Anda di halaman 1dari 58

PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL PESERTA DIDIK

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah Perkembangan
Peserta Didik Program Sarjana (S1) Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Universitas Muhammadiyah Bone

Dosen Pengampu : Dr. Andi Hajar, S.Pd.I., M.Pd.I

Oleh:
SALMIANTI DWI SAPUTRI
NIM. 22690109123
FAISAL S.
NIM. 22690109124
SARWADI
NIM. 22690109135

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
TAHUN AKADEMIK 2023

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan berbagai

nikmat sampai saat ini. Salawat dan salam tetap tertuju kepada manusia pilihan Allah

swt.,Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun manusia, khususnya umat Islam ke

jalan yang diridai oleh Allah.

Penulis telah berhasil menyeleseikan makalah ini, walaupun terdapat banyak

kekurangan, karena kurangnya kemampuan penulis. Kepada semua pihak yang telah

membantu terseleseikannya makalah ini, penulis mengucapkan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya.

Harapan besar penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum

dan juga bagi para mahaasiswa ataupun mereka yang berkecimpung dalam bidang

akademik, sehingga dapat lebih giat untuk menciptakan karya-karya yang bermanfaat

bagi masyarakat.

Penulis sangat berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak

guna lebih sempurnanya makalah ini, sehingga dapat menuai manfaat maksimal

kepada masyarakat.

PENULIS

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Masalah 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Mengetahui mendiskripsikan Perkembangan Sosial dan Moral Peserta

Didik (Versi Piaget, Kohlberg, dan Versi Teori Belajar) 3

B. Alternatif Upaya Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik 33

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 52

B. Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 54

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek kehidupan
yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik. Perkembangan berarti
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman. Menurut keyakinan tradisional sebagian manusia
dilahirkan dengan sifat sosial dan sebagian lagi tidak. Orang yang lebih banyak
merenungi diri dan lebih suka menyendiri daripada bersama-sama dengan orang
lain atau introvert, secara alamiah memang sudah bersifat demikian. Mereka
yang bersifat sosial dan pikirannya lebih banyak tertuju pada pada hal-hal diluar
dirinya atau ekstrovert, juga sudah bersikap seperti itu karena alamiah yaitu
faktor keturunan. Sedangkan orang yang menentang masyarakat yaitu orang yang
antisosial, dan orang yang biasanya menjadi penjahat, diyakini oleh masyarakat
tradisional sebagai warisan dari pada salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh
orang tuanya.
Hanya sedikit bukti yang menunjukan bahwa orang dilahirkan dalam
keadaan sudah bersifat sosial, tidak sosial dan antisosial, dan banyak bukti
sebaliknya yang menunjukan bahwa mereka bersifat demikian karena hasil
belajar. Akan tetapi, belajar menjadi pribadi yang sosial tidak dapat dicapai
dalam waktu singkat. Anak-anak akan belajar searah dengan daur (siklus),
dengan periode kemajuan yang pesat diikuti oleh garis mendatar (plateau). Pada
garis mendatar ini hanya terdapat sedikit kemajuan dalam diri anak. Periode
kemajuan yang pesat bahkan kadang-kadang diikuti oleh tahap kemunduran
ketingkat perilaku sosial yang rendah. Seberapa cepat anak dapat meningkat
kembali dari garis mendatar itu sebagian besar bergantung pada kuat lemahnya
motivasi mereka untuk bermasyarakat.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mendiskripsikan Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik
(Versi Piaget, Kohlberg, dan Versi Teori Belajar) ?
2. Bagaimana Alternatif Upaya Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui mendiskripsikan Perkembangan Sosial dan Moral Peserta
Didik (Versi Piaget, Kohlberg, dan Versi Teori Belajar).
2. Untuk mengetahui Alternatif Upaya Perkembangan Sosial dan Moral Peserta
Didik.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mendeskripsikan Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik (Versi
Piaget, Kohlberg, dan Versi Teori Belajar)
Perkembangan sosial peserta didik dipahami sebagai sebuah kemampuan
peserta didik dalam menyesuaikan diri terhadap norma-norma dan tradisi yang
berlaku pada kelompok atau masyarakat, kemampuan untuk saling
berkomunikasi dan kemampuan untuk bekerja sama. Adapun yang dimaksud
dengan perkembangan sosial adalah bagaimana anak usia dini berinteraksi
dengan teman sebaya, orang dewasa dan masyarakat luas agar dapat
menyesuaikan diri dengan baik sesuai apa yang diharapkan oleh bangsa dan
Negara. Perkembangan dapat diartikan sebagai sqyence dari perubahan
berkesinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi makhluk sosial.
Makna sosial dipahami sebagai upaya pengenalan (sosialisasi) anak terhadap
orang lain yang ada diluar dirinya dan lingkungannya baik dalam bentuk
perorangan maupun kelompok. Perkembangan sosial anak juga sangat membantu
tumbuh kembang si kecil agar ia kelak menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Bahkan penelitian menunjukan perkembangan sosial anak yang diajarkan sejak
dini berkorelasi dengan kesuksesannya ketika anak mencapai usia 25 tahun.
Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu:1
1. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh
terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan
sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan
1
https://www.google.com/search?q=mendeskripsikan+perkembangan+sosial+
+peserta+didik&sxsrf=APwXEdfo_UCLwBPT1oea76wrYmtwFFO8Cg
%3A1679915298595&ei=InkhZMfpI6qaseMPyIakWA&ved=0ahUKEwjHgoCV_Pv9AhUqTWwGH
UgDCQsQ4dUDCA4&uact=5&oq=mendeskripsikan+perkembangan+sosial+
+peserta+didik&gs_lcp=Cgxnd3Mtd2l6LXNlcnAQAzIECCMQJzoKCAAQRxDWBBCwA0oECEEY
AFDiBFjiBGDPBmgBcAF4AIABaIgBaJIBAzAuMZgBAKABAcgBCMABAQ&sclient=gws-wiz-
serp Diakses Pada Tanggal 27 Maret 2023 Pukul 18:24 WITA.

3
yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan
mengembnagkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga,
pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh
keluarga.
2. Kematangan
Untuk dapat bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik
dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan
menerima nasehat orang lain, mememrlukan kematangan intelektual dan
emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat
menentukan.
3. Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan
kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat
pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak
memberikan warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan
mereka dimasa yang akan datang.
5. Kapasitas Mental: Emosi dan Intelegensi
Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti
kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan
emosi berpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang
berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik.
Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat
menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.
Menurut saya Berdasarkan para pakar di atas maka, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan sosial emosi adalah mereka yang mampu bersosialisasi
dengan orang lain, baik dengan orang tua, teman sebaya dan masyarakat

4
secara luas yang saling berkomunikasi dan bekerjasama. Berdasarkan
pengertian diatas, dapat dipahami bahwa perkembangan sosial-emosional
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan kata lain, membahas
perkembangan emosi harus bersinggungan dengan perkembangan sosial anak.
Demikian sebaliknya, membahas sosial harus melibatkan emosional. Sebab,
keduanya terintegrasi dalam bingkai kejiwaan yang utuh.2
Sedangkan Perkembangan moral (moral development) adalah mencakup
perkembangan pikiran, perasaan, dan perilaku menurut aturan atau kebiasaan
mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan seseorang ketika berinteraksi
sengan orang lain (Hurlock). Perkembangan moral sangat berpengaruh terhadap
lingkungan sehingga pada masa anak-anak ini orangtua dan lingkungan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan moral anak, moral yang positif akan
berdampak baik untuk kedepannya dan begitu sebaliknya jika si anak sejak kecil
hanya menerima moral yang negatif maka si anak akan berkembang tidak sesuai
dengan yang diharapkan oleh orangtuanya.3
Berikut daftar teori-teori yang sudah dikemukakan oleh para ahli tentang
perkembangan moral, yaitu :4
1. Menurut Gunarsa, pengertian moral adalah rangkaian nilai tentang berbagai
macam perilaku yang harus dipatuhi. Istilah moral sendiri berasal dari kata
mores yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan.
Intisari menurut penulis : Dalam ilmu sosiologi, pemahaman tentang mores
sudah dibahas, sehingga menurut Gunarsa, perkembangan moral ini

2
Faisal S. 2023
3
https://www.kompasiana.com/usfitriyah/58bd698a337a61ed09456535/perkembangan-
moral-menurut-para-ahli#:~:text=Perkembangan%20moral%20(moral%20development)
%20adalah,sengan%20orang%20lain%20(Hurlock). Diakses Pada Tanggal 27 Maret 2023 Pukul 18:27
WITA.
4
https://www.kompasiana.com/usfitriyah/58bd698a337a61ed09456535/perkembangan-
moral-menurut-para-ahli#:~:text=Perkembangan%20moral%20(moral%20development)
%20adalah,sengan%20orang%20lain%20(Hurlock). Diakses Pada Tanggal 27 Maret 2023 Pukul
18:28 WITA.

