Anggota Kelompok
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
BAB I
Peta Permasalahan
Pemaparan Konsep
Media massa bukan merupakan suatu hal yang baru dalam kehidupan
manusia, khususnya anak-anak. Media massa setiap harinya terus berkembang dan
tereksposnya anak-anak pada media adalah hal yang wajar karena adanya
sosialisasi dan globalisasi. Penelitian saat ini yang memfokuskan kajian pada
televisi menyatakan bahwa media memberi banyak dampak pada anak-anak.
Peneltiian tersebut menjelaskan bahwa anak-anak yang lebih sering menonton
televisi dibandingkan dengan mereka yang lebih jarang menonton televisi
memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi, memiliki stereotipe yang lebih kuat
tentang wanita dan kaum minoritas, kurang sehat, dan memiliki prestasi yang
tidak terlalu tinggi di sekolah. (Jennifer L. Chakroff, 2008)
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda
mengenai kurikulum media literacy, yakni memberi dampak positif bagi anak-
anak, seperti anak jadi mampu membedakan antara iklan komersil dengan
program televisi, serta bagaimana melihat dan menyikapi iklan komersil di
televesi. Lebih lanjut, Singer, Zuckerman, and Singer (1980) menemukan bahwa
anak-anak yang mendapatkan kurikulum media literacy, ketika mendiskusikan
suatu topik atau figur yang digambarkan secara stereotip di televisi, memeiliki
pengetahuan yang lebih luas mengenai stereotipe tersebtu serta bagaimana
sebaiknya menyikapi sebuah stereotipe.
2.3.1 Kekuatan
1. Aman (telepsychology)
Intervensi ruang siber memberikan rasa aman pada pasien sehingga,
pasien dapat bertindak tanpa merasa terancam. Perspektif rasa aman ini
sesuai juga dengan teori Bowlby (1973, dalam Botella dkk., 2009)
tentang kebutuhan akan keaman dan perlindungan. Konteks ruang
maya dapat memposisikan pasein pada situasi-situasi yang mereka
anggap mengancam dan menempatkan pasien pada posisi aman
menurut cara mereka sendiri.
2. Dapat mengontrol rasa takut (VR)
Intervensi ruang siber memungkinkan pasien memilih tingkat
ketakutan yang mereka atur sendiri sesuai dengan kemampuan mereka.
Dalam hal ini adalah intervensi menggunakan VR pada pasien fobia.
Pasien dapat maju dari tugas mudah menuju ke tugas sulit, sehingga
hal ini dapat membantu pasien belajar membangun strategi yang
dibutuhkan dalam menghadapi ketakutan pada dunia nyata.
3. Memberikan penghargaan pada diri sendiri (VR)
Dalam intervensi ruang cyber, pasien dapat memberikan penghargaan
pada diri mereka sendiri melalui belajar dari kesalahan. Hal ini
berkaitan dengan teori Bandura (1977, dalam Botella dkk., 2009)
tentang self-efficacy . Pada perspektif ini dimaksutkan pada intervensi
VR, dimana pasien akan terus mencoba dan mencoba ketika mereka
gagal hingga akhirnya berhasil dan mendapatkan penghargaan dari diri
mereka sendiri.
4. Mudah membangun pengetahuan (telepsychology)
Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi membuat cara pikir
manusia mudah untuk dipahami. Hal ini menjadikan, pengetahuan
tentang kesehatan mental dapat dibangun secara mudah pada manusia
sehingga promosi tentang kesehatan mental pun dapat di aksese dan
disebarluaskan secara mudah.
5. Beyond reality (telepsychology & VR)
Dalam konteks ini, intervensi dalam ruang siber menghapuskan norma
sosial yang berlaku saat inidividu berada di ruang nyata sehingga
individu tidak perlu mematuhi peraturan ruang dan waktu. Oleh karena
hal itu, proses terapi dapat dilakukan kapan pun dan dimanapun tanpa
perlu mempertimbangkan ruang dan waktu. Melalui dunia maya,
pasien dapat menggeneralisasi kemajuan terapi yang dijalaninya
karena pasien dapat berlatih dalam konteks virtual yang berbeda-beda.
