Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PILAR PILAR KEPENDIDIKAN


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Dasar-dasar
Kependidikan
Dosen Pengampu : Pak Irvan Destian, M.Pd

Oleh :
Kelompok 3
Nur Hadi 22122530
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) AT-TAQWA
CIPARAY BANDUNG
2022

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah Dasar-dasar Kependidikan yang berjudul “Pilar-pilar
Kependidikan” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang telah
berkontribusi sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Harapan kami makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, dan juga bagi kami kedepannya agar dapat
memperbaiki kualitas maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih
baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Maret 2023

Penyusun

I
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………...


…………………... i
Daftar Isi …………………………………………….………………….
……………..... ii
BAB I PENDAHULUAN …….
……………………………………………….…….. 1
A. Latar Belakang
…………………………………………………………….……….... 1
B. Rumusan Masalah............................
……………….................................................... 2
C. Tujuan Makalah…………………......
……………………………………………...... 2
BAB II

PEMBAHASAN……………………………………………………………..
. 3
A. Pilar- Pilar pendidikan
B. Pilar-pilar Pendidikan Menurut UNESCO

II
1. Learning to
know....................................................................................................
3
2. Learning to
do.........................................................................................................
5
3. Learning to
be.......................................................................................................
6
4. Learning to live
together....................................................................................... 7
5. Learning to how to
learn.......................................................................................... 7
C. Empat Pilar Kebangsaan dan Pentingnya
Pendidikan.................................................. 8
D. Pilar Pendidikan
Karakter….........................................................................................
10
E. Konsep Ajaran Ki Hadjar Dewantara
........................................................................... 12
F. Tujuan Pendidikan
Nasional......................................................................................
13

BAB III PENUTUP....


……………………………………………………………....…....15
A. Kesimpulan …………………………………………………............
………………... 15
B. Kritik dan Saran
…………………………………………………………………….....15

III
DAFTARPUSTAKA ……………………………………………………..
………… ...... 16

IV
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan


manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam
rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang
mengemban tugas dari Sang Khalik untuk beribadah.

Pilar merupakan penopang atau penyangga dalam sebuah bangunan


yang membuat bangunan itu dapat berdiri dengan kukuh. Sistem pendidikan
juga memerlukan pilar yang akan menyangga sistem pendidikan yang
dilaksanakan agar pendidikan tersebut dapat berjalan dengan baik dalam
mencapai tujuan pendidikan.

Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan


kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu,
guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara saksama dalam
meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan memperbaiki kualitas
mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-
mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses
belajar-mengajar.

Empat pilar kebangsaan di Indonesia, yaitu Pancasila, UUD


(Undang-Undang Dasar) 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia), dan Bhineka Tunggal Ika tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan
empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO (United Nations

1
for Educational, Scientific, and Cultural Organization). Jika ada yang
mencoba mengaitkannya, maka itu sama saja artinya dengan tidak memiliki
wawasan tentang sistem pendidikan nasional yang punya karakteristik
tersendiri, khususnya milik bangsa Indonesia.

Pilar Pendidikan Karakter diartikan sebagai sifat manusia pada


umumnya di mana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari
faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.
Definisi dari “the stamp of individually or group impressed by nature,
education or habit.” Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.

Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara


Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai
jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai
kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu,
tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Inilah sumber dari
pendidikan karakter yang akan diterapkan bagi peserta didik. Oleh karena
itu, pendidikan karakter tak bisa dipisahkan dari pancasila, nilai agama, nilai
budaya, dan tujuan pendidikan nasional.

2
B. Rumusan Masalah

Dalam pembahasan materi ini, dan agar tersusun secara sistematis dan
efisien maka timbulah beberapa rumusan masalah yang diantaranya:

1. Apa itu pilar-pilar pendidikan


2. Apa saja pilar pilar pendidikan menurut unesco?
3. Apa yang di maksud dengan empat pilar kebangsaan dan pentingnya
pendidikan?
4. Apa yang di maksud dengan pilar pendidikan karakter?
5. Bagai mana konsep ajaran ki hajar dewantara?

C. Tujuan

Dalam membahas materi ini tujuan yang dapat diambil yaitu:

1. Untuk mengetahui pilar-pilar pendidikan


2. Untuk mengetahui pilar-pilar pendidikan menurut unesco
3. Untuk mengetahui empat pilar kebangsaan dan pentingnya
pendidikan
4. Untuk mengetahui pilar pendidikan karakter
5. Untuk mengetahui bagaimana konsep ajaran ki hajar dewantara

3
4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PILAR-PILAR PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan


manusia. Sistem pendidikan juga memerlukan pilar yang akan menyangga
sistem pendidikan yang dilaksanakan agar pendidikan tersebut dapat
berjalan dengan baik dalam mencapai tujuan pendidikan.