5
mengadopsi tentang adat istiadat atau kebiasaan sejak nenek moyang dan
secara turun temurun akan dilakukan dan ditiru perilakunya oleh
keturunannya.
2. Menurut Shaffer, pengertian moral adalah kaidah norma dan pranata yang
mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan masyarakat dan
kelompok sosial. Moral ini merupakan standar baik dan buruk yang
ditentukan oleh individu dengan nilai-nilai sosial budaya di mana individu
sebagai anggota sosial. Intisari menurut penulis : Moral menuut Shaffer
berarti menjadi penilaian perilaku kita dalam masyarakat atau kelompok
sosial, sehingga jika moral kita baik akan berdampak postif dan jika moral itu
buruk maka akan berdampak pada diri kita serta tercemarnya nama baik
dalam lingkup lingkungan sosial sekitar.
3. Menurut Rogers, pengertian moral adalah aspek kepribadian yang diperlukan
seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis,
seimbang dan adil. Perilaku moral ini diperlukan demi terwujudnya kehidupan
yang damai penuh keteraturan, keharmonisan dan ketertiban. Intisari menurut
Penulis : Rogers mengemukakan bahwa moral itu bertujuan untuk kehidupan
yang sejahtera dalam lingkupan sosial dan masyarakat, jika manusia tidak
memiliki moral maka kehidupan sosial ini tidak harmonis atau damain dan
pertikaian ada dimana-mana.
4. Menurut  John Piaget dalam teori perkembangan moral membagi menjadi dua
tahap, yaitu: Heteronomous Morality (usia 5 - 10 tahun) Pada tahap
perkembangan moral ini, anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas
yang dimiliki oleh Tuhan, orang tua dan guru yang tidak dapat dirubah, dan
harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya. Dan Autonomous Morality atau
Morality of Cooperation (usia 10 tahun keatas) Moral tumbuh melalui
kesadaran, bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap
tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak
terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutnya, anak berusaha

6
mengatasi konflik dengan cara-cara yang paling menguntungkan, dan mulai
menggunakan standar keadilan terhadap orang lain. Intisari menurut Penulis :
Piaget memiliki 2 tahap dalam perkembangan moralnya yaitu Heteronomous
yang berarti moral itu tidak dapat diubah dan hanya dimiliki orang-orang yang
lebih dewasa dari si anak, dan Autonomous yang berarti si anak mulai sadar
dengan adanya moral maka anak tersebut dapat dinilai baik dan buruknya.
5. Menurut Lawrence Kohlberg, penilaian dan perbuatan moral pada intinya
bersifat rasional. Keputusan dari moral ini bukanlah soal perasaan atau nilai,
malainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema
moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif terhadap titik
pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam
tuntutan, kewajiban, hak dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang
baik dan juga adil. kesemuanya ini merupakan tindakan kognitif. Kohlberg
juga mengatakan bahwa terdapat pertimbangan moral yang sesuai dengan
pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggung jawabkan perbuatan moralnya. Adapun tahap-tahap
perkembangan moral yang sangat terkenal adalah yang dikemukakan oleh
Lawrence Kohlberg. Tahap-tahap berkembangan moral tersebut, yaitu :
Tingkat Prakonvensional (usia 4 – 10 tahun) Tahap perkembangan moral yang
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu
atau anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa
sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua
tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativitas
instrumental. Tingkat Konvensional (usia 10 – 13 tahun) Tahap
perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakat.
Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap, yaitu tahap orientasi kesepakatan
antara pribadi atau disebut “orientasi anak manis” serta tahap orientasi hukum
atau ketertiban. Tingkat Pascakonvensional (usia 13 tahun keatas) Tahap

7
perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang
memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan terlepas
pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan ini
terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap
orientasi prinsip etika universal. Intisari menurut penulis : Lawrence Kohlberg
moral tidak hanya mengandung penilaian terhadap perilaku atau kebiasaan
tetapi juga untuk mengembangkan kognitif, dan jika berusia remaja moral ini
mulai dapat dipertanggung jawabkan oleh si anak. Lawrence juga memiliki 3
tingkatan dalam perkembangan moral, yaitu : prakonvensional – anak masih
menganggap bahwa jika melaksanakan moral itu akan mendapat hukuman
atau hadiah sehingga anak hanya menuruti keinginan lingkunganya dan anak
masih belum mengetahui moral yang dilaksanakan itu bak atau buruk
(memperhatikan ketaatan), konvensional – anak melaksanakan moral itu
dengan keinginan dianggap menjadi anak yang baik dan hanya menuruti
keinginan keluarga serta tahap ini anak mulai mengetahui baik buruknya
moral yang dilaksanakan oleh si anak, dan pasca konvensional – anak mulai
sadar dan memfilter atau memilih moral yang baik atau buruk serta
melaksanakan moral dalam lingkupan kontak sosial dan mengganggap moral
itu perilaku atau etika.
6. Tahap-tahap perkembangan moral menurut John Dewey, yaitu : Tahap
pramoral, ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
Tahap konvensional, ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan
ketaatan pada kekuasaan. Tahap otonom, ditandai dengan berkembangnya
keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas. Intisari menurut
penulis: Dari perkembangan moral John Dewey memiliki kesamaan dengan
perkembangan moral John Piaget tetapi John Dewey memiliki 3 tahapan yaitu

8
pramoral – belum sadar, konvensional – sadar, dan otonom – melaksanakan
moral.
Menurut saya  perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap
peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan
semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti
peraturan yang diberikan pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya.
Dalam tahap perkembangan moral ini, anak menilai tindakan sebagai “benar”
dan “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di
belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakan tersebut.
Sebagai contoh: suatu tindakan dianggap “salah” karena mengakibatkan
hukuman dari orang lain atau dari kekuatan alami atau adikodrati.5
Dalam memahami perkembangan sosial dan moral peserta didik terdapat
bebarapa versi, yaitu :6
1. Versi Piaget
Jean Piaget merupakan ahli Biologi dan Psikologi yang merumuskan
teori yang dapat menjelaskan fase-fase perkembangan kemampuan kognitif.
Menurut Piaget, teori perkembangan kognitif mengemukakan asumsi tentang
perkembangan cara berfikir individu dan kompleksitas perubahannya melalui
perkembangan neurologis dan perkembangan lingkungan. Dalam teori Piaget
ini, perkembangan kognitif dibangun berdasarkan sudut pandang aliran
struturalisme dan konstruktivisme. Sudut pandang strukturalisme terlihat dari
pandangannya tentang intelensi yang berkembang melalui serangkaian tahap
perkembangan yang ditandai oleh pengaruh kuali tas struktur kognitif.
Sedangkan sudut pandang konstruktivisme dapat dilihat pada pandangannya

5
Sarwadih, 2023.
6
Kusdwirarti Setiono, Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget, Selaman, Kholberg
dan Terapannya dalam Riset, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 41.

9
tentang kemampuan kognitif yang dibangun melalui interaksi dengan
lingkungan sekitarnya.7
Piaget membagi perkembangan kemampuan kognitif manusia menurut
usia menjadi 4 tahapan. Yaitu:8
a. Tahap Sensori (Sensori Motor)
Perkembangan kognitif tahap ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Baru
pada tahap berikutnya dia mengalami decentered pada dirinya sendiri. 9
Pada tahap sensori ini, bayi bergerak dari tindakan reflex instinktif pada
saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun
pemahaman tentang dunia melalui pengoordinasian pengalaman-
pengalaman sensor dengan tindakan fisik.10
Tahap ini pemikiran anak mulai melibatkan penglihatan,
pendengaran, pergeseran dan persentuhan serta selera. Artinya anak
memiliki kemampuan untuk menangkap segala sesuatu melalui inderanya.
Bagi Piaget masa ini sangat penting untuk pembinaan perkembangan
pemikiran sebagai dasar untuk mengembangkan intelegensinya. Pemikiran
anak bersifat praktis dan sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Sehingga
sangat bermanfaat bagi anak untuk belajar dengan lingkungannya.11 Jika
seorang anak telah mulai memiliki kemampuan untuk merespon perkataan
verbal orang dewasa, menurut teori ini hal tersebut lebih bersifat kebiasaan,
belum memasuki tahapan berfirkir.12

7
Hasan basri, Kemampuan Kognitif Dalam Meningkatkan Efektifitas Pembelajaran Ilmu
Sosial Bagi Siswa Sekolah Dasar, Jurnal Penelitian Pendidikan, EISSN, h. 2541-4135.
8
Hasan basri, Kemampuan Kognitif Dalam Meningkatkan Efektifitas Pembelajaran Ilmu
Sosial Bagi Siswa Sekolah Dasar, h. 2541-4135.
9
Kusdwiratri Setiono, Psikologi Perkembangan, h. 20.
10
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010),
h. 101.
11
Ahmad Syarifin, Percepatan Perkembangan Kognitif Anak: Analisis Terhadap
Kemungkinan Dan Persoalannya, Jurnal al-Bahtsu Vol. 2, No. 1, Juni 2017, h. 2.
12
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, h. 101.

10
b. Tahap Praoperasional (Preoperational)
Fase perkembangan kemampuan kognitif ini terjadi para rentang
usia 2-7 tahun. Pada tahap ini, anak mulai merepresentasikan dunia dengan
kata-kata dan gambar-gambar. Kata-kata dan gambar-gambar ini
menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui
hubungan informasi inderawi dan tindakan fisik. Cara berpikir anak pada
pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis. Hal
ini ditandai dengan ciri-ciri:13
1) Transductive reasoning, yaitu cara berfikir yang bukan induktif atau
deduktif tetapi tidak logis.
2) Ketidak jelasan hubungan sebab-akibat, yaitu anak mengenal hubungan
sebabakibat secara tidak logis.
3) Animisme, yaitu menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti
dirinya.
4) Artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan itu
mempunyai jiwa seperti manusia.
5) Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang
dilihat atau di dengar.
6) Mental experiment yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk
menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya.
7) Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri
yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya.
8) Egosentrisme, yaitu anak melihat dunia lingkungannya menurut
kehendak dirinya.

