
terapis yang terdaftar dan 8 dari 10 orang memiliki peningkatan setelah
melakukan terapi melalui layanan dari breakthrough.
3. Talkspace
Penyedia layanan online terapi dari Amerika dengan 1000 lebih terapis
profesional yang terdaftar, klien akan diasesmen terlebih dahulu yang
kemudian akan memilih rencana pembayaran yang sesuai dengan
kemampuan klien, baru setelah itu memilih terapis yang sesuai kebutuhan
klien sebelum memulai terapinya
4. PlusGuidance
Layanan online terapi asal Inggris yang memiliki misi untuk
meningkatkan kesehatan mental dunia dengan menciptakan akses on-
demand terhadap terapi dengan moto bahwa setiap orang berhak memiliki
kesempatan untuk berbicara dengan seorang terapis yang sesuai dengan
mereka sesegera mungkin, secara rahasia dan mudah dengan berbagai
macam pelayanan konseling yang disediakan seperti terapi kecemasan,
konseling karir, terapi depresi, pernikahan, psikoseksual, dan lain-lain.
5. iPrevail
layanan online terapi yang berbeda dari sebelumnya, layanan ini
mengandalkan spesialis sebaya yang telah terlatih sebagai terapis klien
dalam mendengarkan pemasalahan yang dimiliki oleh klien. Klien dapat
memilih untuk merahasiakan data pribadinya sehingga dirinya anonimus
dan mendapatkan hasil pemeriksaan secara anonimus pula, baru kemudian
pihak iPrevail akan menyarankan program-program online terapi yang
sesuai dengan kebutuhan klien.
6. riliv
Layanan online konseling Indonesia, klien dapat melakukan melalui pesan
teks, panggilan suara ataupun video dengan psikolog sebagai terapisnya
dengan biaya yang terjangkau dengan akses yang mudah hanya melalui
telepon genggam.
BAB IV

Kesimpulan

Pada akhirnya semua sepakat bahwa perkembangan teknologi sangat


mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Berbagai aktivitas dapat
dilakukan secara mudah dengan dimediasi oleh internet. Manusia berbondong-
bondong berpindah dari pola hidup konvensional, dalam hal ini melakukan
berbagai aktivitas di dunia nyata beralih memilih dunia maya sebagai
penggantinya. Aktivitas-aktivitas yang dahulu hanya dapat dilakukan di dunia
nyata, saat ini telah terfasilitasi dengan baik di dunia maya. Orang-orang lebih
memilih dunia maya untuk menjalankan aktivitas karena dipandang dapat
memberikan banyak kemudahan yang tidak dapat dirasakan di dunia nyata.
Dahulu ruang maya dimanfaatkan sebagai media untuk mempermudah aktivitas
yang berhubungan dengan informasi dan komunikasi, namun saat ini pemanfaatan
ruang maya telah menyentuh pada aktivitas-aktivitas yang lebih kompleks, salah
satunya yaitu dimanfaatkan untuk melakukan intervensi psikologi. Terdapat
berbagai layanan intervensi yang berbasis ruang maya telah tersedia. Salah
satunya yaitu layanan konseling yang telah banyak memberikan manfaat kepada
orang banyak dengan keberadaannya. Kemudahan dalam mengakses inilah yang
kemudian menjembatani masyarakat untuk dapat menikmati layanan intervensi
psikologi. Meskipun demikian, pemanfaatan ruang maya dalam intervensi
psikologi ini tidak hanya memberikan sisi positifnya saja, namun juga dapat
memberikan dampak negatif. Oleh sebab itu sudah seharusnya kita lebih bijak
dan mampu memanfaatkan media ini dengan baik agar dapat memaksimalkan
potensi positif yang dapat digali dan semaksimal mungkin mencegah berbagai
dampak negatif yang dibawanya serta memperbaiki berbagai kekurangan yang
ada.
Daftar Pustaka

American Psychological Association. (2015, September). What You Need to Know


Before Choosing Online Therapy. Retrieved from American Psychological
Association: http://www.apa.org/helpcenter/online-therapy.aspx
Botella, C., Garcia-Palacios, A., Baños, R. M., & Quero, S. (2009). Cybertherapy:
Advantages, Limitations, and Ethical Issues . PsychNology Journal vol.
7(1) , 77-100.
Chakroff, J. L., & Nathanson, A. I. (2008). Parent and school interventions:
Mediation and Media Literacy. In S. L. Calvert, & B. J. Wilson, The
handbook of Children, Media, and Development. (Ed) (pp. 552-576).
Oxford: Willey Blackwell.
Duerager, Andrea and Livingstone, & Sonia. (2012). How can parents support
children’s internet safety? London, UK: EU Kids Online.

Ratcliffe, R. (2017, February 12). Thousands go online for therapy. But does it
work? Retrieved from The guardian:
https://www.theguardian.com/society/2017/feb/12/online-therapy-
thousands-but-does-it-work
Rochlen, A. B., Zack, J. S., & Speyer, C. (2004). Online Therapy: Review of
Relevant Definitions, Debates, and Current Empirical Support. Journal of
Clinical Psychology vol. 60(3) , 269-283.
Sigman, M. (2010, 11 27). Cybertherapy is Cyber, But Is It Therapy? Retrieved
from Huffpost:
https://www.huffingtonpost.com/michael-sigman/cybertherapy-is-cyber-
but_b_788712.html

Anda mungkin juga menyukai