Anda di halaman 1dari 13

Group 2 (Religioun)

Personal Name :
1. Putri (2102020018)
2. Masdiah Radhi Nur (2102020035)
3. Rahmi Sudirman (2102020016)
4. Intan Nuraeni (2102020006)
5. Muh. Raihan Masrur (2102020017)

Beberapa pertanyaan yang sempat kami tanyakan pada “Guru Pawawa” di daerah Wotu
sebagai berikut :
a. Bagaimana sejarah perkembangan agama dan kepercayaan masyarakat Wotu sebelum
dan setelah datangnya Islam?
b. Siapa yang menjadi sosok pemeran penting dalam kepercayaan dan agama masyarakat
Wotu?
c. Apakah ada hubungan antara kepercayaan masyarakat Wotu dengan agama Islam?
d. Mengapa masyarakat Wotu sangat mengutamakan toleransi dalam beragama?
e. Kapan Bhatara Guru mulai mengenal agama Islam?
f. Dimana saja tempat atau bangunan yang dianggap suci dalam agama atau kepercayaan
masyarakat Wotu?

Religioun adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan serta tata
kaidah yang berhubungan dengan adat istiadat dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia
dengan tatanan kehidupan, pelaksanaan agama bisa dipengaruhi oleh adat istiadat daerah setempat.

Ciri ciri keagamaan di Wotu yaitu mempercayai adanya Allah SWT. karena mayoritas agama di
wilayah tersebut adalah agama Islam. Tetapi, ada beberapa kepercayaan masyarakat Wotu yang
mengaitkan dengan agama Islam seperti Maccera’ tasi. Masyarakat Wotu juga sangat menjaga
identitas mereka sebagai penganut agama Islam sehingga jika ada sanak keluarganya yang berpindah
agama, mereka tidak lagi menjadi pewaris utama dalam keluarga tersebut.

Sejarah perkembangan agama dan kepercayaan masyarakat Wotu sebelum Islam berasal dari
Bhatara Guru. Beliau merupakan perwujudan dari tongkat kepercayaan yang dipercayai oleh
masyarakat Wotu. Bhatara Guru sebenarnya adalah sosok yang awalnya menganut agama Hindu.
Bhatara Guru kemudian menikah dengan Waletemo yang pada saat itu merupakan penganut agama
Islam. Prosesi pernikahan tersebut berlangsung di Wotu. Kemudian kepercayaan dari agama Hindu
dari kerajaan Sriwijaya, sebelum menikah mempelai pria dan wanita diwajibkan mandi yang bertujuan
untuk mensucikan diri. Tujuan lain dari mandi ini adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Bhatara Guru adalah sosok yang selalu menjadi tempat masyarakat Wotu untuk menerima nasehat,
masukan dan bahkan dianggap sebagai Tuhan karena Bhatara Guru adalah titisan To Manurung.
Karena Bhatara Guru ingin menikahi Waletemo, maka beliau harus mempelajari Islam dan berpuasa
selama 41 hari.

Agama Islam masuk melalui pesisir utara pulau Jawa dengan ditemukannya makam Fatimah Binti
Maimun Bin Hibatullah. Di Mojokerto juga telah ditemukan ratusan makam Islam kuno. Di perkirakan
makam ini adalah makam para keluarga istana Majapahit.
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak pada abad ke-18. Di hulu sungai Pawan, Kalimantan
Barat ditemukan pemakaman Islam Kuno. Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar
dan dari Kalimantan Tengah ditemukannya masjid gede di Kota Waringin yang dibangun pada tahun
1434 M. Di Sulawesi Selatan masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo.

http://pgmi.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/sejarah-masuknya-islam-di-
indonesia/#:~:text=Sejarah%20masuknya%20islam%20awalnya%20di,mereka%20berlabuh%20di%2
0seluruh%20indonesia.

Datangnya pedagang yang beragama Islam memiliki cerita tersendiri pada saat itu,
diperkirakan para pedagang inilah yang pertama kali memperkenalkan Islam baik dalam skala
Nusantara maupun skala lokal di Makassar. Dengan ini diperkuat dengan pengetahuan akan adanya
perdagangan yang luas dengan dunia Timur yang dilakukan oleh orang-orang Arab sejak masa
permulaan sekali. Bagi saudagar muslim sendiri, lintasan perdagangan ini sekaligus merupakan jalur
dakwah, baik dengan motif ekonomi, politik maupun sebagai kewajiban seorang muslim.

Sejarah tentang masuknya Islam di Sulawesi Selatan terdapat dalam Lontara Latoa. Saat itu
masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis dan Makassar, memiliki kepercayaan terhadap
dewa yang disebut Dewata Seuwae (tuhan yang maha esa), sisa-sisa kepercayaan ini masih dapat
disaksikan hingga kini pada masyarakat Lotang dan Kajang. Kepercayaan dahulu juga menempatkan
kekuatan magis dan sistem keyakinannya. Sehingga, hari ini kita masih menemukan praktek ritual
kuno yang ditujukan terhadap kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa islamisasi di Sulawesi
Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.

Proses islamisasi di Kedatuan Luwu bermula pada masa kepemimpinan Datu Luwu Baginda
Pattiware’ yang bergelar Sultan Waly Muzakkir Al-Din (1085-1610). Kehadiran Datu Tiga Serangkai
dengan kemampuan metode dakwah yang dapat mempertemukan antara konsep Al-Tauhid (keesaan
Allah) dengan kepercayaan lokal masyarakat Luwu yaitu Dewata Seuwae (Dewa yang unggul),
sehingga lebih memudahkan Datu Sulaiman dalam memperkenalkan Islam kepada Datu Luwu dan
masyarakat Luwu.