13
Fatimah Ibda, Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget, Jurnal INTELEKTUALITA -
Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2015, h. 33-34.

11
c. Tahap Operasi Konkrit (Concreteoperational)
Tahap operasi konkrit terjadi pada rentang usia 7-11 tahun. Pada
tahap ini akan dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa
yang konkrit dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentukbentuk
yang berbeda.Kemampuan untuk mengklasifikasikan sesuatu sudah ada,
tetapi belum bisa memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret
adalah tindakan mental yang bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek
konkret nyata.14
Operasi konkret membuat anak bisa mengoordinasikan beberapa
karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu kualitas objek. Pada level
opersional konkret, anak-anak secara mental bisa melakukan sesuatu yang
sebelumnya hanya mereka bisa lakukan secara fisik, dan mereka dapat
membalikkan operasi konkret ini. Yang penting dalam kemampuan tahap
operasional konkret adalah pengklasifikasian atau membagi sesuatu
menjadi sub yang berbedabeda dan memahami hubungannya.15
Tahap ini dimulai dengan tahap progressive decentring di usia tujuh
tahun. Sebagian besar anak telah memiliki kemampuan untuk
mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau jumlah benda cair.
Maksud ingatan yang dipertahankan di sini adalah gagasan bahwa satu
kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah.
Jika Anda memperlihatkan 4 kelereng dalam sebuah kotak lalu
menyerakkannya di lantai, maka perhatian anak yang masih berada pada
tahap praopersional akan terpusat pada terseraknya kelereng tersebut dan
akan percaya jumlahnya bertambah banyak. Sebaliknya, anak-anak yang
telah berada pada tahap opersional konkret akan segera tahu bahwa umlah
kelereng itu tetap 4. Anak pun akan tahu jika anda menuangkan susu yang
14
Siti Aisyah Mu·PLQTeori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Jurnal Al7D·GLE 9RO
1R -DQXDUL-Juni, 2013. h. 94-95.
15
Siti Aisyah Mu·PLQ Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Jurnal Al7D·GLE 9RO
1R -DQXDUL-Juni, 2013. h.94-95.

12
ada di gelas gendut ke gelas ramping, maka volumenya tetap sama, kecuali
jika jumlah susu yang dituangkan memang sengaja dibedakan.16
Di usia 7 atau 8 tahun, seorang anak akan mengembangkan
kemampuan mempertahankan ingatan terhadap substansi. Jika anda
mengambil tanah liat yang berbentuk bola kemudian memencetnya jadi
pipih atau anda pecahpecah menjadi sepuluh bola yang lebih kecil, dia pasti
tahu bahwa itu semua masih tanah liat yang sama. Bahkan kalau anda
mengubah kembali menjadi bola seperti semula, dia tetap tahu bahwa itu
adalah tanah liat yang sama. Proses ini disebut proses keterbalikan.17
Di usia 9 atau 10 tahun, kemampuan terakhir dalam
mempertahankan ingatan mulai diasah, yakni ingatan tentang ruang. Jika
anda meletakkan 4 buah benda persegi 1 x 1 cm di atas kertas seluas 10 cm
persegi, anak yang mampu mempertahankan ingatannya akan tahu bahwa
ruang kertas yang ditempati keempat benda kecil tadi sama, walau
dimanapun diletakkan.18
Dalam tahap ini, seorang anak juga belajar melakukan pemilahan
(classification) dan pengurutan (seriation). Contoh percobaan Piagetian
dalam hal ini adalah: meminta anak untuk memahami hubungan antar
kelas. Salah satu tugas itu disebut seriation, yakni operasi konkret yang
melibatkan stimuli pengurutan di sepanjang dimensi kuantitatif. Untuk
mengetahui apakah murid dapat mengurutkan, seorang guru bisa
meletakkan 8 batang lidi dengan panjang yang berbeda-beda secara acak di
atas meja. Guru kemudian meminta murid untuk mengurutkan batang lidi
tersebut berdasarkan panjangnya. Pemikiran operasional konkret dapat
secara bersamaan memahami bahwa setiap batang harus lebih panjang
16
Siti Aisyah Mu·PLQ Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Jurnal Al7D·GLE 9RO
1R -DQXDUL-Juni, 2013. 96.
17
Siti Aisyah Mu·PLQ Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Jurnal Al7D·GLE 9RO
1R -DQXDUL-Juni, 2013. 96.
18
Siti Aisyah Mu·PLQ Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Jurnal Al7D·GLE 9RO
1R -DQXDUL-Juni, 2013. 96.

13
ketimbang batang sebelumnya atau batang sesudahnya harus lebih pendek
dari sebelumnya. Aspek lain dari penalaran tentang hubungan antar kelas
adalah transtivity yaitu kemampuan untuk mengombinasikan hubungan
secara logis untuk memahami kesimpulan tertentu.19
d. Tahap Operasi Formal (Formal Operational)
Tahap operasi formal ada pada rentang usia 11 tahun-dewasa. Pada
fase ini dikenal juga dengan masa remaja. Remaja berpikir dengan cara
lebih abstrak, logis, dan lebih idealistic.20
Tahap operasional formal, usia sebelas sampai lima belas tahun.
Pada tahap ini individu sudah mulai memikirkan pengalaman konkret, dan
memikirkannya secara lebih abstrak, idealis dan logis. Kualitas abstrak dari
pemikiran operasional formal tampak jelas dalam pemecahan problem
verbal. Pemikir operasional konkret perlu melihat elemen konkret A, B,
dan C untuk menarik kesimpulan logis bahwa jika A = B dan B = C, maka
A = C. Sebaliknya pemikir operasional formal dapat memecahkan
persoalan itu walau problem ini hanya disajikan secara verbal.21
Selain memiliki kemampuan abstraksi, pemikir operasional formal
juga memiliki kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan
kemungkinankemungkinan. Pada tahap ini, anak mulai melakukan
pemikiran spekulasi tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri
mereka dan diri orang lain. Konsep operasional formal juga menyatakan
bahwa anak dapat mengembangkan hipotesis deduktif tentang cara untuk
memecahkan problem dan mencapai kesimpulan secara sistematis.22

19
Siti Aisyah Mu·PLQ Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Jurnal Al7D·GLE 9RO
1R -DQXDUL-Juni, 2013. 97.
20
Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran Moral
Pada Remaja Akhir. (Bandung: Unpad Press.2008), h. 681.
21
Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran Moral
Pada Remaja Akhir, h. 681.
22
Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran Moral
Pada Remaja Akhir, h. 681.

14
Piaget menggunakan dua istilah sebagai representasi struktur
kognitif individu. Kedua istilah tersebut adalah skema dan adaptasi. Skema
(struktur kognitif) adalah cara atau proses yang mengorganisasi atau
merespon berbagai pengalaman. Dengan kata lain, skema merupakan suatu
pola sistematis dari tindakan, perilaku, pikiran dan strategi pemecahan
masalah yang memberikan kerangka pemikiran dalam menghadapi segala
jenis tantangan dan berbagai jenis situasi.23
Piaget mengemukakan bahwa setiap individu yang ingin
mengadakan penyesuaian (adaptasi) dengan lingkungannya harus mencapai
keseimbangan (ekuilibrium) yaitu antara aktifitas individu terhadap
lingkungan (asimilasi) dan aktivitas lingkungan terhadap individu
(akomodasi). Hal ini berarti , ketika individu bereaksi terhadap lingkungan,
dia menggtabungkan stimulus dunia luar dengan struktur yang sudah ada ,
dan inilah asimilasi. Pada saat yang sama, ketika lingkungan bereaksi
terhadap individu, dan individu mengubah supaya sesuai dengan stimulus
dari luar, maka inilah yang disebut akomodasi. Agar terjadi ekuilibrasi,
maka peristiwa-peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara
terpadu, bersama-sama dan komplementer.24
Adapun Faktor-faktor Perkembangan Piaget dipengaruhi oleh 6 faktor,
yaitu:25

a. Faktor hereditas
Factor yang mempengaruhi perkembangan kognitif secara hereditas
atau keturunan ini dipengaruhi oleh gen dan struktur kromosom yang
diwariskan kepada anak dari kedua orang tuanya. Menyesuaikan dengan
23
Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran Moral
Pada Remaja Akhir , h. 681.
24
Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran Moral
Pada Remaja Akhir, h. 682.
25
Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada. Media
Group, 2011), h. 59-60.