Pilar pendidikan adalah tiang atau suatu penunjang dari sebuah


kegiatan usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang akan diberikan
kepada anak didik yang bertujuan untuk pendewasaan anak (syarif & zen,
2007)

Pilar pendidikan juga merupakan penopang atau penyangga sebuah


sistem pendidikan agar dapat kuat dan berdiri tetap untuk mencapai tujuan
pendidikan itu sendiri. Pilar pendidikan adalah hal yang sangat berperan
penting dalam menompang pendidikan untuk menjadi satu kesatuan yang
utuh.

B. PILAR-PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO

Ada lima pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang


dapat digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan di dunia
pendidikan.

5
1. Learning to know (belajar mengetahui)

Pilar yang pertama adalah learning to know, yang berarti belajar


untuk mengetahui, belajar untuk mencari tahu. Pilar ini berisi tingkatan yang
paling dasar dalam mencari ilmu pengetahuan, yakni untuk dapat
mengetahui dan kemudian memahami objek-objek riil maupun ide-ide
abstrak yang ada di sekitar mereka. Stojanovska (2017) menggaris bawahi
bahwa pada hakikatnya belajar untuk mengetahui sebenarnya sama halnya
dengan mempelajari bagaimana seharusnya seseorang belajar, tidak hanya
sekadar mencekoki diri dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada di luar
kepala. Lebih lanjut disampaikan bahwa tujuan belajar untuk mengetahui ini
adalah untuk menguasai pengetahuan yang sifatnya divergen, sangat luas
dan kompleks, yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Akan tetapi,
perlu diingat bahwa untuk mempelajari suatu pengetahuan secara
mendalam, seseorang dapat pula mempelajari pengetahuan yang luas tadi
dengan spesialisasi tertentu alias melihat unit-unit yang lebih kecil untuk
dapat menguatkan gambaran umumnya terhadap suatu pengetahuan.

Learning to know bukan sebatas proses belajar dimana pembelajar


mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya,
menyimpan dan mengingat, namun juga kemampuan untuk dapat
memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan
Learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan
pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak hanya melalui
logika empirisme semata, tetapi juga secara transendental, yaitu kemampuan
mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.

6
Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya
tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus
mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya.[1]

Secara implisit, learning to know bermakna belajar sepanjang


hayat (Life long education). Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak atas
keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia
hidup, baik didalam maupun diluar sekolah. Sehubungan dengan asas
pendidikan seumur hidup berlangsung seumur hidup, maka peranan subjek
manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar
merupakan kewajiban kodrati manusia.

Dengan kebijakan tanpa batas umur dan batas waktu untuk belajar,
maka kita mendorong supaya tiap pribadi sebagai subjek yang bertanggung
jawab atas pedidikan diri sendiri menyadari, bahwa:

1. Proses dan waktu pendidikan berlangsung seumur hidup sejak dalam


kandungan hingga manusia meninggal.

2. Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata
terlambat atau terlalu dini untuk belajar.

3. Belajar/ mendidik diri sendiri adalah proses alamiah sebagai bagian


integral/ totalitas kehidupan (Burhannudin Salam, 1997:207).

untuk karakter generasi bangsa. Di tangan gurulah tunas-tunas


bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan
yang terbaik untuk anak negeri ini di masa yang akan datang.

7
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu,
guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara saksama dalam
meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan memperbaiki kualitas
mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-
mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses
belajar-mengajar.

Guru bisa dikatakan unggul dan profesional bila mampu


mengembangkan kompetensi individunya dan tidak banyak bergantung pada
orang lain. Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik
harus mampu berperan sebagai berikut:

1. Guru berperan sebagai sumber belajar. Peran ini berkaitan


penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan
guru yang baik apabila ia dapat menguasai materi
pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar berperan
sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
2. Guru sebagai Fasilitator. Guru berperan memberikan
pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
3. Guru sebagai pengelola. Guru berperan menciptakan iklim
belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara
nyaman. Prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru
dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:

8
a. sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus
mempelajarinya sendiri,
b. setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-
masing,
c. siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai
melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement,
d. penguasaan secara penuh, dan
e. siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih
termotivasi untuk belajar.
4. Guru sebagai demonstrator. Guru berperan untuk menunjukkan
kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih
mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
5. Guru sebagai pembimbing. Siswa adalah individu yang unik.
Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan.
Perbedaan inilah yang menuntut guru harus berperan sebagai
pembimbing.
6. Guru sebagai mediator. Guru selain dituntut untuk memiliki
pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki
keterampilan memilih dan menggunakan media dengan baik.
7. Guru sebagai Evaluator. Yakni sebagai penilai hasil
pembelajaran siswa. Dengan penilaian tersebut, guru dapat
mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa
terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode
mengajar (Fakhruddin, 2010:49-61).
8. Kiat-kiat Agar Menjadi Guru Favorit menurut Fakhruddin
(2010:97) yaitu:

9
a. Sabar
b. Bisa menjadi sahabat
c. Konsisten dan komitmen dalam bersikap
d. Bisa menjadi pendengar dan penengah
e. Visioner dan Missioner
f. Rendah Hati
g. Menyenangi kegiatan mengajar
h. Memaknai mengajar sebagai pelayanan
i. Bahasa cinta dan kasih
j. Menghargai proses

Contoh learning to know : Setiap pagi berangkat sekolah, disekolah


menerima pelajaran-pelajaran yang baru yang membuat kita semakin
mengetahui banyak hal.

2. Learning to do

Pilar kedua adalah learning to do, yang berarti belajar untuk


melakukan sesuatu. Artinya, seseorang belajar untuk dapat menggunakan
pengetahuan tersebut secara praktikal dalam kehidupannya sehari-hari.
Walaupun secara umum pengertian belajar ini berkaitan dengan tujuan di
sekolah kejuruan di mana mempersiapkan peserta didik untuk dapat
mengaplikasikan pengetahuan di dunia kerja, kita perlu melihatnya dengan
sudut pandang yang lebih luas. Pada dasarnya pendidikan berperan besar
dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, di berbagai sektor,
termasuk perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Untuk
dapat melakukan berbagai inovasi dan pemikiran-pemikiran kreatif,
kegiatan belajar hendaknya diprioritaskan pada pemerolehan pengetahuan

10
baru yang dapat ditransformasikan pada pemecahan masalah dan gagasan
inovatif serta kritis untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know.


Kelemahan model pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan
adalah mengajarkan “omong” (baca:teori), dan kurang menuntun orang
untuk “berbuat” (praktik). Learning to do bukanlah pembelajaran yang
hanya menumbuhkembangkan kemampuan berbuat mekanis dan
keterampilan tanpa pemikiran, tetapi mendorong peserta didik agar terus
belajar bagaimana menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana
mengembangkan teori atau konsep.

Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui,


tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat/ mengerjakan sesuatu sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Sasaran dari pilar
kedua ini adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan
memasuki ekonomi industry (Soedijarto, 2010). Dalam masyarakat industri
tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang
kaku melainkan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
seperti “controlling, monitoring, designing, organizing”. Peserta didik
diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkrit yang tidak hanya
terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanitis melainkan juga
terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola
dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu
mencetak generasi muda yang intelligent dalam bekerja dan mempunyai
kemampuan untuk berinovasi.

11
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar hendaknya memfasilitasi
siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan yang dimiliki, serta bakat
dan minatnya agar “Learning to do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat
adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan minat adalah
kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar
terhadap sesuatu.

Meskipun bakat dan minat anak dipengaruhi factor keturunan namun


tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada
lingkungan . Lingkungan disini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Lingkungan social. Yang termasuk dalam lingkungan social


siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman
sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut.
Lingkungan social yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan
belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.
b. Lingkungan nonsosial. Factor-faktor yang termasuk lingkungan
nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat
tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan
keadaan cuaca. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan
tingkat keberhasilan belajar siswa (Muhibbin Syah, 2004:138).

Sekolah juga berperan penting dalam menyadarkan peserta didik bahwa


berbuat sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik mesti
terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah
agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya,
peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah.

12
Contoh learning to do: Ketika kita bisa mengetahui bahwa semut akan
mendekat ketika ada gula atau benda-benda yang manis. Kita bisa berkarya
untuk menciptakan sesuatu agar semut tidak memasuki benda-benda yang
manis tersebut. Pramuka juga mengajarkan Learning to do dalam
pembelajarannya. Sehingga kegiatan pramuka akan lebih mengena dan
langsung kepada pengaplikasian kegiatannya

3. Learning to be

Pilar keempat adalah learning to be, yang secara harfiah dapat


diartikan sebagai belajar untuk menjadi. Kata “menjadi” yang seolah-olah
menggantung di akhir kalimat ini seyogianya mengacu pada hakikat
pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Dalam hal ini, learning
to be berarti bagaimana melalui pendidikan, seorang dapat belajar untuk
menjadi manusia-manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai
manusia, unik sesuai ciri khasnya masing-masing dan menyadari secara utuh
bahwa ia dapat mengembangkan seluruh kemampuannya dengan bertolak
dari akal dan budi yang dibekali oleh Sang Pencipta.