Pembentukan kerajaan yang bercorak Islam di kerajaan Luwu ditandai dengan pemakaian
gelar “Sultan” disamping nama gelar lokal, seperti yang dipakai oleh Datu Luwu yang pertama
menerima Islam Datu Pattiware’ sultan wali, muzakkir, Al-Din. Selain pemakaian gelar sultan, pada
zaman Datu Patipasaung, Sultan Abdullah diangkat seorang Qadhi dan pembentukan institusi sara
(syariat islam) atau parewa sara. Ditinjau dari segi politik, islamisasi di kerajaan Luwu memberi
pengaruh dalam sistem politik, kehidupan sosial dan kebudayaan di kerajaan Luwu. Sistem politik
pasca pemenerimaan Islam yaitu, ditambahnya Qadhi atau pemuka agama dalam sistem
pemerintahan di kerajaan Luwu. Posisi Qadhi tersebut sama dalam menjalankan proses politik di
kerajaan Luwu, juga ikuti mempengaruhi keputusan raja. Sementara di kehidupan sosial, Islam
memberikan kontribusi besar dalam membentuk dogma agama dalam lingkungan kerajaan dan
masyarakat seperti penerapan hukum islam dalam mengatur kehidupan keluarga kerajaan dan
masyarakat yang memiliki posisi yang sangat tinggi dibanding dengan hukum adat.

Islamisasi di kerajaan Luwu juga memberikan perubahan pada sisi kebudayaan masyarakat
Luwu, misalnya pada acara kelahiran, pernikahan dan kematian serta sistem penguburan yang telah
memperoleh perpaduan antara hukum islam dan hukum adat.

http://repositori.uin-alauddin.ac.id/5845/1/eka%20lestari.pdf
Setelah mempelajari Islam, Bhatara Guru akhirnya memeluk Islam dan meluruskan pandangan
masyarakat Wotu bahwa dirinya bukanlah Tuhan melainkan hanya sebagai titisan Tuhan. Kemudian
Bhatara Guru juga mengatakan bahwa “Jika kalian berdoa yang kalian sebut itu adalah Allah SWT.
maka kalian juga harus percaya bahwa hanya Allah SWT. yang patut disembah bukan titisan-Nya.

Beberapa kepercayaan masyarakat Wotu yang mereka kaitkan dengan agama Islam yakni
maccera’ tasi. Bentuk implementasi masyarakat Wotu pada kepercayaan ini adalah dengan
bersedekah pada alam semesta seperti berbuat baik pada seluruh makhluk ciptaan Allah SWT.
termasuk pada ikan yang ada di laut. Selain itu, masyarakat Wotu juga kerap kali menyembelih hewan
seperti sapi dan membagikannya kepada masyarakat sekitar yang biasa disebut dengan “Qurban”.

Kepercayaan masyarakat Luwu pada upacara maccera’ tasi yaitu sebagai bentuk syukur atas
hasil laut yang didapatkan oleh masyarakat nelayan, perasaan sukacita karena limpahan rezeki yang
telah diberikan Tuhan kepada masyarakat nelayan. Hakikatnya, pelaksaan upacara adat maccera’ tasi
secara filosofis diyakini masyarakat adat berfungsi untuk mengembalikan dan menguatkan semangat
pada nelayan untuk mencari nafkah.

Di wilayah Wotu, Islam terbagi menjadi dua kelompok yakni Muhammadiyah dan NU.
Kelompok tersebut masing-masing memiliki perbedaan pendapat seperti Muhammadiyah yang tidak
melakukan ritual barazanji dan takziah malam ketiga atau malam keempat puluh sedangkan NU boleh
saja melakukan ritual tersebut.

Masyarakat Wotu sangat menghargai adanya toleransi dalam beragama bahkan menganggap
toleransi sebagai hal yang sangat penting. Tetapi, apabila ada masyarakat Wotu yang beragama Islam
namun berpindah agama dengan alasan tertentu, maka dia tidak lagi menjadi prioritas didalam
keluarganya untuk mendapat warisan.

Selain itu, masyarakat Wotu biasanya diberikan undangan Ma’barungku dan dikirim ke
wilayah Pamona untuk menyajikan beberapa masakan yang pastinya makanan tersebut halal.
Sedangkan jika masyarakat Pamona ke wilayah Wotu, masyarakat Wotu biasanya menyajikan menu
seperti lappa’-lappa’ dan lain-lain.

Masyarakat etnik Wotu memiliki kearifan lokal dalam bentuk falsafah yang bernuansa
moderasi beragama. Falsafah yang dimaksud adalah awa itabah la awai assangoata, yang bermakna
dari kitalah datangnya persatuan dan kebersamaan kita. Falsafah itu masih hidup dan mengakar dalam
kehidupan masyarakat etnik Wotu hingga kini. Dengan falsafah itu, masyarakat etnik Wotu senantiasa
berbaur dan hidup bersama dengan masyarakat sekitarnya yang berasal dari berbagai latar belakang
suku, dan agama selama bertahun tahun hingga saat ini. Etnik Wotu yang mayoritas muslim tidak
sedikit pun pernah mengusik kenyamanan beribadah umat agama lainnya. Mereka juga melindungi,
saling membantu dan memperlakukan umat lain layaknya saudara. Kearifan lokal itu dirawat melalui
pendidikan dalam keluarga dan dengan keteladanan. Keteladanan orang tua dalam praktik kehidupan
bermasyarakat dengan pemeluk agama berbeda. Selain itu, pemerintah setempat turut menguatkan
kerukunan dalam membantu pembangunan rumah ibadah semua agama.