6. Murah (telepsychology)
Intervensi dalam dunia siber dapat menghemat biaya karena seperti
poin sebelumnya, intervensi dunia siber merupakan beyond reality,
dimana pasien ataupun terapis tidak perlu mematuhi peraturan ruang
dan waktu. Proses terapi dapat dilakukan kapan pun dan dimanapun.
Menggunakan media elektronik yaitu ponsel ataun handphone, proses
konseling atau terapi dapat dilakukan dan diakses secara mudah dan
murah.
2.3.2 Keterbatasan
1. Cybersickness dan Aftereffect (VR)
Cybersickness dapat berupa mual, muntah, disorientasi, lelah mata,
ataxia dan vertigo. Sedangkan Aftereffect dapat berupa munculnya
gejalan gangguan gerak, gangguan motorik, flashback, kantuk,
kelelahan dan penurunan gairah. Dampak negative ini dapat terjadi
karena durasi pemberian VR yang tidak sesuai. Namun selama sepuluh
tahu penelitian dilakukan, dampak negative seperti cybersickness dan
aftereffect masih belum terbukti menjadi sebuah masalah yang sering
ditemui.
2. Faktor Usia (VR)
Usia dianggap sebagai kunci kelayakan dilakukan VR pada seorang
individu. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan secara hati-hati
pemberian VR pada anak-anak dan lansia terutama yang memiliki
gangguan emosional.
3. Tidak menyembuhkan, justru makin membuat semakin terluka (VR)
Intervensi ruang maya yaitu VR, perlu dipertimbangkan kembali
apakah cocok digunakan untuk terapi pada gangguan kecemasan,
terutama gangguan kecemasan yang berat seperti, PTSD dan
agoraphobia. Karena jika diberikan secara tidak sesuai, proses terapi
justru menimbulkan trauma lebih berat dibandingkan kesembuhan
pasien.
4. Tidak dapat diaplikasikan pada semua gangguan psikologis (VR)
Intervensi ruang siber menggunakan VR tidak dapat diberikan pada
seluruh gangguan psikologis terutama gangguan psikotik seperti,
bipolar, paranoid dan penyalahgunaan dimana berkaitan dengan
pengujian realitas dan masalah identitas diri. Hal ini dikarenakan
dalam intervensi menggunakan VR, menstimulasi kenyataan secara
lebih nyata, oleh karena itu akan menjadi sulit dilakukan pada pasien
penderita gangguan psikotik dimana mereka sulit membedakan antara
realita dan imajinasi.
5. Kurangnya pemahaman terhadap teknologi (telepsychology)
Dalam intervensi siber dalam bentuk telepsychology, diperlukan
pemahaman teknologi baik dari sisi terapis maupun dari sisi pasien.
Karena, jika salah satu, antara terapis atau pasien tidak mengetahui
secara benar bagaimana sebuah sistem teknolgi bekerja, mereka dapat
menolak dan membatalkan terapi secara online karena kurang percaya
diri dan kurangnya keterampilan yang dimiliki dalam menjalankan
aplikasi program.
6. Self-diagnosis (telepsychology)
Banyaknya dan mudahnya akses informasi tentang kesehatan mental
membuat individu mudah belajar dan mempelajari pengetahuan
kesehatan mental secara mandiri tanpa bantuan dari expert atau orang
yang lebih ahli. Sehingga, banyak dari mereka yang pada akhirnya
salah menyimpulkan apa yang mereka pahami dengan mendiagnosa
diri mereka sendiri tanpa pertimbangan dari seorang ahli kesehatan
mental. Fenomena seperti ini dikenal dengan self-diagnosis.
Uraian Kasus
3.1 Kasus
1. BetterHelp
Sebuah website penyedia layanan online konseling yang berasal
dari Amerika, dengan 1761 terapis yang tercatat dan 25 juta lebih sesi
yang sudah terlaksana.
