Oleh :
Kelompok 3
Nur Hadi 22122530
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) AT-TAQWA
CIPARAY BANDUNG
2022
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah Dasar-dasar Kependidikan yang berjudul “Pilar-pilar
Kependidikan” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang telah
berkontribusi sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Harapan kami makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, dan juga bagi kami kedepannya agar dapat
memperbaiki kualitas maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih
baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
I
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN……………………………………………………………..
. 3
A. Pilar- Pilar pendidikan
B. Pilar-pilar Pendidikan Menurut UNESCO
II
1. Learning to
know....................................................................................................
3
2. Learning to
do.........................................................................................................
5
3. Learning to
be.......................................................................................................
6
4. Learning to live
together....................................................................................... 7
5. Learning to how to
learn.......................................................................................... 7
C. Empat Pilar Kebangsaan dan Pentingnya
Pendidikan.................................................. 8
D. Pilar Pendidikan
Karakter….........................................................................................
10
E. Konsep Ajaran Ki Hadjar Dewantara
........................................................................... 12
F. Tujuan Pendidikan
Nasional......................................................................................
13
III
DAFTARPUSTAKA ……………………………………………………..
………… ...... 16
IV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1
for Educational, Scientific, and Cultural Organization). Jika ada yang
mencoba mengaitkannya, maka itu sama saja artinya dengan tidak memiliki
wawasan tentang sistem pendidikan nasional yang punya karakteristik
tersendiri, khususnya milik bangsa Indonesia.
2
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan materi ini, dan agar tersusun secara sistematis dan
efisien maka timbulah beberapa rumusan masalah yang diantaranya:
C. Tujuan
3
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PILAR-PILAR PENDIDIKAN
5
1. Learning to know (belajar mengetahui)
6
Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya
tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus
mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya.[1]
Dengan kebijakan tanpa batas umur dan batas waktu untuk belajar,
maka kita mendorong supaya tiap pribadi sebagai subjek yang bertanggung
jawab atas pedidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
2. Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata
terlambat atau terlalu dini untuk belajar.
7
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu,
guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara saksama dalam
meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan memperbaiki kualitas
mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-
mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses
belajar-mengajar.
8
a. sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus
mempelajarinya sendiri,
b. setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-
masing,
c. siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai
melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement,
d. penguasaan secara penuh, dan
e. siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih
termotivasi untuk belajar.
4. Guru sebagai demonstrator. Guru berperan untuk menunjukkan
kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih
mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
5. Guru sebagai pembimbing. Siswa adalah individu yang unik.
Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan.
Perbedaan inilah yang menuntut guru harus berperan sebagai
pembimbing.
6. Guru sebagai mediator. Guru selain dituntut untuk memiliki
pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki
keterampilan memilih dan menggunakan media dengan baik.
7. Guru sebagai Evaluator. Yakni sebagai penilai hasil
pembelajaran siswa. Dengan penilaian tersebut, guru dapat
mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa
terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode
mengajar (Fakhruddin, 2010:49-61).
8. Kiat-kiat Agar Menjadi Guru Favorit menurut Fakhruddin
(2010:97) yaitu:
9
a. Sabar
b. Bisa menjadi sahabat
c. Konsisten dan komitmen dalam bersikap
d. Bisa menjadi pendengar dan penengah
e. Visioner dan Missioner
f. Rendah Hati
g. Menyenangi kegiatan mengajar
h. Memaknai mengajar sebagai pelayanan
i. Bahasa cinta dan kasih
j. Menghargai proses
2. Learning to do
10
baru yang dapat ditransformasikan pada pemecahan masalah dan gagasan
inovatif serta kritis untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
11
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar hendaknya memfasilitasi
siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan yang dimiliki, serta bakat
dan minatnya agar “Learning to do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat
adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan minat adalah
kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar
terhadap sesuatu.
12
Contoh learning to do: Ketika kita bisa mengetahui bahwa semut akan
mendekat ketika ada gula atau benda-benda yang manis. Kita bisa berkarya
untuk menciptakan sesuatu agar semut tidak memasuki benda-benda yang
manis tersebut. Pramuka juga mengajarkan Learning to do dalam
pembelajarannya. Sehingga kegiatan pramuka akan lebih mengena dan
langsung kepada pengaplikasian kegiatannya
3. Learning to be
13
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk
melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan
merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses
menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri
diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri.
Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di
masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan
proses pencapain aktualisasi diri.
14
4. Learning to live together
15
dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu didasari
oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima
suatu perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali generasi
muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan
masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain
yang berbeda dengan penuh toleransi, dan pengertian.
16
atau knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial
yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu belajar terus menerus.
17
kelemahan kita, sebagai bangsa Indonesia? Kelemahan kita ialah bahwa kita
kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak
produk luar negeri; kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini
asalnya adalah masyarakat yang sama-sama gemar bergotong-royong. Tidak
ada empat pilar yang kita miliki ini sama persis dengan pilar-pilar
kebangsaan di negara lain. Karena itu, empat pilar kebangsaan jelas
bersumber dan bermuara pada budaya bangsa Indonesia yang khas, yang
tidak dimiliki oleh bangsa lain. Jika boleh dirangkum, maka empat pilar
kebangsaan Indonesia tersebut (versi penulis) adalah sebagai berikut:
18
jamak dan lumrah di Indonesia. Apakah ini simbol kemajuan bangsa?
Apakah ini simbol modernisasi, dengan gaya hidup jet set, pola hidup acak-
acakan, pandangan hidup yang tidak jelas, dan seterusnya? Di sinilah
pentingnya konsep learning to live together, yang mencoba dan belajar
memahami serta menghargai orang lain dengan asal-usul etnis, nilai-nilai,
dan agamanya. Terjadinya proses learning to live together pada model
pendidikan multikultural dan penerapan pilar keempat dari UNESCO
seperti penanaman sikap kebiasaan hidup bersama, saling menghargai,
terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan dan ditingkatkan,
bukan hanya di lembaga pendidikan, melainkan juga pada semua lapisan
masyarakat. Pengkondisian ke arah yang memungkinkan tumbuhnya sikap
saling pengertian antar ras, suku, dan agama mutlak perlu direalisasikan
dengan berbagai model dan domain pendidikan yang komprehensif.dan
domain pendidikan yang komprehensif.
19
NKRI yang damai. Sementara itu empat pilar pendidikan dari UNESCO
(United Nations for Educational, Scientific, and Cultural Organization),
anggaplah merupakan cara atau strategi untuk membekali anak bangsa
Indonesia agar menjadi manusia yang Pancasilais, berkarakter, yang tidak
akan lupa dengan cita-cita luhur para pendiri dan pahlawan bangsa. Adalah
sarana untuk memahami bahwa anak bangsa adalah penerus cita-cita dan
memperjuangkan dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia); meski anak bangsa tahu bahwa ada berbedaan, namun tetaplah
satu rasa dan jiwa dalam proses mencapai kedamaian di muka bumi
Nusantara. Karena itu, tidaklah cukup jika sekedar learning to know. IQ
(Intelligence Quotients atau kecerdasan intelektual) bukan tujuan utama
pendidikan anak bangsa, sebab tanpa keterampilan yang memadai, IQ akan
“oleng” diterpa ombak badai peradaban. Karena itu, learning to do
merupakan kecakapan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh anak
bangsa Indonesia sebagai bekal hidup dan untuk mencapai learning to be,
yang bisa berkembang sesuai dengan kepribadian bangsa. Jika anak bangsa
sudah memiliki IQ seperti yang diharapkan, memiliki kecakapan hidup
seperti yang diinginkan, dan bisa mengembangkan diri untuk menghadapi
peradaban, maka aspek terakhir yang perlu disadari oleh anak bangsa
Indonesia adalah bahwa dia tidak bisa hidup sendiri, tapi harus learning to
live together. Hidup itu baru dikatakan “hidup”, jika anak bangsa bisa hidup
berdampingan dengan yang lain, sebagai teman, saudara, keluarga,
masyarakat, dan warga negara, yang bernaung di bawah satu payung
(rumah) bernama Tanah Air Indonesia. Berdasarkan itu pula, pendidikan
multikultural memegang peranan penting dalam mengsukseskan hidup
20
gotong-royong, saling bahumembahu, saling membantu, saling percaya,
saling menghormati, saling menghargai, dan seterusnya.