Melengkapi learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe


berpendapat bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerja sama
atau dengan kata lain manusia saling tergantung dengan manusia lain.
Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan waktu jika tidak berpegag
teguh pada jati dirinya. Learning to be akan menuntun peserta didik menjadi
ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya
sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.

13
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk
melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan
merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses
menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri
diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri.
Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di
masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan
proses pencapain aktualisasi diri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut


Djamal (2007:101) yaitu:

a. Motivasi. Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat


dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas
tertentu guna mencapai suatu tujuan/ kebutuhan
b. Sikap. Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam
berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat.
c. Minat
d. Kebiasaan belajar. Berbagai hasil penelitian menunjukkan,
bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi positif dengan
kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak
yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada
akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis.
e. Konsep diri. Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang
dirinya sendiri yang menyangkut perasaannya, serta bagaimana
perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.

14
4. Learning to live together

Pilar ketiga adalah learning to live together, yang berarti belajar


untuk dapat hidup bersama dengan orang lain. Dalam kaitannya dengan
kecakapan abad ke-21, belajar satu ini berkaitan dengan keterampilan untuk
dapat berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain sehingga
seseorang dapat mencapai target pribadi maupun target bersama kelompok
maupun yang sifatnya universal bagi kesejahteraan umat manusia. Kita
ketahui bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia, akan banyak konflik
yang disebabkan pergesekan kepribadian individu dan kepentingan yang
ingin dicapai. Oleh karenanya, belajar untuk hidup bersama ini penting
sehingga setiap individu dapat saling menghargai perbedaan. Dengan
demikian, Seseorang mampu mengoptimalkan potensi masing-masing
sehingga dapat menghasilkan yang terbaik, tanpa menjatuhkan maupun
merugikan pihak lain.

Learning to live together ini mengajarkan seseorang untuk hidup


bermasyarakat dan menjadi manusia berpendidikan yang bermanfaat baik
bagi diri sendiri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia.
Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok individu
yang bervariasi akan membentuk kepribadian pebelajar untuk memahami
kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap
keanekaragaman dan perbedaan hidup.

Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah


dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus konflik antar manusia
yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Di zaman yang semakin
kompleks ini, berbagai konflik makin merebak seperti konflik nasionalis, ras

15
dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu didasari
oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima
suatu perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali generasi
muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan
masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain
yang berbeda dengan penuh toleransi, dan pengertian.

Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk memberikan


pengetahuan dan kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi
dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Itulah sebab nya Learning to
live together menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan jiwa
perdamaian.

Contoh learning to live together : Sebagai seorang yang


berpendidikan tentuh kita akan menghargai karya orang lain atau ketika kita
bisa melakukan banyak hal kita tidak sungkan-sungkan untuk berbagi
dengan orang lain.

5. Learning how to learn

Proses belajar tidak boleh berhenti begitu saja meskipun seorang


pembelajar telah menyelesaikan sekolahnya. Manusia hidup pada
hakikatnya adalah berhadapan dengan masalah. Setiap manusia dituntut
untuk menyelesaikan masalah. Satu masalah terjawab, seribu masalah
menunggu untuk dijawab. Oleh karena itu, Learning how to learn akan
membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan
strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif inovatif, efektif dan
efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat adalah learning society

16
atau knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial
yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu belajar terus menerus.

Learning how to learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu


pergeseran dari model belajar menghafal menjadi model belajar
mencari/meneliti. Asumsi yang digunakan dalam model belajar “menghafal”
adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik
memberi pelajaran, peserta didik menerima. Hal yang dipentingkan dalam
model belajar “menghafal” ini adalah penerima pelajaran, menyimpan
selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan aslinya serta menurut
instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar
“mencari/meneliti”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedag pendidikan
dituntut membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan
menelusuri.