2. Breakthrough
Sebuah website penyedia layanan online terapi yang berasal dari
Amerika yang juga telah memiliki aplikasi mobile-nya sendiri dengan
1000 lebih terapis yang terdaftar dan 8 dari 10 orang memiliki peningkatan
setelah melakukan terapi melalui layanan dari breakthrough.
3. Talkspace
Penyedia layanan online terapi dari Amerika dengan 1000 lebih
terapis profesional yang terdaftar, klien akan diasesmen terlebih dahulu
yang kemudian akan memilih rencana pembayaran yang sesuai dengan
kemampuan klien, baru setelah itu memilih terapis yang sesuai kebutuhan
klien sebelum memulai terapinya
4. PlusGuidance
Layanan online terapi asal Inggris yang memiliki misi untuk
meningkatkan kesehatan mental dunia dengan menciptakan akses on-
demand terhadap terapi dengan moto bahwa setiap orang berhak memiliki
kesempatan untuk berbicara dengan seorang terapis yang sesuai dengan
mereka sesegera mungkin, secara rahasia dan mudah dengan berbagai
macam pelayanan konseling yang disediakan seperti terapi kecemasan,
konseling karir, terapi depresi, pernikahan, psikoseksual, dan lain-lain.
5. iPrevail
Online therapy atau terapi online dapat didefinisikan Rochlen, Zack, &
Speyer (2004) sebagai interaksi terapis profesional yang dilakukan melalui
internet untuk menghubungkan para profesional dalam bidang kesehatan mental
dan kliennya, media ini bersifat terbuka karena yang diperlukan kedua belah pihak
hanyalah komputer dan koneksi internet yang biasanya dilakukan melalui email,
daftar diskusi, obrolan online, atau konferensi audiovisual. Hal ini juga bisa
disebut dengan “telepsikologi” atau penggunaan ICTs dalam interaksi antara
praktisi profesional kesehatan mental dengan pasien atau klien dalam menentukan
diagnosis atau treatment, menyebarkan informasi, atau untuk melakukan
penelitian atau kegiatan lain yang berhubungan dengan kesehatan mental (Brown,
1998, dalam Botella, Garcia-Palacios, Baños, & Quero, 2009).
Namun ada pula pihak yang masih skeptikal dengan terapi cyber seperti
yang telah dikatakan oleh psikoanalis dan penulis dari Los Angeles, David James
Fisher bahwa pendekatan ini bersifat manipulatif terhadap keberadaan manusia
terutama pasien yang sedang bermasalah (Sigman, 2010). Para ahli masih
mempelajari mengenai bagaimana konseling online dapat dibandingkan dengan
terapi secara tatap muka, mengingat aspek anonimitas dari internet yang dapat
menjadi masalah utama (Ratcliffe, 2017).
Sebelum media ini terwujud, media lain yang digunakan para praktisi
profesional adalah melalui telepon dan surat, yang kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan email yang selanjutnya dirasa kurang sinkron karena interaksi
konseling tidak berada dalam waktu yang bersamaan dan hanya dilakukan ketika
kedua belah pihak memiliki waktu untuk membalas email satu sama lain
(Haas,Benedict,&Kobos, 1996; Padach, 1984; Wiederhold, Wiederhold, Jang, &
Kim, 2000; Stofle, 2001, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004). Kemudian
seiring dengan kemajuan teknologi dan koneksi serta akses internet yang semakin
mudah dan cepat, terdapat peningkatan pada pelayanan jasa terapis yang
menawarkan sesi konferensi video untuk praktek konseling yang lebih mudah.
Dan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, media terapi online masih
menjadi perdebatan dikalangan praktisi dengan pihak yang menganggap bahwa
media ini memiliki beberapa keuntungan dan tantangan tersendiri mengenai
situasi dan tipe dari klien yang dihadapi yang bisa saja lebih nyaman
menggunakan terapi online (e.g., Alleman, 2002; Barak, 1999; Maheu & Gordon,
2000; Stofle, 2001, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004). Selain itu ada juga
pihak yang masih mempertanyakan mengenai kelekatan ikatan antara terapis dan
klien yang melakukan konseling secara online, juga pihak yang masih merasa
skeptis dengan praktek tersebut.