Pendidikan karakter bangsa akan berhasil seiring dengan pendidikan
multikultural, yang di dalamnya terkadung nilai-nilai Pancasila. Pendidikan
karakter, melalui proses pendidikan multikultural, akan menghasilkan
manusia Indonesia yang bermutu, berakhlak mulia, dan berkepribadian,
yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual tetapi juga
kecerdasan sosial, emosi, dan religiusitas. Secara kebetulan, atau dengan
tidak disengaja, munculnya empat pilar pendidikan dari UNESCO (United
Nations for Educational, Scientific, and Cultural Organization) adalah
seiring dengan pentingnya empat pilar kebangsaaan di Indonesia. Hal itu
bukan berarti tidak berhubungan, melainkan bisa dicari benang merahnya.
Ketika bangsa Indonesia menerapkan empat pilar pendidikan dari
UNESCO, maka empat pilar kebangsaan juga mendesak untuk
disosialisakan kepada seluruh lapisan masyarakat. Keberhasilan sosialisasi
empat pilar kebangsaan ini akan sangat menopang keberhasilan empat pilar
pendidikan dari UNESCO. Demikian pula sebaliknya, keberhasilan empat
pilar pendidikan dari UNESCO akan sangat membantu suksesnya empat
pilar kebangsaan di Indonesia.
21
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.
Adapun nilai-nilai pendidikan karakter, yakni adanya penerapan
nilai-nilai karakter bagi peserta didik, seperti: religius, jujur, toleransi,
disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
memiliki semangat kebangsaaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung jawab. Apa dampak pendidikan karakter
terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk
menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting
mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang
diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut
diuraikan bahwa hasil studi Marvin Berkowitz dari University of Missouri -
St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih
prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan
karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan
karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa
yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Karakter berasal dari
bahasa Yunani karakter yang berakar dari diksi “karasso” atau “charassein”
yang berarti memahat atau mengukir, sedangkan dalam bahasa latin karakter
bermakna membedakan tanda. Dalam bahasa Indonesia, karakter dapat
diartikan sebagai sifat kejiwaan/tabiat/watak (Zubaedi, 2012: 8 dan
Nawanti, 2012:7).
22
Karakter dalam bahasa Inggris ditulis character, secara psikologis
dapat dimaknai sebagai kepribadian seseorang yang ditinjau berdasar etis
atau moral, seperti kejujuran seseorang biasanya mempunyai kaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap (Kartono dan Gulo, 1987: 8). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, tabiat, dan
watak. Dengan demikian, karakter merupakan kualitas mental, moral,
akhlak, dan budi pekerti seseorang yang membedakannya dengan orang lain
(Hidayatullah, 2013: 9).
Salah satu tokoh pendidik, G.W. Allport yang dikutip oleh Sri
Narwanti memberikan defenisi bahwa karakter merupakan suatu organisasi
yang dinamis dari sistem psiko-fisik individu yang menentukan tingkah laku
dan pemikiran individu secara khas dan mengarahkan pada tingkah laku
manusia.
Pendidikan karakter begitu penting untuk peserta didik? Karena di
dalam menginternalisasi nilai-nilai karakter dalam pendidikan Islam
terdapat modelmodel yang mengorientasikan pada nilai-nilai positif.
Kementerian Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa nilai- nilai yang
dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-
sumber berikut ini:
Agama
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu,
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran
agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun di
dasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu,
23
maka nilai- nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan
pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
Pancasila
Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila
terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam
pasalpasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki
kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupannya sebagai warga negara.
Budaya
Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian
makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota
masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan
budaya dan karakter bangsa.
24
Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara
Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai
jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai
kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu,
tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Inilah sumber dari
pendidikan karakter yang akan diterapkan bagi peserta didik. Oleh karena
itu, pendidikan karakter tak bisa dipisahkan dari pancasila, nilai agama, nilai
budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Tak ketinggalan, Koesoema menyatakan bahwa pendidikan karakter
di lembaga pendidikan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (practice of virtue).