C. Empat Pilar Kebangsaan Dan Pentingnya Pendidikan

Empat pilar kebangsaan di Indonesia, yaitu Pancasila, UUD


(Undang-Undang Dasar) 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia), dan Bhinneka Tunggal Ika tidak bisa begitu saja dikaitkan
dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO (United
Nations for Educational, Scientific, and Cultural Organization). Jika ada
yang mencoba mengaitkannya, maka itu sama saja artinya dengan tidak
memiliki wawasan tentang sistem pendidikan nasional yang punya
karakteristik tersendiri, khususnya milik bangsa Indonesia. Apakah

17
kelemahan kita, sebagai bangsa Indonesia? Kelemahan kita ialah bahwa kita
kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak
produk luar negeri; kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini
asalnya adalah masyarakat yang sama-sama gemar bergotong-royong. Tidak
ada empat pilar yang kita miliki ini sama persis dengan pilar-pilar
kebangsaan di negara lain. Karena itu, empat pilar kebangsaan jelas
bersumber dan bermuara pada budaya bangsa Indonesia yang khas, yang
tidak dimiliki oleh bangsa lain. Jika boleh dirangkum, maka empat pilar
kebangsaan Indonesia tersebut (versi penulis) adalah sebagai berikut:

Meskipun berbeda pada hakikatnya adalah satu jua. Persatuan dan


kesatuan telah terwadahi dalam rumah kita, NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Berangkat dari rumah, kita kejar dan gapai cita-cita
dengan berpedoman pada falsafah negara Pancasila dan UUD
(UndangUndang Dasar) 1945. Kita langkahkan kaki, satukan rasa, eratkan
tali persaudaraan. Perkuat dan perkokoh harapan. Tataplah dan membaralah
semangat kebersamaan dalam dada bangsa Indonesia.

Persoalan yang muncul di permukaan adalah yang seringkali di luar


batas norma dan kebiasaan bangsa Indonesia dan merupakan cermin bahwa
bangsa ini telah melupakan akar budaya nya, khilaf dengan adat-istiadat,
menyimpang dari rel keamanusiaan, serta perilaku yang tidak sesuai dengan
alam dan budaya Indonesia. Betapa tidak? Perampokan yang melayangkan
nyawa, kekerasan di setiap titik daerah, curanmor (pencurian kendaraan
bermotor), pemerkosaan, jual-beli bayi, penyelundupan obat terlarang dan
berbagai jenis makanan yang diolah dengan zat-zat berbahaya, serta isu
SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) merupakan fenomena yang

18
jamak dan lumrah di Indonesia. Apakah ini simbol kemajuan bangsa?
Apakah ini simbol modernisasi, dengan gaya hidup jet set, pola hidup acak-
acakan, pandangan hidup yang tidak jelas, dan seterusnya? Di sinilah
pentingnya konsep learning to live together, yang mencoba dan belajar
memahami serta menghargai orang lain dengan asal-usul etnis, nilai-nilai,
dan agamanya. Terjadinya proses learning to live together pada model
pendidikan multikultural dan penerapan pilar keempat dari UNESCO
seperti penanaman sikap kebiasaan hidup bersama, saling menghargai,
terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan dan ditingkatkan,
bukan hanya di lembaga pendidikan, melainkan juga pada semua lapisan
masyarakat. Pengkondisian ke arah yang memungkinkan tumbuhnya sikap
saling pengertian antar ras, suku, dan agama mutlak perlu direalisasikan
dengan berbagai model dan domain pendidikan yang komprehensif.dan
domain pendidikan yang komprehensif.

Dengan mengaplikasikan empat pilar kebangsaan dalam konteks


pendidikan di Indonesia, serta empat pilar pendidikan dari UNESCO,
diharapkan agar masyarakat Indonesia dapat mengembangkan dan
meningkatkan kualitas kompetensi intelektual dan profesional, serta
dimilikinya sikap, kepribadian, dan moral seperti yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945. Dengan kompetensi yang dimiliki dan sikap
manusia Indonesia yang diidamkan, pada gilirannya mata dunia akan tertuju
kepada masyarakat Indonesia yang bermartabat dan pandai bersyukur.
Bersyukur kita dengan apa yang kita miliki, yaitu tanah air Indonesia.
Dengan selalu menyebut nama-Nya (Tuhan), kita akan selalu merasakan
betapa nikmatnya menjadi manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila,
berhaluan UUD 1945, bersatu dalam keaneragaman, dan berdiam di wilayah