15
apa yang disampaikan dalam teori nativisme, bahwa setiap bayi yang lahir
ke dunia masing-masing membawa potensi bawaan yang didapatkan secara
genitas. Sehingga baik dan buruk seorang anak merupakan sifat diturunkan
dari orang tuanya. Dengan kata lain, menurut teori ini, intelegensia seorang
anak sudah ditentukan sejak lahir, bahkan bisa jadi sejak dalam kandungan
ibunya.
b. Faktor Lingkungan
Factor lingkungan sebagai salah satu bagian yang dapat
mempengaruhi perkembangan kognitif anak berkaitan dengan teori
tabularasa yang dipopulerkan oleh John Locke. Teori ini mengatakan
bahwa setiap anak yang ter lahir ke dunia berada dalam keadaan yang suci
bagaikan kertas putih.
c. Faktor Kematangan
Dalam teori Piaget, factor kematangan berkaitan erat dengan
perkembangan fisik anak. Perkembangan fisik berkenaan dengan
perkembangan organorgan yang digunakan sebagai alat untuk berfikirt,
seperti kematangan susunan syaraf pada otak. Kematangan secara fisik ini
mempengaruhi secara keseluruhan garis besar perkembangan kognitif anak.
d. Faktor Pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi. Ada dua pembentukan yaitu
pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan tidak sengaja
(pengaruh alam sekitar).

e. Faktor minat dan bakat


Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan
dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik. Bakat seseorang akan

16
mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Seseorang yang memiliki bakat
tertentu akan semakin mudah dan cepat mempelajarinya.
f. Faktor Kebebasan
Keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang
berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan
masalah dan bebas memilih masalah sesuai kebutuhan.
Menurut saya Pandangan teori perkembangan kognitif mempunyai
pengaruh besar untuk memahami bagaimana anak memperoleh dan
menggunakan pengetahuan. Karya Piaget telah memperluas pemahaman
kita tentang bagaimana kognisi berkembang, hal ini menunjukkan bahwa
anak-anak memiliki tahap pemahaman yang berbeda pada usia yang
berbeda pula. Pengetahuan anak terbentuk secara berangsur sejalan dengan
pengalaman yang berkesinambungan dan bertambah luasnya pemahaman
tentang informasi-informasi yang ditemui. Anak memiliki urutan dalam
tahap perkembangan kognitifnya, dan pada setiap tahap, baik kuantitas
informasi maupun kualitas kemampuannya menunjukkan peningkatan.26
2. Versi Kohlberg
Lawrence Kohlberg lahir pada tanggal 25 oktober tahun 1927 dan
dibesarkan di Brouxmille, New York. Pada tahun 1948, Kohlberg masuk
universitas Chicago, setahun kemudian dia mendapatkan gelar Bachelor
dengan bidang yang diambil adalah psikologi, dan tertarik dengan teori Piaget.
Pada tahun 1958 Kohlberg lulus S3 dengan disertasi: The Development of
Modes of Thinking and Choices in the year 10 to 16. DisertasiS ini merupakan
landasan teori perkembangan moral.27
Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori
Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkem-

26
Salmianti Dwi Saputri, 2023.
27
Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran Moral
Pada Remaja Akhir, h. 681.

17
bangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Selain itu
Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku
moral (moral behavior). Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg,
yaitu :28
a. Tingkat Pra Konvensional (Moralitas Pra-Konvensional)
Dimana perilaku anak tunduk pada kendali eksternal dengan 2
tahap, yaitu:
1) Tahap 1: Orientasi pada kepatuhan dan hukuman
Anak melakukan sesuatu agar memperoleh hadiah (reward) dan tidak
mendapat hukuman (punishment)
2) Tahap 2: Relativistik Hedonism
Anak tidak lagi secara mutlak tergantung aturan yang ada. Mereka
mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relative, dan anak
lebih berorientasi pada prinsip kesenangan. Menurut Mussen, dkk.
Orientasi moral anak masih bersifat individualistis, egosentris dan
konkrit.
b. Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional)
Dimana fokusnya terletak pada kebutuhan social (konformitas)
dengan 2 tahap, yaitu:
1) Tahap 3: Orientasi mengenai anak yang baik
Anak memperlihatkan perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain.
2) Tahap 4: Mempertahankan norma2 sosial dan otoritas
Menyadari kewajiban untuk melaksanakan normanorma yang ada dan
mempertahankan pentingnya keberadaan norma, artinya untuk dapat
hidup secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan
yang telah disepakati bersama dan melaksanakannya.
c. Tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-konvensional)

28
Febriyanti. Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset – Riset
Akutansi. (Palembang: Jenius. 2011), h. 65.

18
Dimana individu mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang
benar secara inheren dengan 2 tahap, yaitu:29
1) Tahap 5: Orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan
sosialnya
Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara individu dengan lingk
sosialnya, artinya bila seseorang melaksanakan kewajiban yang sesuai
dengan tuntutan norma social, maka ia berharap akan mendapatkan
perlindungan dari masyarakat.
2) Tahap 6: Prinsip Universal
Pada tahap ini ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat
subjektif. Artinya: dalam hubungan antara seseorang dengan
masyarakat ada unsur2 subjektif yang menilai apakah suatu
perbuatan/perilaku itu baik/tidak baik; bermoral/tidak bermoral. Disini
dibutuhkan unsur etik/norma etik yang sifatnya universal sbg sumber
utk menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas.
Teori versi kolhberg memiliki Tiga Level dan Enam Tahap Penalaran
Moral menurut Kohlberg, yaitu:30

Level Rentang Usia Tahap Esensi Penalaran


Moral
Level 1 : Ditemukan pada Tahap 1 : Orang membuat
Moralitas anak-anak Hukuman – keputusan
prakonvensional prasekolah, sebagian penghindaran dan berdasarkan apa
besar anak-anak SD, kepatuhan yang terbaik bagi
sejumlah siswa (Punishment – mereka, tanpa
29
Febriyanti. Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset – Riset
Akutansi, h. 66.
30
Febriyanti. Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset – Riset
Akutansi, h. 67.

19
SMP, dan segelintir avoidance and mempertimbangk
siswa SMU obedience) an kebutuhan atau
perasaan orang
lain. Orang
mematuhi
peraturan hanya
jika peraturan
tersebut dibuat
oleh orang-orang
yang lebih
berkuasa, dan
mereka mungkin
melanggarnya
bila mereka
merasa
pelanggaran
tersebut tidak
ketahuan orang
lain. Perilaku
yang “salah”
adalah perilaku
yang akan
mendapatkan
hukuman 
Tahap 2 : Saling Orang memahami
memberi dan bahwa orang lain
menerima juga memiliki
(Exchange of kebutuhan.

20
favors) Mereka mungkin
mencoba
memuaskan
kebutuhan orang
lain apabila
kebutuhan
mereka sendiri
pun akan
memenuhi
perbuatan
tersebut (“bila
kamu mau
memijat
punggungku; aku
pun akan memijat
punggungmu”).
Mereka masih
mendefinisikan
yang benar dan
yang salah 
berdasarkan
konsekuensinya
bagi diri mereka
sendiri.
Level 2 : Ditemukan pada Tahap 3 : Anak Orang membuat
Moralitas segelintir siswa SD baik (good keputusan
konvensional tingkat akhir, boy/good girl) melakukan
sejumlah siswa tindakan tertentu

21
SMP, dan banyak semata-mata
siswa SMU (Tahap 4 untuk
biasanya tidak menyenangkan
muncul sebelum orang lain,
masa SMU) terutama tokoh-
tokoh yang
memiliki otoritas
(seperti guru,
teman sebaya
yang populer).
Mereka sangat
peduli pada
terjaganya
hubungan
persahabatan
melalui sharing,
kepercayaan, dan
kesetiaan, dan
juga
mempertimbangk
an perspektif
serta maksud
orang lain ketika
membuat
keputusan.
Tahap 4 : Hukum Orang
dan tata tertib (Law memandang
and keteraturan). masyarakat

22
sebagai suatu
tindakan yang
utuh yang
menyediakan
pedoman bagi
perilaku. Mereka
memahami bahwa
peraturan itu
penting untuk
menjamin
berjalan
harmonisnya
kehidupan
bersama, dan
meyakini bahwa
tugas mereka
adalah mematuhi
peraturan-
peraturan
tersebut.
Meskipun begitu,
mereka
menganggap
peraturan itu
bersifat kaku
(tidak fleksibel);
mereka belum
menyadari bahwa

23
sebagaimana
kebutuhan
masyarakat
berubah-ubah,
peraturan pun
juga seharusnya
berubah. 
Level 3 : Jarang muncul Tahap 5 : Kontrak Orang memahami
Moralitas sebelum masa kuliah Sosial (Social bahwa peraturan-
postkonvensiona contract). peraturan yang
l ada merupakan
representasi dari
persetujuan
banyak individu
mengenai
perilaku yang
dianggap tepat.
Peraturan
dipandang
sebagai
mekanisme yang
bermanfaat untuk
memelihara
keteraturan social
dan melindungi
hak-hak individu,
alih-alih sebgai
perintah yang

24
bersifat mutlak
yang harus
dipatuhi semata-
mata karena
merupakan
“hukum”. Orang
juga memahami
fleksibilitas
sebuah peraturan;
peraturan yang
tidak lagi
mengakomodasi
kebutuhan
terpenting
masyarakat bisa
dan harus
dirubah.
Tingkat 6 : Prinsip Orang-orang setia
etika universal dan taat pada
(tahap ideal yang beberapa prinsip
bersifat hipotetis, abstrak dan
yang hanya dicapai universal
segelintir orang) (misalnya,
kesetaraan semua
orang,
penghargaan
terhadap harkat
dan martabat