Setiap kebudayaan mengandung sejumlah nilai. Nilai-nilai yang terimplementasikan dalam


wujud kearifan lokal yang menurut suatu pendapat, merupakan pengetahuan yang dikembangkan
oleh para leluhur dari hasil dialektika dengan fenomena sosial masyarakat. Pengetahuan yang muncul
melalui cerita, legenda, nyanyian, ritual, falsafah atau aturan hukum setempat sehingga setiap tempat
atau daerah memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Di Sulawesi Selatan misalnya dikenal dengan
budaya sipatuo (saling menghidupi), sipatokkong (saling membangun) atau sipakatau sipakalebbi
(saling menghargai) yang merupakan bagian dari kearifan lokal etnik Bugis dalam berinteraksi dengan
sesama manusia. Demikian pula ada budaya tongkonan di Tator yang menguatkan jalinan
persaudaraan sesama manusia.

Di Luwu Timur sendiri memiliki beberapa suku lokal yang mendiami daerah tersebut. Salah
satu suku tertua yang mendiami daerah tersebut adalah suku Wotu. Suku yang menurut suatu
penelitian merupakan pewaris budaya Luwu yang sesungguhnya atau memiliki hubungan khusus
dengan asal usul Kerajaan Luwu. Monoteisme Pua Lamoa merupakan landasan paling awal dalam
ritual tersebut. Penanaman Tuhan yang maha Esa disebutkan masih tersimpan dalam memori
masyarakat Wotu masa kini yang telah bermetamorfosis dari Pua Lamoa, Dewata Seuwae, sampai
kepada Allah SWT. Ritual Maccera’ Tasi dilakukan dalam rangka pengesahan Pua Macowa sebagai
pemimpin adat. Selain itu, juga dilakukan dalam rangka tolak bala dan ungkapan rasa syukur.

Karya lainnya adalah berkaitan dengan sejarah tentang nenek moyang orang Wotu oleh
Amrullah Amir dan Bahasa Wotu karya Zainuddin Hakim. Adapula tulisan yang membahas tentang
sejarah dan kaitan antara Luwu Kuno dan Wotu yang berjudul Negara Luwu Purba di Lembah Kalaena
karya Ischaq Razak.

Moderasi beragama dan kearifan lokal merupakan dua konsep yang menjadi unsur utama
dalam penelitian ini. Moderasi adalah jalan tengah. Juga berarti sesuatu yang terbaik. Moderasi
beragama adalah cara beragama jalan tengah. Dengan prinsip adil dan berimbang. Dapat diartikan
tidak ekstrim dan tidak berlebih lebihan dalam menjalankan ajaran agama. Orang yang
mempraktikkannya disebut moderat. Seorang yang moderat memperlakukan orang lain yang berbeda
agama sebagai saudara sesama manusia dan menjadikannya saudara seagama sebagai saudara
seiman. Lebih jauh dapat dipahami bahwa moderasi beragama merupakan komitmen bersama dari
setiap warga masyarakat untuk menjaga keseimbangan paripurna dengan menyadari keberadaannya
sebagai bagian dari suatu agama, suku, budaya dan pilihan politik dari berbagai latar suku dan agama.

Kesadaran yang kemudian melahirkan kemauan untuk saling mendengar dan menerima
perbedaan serta mengatasi masalah secara bersama. Sebuah sikap yang sejalan dengan warisan
budaya leluhur yang menjunjung tinggi sikap tenggang rasa, saling memahami dan menghargai antara
satu dengan yang lainnya tanpa memandang perbedaan latar belakang. Sedangkan kearifan lokal
merupakan warisan budaya leluhur berupa tata nilai yang menyatu dengan budaya masyarakat dalam
merespon situasi, kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari hari.

Masyarakat etnik Wotu memiliki kearifan lokal yang dapat digali dari beberapa macam bentuk
ritual budaya yang dahulu seringkali dilaksanakan. Budaya yang dimaksud adalah :

1. Motengke
Merupakan sebuah ritual budaya masyarakat etnik Wotu yang saat ini sudah sangat jarang
bisa dilihat. Ritual ini merupakan sebuah ritual penyembuhan orang-orang yang sedang sakit,
terutama yang sakit parah. Sebuah ritual untuk menghibur dan mengobati orang sakit. Sebelum
ritual ini dilaksanakan terlebih dahulu dibuatkan walasuji berukuran besar. Sebuah walasuji yang
bisa memuat banyak orang yang tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan walasuji untuk wadah
“sompa” acara pernikahan. Walasuji ini dibuat dengan ukuran besar dengan tujuan agar tidak hanya
menampung orang yang sakit tetapi juga sekaligus dapat menampung orang-orang yang melakukan
ritual. Selain itu erfungsi untuk menerima kunjungan orang-orang yang datang menjenguk.
2. Mobilolla
Ritual yang satu ini memang tidak selalu dilakukan. Ia merupakan sebuah ritual yang
biasanya dilakukan hanya sekali dalam dua tahun. Namun, belakangan sudah sangat jarang
dilakukan lagi. Ritual ini biasanya dilakukan atas permintaan masyarakat. Ritual ini dirangkaikan
dengan acara makan besar. Jika dilakukan di jaman sekarang membutuhkan anggaran yang tidak
sedikit dalam pelaksanaannya.
3. Mobissu
Sebuah acara yang digelar di tempat tertentu berdasarkan permintaan anggota masyarakat
yang memiliki hajat. Dalam kesaksian seorang tokoh Wotu sewaktu ia masih kanak-kanak bahwa
dalam acara ini seorang yang melakukan mobissu biasanya kerasukan. Namun, ia sudah tidak tahu
lagi untuk tujuan apa dilakukan acara tersebut. Kini, ritual tersebut tidak pernah lagi dilaksanakan.
4. Motambolilli
Merupakan sebuah ritual yang dilakukan dengan berkeliling kampung dengan sebagian
diantara yang ikut ada yang memakai penutup kepala atau topi tertentu yang disebut minjara malili
yang dibuat dari daun nipah yang mirip dengan ondel ondel. Ritual ini biasanya dilakukan sebelum
acara maccera’ tasi.
5. Maccera’ Tasi
Sebuah acara syukuran laut yang digelar atas permintaan masyarakat sebagai tanda syukur
kepada Allah SWT. atas hasil laut yang dicapai. Namun, dahulu acara ini digelar tidak hanya ketika
hasil panen laut tidak memuaskan. Maka masyarakat yang aktifitasnya melaut atau yang tinggal di
daerah pesisir ketika ingin melakukan acara maccera’ tasi ia terlebih dahulu menyampaikan Pua-pua.
Pua-pua adalah seorang pemimpin para pelaut yang tinggal di pesisir. Pua-pua pada awalnya adalah
seorang yang berasal dari Minangkabau yang tersesat sampai di pesisir pantai wilayah Wotu. Yang
kemudian menetap di Wotu. Ia dan keturunannya kemudian dijadikan pemimpin para pemimpin
nelayan. Disebut sebagai pua-pua.