19
NKRI yang damai. Sementara itu empat pilar pendidikan dari UNESCO
(United Nations for Educational, Scientific, and Cultural Organization),
anggaplah merupakan cara atau strategi untuk membekali anak bangsa
Indonesia agar menjadi manusia yang Pancasilais, berkarakter, yang tidak
akan lupa dengan cita-cita luhur para pendiri dan pahlawan bangsa. Adalah
sarana untuk memahami bahwa anak bangsa adalah penerus cita-cita dan
memperjuangkan dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia); meski anak bangsa tahu bahwa ada berbedaan, namun tetaplah
satu rasa dan jiwa dalam proses mencapai kedamaian di muka bumi
Nusantara. Karena itu, tidaklah cukup jika sekedar learning to know. IQ
(Intelligence Quotients atau kecerdasan intelektual) bukan tujuan utama
pendidikan anak bangsa, sebab tanpa keterampilan yang memadai, IQ akan
“oleng” diterpa ombak badai peradaban. Karena itu, learning to do
merupakan kecakapan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh anak
bangsa Indonesia sebagai bekal hidup dan untuk mencapai learning to be,
yang bisa berkembang sesuai dengan kepribadian bangsa. Jika anak bangsa
sudah memiliki IQ seperti yang diharapkan, memiliki kecakapan hidup
seperti yang diinginkan, dan bisa mengembangkan diri untuk menghadapi
peradaban, maka aspek terakhir yang perlu disadari oleh anak bangsa
Indonesia adalah bahwa dia tidak bisa hidup sendiri, tapi harus learning to
live together. Hidup itu baru dikatakan “hidup”, jika anak bangsa bisa hidup
berdampingan dengan yang lain, sebagai teman, saudara, keluarga,
masyarakat, dan warga negara, yang bernaung di bawah satu payung
(rumah) bernama Tanah Air Indonesia. Berdasarkan itu pula, pendidikan
multikultural memegang peranan penting dalam mengsukseskan hidup

20
gotong-royong, saling bahumembahu, saling membantu, saling percaya,
saling menghormati, saling menghargai, dan seterusnya.
Pendidikan karakter bangsa akan berhasil seiring dengan pendidikan
multikultural, yang di dalamnya terkadung nilai-nilai Pancasila. Pendidikan
karakter, melalui proses pendidikan multikultural, akan menghasilkan
manusia Indonesia yang bermutu, berakhlak mulia, dan berkepribadian,
yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual tetapi juga
kecerdasan sosial, emosi, dan religiusitas. Secara kebetulan, atau dengan
tidak disengaja, munculnya empat pilar pendidikan dari UNESCO (United
Nations for Educational, Scientific, and Cultural Organization) adalah
seiring dengan pentingnya empat pilar kebangsaaan di Indonesia. Hal itu
bukan berarti tidak berhubungan, melainkan bisa dicari benang merahnya.
Ketika bangsa Indonesia menerapkan empat pilar pendidikan dari
UNESCO, maka empat pilar kebangsaan juga mendesak untuk
disosialisakan kepada seluruh lapisan masyarakat. Keberhasilan sosialisasi
empat pilar kebangsaan ini akan sangat menopang keberhasilan empat pilar
pendidikan dari UNESCO. Demikian pula sebaliknya, keberhasilan empat
pilar pendidikan dari UNESCO akan sangat membantu suksesnya empat
pilar kebangsaan di Indonesia.

D. Pilar Pendidikan Karakter


Karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya di mana
manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya
sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Definisi dari “the stamp
of individually or group impressed by nature, education or habit.” Karakter

21
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.
Adapun nilai-nilai pendidikan karakter, yakni adanya penerapan
nilai-nilai karakter bagi peserta didik, seperti: religius, jujur, toleransi,
disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
memiliki semangat kebangsaaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung jawab. Apa dampak pendidikan karakter
terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk
menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting
mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang
diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut
diuraikan bahwa hasil studi Marvin Berkowitz dari University of Missouri -
St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih
prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan
karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan
karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa
yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Karakter berasal dari
bahasa Yunani karakter yang berakar dari diksi “karasso” atau “charassein”
yang berarti memahat atau mengukir, sedangkan dalam bahasa latin karakter
bermakna membedakan tanda. Dalam bahasa Indonesia, karakter dapat
diartikan sebagai sifat kejiwaan/tabiat/watak (Zubaedi, 2012: 8 dan
Nawanti, 2012:7).

22
Karakter dalam bahasa Inggris ditulis character, secara psikologis
dapat dimaknai sebagai kepribadian seseorang yang ditinjau berdasar etis
atau moral, seperti kejujuran seseorang biasanya mempunyai kaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap (Kartono dan Gulo, 1987: 8). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, tabiat, dan
watak. Dengan demikian, karakter merupakan kualitas mental, moral,
akhlak, dan budi pekerti seseorang yang membedakannya dengan orang lain
(Hidayatullah, 2013: 9).
Salah satu tokoh pendidik, G.W. Allport yang dikutip oleh Sri
Narwanti memberikan defenisi bahwa karakter merupakan suatu organisasi
yang dinamis dari sistem psiko-fisik individu yang menentukan tingkah laku
dan pemikiran individu secara khas dan mengarahkan pada tingkah laku
manusia.
Pendidikan karakter begitu penting untuk peserta didik? Karena di
dalam menginternalisasi nilai-nilai karakter dalam pendidikan Islam
terdapat modelmodel yang mengorientasikan pada nilai-nilai positif.
Kementerian Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa nilai- nilai yang
dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-
sumber berikut ini:

 Agama
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu,
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran
agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun di
dasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu,

23
maka nilai- nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan
pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

 Pancasila
Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila
terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam
pasalpasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki
kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupannya sebagai warga negara.