25
manusia,
komitmen pada
keadilan) yang
melampaui
norma-normadan
peraturan-
peraturan yang
spesifik. Mereka
sangat mengikuti
hati nurani dan
karena itu bisa
saja melawan
peraturan yang
bertentangan
dengan prinsip-
prinsip etis
mereka sendiri. 
Adapun Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Moral, yaitu:
Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah factor
yang berhubungan dengan  perkembangan penalaran dan perilaku moral :
perkembangan kognitif umum, perkembangan rasio dan rationale, isu dan
dilema moral, dan perasaan diri.31
a. Perkembangan Kognitif Umum.
Penalaran moral yang tinggi (advanced) penalaran yang dalam
mengenai hokum moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan,
hak-hak asasi manusia memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-
ide abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan

31
William Crain. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2014), h. 228.

26
moral bergantung pada perkembangan kognitif (Kohlberg,
1976;Nucci,2006;Turiel,2002). Sebagai contoh, anak-anak yang secara
intelektual (gifted) berbakat umumnya lebih sering berpikir tentang isu
moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat local
ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman sebayanya
(silverman,1994). Meski demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin
perkembangan moral. Terkadang siswa berpikir abstrak mengenai materi
akademis dan pada saat yang sama bernalar secara prakonvensional, yang
berpusat pada diri sendiri (Kohlberg, 1976; Silverman, 1994).
b. Penggunaan Ratio dan Rationale.
Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam
perkembangan moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan
emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.
Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak
dapat diterima, dengan focus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai
induksi(induction) (M.L.Hoffman,1970,1975).
c. Isu dan Dilema Moral.
Dalam teorinya mengenai perkembangan moral, Kohlberg
menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka
menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara memadai
dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu dengan kata lain,
ketika anak menghadapi situasi yang menimbulkan disequilibrium. Upaya
untuk membantu anak-anak yang menghadapi dilemma semacam itu,
Kohlberg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap
diatas tahap yang dimiliki anak saat itu. Kohlberg (1969) percaya bahwa
dilema moral dapat digunakan untuk memajukan tingkat penalaran moral
anak, tetapi hanya setahap demi setahap. Dia berteori bahwa cara anak-
anak melangkah dari satu tahap ke tahap berikut ialah dengan berinteraksi

27
dengan orang-orang lain yang penalarannya berada satu atau paling tinggi
dua tahap di atas tahap mereka. 
d. Perasaan Diri.
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika
mereka berpikir bahwa sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan
kata lain ketika mereka memiliki pemahaman diri yang tinggi mengenai
kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narfaez & Rest,1995).
Lebih jauh, pada masa remaja, beberapa anak muda mulai
mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral terhadap identitas
mereka secara keseluruhan (M.L.Arnold,2000;Biyasi,1995;Nucci,2001).
Mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi bermoral dan penuh
perhatian, yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Tindakan
altruistic dan bela rasa yang mereka lakukan tidak terbatas hanya pada
teman-teman dan orang-orang yang mereka kenal saja, melainkan juga
meluas ke masyarakat.
e. Kritik terhadap Teori Kohlberg
Salah satu keterbatasan karya Kohlberg ialah bahwa hal itu
kebanyakan melibatkan anak laki-laki. Riset tentang penalaran moral anak
perempuan menemukan pola yang agak berbeda dari pola yang disodorkan
Kohlberg. Apabila penalaran moral anak laki-laki terutama berkisar di
seputar masalah keadilan, anak perempuan lebih tertarik dengan masalah-
masalah kepedulian dan tanggung jawab terhadap orang-orang lain
(Gilligan, 1982; 1985; Gilligan & Attanucci, 1988; Haspe &
Baddeley,1991). Carol Gilligan telah berpendapat, misalnya, bahwa pria
dan wanita menggunakan kriteria moral yang berbeda: bahwa penalaran
moral pria difokuskan pada hak masing-masing orang, sedangkan
penalaran moral wanita difokuskan lebih pada tanggung jawab masing-
masing bagi orang lain.

28
Kritik lain terhadap karya Kohlberg ialah bahwa anak-anak yang
masih muda sering dapat bernalar tentang situasi moral dengan cara yang
lebih canggih daripada tahap yang diusulkan teori (Rest,Edwards &
Thoma,1997). Akhirnya, Turiel (1998)telah berpendapat bahwa anak-anak
yang masih muda menarik perhatian antara aturan-aturan moral, seperti
tidak boleh berdusta dan mencuri, yang didasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan, dan aturan-aturan sosial-konvensional, seperti tidak boleh
mengenakan piyama ke sekolah, yang didasarkan pada konsensus dan
etiket sosial.
Keterbatasan terpenting teori Kohlberg ialah bahwa hal itu
berkaitan dengan penalaran moral alih-alih dengan perilaku aktual (Arnold,
2000). Banyak orang pada tahap yang berbeda berperilaku yang sama, dan
orang-orang pada tahap yang sama sering berperilaku dengan cara yang
berbeda (Walker & Henning, 1997). Selain itu, konteks dilemma moral
berperan penting. Thoma dan Rest (1999) dan Rest et al. (1999)
berpendapat bahwa penjelasan tentang perilaku moral harus memerhatikan
penalaran moral tetapi juga kemampuan menafsirkan dengan tepat apa
yang terjadi dalam situasi sosial, motivasi mempunyai perilaku yang
bermoral, dan kemampuan sosial yang perlu untuk benar-benar melakukan
suatu rencana tindakan moral.
Menurut Saya Keputusandari moral ini bukanlah soal perasaan atau
nilai, malainkan selalu mengandung suatu tafsirankognitif terhadap
keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat
aktifterhadap titik pandang masing-masing individu sambil
mempertimbangkan segala macamtuntutan, kewajiban, hak dan
keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan juga
adil.kesemuanya ini merupakan tindakan kognitif. Kohlberg  juga
mengatakan bahwa terdapat pertimbangan moral yang sesuai dengan
pandanganformal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja

29
untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya. Kolhberg  juga
membenarkan gagasan Jean Piaget  yang mengatakan bahwa pada masa
remajasekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses
pertimbangan moral. Adanyakesejajaran antara perkembangan kognitif
dengan perkembangan moral dapat dilihat pada masaremaja yang mencapai
tahap tertinggi dari perkembangan moral, yang kemudian ditandai
dengankemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan universal pada
penilaian moralnya.32
3. Versi Teori Belajar
Teori belajar sosial adalah teori belajar yang mengedepankan
perubahan perilaku melalui proses pengamatan. Teori ini menganggap bahwa
harus ada pemodelan yang nantinya bisa dijadikan pengamatan oleh individu
yang sedang belajar. Itulah mengapa teori sosial sama dengan teori
pemodelan.33 
Sebenarnya, teori belajar ini merupakan bentuk pengembangan
dari teori belajar behavioristik, di mana tujuan utamanya menekankan pada
perubahan perilaku.34 
Di antara beberapa teori belajar lain, teori ini tergolong masih baru,
yaitu dikembangkan pada tahun 1986 oleh Albert Bandura, sehingga biasa
disebut teori belajar sosial Bandura. Adapun Pengertian Menurut Para Ahli,
yaitu:35
a. Menurut Irham dan Wiyani, yaitu proses belajar seseorang akan lebih
banyak melalui proses pengamatan terhadap situasi dan kondisi
lingkungannya.

32
Faisal S., 2023
33
S. D Kusrahmadi, Pentingnnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar (Dinamika
Pendidikan, 2007), h, 129.
34
S. D Kusrahmadi, Pentingnnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar, h, 129.
35
S. D Kusrahmadi, Pentingnnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar, h, 130.

30
b. Menurut Davidoff, yaitu modeling disebut juga observation
learning, imitation atau social learning. Intinya, teori observasional masih
berkaitan dengan teori belajar sosial Bandura.
c. Menurut Komalasari, Wahyuni, dan Karsih, yaitu modeling merupakan
kegiatan belajar melalui observasi dengan menambahkan atau mengurangi
tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan
sekaligus dan melibatkan proses kognitif.
d. Menurut Abu Ahmadi, belajar merupakan proses dimana tingkah laku
ditimbulkan atu diubah melalui latihan pengalaman.
Prinsip Teori Belajar Sosial Bandura
Menurut Bandura, belajar harus memuat prinsip-prinsip berikut:36
a. Determinis resiprokal
Maksud determinis resiprokal adalah konsep keterkaitan secara
bolak-balik antara lingkungan dan perilaku. Menurut Bandura, perilaku
seseorang bisa dibentuk oleh lingkungan. Senada dengan hal itu,
lingkungan juga bisa dibentuk oleh perilaku manusia di sekitarnya.
b. Tanpa penguatan (reinforcement)
Bandura menekankan bahwa penguatan bukan satu-satunya
pembentuk tingkah laku seseorang. Seseorang bisa belajar hanya dari
melihat dan meniru hal yang dilihat. 
c. Kognisi dan regulasi diri
Menurut Bandura, manusia bisa menjadi pengamat atas perilakunya
sendiri, memberi penguatan, dan hukuman atas kesalahan sendiri. Tidak
hanya itu, beliau juga menganggap bahwa manusia bisa mengatur
lingkungan, membentuk dukungan kognitif, dan bertanggungjawab atas
perilakunya sendiri.