Beberapa ritual budaya tersebut seperti diantaranya mobilolla dan maccera’ tasi mengandung
nilai yang luhur. Terutama terkait dengan kebersamaan atau persatuan. Menjunjung tinggi
kebersaman atau persatuan sudah menjadi bagian dalam praktik bermasyarakat etnik Wotu sejak
dahulu. Etnik Wotu sendiri memiliki falsafah terkait dengan hal ini yang mewarnai kehidupan dan
budaya mereka sejak dulu. Falsafah yang dimaksud adalah awa itaba la awai assangoatta yang
berarti dari kita lah datangnya persatuan/kebersamaan kita. Dengan falsafah yang hidup dalam
sanubari masyarakat etnik Wotu ini mereka dapat hidup dan berbaur dengan siapa saja dalam
konteks kehidupan sosialnya.
Ini berarti bahwa menjunjung tinggi kebersamaan merupakan kearifan lokal etnik Wotu yang
merupakan cerminan dari falsafah hidup mereka yang mewarnai relung kehidupan dan budaya
mereka. Sehingga sampai sekarang mereka dapat hidup berbaur dengan manusia lainnya dari
berbagai latar belakang termasuk dalam hal ini berinteraksi dan hidup bersama saling menghargai
dengan pemeluk agama berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa falsafah yang
mengandung nilai moderasi beragama yang dimiliki dan masih fungsional dalam kehidupan
masyarakat etnik Wotu.
Orang Wotu sendiri sesungguhnya memiliki falsafah yang diajarkan orang tua turun temurun.
Yang tidak hanya berlaku dalam hubungan sosial dengan suku Pamona saja, tetapi berlaku secara
umum dalam hubungan sosial sesama manusia. Falsafah itu di antaranya adalah Lalambate
Tarantajo, Sinunu Isinunui, Awa Itaba La Awai Assangoatta.
Falsafah Lalambate Tarantajo misalnya secara leksikal berarti lalambate (siap) dan tarantajo
(laksanakan). Ada juga yang memaknai kata tarantajo berarti sudah kelihatan atau tembus pandang,
sebab dahulu nenek moyang orang Wotu ketika akan mendorong perahu turun ke sungai atau pantai
mereka melihat makhluk halus seperti para arwah leluhur termasuk jin turut membantu. Ketika
pemimpinnya telah mengucapkan kata lalambate maka yang membantu serentak mengucapkan
tarantajo. Falsafah ini biasa digunakan sebagai aba-aba untuk mendorong perahu besar ke pantai.
Namun, menurut tokoh adat Wotu, falsafah itu sesungguhnya tidak hanya sekedar simbol aba-aba
semata. Tetapi lebih dari itu, ia bermakna sangat dalam khususnya dalam hubungan sosial sesama
manusia yaitu ajaran tentang pentingnya saling membantu, bergotong royong dalam kehidupan dan
memelihara kebersamaan dan persatuan.

Falsafah sinunnu isinunui berasal dari kata sinunu yang dalam bahasa Wotu berarti
berbarengan. Falsafah tersebut bermakna satu untuk semua. Falsafah yang erat kaitannya dengan ini
adalah falsafah yang berbunyi awa itaba la awai assangotta. Secara leksikal berarti dari kita lah
datangnya persatuan/kebersamaan. Falsafah yang dikenal oleh masyarakat etnik Wotu sebagai
sebuah falsafah yang mengajarkan atau mengarahkan masyarakat untuk menjunjung tinggi nilai
kebersamaan atau persatuan. Yang dalam bahasa sekarang dikenal sebagai bersatu kita teguh bercerai
kita runtuh. Maksudnya, tidak membeda-bedakan antara satu dengan lainnya dalam hubungan
sosialnya. Dalam arti saling menghargai perbedaan dan memupuk kebersamaan dan persatuan dalam
kehidupan. Sebab, kebersamaan dan persatuan tidak akan mungkin dapat terwujud tanpa tenggang
rasa, saling menghargai antara sesama. Falsafah yang bermakna sangat dalam khususnya berkaitan
dengan hubungan sosial antara manusia. Falsafah ini mengajak untuk menjunjung tinggi persatuan
dan kebersamaan dalam kehidupan.

Falsafah awa itaba la awai assangoatta tersebut masih hidup dalam sanubari masyarakat etnik
Wotu karena selalu dituturkan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya, etnik Wotu dituntut untuk
menghargai siapapun dimanapun ia berada meski berbeda latar budaya dan agama.

Senada dengan itu, budaya menghargai orang lain merupakan wujud dari falsafah orang Wotu
yang menjunjung tinggi kebersamaan seperti awa itaba la awai assangoatta. Falsafah yang diajarkan
oleh para orang tua kepada anak-anaknya dari generasi ke generasi yaitu :

“Billi mumaditti padatta ito, bana mongngo atie jia itoeo, billi ipasura ilara atie, taddampangngaya
padatta ito, tadampangngaya ito mopugau sala jia ita, tadampangngaya ito madda atina jia ita, mage
asinosata jia itoe”

“Jangan marah kepada orang lain, buanglah sakit hatimu terhadap orang lain, jangan disimpan di
dalam hati, maafkanlah orang yang berbuat salah terhadap kita, maafkanlah orang yang sakit hati
terhadap kita, saling berkasih sayanglah sesama manusia.”