 Budaya
Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian
makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota
masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan
budaya dan karakter bangsa.

E. Tujuan Pendidikan Nasional.

24
Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara
Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai
jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai
kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu,
tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Inilah sumber dari
pendidikan karakter yang akan diterapkan bagi peserta didik. Oleh karena
itu, pendidikan karakter tak bisa dipisahkan dari pancasila, nilai agama, nilai
budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Tak ketinggalan, Koesoema menyatakan bahwa pendidikan karakter
di lembaga pendidikan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (practice of virtue).
Pendidikan karakter di sekolah ini mengacu pada proses penanaman nilai,
berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-
nilai itu, serta bagaimana seorang peserta didik memiliki kesempatan untuk
dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata. Pendidikan karakter
bukan hanya terkait dengan mata pelajaran tertentu, tetapi terkait
keseluruhan proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, baik itu visi,
misi, maupun kebijakan, pola relasi, dan sebagainya. Pendidikan karakter
seakan menjadi ruh dalam setiap proses pendidikan dan pembelajaran yang
dilakukan setiap sekolah (Koesoema, 2010: 192-193).
Pendidikan karakter juga banyak diterapkan di negara lain, semisal
Amerika Serikat. Sebuah lembaga yang melakukan penilaian pelaksanaan
pendidikan di Amerika Serikat, yaitu character education partnership pada
tahun 2006 mengeluarkan laporan mengenai sekolah-sekolah di Amerika
Serikat yang mendapat penghargaan sebagai sekolah yang telah berhasil

25
mengembangkan pendidikan karakter yang berjudul National Schools of
Character 2006: Award-Winning Practise. Berdasarkan pengalaman sekolah
tersebut dikemukakan ada 11 prinsip pelaksanaan pendidikan karakter,
yaitu;
(a) Mempromosikan nilai-nilai etika inti;
(b) Menentukan "karakter" komprehensif untuk memasukkan berpikir,
perasaan, dan perilaku;
(c) Menggunakan pendekatan komperenshif, disengaja, dan proaktif;
(d) Menciptakan sebuah
komunitas sekolah yang peduli;
(e) Menyediakan peluang untuk tindakan moral;
(f) Memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang;
(g) Mendorong munculnya motivasi diri peserta didik;
(h) Melibatkan staf sekolah sebagai pembelajaran dan komunitas
moral;
(i) Kepemimpinan moral dan mengembangkan dukungan jangka
panjang bersama;
(j) Melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra; dan
(k) Mengevaluasi inisiatif pendidikan karakter (Beland and Team,
2006: 4-5).
Dalam bukunya Teori-teori Pendidikan, Soyomukti (2011: 186)
mengatakan bahwa aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan
dalam pendidikan antara lain: penyadaran, pencerahan, pemberdayaan,
perubahan perilaku. Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua
perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamnya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda

26
sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmaniah maupun rohaniah
Dengan demikian, pendidikan karakter mendapatkan tempat special
dan urgen. Pendidikan karakter sangat penting bagi pendidikan di Indonesia.
Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan
karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial
seperti toleransi, kebersamaan, kegotong royongan, saling membantu dan
mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi
unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun
memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.

F. Konsep Ajaran Ki Hadjar Dewantara


Salah satu strategi dengan pendekatan dari tokoh Indonesia Ki
Hadjar Dewantara dapat digunakan sebagai alternatif dalam strategi
memecahkan problem. Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai Bapak
Pendidikan Nasional Pada Tanggal 3 Juli 1922, pada usia 33 tahun beliau
mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa. Tamansiswa merupakan
lembaga sosial yang berkecimpung dalam bidang kebudayaan dan
pendidikan. Secara historis Tamansiswa merupakan salah satu pilar
pendidikan di Indonesia. Tamansiswa didirikan oleh seorang pangeran
istana pakualaman, yaitu R.M. Suwardisuryaningrat yang lebih dikenal
dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Pergelutan ki Hadjar Dewantara dalam
dunia pendidikan dan kebudayaan membuahkan konsep-konsep dan
lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di nusantara. (Sutikno, 2009).
Ajaran Ki Hadjar Dewantara bersifat konseptual. praktis dan ada pula yang
berupa fatwa. Ajaran Ki Dewantara dapat diterapkan dalam strategi