36
S. D Kusrahmadi, Pentingnnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar, h. 131.

31
Teori pembelajaran sosial adalah pembelajaran yang memanfaatkan
teori belajar sosial. Artinya, dalam melakukan pembelajaran guru
menggunakan modeling atau observasi.
Adapun contoh sederhana penerapan teori belajar sosial pada
perkembangan anak, yaitu seorang anak cenderung meniru perilaku orang
tuanya karena ia melihat perilaku tersebut setiap hari secara berulang-ulang.
Hal itu bisa diterapkan di pembelajaran sehari-hari, di mana guru
menjadi model percontohan bagi peserta didiknya. Adapun fase-fase yang
harus dilalui untuk menerapkan teori pembelajaran sosial adalah sebagai
berikut:37
a. Fase perhatian
Pada fase ini, peserta didik akan memperhatikan model atau sesuatu
yang mereka observasi. Hal yang akan diperhatikan biasanya hal-hal
menarik, unik, terkenal, dan sesuai dengan minat mereka. Agar guru bisa
menjadi pusat perhatian peserta didik, Bapak/Ibu harus mampu
memberikan isyarat-isyarat yang jelas dan mudah dipahami.
b. Fase retensi
Fase retensi ini merupakan fase di mana peserta didik harus mampu
mengingat hal-hal yang sudah mereka amati. Melalui pengamatan itulah
diharapkan mereka mampu belajar dan mendapatkan hasil yang baik.
c. Fase reproduksi
Pada fase reproduksi ini terjadi umpan balik yang nantinya bisa
mengarahkan peserta didik pada perilaku yang diinginkan. Umpan balik ini
tidak hanya ditujukan bagi hal-hal yang sudah benar, melainkan juga hal-
hal yang tidak benar. 
Guru harus bisa memberi masukan/nasihat atas perilaku yang salah
atau kurang baik peserta didiknya sebelum perilaku tersebut tumbuh

37
S. D Kusrahmadi, Pentingnnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah Dasar, h. 133.

32
menjadi kebiasaan. Jika berhasil menerapkan hal itu, maka guru tersebut
sudah menjalankan pembelajaran terbaiknya.
d. Fase motivasi
Fase motivasi merupakan fase terakhir yang menandai keberhasilan
teori pembelajaran sosial. Pada fase ini, peserta didik akan meniru hal-hal
berkesan dari pengamatan yang mereka lakukan. Mereka beranggapan
bahwa setelah meniru, akan muncul penguatan (reinforcement) dari dalam
diri masing-masing. Contoh penguatan itu bisa diberikan dalam bentuk
pujian, piala, nilai, dan lain-lain.
Menurut Saya perkembangan merupakan proses perubahan
kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmaniah, bukan
hanya perubahan organ-organ jasmaniahnya saja. Kemudian, dalam
kaitannya dengan peserta didik, maka pengertian perkembangan peserta
didik merupakan perubahan yang progresif dan kontinu
(berkesinambungan) untuk menjadi lebih sempurna (mencapai kematangan
dan pengalaman) melalui interaksi dengan lingkungan (pendidikan).38
B. Alternatif Upaya Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik
Perkembangan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih
maju, lebih dewasa. Sebagian ahli menganggap perkembangan sebagai proses
yang berbeda dari pertumbuhan. Perkembangan merupakan suatu proses
perubahan kualitatif yang mengacu pada fungsi organ-oragan fisik.
Perkembangan akan terus berlanjut hingga manusia mengakhiri hayatnya.
Sementara itu pertumbuhan hanya terjadi sampai manusia mencapai kematangan
fisik (maturation). Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social
self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga,
bangsa dan budaya.39

38
Sarwadi, 2023.
39
S Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung; PT Rosda Karya, 2016),
h. 41.

33
Menurut KBBI 1999, perkembangan adalah perihal berkembang,
Selanjutnya kata perkembangan berarti mekar, terbuka atau membentang;
menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal
kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.40
Sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan.
Menurul Lewis, Sosial adalah sesuatu yang dicapai, dihasilkan dan ditetapkan
dalam interaksi sehari-hari antara warga negara dan pemerintahannya. Sedangkan
Moral adalah suatu kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik.41
Perkembangan sosial dan moral (social and moral development),
yakni poses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-
perubahan cara anak dalam berkomunikasi dengan objek atau orang lain, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok.42 Perkembangan sosial hampir dapat
dipastikan sama dengan perkembangan moral, karena perilaku moral pada
umumnya merupakan unsur yang mendasari tingkah laku sosial. Artinya, seorang
siswa akan dapat berperilaku sosial secara tepat jika ia mengetahui norma
perilaku moral yang sesuai dengan situasi sosial tersebut.43
Perkembangan moral yang berhasil dapat dilihat dari perilaku moral,
sedangkan yang gagal dilihat dari perilaku amoral dan perilaku tidak bermoral.
Perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat atau
sosial yang berkaitan dengan tata cara, kebiasaan atau adat-istiadat. Perilaku
amoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat disebabkan
karena acuh atau tidak memahami aturan masyarakat. Sedangkan perilaku tidak
bermoral adalah tingkah laku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat

40
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 41.
41
S Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 41.
42
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, h. 12.
43
S Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 42.

34
sebagai akibat dari ketidaksetujuannya terhadap aturan masyarakat atau bentuk
protes terhadap masyarakat (sengaja melanggar).44
Menurut Saya nak akan mampu menunjukan atau menahan perilaku
tertentu secara tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Dibawah ini
diberikan contoh aspek moral dan nilai-nilai agama yang perlu dikembangkan
pada jenjang pendidikan anak dalam perkembangan sosio emosional dalam
perkembangan bakat anak yang dalam usia perkembangannya mengalami
perkembangan.dan Perkembangan moral itu harus didasarkan pada sikap dan
kemampuan yang dimiliki anak tersebut. Maka dari itu kita harus pandai-pandai
mengembangkan kepribadian kita.45
1. Tokoh Teori Perkembangan Kepribadian
a. Sigmund Freud
Freud adalah teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya
kepada perkembangan kepribadian dan menekankan pentingnya peran
masa bayi dan masa awal pada anak dalam membentuk karakter
seseorang. Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian sudah terbentuk
pada usia 5 tahun dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun
sebagian besar hanya merupakan elborasi dari struktur dasar tadi.
Anehnya, Freud jarang sekali meneliti anak secara langsung. Dia
mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jiwa pasien antara lain
dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanaknya.46
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi 3 tahapan
yakni tahap infatil (0 – 5 tahun), tahap laten (5 – 12 than) dan tahap
genital (> 12 tahun). Tahap infatil yang paling menentukan dalam
membentuk kepribadian, terbagi menjadi 3 fase, yakni fase oral, fase anal,
dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan oleh perkembangan

44
S Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 42.
45
Salmianti Dwi Saputri, 2023.
46
M Asrori, Psikologi Pembelajaran (Bandung; CV Wacana Prima, 2012), h. 155.

35
insting seks, yang terkait dengan perkembangan bilogis, sehingga tahap ini
disebut juga tahap seksual infatil. Perkembangan insting seks berarti
perubahan kateksis seks dan perkembangan bilogis menyiapkan bagian
tubuh untuk dipilh menjadi pusat kepuasan seksual (arogenus zone).
Pemberian nama fase-fase perkembangan infatil sesuai dengan bagian
tubuh daerah erogen-yang menjadi kateksis seksual pada fase itu. Pada
tahap laten, impuls seksual mengalami represi, perhatian anak banyak
tercurah kepada pengembangan kognitif dan keterampilan. Baru sesudah
itu, secara bilogis terjadi perkembangan puberts yang membangunkan
impuls seksual dari represinya untuk berkembang mencapai kemasakan.
Pada umumnya kemasakan kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun.47
b. Carl Gustav Jung
Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung
lebih lengkap dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa
semua peristiwa disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu
(mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose).
Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara karena
terpenjara oleh masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau
membuat rencana karena masa lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip
purposif memubat orang mempunyai perasan penuh harapan, ada sesuatu
yang membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya dapat diambil
sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban tapi
dijadikan pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk
belajar lebih baik dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan
seseorang harus memiliki angan, impian dan harapan, hal inilah yang
kemudian mengarahkan pada tujuan yang akan diraih di masa
mendatang.48

47
M Asrori, Psikologi Pembelajaran, h. 155.
48
M Asrori, Psikologi Pembelajaran, h.155.

36
Tahap-tahap perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:49
1) Usia anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni
anarkis pada anak kesadaran masaih kacau pada usia 0-6 tahun, tahap
monarkis yakni anak ditandai dengan perkembangan ego, mulai
berfikir verbal dan logika pada usia 6-8 tahun, tahap dualistik yakni
anak dapat berfikir secara obyektif dan subyektif terjadi pada usia 8-12
tahun.
2) Usia Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis
dari orang tuanya.
3) Usia Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan,
kawin, punya anak dan ikut dalam kegiatan sosial.
4) Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar, fikiran
dan kesadaran ego mulai tenggelam (Anonim, 2010).
c. Erik H. Erikson
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif
karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya
sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan
ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian
manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi
pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan
yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai
usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar
belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam
perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.50

49
M Asrori, Psikologi Pembelajaran, h.156.
50
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 141.

37
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam
mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran
yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang
dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu,
teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil
penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa,
maupun lansia.51
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan
erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan
egonya. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai
hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya
sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang
dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam
kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang
menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep
perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut
tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap
sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana
hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh
perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.52
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah
asumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu
tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap
manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat
berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang.