Jadi, budaya saling menghargai, memaafkan, memupuk kasih sayang sesama manusia sudah
menjadi tradisi yang diajarkan turun temurun pada masyarakat etnik Wotu. Itulah sebabnya, tidaklah
mengherankan ada komunitas yang berbeda agama berada di antara mereka lengkap dengan rumah
ibadahnya tanpa sedikitpun diusik kenyamanannya dalam beribadah. Justru dari pengakuan beberapa
pihak seperti disebutkan sebelumnya, mereka dilindungi dan diperlakukan layaknya saudara. Ini
berarti bahwa moderasi beragama jauh sebelumnya sudah terbingkai dengan sangat baik dalam
kearifan lokal masyarakat Wotu sebagaimana nilai nilai yang tercermin dalam falsafah budaya atau
kearifan lokal sejak dahulu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep moderasi beragama
sesungguhnya dapat dilihat dari praktik kehidupan sosial masyarakat etnik Wotu yang masih
terpelihara dengan baik hingga kini.
Masyarakat Wotu memiliki kearifan lokal yang bernuansa moderasi bearagama. Kearifan lokal
yang dimaksud adalah dalam bentuk falsafah awa itaba la awai assangoatta yang bermakna dari kita
lah datangnya persatuan/kebersamaan kita. Falsafah yang hidup dalam sanubari masyarakat etnik
Wotu dan masih fungsional hingga kini.

Etnik Wotu dengan falsafah awa itaba la awai assangoatta yang dimiliki senantiasa berbaur
dan hidup bersama dengan masyarakat sekitarnya. Masyarakat yang berasal dari berbagai latar
belakang termasuk dengan masyarakat dari latar belakang agama berbeda. Etnik Wotu yang mayoritas
muslim tidak sedikit pun pernah mengusik kenyamanan beribadah umat agama lainnya. Mereka juga
melindungi, saling membantu dan memperlakukan umat agama lain layaknya saudara.

Kearifan lokal etnik Wotu dirawat melalui pendidikan dalam keluarga dan dengan
keteladanan. Keteladanan orang tua mempraktikkannya dalam kehidupan bermasyarakat dengan
pemeluk agama berbeda. Selain itu, pemerintah setempat juga turut menguatkan kerukunan dengan
membantu pembangunan rumah ibadah sesama umat. Demikian pula tokoh agama yang terlibat
dalam FKUB dalam kunjungannya ke masyarakat seringkali mengingatkan masyarakat untuk kembali
ke akar budaya mereka yang beriorientasi pada moderasi beragama.

Perlu digalakkan promosi budaya atau kearifan lokal Wotu yang masih hidup di masyarakat
oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan perangkat adat. Upaya ini perlu dilakukan tidak
hanya dalam rangka membantu mengenalkan identitas budaya lokal generasi muda. Tetapi, sekaligus
sebagai suatu upaya menguatkan dan merawat kearifan lokal itu sendiri. Kearifan lokal etnik Wotu
sebagai bagian dari khazanah budaya bangsa yang sangat berarti dalam rangka membangun dan
merawat iklim moderasi beragama di Nusantara.

Salah satu tradisi keagamaan di masyarakat Wotu juga seperti Metari. Tradisi ini berawal dari
kepercayaan masyarakat Wotu terhadap kekuatan gaib alam semesta yang diyakini dapat
memberikan berkah dan keberuntungan.

Secara harfiah, kata “metari” berasal dari bahasa bugis yang dapat diartikan sebagai
“menyembah, berdo’a”. Metari masyarakat Wotu dilakukan dengan upacara persembahan sesajen,
ziarah ke makam leluhur, berdoa dan membaca shalawat serta wirid khusus untuk memohon berkat
kepada Sang Pencipta.

Tradisi Metari masyarakat Wotu telah ada sejak sebelum kedatangan agama Islam. Pada masa
tersebut, kepercayaan animisme dan dinamisme masih menjadi kepercayaan utama masyarakat
Wotu.

Namun, setelah Islam masuk ke Wotu di abad ke-17, tradisi Metari masyarakat Wotu
mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian dengan ajaran Islam meski tetap mempertahankan
nilai-nilai tradisionalnya. Seiring berjalan waktu, Metari masyarakat Wotu pun semakin populer dan
tersebar ke daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan.

Namun, setelah Indonesia merdeka dan semakin modernnya zaman, beberapa elemen tradisi
Metari tersebut terancam punah akibat sedikitnya minat generasi muda dalam mempertahankan
tradisi ini. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Wotu untuk
mempertahankan dan mengembangkan tradisi ini agar tetap lestari sebagai bagian dari warisan
budaya lokal yang harus dilestarikan.
Kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia memiliki bahasa, adat istiadat, bentuk rumah,
pakaian dan kesenian tiap daerah/suku memiliki ciri khas yang berbeda dengan suku yang lain. Hal
tersebut disebabkan karena sifat budaya itu sendiri turun temurun dari generasi ke generasi. Budaya
yang sudah diyakini sejak dulu, akan dijadikan ritual terus menerus dan bersifat sakral yang dilakukan
oleh setiap generasi.

Dengan memenuhi tata cara yang ditradisikan masyarakat, bentuk upacara atau pesta adat
yang berkaitan dengan adanya adat dan kehidupan beragama, mencermikan sistem kepercayaan atau
pikiran serta pandangan hidup masyarakatnya. Upacara adat pesta yang dilakukan merupakan
aktivitas tetap dari masyarakat pada kurun waktu tertentu yang secara keseluruhan melibatkan
masyarakat sebagai pendukungnya. Misalnya saja kebudayaan yang terdapat di Sulawesi Selatan.