Pendidikan karakter di sekolah ini mengacu pada proses penanaman nilai,
berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-
nilai itu, serta bagaimana seorang peserta didik memiliki kesempatan untuk
dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata. Pendidikan karakter
bukan hanya terkait dengan mata pelajaran tertentu, tetapi terkait
keseluruhan proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, baik itu visi,
misi, maupun kebijakan, pola relasi, dan sebagainya. Pendidikan karakter
seakan menjadi ruh dalam setiap proses pendidikan dan pembelajaran yang
dilakukan setiap sekolah (Koesoema, 2010: 192-193).
Pendidikan karakter juga banyak diterapkan di negara lain, semisal
Amerika Serikat. Sebuah lembaga yang melakukan penilaian pelaksanaan
pendidikan di Amerika Serikat, yaitu character education partnership pada
tahun 2006 mengeluarkan laporan mengenai sekolah-sekolah di Amerika
Serikat yang mendapat penghargaan sebagai sekolah yang telah berhasil
25
mengembangkan pendidikan karakter yang berjudul National Schools of
Character 2006: Award-Winning Practise. Berdasarkan pengalaman sekolah
tersebut dikemukakan ada 11 prinsip pelaksanaan pendidikan karakter,
yaitu;
(a) Mempromosikan nilai-nilai etika inti;
(b) Menentukan "karakter" komprehensif untuk memasukkan berpikir,
perasaan, dan perilaku;
(c) Menggunakan pendekatan komperenshif, disengaja, dan proaktif;
(d) Menciptakan sebuah
komunitas sekolah yang peduli;
(e) Menyediakan peluang untuk tindakan moral;
(f) Memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang;
(g) Mendorong munculnya motivasi diri peserta didik;
(h) Melibatkan staf sekolah sebagai pembelajaran dan komunitas
moral;
(i) Kepemimpinan moral dan mengembangkan dukungan jangka
panjang bersama;
(j) Melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra; dan
(k) Mengevaluasi inisiatif pendidikan karakter (Beland and Team,
2006: 4-5).
Dalam bukunya Teori-teori Pendidikan, Soyomukti (2011: 186)
mengatakan bahwa aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan
dalam pendidikan antara lain: penyadaran, pencerahan, pemberdayaan,
perubahan perilaku. Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua
perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamnya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda
26
sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmaniah maupun rohaniah
Dengan demikian, pendidikan karakter mendapatkan tempat special
dan urgen. Pendidikan karakter sangat penting bagi pendidikan di Indonesia.
Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan
karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial
seperti toleransi, kebersamaan, kegotong royongan, saling membantu dan
mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi
unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun
memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
27
memecahkan problem dan masih releven untuk dapat digunakan, oleh
karena penting untuk dapat dikaji secara lebih lanjut. Bahasan yang akan
dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini yaitu konsep dasar ajaran, sistem among
untuk strategi mengatasi masalah peserta didik dan strategi neng-ning-nung-
nang untuk strategi mengatasi masalah pribadi.
Ajaran Ki Hadjar Dewantara meliputi ajaran yang bersifat
konseptual, pedoman operasional praktis dan fatwa (Buantarno. Dwiarso,
Suharto, dkk, 2012).
Ajaran konseptual yaitu :
28
Tri Juang: berjuang memberantas kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
29
persyaratan dan hasil produksi dan penghasilan.Beberapa komponen
pendidikan alah tujuan, pendidik, peserta didik, materi, metode, media dan
alat pendidikan, serta alat pendidikan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
30
[1] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2012), hal.143
[2] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2012), hal.144
[3] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2012), hal.144
[4]Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2012), hal.144
[5] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2012), hal.144
https://fkip.unisma.ac.id/pramuka-dan-4-pilar-pendidikan-menurut-unesco/
#:~:text=Perserikatan%20Bangsa%2DBangsa%20(PBB),4)%20learning
%20to%20live%20together
Maryaeni, M. (2013). Pendidikan Karakter dan Multikultural: Pilar-pilar
Pendidikan dan Kebangsaan di Indonesia. ATIKAN, 3(2).
Cahyani, B. H. (2015). Strategi Kemampuan Memecahkan Problem dalam
Perspektif Ajaran Ki Hadjar Dewantara. In Psychology Forum UMM (pp.
55-58).
Marjuni, M. (2015). Pilar-Pilar Pendidikan Karakter Dalam Konteks
Keislaman. AULADUNA: Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 2(1), 154-163.
.
31
32