51
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 141.
52
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 141.

38
Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetik. Di mana
Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu:53
1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia
mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga
pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong,
mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang
lebih luas.
2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk
memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan
tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk
mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan di dalam tahap-
tahap yang ada.
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu,
moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari,
sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu
untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek bebagai
perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem
nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang
selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek
nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan
menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus
dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai
perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.54
Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan
melalui teori Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu

53
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 142.
54
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 142.

39
kesatuan dan tidak dibedabedakan. Dalam konsep Sigmund Freud,
struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:55
1) Id atau Das Es
Berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar,
amoral, dan bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan
untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan dan menghindari
kesakitan.
2) Ego atau Das Ich
Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah,
mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugas utama Ego
adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan
yang ada di dunia sekitar. Superego adalah sumber moral dalam
kepribadian.
3) Super Ego atau Da Uber Ich.
Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya
adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk,
benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan
hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke
arah kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika
ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu
mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung
didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan
terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego
yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan
naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan.
Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang

55
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 144.

40
kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego,
sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.56
Menurut saya Teori perkembangan merupakan sebuah teori yang
berfokus pada berbagai perubahan serta perkembangan yang dialami manusia
baik dalam struktur jasmani atau biologisnya, perilaku serta fungsi mental
pada beragam tahap kehidupannya, yang terjadi dari konsepsi hingga
menjelang kematiannya.57
2. Faktor – Faktor Timbulnya Permasalahan Peserta Didik faktor-faktor yang
ikut berperan terhadap timbulnya permasalahan pada peserta didik yaitu:
Faktor pribadi atau faktor intern, meliputi:58
a. Sifat yang menurun dari orang tua.
b. Cacat tubuh.
c. Ketidakmampuan menyesuaikan diri.
d. Kurang bisa menyampaikan gagasan kepada orang lain.
e. Rendahnya kapasitas intelektual.
3. Faktor lingkungan atau faktor ekstern, meliputi:59
a. Malnutrisi (Kekurangan gizi)
b. Kemiskinan di kota-kota besar.
c. Gangguan lingkungan ( polusi, bencana alam, kecelakaan lalulintas ).
d. Migrasi ( urbanisasi, pengungsi karena perang ).
e. Faktor sekolah ( kesalahan pendidikan, faktor kurikulum ).
f. Keluarga yang tercerai berai ( perceraian, perpisahan yang terlalu lama ).
g. Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga ( kematian orangtua, orangtua
sakit, atau orangtua yang tidak harmonis ).

56
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 144.
57
Faisal S, 2023.
58
Yusuf, Psikologi Belajar Agama; Prespektif Pendidikan Agama Islam, (Bandung; Pustaka
Bani Quraisy, 2005), h. 53.
59
Yusuf, Psikologi Belajar Agama; Prespektif Pendidikan Agama Islam, h. 53.

41
h. Kesibukan orang tua yang sangat padat sehingga kurang memeperhatikan
perkembangan anak-anaknya.
Menurut saya Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya
tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan
perilaku siswa seperti suika berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman,
berkelahi, sering tidak masuk kuliah, dan sering kabur dari sekolah. Secara
garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua
macam yaitu factor internal dan factor eksternal.60
4. Solusi dan Upaya dalam Menghadapi Masalah Peserta Didik
Solusi Menghadapi Permasalahan Peserta Didik di Indonesia dapat
dilakukan dengan cara enyelesaikan masalah-masalah tersebut perlu peran
penting dari para guru saat di lingkungan sekolah serta orangtua saat di
rumah. Melakukan pendekatan serta melakukan bimbingan dengan tekun pada
siswa adalah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. adapun upaya-
upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan sikap
remaja adalah berikut:61
a. Menciptakan komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang
nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi, tetapi juga
merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam beberapa pembicaraan
dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman sepergaulan,
serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi
kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan
secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan.
b. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi.

60
Sarwadi, 2023.
61
Yusuf, Psikologi Belajar Agama; Prespektif Pendidikan Agama Islam, h. 54.

42
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan
kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan
nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan
secara positif, jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan
pencerminan nilai hidup tersebut.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh
karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau
petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini untuk
menumbuhkan identitas diri, kepribadian yang matang dan menghindarkan
diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini.
Menurut saya Masalah belajar menjadi sebuah hal yang sering
dijumpai dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua anak memiliki perbedaan dalam
perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki serta hambatan yang
dihadapi. Akan tetapi ilmu pendidikan juga melihat dan berpedoman bahwa
meskipun setiap anak mempunyai perpedaan-perbedaan mereka tetap sama
yaitu sebagai seorang anak. Oleh karena itu apabila berhadapan dengan
seorang anak maka hal pertama yang harus dilihat yakni mereka adalah
seorang anak, bukan label kesulitannya. Dengan kata lain pendidikan melihat
anak dari sudut pandang yang positif dan selalu melihat adanya harapan
bahwa anak dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik
untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.62

5. Alternatif Upaya Pengembangan Sosial dan Moral


a. Pengembangan Sosial
Para ahli pendidikan menegaskan, ada dua cara untuk menanamkan
nilai-nilai sosial dalam pendidikan. Pertama, melalui proses belajar sosial
62
Salmianti Dwi Saputri, 2023

43
(social learning) atau sosialisasi. Kedua melalui kesetiaan sosial yaitu
dengan memainkan peran sosial sesuai dengan nilai yang dianut di
masyarakat.63
1) Belajar Sosial
Belajar sosial berarti belajar memahami dan mengerti tentang
perilaku dan tindakan  masyarakat. Peserta didik diajarkan mempelajari
kebiasaan, sikap, ide-ide, pola nilai dan tingkah laku dengan standar
tingkah laku dimana ia hidup. Selanjutnya,  semua sifat dan kecakapan
yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu, menjadi bagian integratif
peserta didik dengan masyarakat. Proses seperti inilah yang dapat
menumbuhkan kecakapan sosial peserta didik.
2) Pembentukan Kesetiaan Sosial
Melalui proses pembentukan kesetiaan sosial (formation of
social loyalities). perkembangan kesetiaan sosial ini muncul berkat
kesadaran peserta didik terhadap kehidupan ditengah-tengah
masyarakat. Masyarakat merupakan sumber kesetiaan bagi anggotanya.
Sebab-sebab munculnya kesetiaan sosial diantaranya adalah partisipasi
sosial, komunikasi dan kerjasama individu dalam kehidupan kelompok.
Peserta didik yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara
spontan diterima sebagai anggota baru. Sebagai anggota baru, peserta
didik belum mengetahui pola dan system perilaku orang yang ada di
sekelilingmya. Contoh sederhananya adalah seperti pada kasus anak
yang baru bisa berjalan, setiap anggota masyarakat menyapa,
menggandeng dan ikut membantu berjalan anak. Respon anak adalah
kemesraan dan afeksi  (kepuasan) sehingga berjumpa lagi dengan orang
tersebut si anak langsung tersenyum dan bergerak mendekatinya.

63
Iswatun Khoiriah, Ifah Nabila dan Suryadi, Analisis Perkembangan Nilai Agama-Moral
Siswa Usia Dasar (Tercapai) Studi Kasus di MI Ma’arif Bego,” Schemata; Jurnal Pascasarjana IAIN
Mataram Vo. 8, N0. 2, (Desember 2019).

44
Bentuk kesetiaan sosial berkembang menjadi semakin komplek
kepada kelompok yang makin besar. Kesetiaan sosial dimulai dari
keluarga, teman sebaya dan sekolah. Biasanya kelompok ini disebut
dengan kelompok primer, dimana setiap anggota kelompok dapat
berinteraksi secara langsung dan face to face. Kemudian kesetiaan sosial
berkembang seiring dengan perkembangan kedewasaan peserta didik,
semakin dewasa peserta didik semakin berkembang kesetiaan sosialnya
kepada kelompok pekerjaan, kelompok agama, perkumpulan
(organisasi), baik kemasyarakatan maupun bangsa. Perkembangan yang
lebih luas dan besar ini disebut lingkungan sekunder, dimana seluruh
anggota kelompok mencerminkan seorang individu yang komplek.
b. Pengembangan Kecerdasan Sosial
Dalam mengembangkan kecerdasan sosial ada beberapa teknik
yang sering dipakai diantanya adalah sebagai berikut:64
1) Teknik Sosialisasi
Pada dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi
fundamental bagi kehidupan kita. Pertama, memberikan dasar atau
fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam
masyarakat, dan kedua memungkinkan lestarinya suatu masyarakat–
karena tanpa sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja sehingga
kelestarian masyarakat akan sangat terganggu. Contohnya, masyarakat
Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. akan lenyap manakala satu
generasi tertentu tidak mensosialisasikan nilai-nilai kesundaan,
kejawaan, kebatakan kepada generasi berikutnya. Agar dua hal tersebut
dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar
proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua
adalah adanya warisan sosial (Sudjana, 1993).
64
Iswatun Khoiriah, Ifah Nabila dan Suryadi, Analisis Perkembangan Nilai Agama-Moral
Siswa Usia Dasar (Tercapai) Studi Kasus di MI Ma’arif Bego,” Schemata; Jurnal Pascasarjana IAIN
Mataram Vo. 8, N0. 2, (Desember 2019).