Pada masyarakat Sulawesi Selatan terdapat berbagai kebudayaan yang berbeda dengan
kebudayaan yang lain. Salah satu kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan yang bertahan hingga saat
ini adalah adat Wotu yang diadakan oleh masyarakat Wotu.

Upacara tradisional dalam masyarakat Luwu Timur setelah berhasil mendapatkan kesuksesan
hidup biasanya akan dirayakan upacara adat dalam bentuk syukuran. Pesta laut juga sebuah upacara
adat suku Wotu yang dimiliki masyarakat Kabupaten Luwu Timur. Dalam menerapkan nilai-nilai luhur
yang ada dalam kebudayaan, masyarakat menyalurkannya dalam bentuk kegiatan yaitu pesta adat
yang merupakan bentuk kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat yang didorong oleh hasrat
untuk memperoleh ketentraman batin atau mencari keselamatan.

Pelaksanaan pesta adat sudah menjadi tradisi dan dalam pelaksanaan memiliki cara tersendiri
sesuai dengan apa yang telah dilakukan sejah dulu. Tradisi ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat
yang ada di Desa Lampenai banyak masyarakat yang tidak bertempat tinggal di Desa Lampenai, tetapi
mereka berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta adat seperti Maccera’ Tasi.

Pesta adat ini merupakan suatu sistem gotong royong masyarakat yang diwujudkan dalam
ritual keagamaan yang bersifat religi dan nilai sosial. Pesta adat ini mengandung nilai-nilai, norma dan
aturan yang berguna bagi kehidupan masyarakat sehingga budaya ini akan menciptakan hubungan
kekeluargaan yang erat dan pada akhirnya akan terwujud semangat persatuan dan kesatuan di
masyarakat.

Sebelumnya, pesta adat murni menampilkan kesenian-kesenian tradisional namun sering


perkembangan zaman yang semakin modern, pesta adat kini telah bercampur dengan berbagai
budaya-budaya asing seperti adanya penampilan dan budaya yang menjadi hiburan di dalamnya.
Masyarakat pesisir menunjukkan bahwa prosesi upacara pesta adat dilaksanakan satu tahun sekali.
Upacara ini memiliki nilai religi, nilai gotong royong, penghormatan, keindahan, kesenian,
kebersamaan, cinta tanah air dan nilai ekonomi. Daya tarik wisata pada upacara ini adalah aspek
tradisi, kerajinan, nilai sejarah, makna lokal dan tradisional, seni dan musik, bernilai agama bahasa
dan pakaian tradisional.

Masyarakat masih melakukan budaya maccera’ tasi karena masyarakat merasa bahwa pesta
adat ini sangat bermakna dan bermanfaat bagi masyarakatnya serta memiliki nilai-nilai budaya
terutama bagi masyarakat pesisir.

Dengan demikian, pada penyelenggaraan sebagaimana telah disaksikan, selain sekedar


memenuhi tradisi yang sudah diadatkan dan dilaksanakan oleh nenek moyang beberapa tahun yang
lalu, juga acaranya pun disesuaikan dengan kepentingan kepariwisataan untuk menjunjung
Kecamatan Wotu sebagai objek wisata. Pelaksanaannya saat berlangsungnya pesta adat ini lebih
ditekankan kepada bentuk perayaan pestanya, yaitu dengan mengadakan berbagai hiburan rakyat dan
perlombaan seperti lomba dayung, lomba mancing, dan panggung ria pesisir.

Upacara ini dilakukan hanyalah untuk menunaikan adat yang telah ditardisikan nenek moyang
dan untuk memperjelas identitas mereka sebagai masyarakat pesisir yang sumber kehidupannya
adalah di laut. Dengan dilestarikannya suatu tradisi maka generasi penerus dapat mengetahui warisan
budaya nenek moyangnya.

Dalam menerapkan nilai-nilai luhur yang ada dalam kebudayaan, masyarakat menyalurkannya
dalam bentuk kegiatan yaitu pesta adat dalam bentuk upacara adat. Upacara atau pesta adat
merupakan bentuk kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat yang didorong oleh hasrat untuk
memperoleh ketentraman batin atau mencari keselamatan. Dengan memenuhi tata cara yang
ditradisikan masyarakat, bentuk upacara adat yang berkaitan dengan adat dan kehidupan beragama,
mencerminkan sistem kepercayaan akan pikiran serta pandangan hidup masyarakatnya.

Banyak masyarakat yang tertarik dengan budaya asing yang masuk sehigga mulai
mengabaikan budaya lokal masyarakat Maritim mempunyai kebudayaan lokal yang ada di daerah
tersebut dan budaya yang dimiliki masyarakat pesisir. Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun
dalam sebuah masyarakat. Sifatnya sangat luas meliputi segala kompleks kehidupan. Tradisi
merupakan suatu bentuk upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dan upacara ini
mempunyai makna yaitu sebagai kesanggupannya untuk kewajiban berbakti kepada Ibu Pertiwi serta
melestarikan warisan dari nenek moyang secara kolektif dalam bentuk upacara.

Tradisi ini dilakukan setahun sekali oleh masyarakat Maritim khususnya nelayan, ini
dilaksanakan sebagai rasa syukur atau hasil yang diperintah nelayan dari menangkap ika di laut serta
berdo’a agar hasilnya dalam menangkap ikan akan selalu melimpah dan diberi keselamatan ketika
bekerja. Di lingkungan masyarakat nelayan tradisi ini selain dijadikan sebagai upcara pesta adat
biasanya dijadikan pula sebagai sarana hiburan rakyat yang tentu saja dengan menampilkan hiburan
seperti panggung hiburan musik atau juga pengajian akbar, dan yang ikut meramaikan juga bukan
orang pesisir yang berdiam di daerah/pegunungan yang sekedar ingin melihat hiburan rakyat saja.