Tentu saja terdapat beberapa keuntungan yang dimiliki oleh online terapi
sebagai salah satu media intervensi kesehatan mental seperti yang disebutkan oleh
Rochlen, Zack, & Speyer (2004), terdapat peningkatan dan kemudahan akses bagi
klien dan terapis online yang melakukan terapi ini, terutama bagi mereka dengan
mobilitas atau waktu yang terbatas, atau mereka yang memiliki akses terbatas
terhadap pelayanan kesehatan mental, selain itu juga bagi orang-orang yang
tinggal, bekerja, atau sedang bepergian di daerah dengan keterbatasan bahasa
yang menjadi kendala bagi mereka untuk melakukan terapi secara tatap muka.
kemudian bagi orang-orang yang mungkin merasa kurang nyaman dengan proses
terapi secara tatap muka dan merasa rasa malu akan berkurang bila tidak ada
kehadiran terapis secara langsung, bisa menggunakan media terapi online
(Mitchell & Murphy, 1998, dalam Rochlen, Zack, & Speyer, 2004; Botella,
Garcia-Palacios, Baños, & Quero, 2009).
1. BetterHelp
Sebuah website penyedia layanan online konseling yang berasal dari
Amerika, dengan 1761 terapis yang tercatat dan 25 juta lebih sesi yang
sudah terlaksana.
2. Breakthrough
Sebuah website penyedia layanan online terapi yang berasal dari Amerika
yang juga telah memiliki aplikasi mobile-nya sendiri dengan 1000 lebih
terapis yang terdaftar dan 8 dari 10 orang memiliki peningkatan setelah
melakukan terapi melalui layanan dari breakthrough.
3. Talkspace
Penyedia layanan online terapi dari Amerika dengan 1000 lebih terapis
profesional yang terdaftar, klien akan diasesmen terlebih dahulu yang
kemudian akan memilih rencana pembayaran yang sesuai dengan
kemampuan klien, baru setelah itu memilih terapis yang sesuai kebutuhan
klien sebelum memulai terapinya
4. PlusGuidance
Layanan online terapi asal Inggris yang memiliki misi untuk
meningkatkan kesehatan mental dunia dengan menciptakan akses on-
demand terhadap terapi dengan moto bahwa setiap orang berhak memiliki
kesempatan untuk berbicara dengan seorang terapis yang sesuai dengan
mereka sesegera mungkin, secara rahasia dan mudah dengan berbagai
macam pelayanan konseling yang disediakan seperti terapi kecemasan,
konseling karir, terapi depresi, pernikahan, psikoseksual, dan lain-lain.
5. iPrevail
layanan online terapi yang berbeda dari sebelumnya, layanan ini
mengandalkan spesialis sebaya yang telah terlatih sebagai terapis klien
dalam mendengarkan pemasalahan yang dimiliki oleh klien. Klien dapat
memilih untuk merahasiakan data pribadinya sehingga dirinya anonimus
dan mendapatkan hasil pemeriksaan secara anonimus pula, baru kemudian
pihak iPrevail akan menyarankan program-program online terapi yang
sesuai dengan kebutuhan klien.
6. riliv
Layanan online konseling Indonesia, klien dapat melakukan melalui pesan
teks, panggilan suara ataupun video dengan psikolog sebagai terapisnya
dengan biaya yang terjangkau dengan akses yang mudah hanya melalui
telepon genggam.
BAB IV
Kesimpulan
Ratcliffe, R. (2017, February 12). Thousands go online for therapy. But does it
work? Retrieved from The guardian:
https://www.theguardian.com/society/2017/feb/12/online-therapy-
thousands-but-does-it-work
Rochlen, A. B., Zack, J. S., & Speyer, C. (2004). Online Therapy: Review of
Relevant Definitions, Debates, and Current Empirical Support. Journal of
Clinical Psychology vol. 60(3) , 269-283.
Sigman, M. (2010, 11 27). Cybertherapy is Cyber, But Is It Therapy? Retrieved
from Huffpost:
https://www.huffingtonpost.com/michael-sigman/cybertherapy-is-cyber-
but_b_788712.html