27
memecahkan problem dan masih releven untuk dapat digunakan, oleh
karena penting untuk dapat dikaji secara lebih lanjut. Bahasan yang akan
dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini yaitu konsep dasar ajaran, sistem among
untuk strategi mengatasi masalah peserta didik dan strategi neng-ning-nung-
nang untuk strategi mengatasi masalah pribadi.
Ajaran Ki Hadjar Dewantara meliputi ajaran yang bersifat
konseptual, pedoman operasional praktis dan fatwa (Buantarno. Dwiarso,
Suharto, dkk, 2012).
Ajaran konseptual yaitu :

1. Bidang pendidikan:tri pusat pendidikan, sistem among/Tut Wuri


Handayani, asas kekeluargaan, pemerataan, pendidikan;
2. Bidang kebudayaan, yaituTri Kon (Kontinyu, Konsentris dan
Konvergen);
3. Bidang Politik/kemasyarakatan: Trilogi Kepemimpinan (Ing
Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri
Handayani).

Ajaran pedoman operasional praktis, yaitu :


a. Tri pantangan
b. Tri Sentra Pendidikan
c. Tri Hayu
d. Tri Saksi Jiwa:
e. Tri Nga: Ngerti, Ngrasa, Nglakoni;
f. Tri Kon:Kontinyu, Konsentis, Konvergen;
g. Tri Ko: Kooperatif,Konsultif, Korektif;

28
Tri Juang: berjuang memberantas kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pilar pendidikan adalah tiang atau penunjang dari suatu kegiatan


usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang akan dan
direkomendasikan oleh UNESCO.

Jenis-jenis pilar pedidikan yang dicanangkan oleh UNESCO adalah


Learning to know (belajar untuk mengetahui), Learning to do (belajar untuk
menerapkan), Learning to Be (belajar untuk menjadi), Learning to live
together (belajar untuk dapat hidup bersama) dan Learning to believe in
God (belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Ynag Maha Esa).

Pendidikan sebagai suatu sistem adalah suatu keseluruhan kerja


manusia yang terbentuk dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan
fungsional dalam membantu terjadinya proses transformasi atau perubahan
tingkah laku seseorang sehingga menjadi manusia berkualitas. 3 macam
masukan pendidikan, yaitu: Pengetahuan, nilai-nilai dan cita-cita yang
terdapat dalam masyarakat, Sumber Daya Manusia (SDM) yang memenuhi

29
persyaratan dan hasil produksi dan penghasilan.Beberapa komponen
pendidikan alah tujuan, pendidik, peserta didik, materi, metode, media dan
alat pendidikan, serta alat pendidikan.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan, terutama


pada ketersediaan sumber bahan bacaan atau referensi materi sulit
ditemukan, yakni pada materi pilar pendidikan sehingga materi yang
disampaikan juga sedikit, kurang banyak dan tidak lengkap, hanya garis
besarnya saja yang mampu penulis tuliskan pada makalah ini. Oleh karena
itu harapan penulis pada pemakalah dengan judul yang sama berikutnya
mampu memenuhi kekurangan dan ketidaklengkapan tersebut dengan
materi dari sumber yang relevan dan resmi. Sehingga makalah berikutnya
akan memiliki kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Kadir, abdul. 2012 . Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada


Media Group
http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-
menurut-unesco.html
http://rahayukusumapratiwi.blogspot.com/2012/11/makalah-aliran-
pendidikan.html
http://teknologi-pendidikan-013.blogspot.com/2013/03/empat-pilar-
pendidikan-menurut-unesco.html

30
[1] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2012), hal.143
[2] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2012), hal.144
[3] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2012), hal.144
[4]Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2012), hal.144
[5] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2012), hal.144
https://fkip.unisma.ac.id/pramuka-dan-4-pilar-pendidikan-menurut-unesco/
#:~:text=Perserikatan%20Bangsa%2DBangsa%20(PBB),4)%20learning
%20to%20live%20together
Maryaeni, M. (2013). Pendidikan Karakter dan Multikultural: Pilar-pilar
Pendidikan dan Kebangsaan di Indonesia. ATIKAN, 3(2).
Cahyani, B. H. (2015). Strategi Kemampuan Memecahkan Problem dalam
Perspektif Ajaran Ki Hadjar Dewantara. In Psychology Forum UMM (pp.
55-58).
Marjuni, M. (2015). Pilar-Pilar Pendidikan Karakter Dalam Konteks
Keislaman. AULADUNA: Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 2(1), 154-163.
.

31
32

Anda mungkin juga menyukai