Dalam pelaksanaannya sendiri merupakan warisan tradisi yang telah berjalan puluhan tahun
silam. Tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan karena selama ini kurun waktu satu
tahun telah diberi kelimpahan dalam mencari ikan dan diberi kesehatan dalam aktivitas mencari ikan
di laut, biasanya dalam lingkup keorganisasian para masyarakat pesisir melaksanakan pesta adat
sendiri sudah di jadwalkan satu tahun sebelumnya sehingga dari segi pendanaan itu bersifat swadaya
masyarakat sekitar pesisir. Tidak jarang juga pelaksanaan pesta adat dijadikan ajang promosi oleh
ingkungan pemerintah daerah sebagai salah satu daya tarik wisatawan lokal maupun asing yang ingin
melihat tata cara pelaksanaan pesta adat tersebut.

Tradisi pesta adat ini sangat mempunyai arti yang penting dikarenakan menambah ke aneka
ragaman budaya yang ada di Indonesia merupakan tradisi peninggalan nenek moyang yang patut
dilestarikan dan dijaga sehingga tradisi ini akan tetap ada sampai dengan generasi berikutnya karena
apabila dicermati dan dipahami ini merupakan arti makna yang dalam yaitu perwujudan syukur
terhadap Tuhan sehingga terjalin hubungan baik yaitu antara Tuhan dan Hamba-Nya.

Pesta adat merupakan bentuk rasa syukur yang hampir dimiliki banyak masyarakat pesisir di
Nusantara. Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil ungkapan, ritual ini juga dipercayai oleh
masyarakat setempat guna menolak segala mara bahaya selama melaut.

https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/8717-Full_Text.pdf
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kebebasan kepada setiap
individu untuk menyakini kepercayaannya masing-masing, menjalankan ajaran agamanya dan
menjunjung tinggi keyakinan dari umat lain. Toleransi beragama merupakan sikap saling
menghormati, saling menghargai setiap keyakinan orang, tidak memaksakan kehendak, serta tidak
mencela, ataupun menghina agama lain. Tujuan toleransi beragama adalah meningkatkan iman dan
katakwaan masing-masing dengan kenyataan bahwa adanya agama lain.

Agama bukan alat pemecah belah melainkan agama merupakan alat untuk mempersatukan
umat. Toleransi beragama dapat kita lihat dari agama lain misalnya bergaul dengan semua orang tanpa
membedakan kepercayaan masing-masing.

https://kemenag.go.id/hindu/toleransi-beragama-
hyv3tv#:~:teks=Toleransi%20beragama%20merupakan%20sikap%20saling,agama%20lain%20denga
n%20alasan%20apapun

Bangsa Indonesia adalah masyarakat beragam budaya dengan sifat kemajemukannya.


Keragaman mencakup perbedaan budaya, agama, ras, bahasa, suku, tradisi dan sebagainya. Dalam
masyarakat multibudaya yang demikian, sering terjadi ketegangan dan konflik antar kelompok
budaya dan berdampak pada keharmonisan hidup. Dalam kehidupan multikultural diperlukan
pemahaman dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan kemauan
berinteraksi dengan siapapun secara adil. Diperlukan sikap moderasi beragama berupa pengakuan
atas keberadaan pihak lain, memiliki sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat dan
tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Diperlukan peran pemerintah, tokoh
masyarakat dan para penyuluh agama untuk mensosialisasikan.

Masyarakat Indonesia dalam NKRI memiliki keragaman, mencakup beraneka ragam etnis,
bahasa, agama, budaya dan status sosial. Keragaman dapat menjadi “integrating force” yang
mengikat kemasyarakatan namun dapat menjadi penyebab terjadinya benturan antar budaya, antar
ras, etnik, agama dan antar nilai nilai hidup.

Keragaman budaya (multikultural) merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai


budaya, berinteraksinya beragam individu dan kelompok dengan membawa perilaku budaya,
memiliki cara hidup berlainan dan spesifik. Keragaman seperti budaya, latar belakang keluarga dan
etnis tersebut saling berinteraksi dalam komunitas masyarakat Indonesia.

Dalam komunikasi horizontal antar masyarakat, Mulyana menyebut benturan antar suku
masih berlangsung di berbagai wilayah, mulai dari sekedar stereotip dan prasangka antar suku,
diskriminasi hingga konflik terbuka dan pembatalan antar suku yang memakan korban jiwa.
Persaingan antar suku di kalangan masyarakat tetapi juga di kalangan elit politik bahkan akademisi
untuk menempati jabatan di berbagai instansi.

Dalam masyarakat multikultural, interaksi sesama manusia cukup tinggi intensitasnya


sehingga kemampuan sosial warga masyarakat dalam berinteraksi antar manusia perlu dimiliki
setiap anggota masyarakat.

Negara Indonesia merupakan negara yang pluralistk dan memiliki dua modalitas penting
yang membentuk karakternya yang multikultural yaitu demokrasi dan kearifan lokal (local wisdom)
sebagai nilai yang dipercaya dan dipahami dapat menjaga kerukunan dalam beragama.

Fakta dan data keragaman agama agama di Indonesia menunujukkan bahwa keragaman
agama ini merupakan mozaik yang memperkaya khazanah kehidupan keagamaan di Indonesia.
Disinilah diperlukan keterlibatan seluruh warga masyarakat dalam mewujudkan kedamaian.
Tugas untuk menyadarkan masyarakat tentang multikultural ini tidaklah mudah, bahkan
membangun kesadaran kalangan masyarakat bahwa kebhinekaan adalah sebuah keniscayaan
sejarah. Menanamkan sikap yang adil dalam menyikapi kebhinekaan adalah perkara yang lebih sulit.
Karena, penyikapan terhadap kebhinekaan kerap berimpitan dengan berbagai kepentingan sosial,
ekonomi dan politik.

Moderat dalam pemikiran islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan.
Keterbukaan menerima keberagaman (inklusivisme) baik beragam dalam mazhab maupun beragam
dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama dengan asas
kemanusiaan. Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang
lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan antar agama, sebagaimana yang pernah
terjai di Madinah di bawah komando Rasulullah SAW.

Moderasi harus dipahami ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga


keseimbangan yang paripurna, dimana setiap warga masyarakat apapun, suku, etnis, budaya, agama
dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling belajar melatih
kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka.

Agama menjadi pedoman hidup dan solusi jalan tengah (the middle path) yang adil dalam
meghadapi masalah hidup dan kemasyarakatan. Agama menjadi cara pandang dan pedoman yang
seimbang antara urusan dunia dan akhirat, akal dan hati, rasio dan norma, idealisme dan fakta,
individu dan masyarakat. Hal sesuai dengan tujuan agama diturunkan ke dunia ini agar menjadi
tuntunan hidup, agma diturunkan ke bumi untuk menjawab berbagai persoalan dunia, baik dalam
skala mikro maupun makro, keluarga (privat) maupun negara (publik).

Masyarakat multikultural terdiri dari masyarakat negara, bangsa, daerah atau lokasi
geografis seperti kota atau kampung, yang memiliki kebudayaan yang berbeda beda . masyarakat
multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen dimana pola
hubungan sosial antar individu di masyarakat bersifat toleran dan menerima kenyataan untuk hidup
berdampingan secara damai satu sama lain dengan perbedaan yang ada pada tiap entitas
budayanya.

Fenomena kehidupan damai dan harmonis tersebut ternyata tidak selalu terjadi di
Indonesia, mayarakat multikultural di Indonesia tidak selamanya dapat hidup berdampingan
sebagaimana yang diharapkan. Ketegangan dan konflik sering muncul pada masyarakat Indonesia
yang memiliki keragaman kultur, agama, bahasa, ras dan tradisi yang berbeda, pada saat tertentu
multikultur tersebut menjadi persoalan besar bagi keharmonisan bahkan kelangsungan bagsa. Oleh
karena itu, perlu perjuangan terus menerus untuk mewujudkannya.

Berbagai tragedi ketidakharmonisan masyarakat multibudaya yang pernah terjadi di


Indonesia dapat terjadi akibat dari minimnya kesadaran multibudaya, rendahnya moderasi
beragama serta kekurangan dalam mengelola keberagaman masyarakat, yang menyebabkan
terjadinya gesekan horizontal yang berujung pada perpecahan, semuanya menjadi pengalaman
pahit dalam bangsa Indonesia.

Moderasi beragama tidak berarti bahwa mencampuradukkan kebenaran dan menghilangkan


jati diri masing-masing. Sikap moderasi tidak menistakan kebenaran, kita tetap memiliki sikap yang
jelas dalam suatu persoalan, tentang kebenaran, tentang hukum suatu masalah namun dalam
moderasi beragama, kita lebih pada sikap keterbukaan menerima bahwa diluar diri kita ada saudara
sebangsa yang juga memiliki hak yang sama dengan kita sebagai masyarakat yang berdaulat dalam
bingkai kebangsaan. Masing-masing agama yang mesti kita hormati dan akui keberadaannya. Untuk
itu kita perlu terus menerus bertindak dan beragama dengan cara moderat.

https://bdksurabaya.e-jurnal.id/bdksurabaya/article/download/82/45/

Tempat suci di Wotu:

 Batu Jenggo
Batu Jenggo dianggap sebagai batu suci oleh masyarakat Wotu untuk menyajikan
sesajian dan tempat untuk melangsungkan pernikahan. Batu ini merupakan batu pertama
yang ada di Wotu.

 Bubu Datu Madoangoe


Bubu Datu Mandoangoe adalah sumur dan airnya digunakan untuk acara sakral di
Wotu seperti pernikahan dan pindah rumah.

 Kae (Sumur)

 Salu Borro
Salu Borro atau sungai yang ada di Wotu juga menjadi salah satu tempat suci. Sungai
ini sekarang menjadi kampung dan ada sumur untuk macoa’ yang biasa dia gunakan untuk
mandi.

 Pohon Malidue
Pohon Malidue yang tumbuh pada tahun 1000 an ini berawal dari tongkat yang
ditancap dan sangat keras sehingga tidak bisa dicabut. Pohon malidue dianggap keramat dan
buahnya memiliki aroma tak sedap. Konon katanya, pohon ini sudah tidak ada tetapi masih
memiliki akar yang lebat hingga akarnya sampai ke rumah warga setempat.

 Pua Sandro
Pua Sandro yang merupakan salah satu tempat suci yang ada di Wotu yang juga
dianggap sebagai salah satu tempat sakral yang biasanya dikunjungi oleh masyarakat Wotu
untuk massiara. Biasanya masyarakat Wotu yang berkunjung untuk massiara akan membawa
buah tangan seperti makanan, uang, bahkan hewan seperti kambing. Pua Sandro bukan
termasuk kuburan seperti biasanya namun disana dapat ditemukan batu nisan yang sengaja
dibentuk seperti kuburan lalu di cat dengan warna kuning sebagai bentuk penghargaan
terhadap arwah yang ada disana, konon kata masyarakat yang ada di Wotu cat warna kuning
sebagai amanah yang disampaikan melalui orang yang di rasuki.
Beberapa sesi dokumentasi kami pada saat wawancara di Kecamatan Wotu :

Anda mungkin juga menyukai