45
Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang
menunjang proses tersebut, di mana termasuk di dalamnya interaksi
sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh tentang
pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977)
menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan
sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia
tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar
kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan
berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh pekerja
sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan
orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan
dengan sengaja. Pada saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri.
Sosialisasi melibatkan proses pembelajaran. Pembelajaran tidak
sekedar di sekolah formal, melainkan berjalan di setiap saat dan di mana
saja. Belajar atau pembelajaran adalah modifikasi perilaku seseorang
yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalamannya di dalam
lingkungan sosial/fisik. Seseorang selalu mengucapkan salam pada saat
bertemu orang lain yang dikenalnya; perilaku tersebut merupakan hasil
belajar yang diperoleh dari lingkungan dimana dia dibesarkan.
Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pembelajaran terjadi
melalui dua cara. (1) dikondisikan, dan (2) meniru perilaku orang lain.
Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953), yang
terkenal dengan konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai
percobaan melalui tikus dan merpati, Skinner memperkenalkan
konsepnya tersebut. Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan
hasil konsekuensi positif atau negatif dari perilaku yang sama
sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena memperoleh hadiah dari
orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik, dipuji-puji
didepan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara

46
untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi
hukuman, merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu.
Dengan demikian jika generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk
perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang
dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan. Seorang anak
diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang tuanya
memujinya.
2) Teknik SPACE
Albrecht dalam bukunya The New Science of
Success  menyebutkan lima elemen kunci yang bisa mengasah
kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Elemen
pertama adalah kata S yang merujuk pada kata situational awareness
(kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah
kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak
orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang
penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna
kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok di ruang ber
AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap
secara serampangan pada semua orang disekitarnya.
Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa
diri). Meliputi etika penampilan seseorang, tutur kata dan sapa yang
seseorang bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan
adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang
pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense
yang dihadirkannya. Seseorang tentu bisa mengingat siapa rekan atau
atasan yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk.
Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal
dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai
orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu

47
menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab
hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang
mulia nan bermartabat.
Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini
menjelaskan sejauh mana seseorang dibekali kemampuan untuk
menyampaikan gagasan dan ide secara renyah dan persuasif sehingga
orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali
seseorang memiliki gagasan yang baik, namun gagal
mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja
kita tidak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif hanya
akan bisa dibangun manakala seseorang mampu mengartikulasikan
segenap pemikiran dengan penuh kejernihan.
Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini
merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan
gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan
untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain.
Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan
meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati
yang kuat  terhadap sesama rekan kita.
c. Pengembangan Moral
Tahap-tahap perkembangan moral menurut Lawrence E. Kohlbert
(1995), yaitu sebagai berikut:65
1) Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat
fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau
kenikmatan. Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
a) Orientasi hukuman dan kepatuhan
65
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 151

48
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan
menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai
manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari
hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
b) Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan
yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya
sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan
antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang
berorientasi pada untung-rugi.
2) Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-
aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti
harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Tingkat konvensional
memiliki dua tahap, yaitu:
a) Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak
Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang
menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh
mereka.
b) Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan
yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah
semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas,
aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua
ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
3) Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan

49
prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas
dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut
dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.
Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:66
a) Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada
utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam
kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara
kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat
kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi
sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas
aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang
telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah
masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada
sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan
untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional
mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas,
dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .
b) Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan
prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada
komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-
prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan
moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal
keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa
hormat kepada manusia sebagai pribadi.
Menurut kami Ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah
kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif
66
Desmita, Psikologi Perkembangan, h. 153.

50
psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan
lainnya yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Otak adalah
sumber dan menara pengontrol bagi seluruh kegiatan kehidupan ranah-ranah
psikologis manusia. Otak tidak hanya berpikir dengan kesadaran, tetapi juga
berpikir dengan ketidaksadaran. Pemikiran tidak sadar sering terjadi pada diri
seseorang. Ketika sedang tidur misalnya, seseorang bermimpi, dan mimpi
adalah sebuah bentuk berpikir dengan gambar-gambar tanpa disadari.
Kebiasaan bangun subuh (tanpa dibangunkan oleh orang lain) dan siap
mengerjakan rencana-rencana harian, juga bentuk aktivitas otak yang dalam
psikologi kognitif disebut berpikir yang tak disadari oleh diri sendiri. Alhasil,
ranah kognitif yang dikendalikan oleh otak itu memang karunia Tuhan yang
luar biasa dibandingkan dengan organ-organ lainnya.
Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berpikir.
Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil siswa tersebut dapat
memahami dan meyakini faedah materi-materi pelajaran yang disajikan
kepadanya. Tanpa berpikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-
pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia ikuti, termasuk
materi pelajaran agama. Oleh karena itu, ada juga benarnya mutiara hikmah
berbunyi, “Agama adalah (memerlukan) akal, tiada beragama bagi orang yang
tidak berakal”.67

67
Faisal S, Sarwadi, Salmianti Dwi Saputri, 2023.

51
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan
konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga
perilaku remaja, yaitu nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu
atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau
sebagai suatu yang ingin dicapai, kedua moral yang berasal dari kata Latin Mores
yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud
moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia mana yang baik dan wajar, ketiga adalah sikap.Fishbein (1975)
mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Dalam konteksnya hubungan
antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam
superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan
baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral
tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Suatu
sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai,
moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan,
pengasuhan pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan
intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral,
dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi
penerus yang diharapkan.

52
B. Saran
Adapun saran yang dapat kami sampaikan setelah mengkaji tentang
perkembangan nilai, moral dan sikap pada remaja adalah :
1. Orangtua di rumah harus bertanggung jawab untuk mendidik moral anaknya.
2. Guru di sekolah juga bertanggungjawab untuk mendidik moral peserta
didiknya, tidak hanya sekedar pintar dalam keilmuan tetapi juga harus pintar
dalam bertindak dan bersikap (berakhlak).
3. Masyarakat harus turut ikut serta dan mendukung anak yang bermoral baik.

53
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Susanto. Perkembangan Anak Usia Dini. .Jakarta: Kencana Prenada. Media
Group. 2011.

Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran


Moral Pada Remaja Akhir. .Bandung: Unpad Press.2008.
Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. .Bandung: Remaja Rosda Karya.
2010.
Faisal S. 2023

Fatimah Ibda. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Jurnal INTELEKTUALITA


- Volume 3. Nomor 1. Januari-Juni 2015.

Febriyanti. Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset –


Riset Akutansi. .Palembang: Jenius. 2011..
Hasan basri. Kemampuan Kognitif Dalam Meningkatkan Efektifitas Pembelajaran
Ilmu Sosial Bagi Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan. EISSN.
https://www.google.com/search?q=mendeskripsikan+perkembangan+sosial+
+peserta+didik&sxsrf=APwXEdfo_UCLwBPT1oea76wrYmtwFFO8Cg
%3A1679915298595&ei=InkhZMfpI6qaseMPyIakWA&ved=0ahUKEwjHg
oCV_Pv9AhUqTWwGHUgDCQsQ4dUDCA4&uact=5&oq=mendeskripsik
an+perkembangan+sosial+
+peserta+didik&gs_lcp=Cgxnd3Mtd2l6LXNlcnAQAzIECCMQJzoKCAAQ
RxDWBBCwA0oECEEYAFDiBFjiBGDPBmgBcAF4AIABaIgBaJIBAzAu
MZgBAKABAcgBCMABAQ&sclient=gws-wiz-serp Diakses Pada Tanggal
27 Maret 2023 Pukul 18:24 WITA.

https://www.kompasiana.com/usfitriyah/58bd698a337a61ed09456535/
perkembangan-moral-menurut-para-ahli#:~:text=Perkembangan%20moral
%20(moral%20development)%20adalah,sengan%20orang%20lain
%20(Hurlock). Diakses Pada Tanggal 27 Maret 2023 Pukul 18:27 WITA.
https://www.kompasiana.com/usfitriyah/58bd698a337a61ed09456535/
perkembangan-moral-menurut-para-ahli#:~:text=Perkembangan%20moral
%20(moral%20development)%20adalah,sengan%20orang%20lain
%20(Hurlock). Diakses Pada Tanggal 27 Maret 2023 Pukul 18:28 WITA.
Iswatun Khoiriah. Ifah Nabila dan Suryadi. Analisis Perkembangan Nilai Agama-
Moral Siswa Usia Dasar .Tercapai. Studi Kasus di MI Ma’arif Bego.”

54
Schemata; Jurnal Pascasarjana IAIN Mataram Vo. 8. N0. 2. .Desember
2019.
Kusdwirarti Setiono. Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget. Selaman.
Kholberg dan Terapannya dalam Riset. .Bandung: Widya Padjadjaran. 2009.
M Asrori. Psikologi Pembelajaran .Bandung; CV Wacana Prima. 2012.
Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. .Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2005..
S Yusuf. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja .Bandung; PT Rosda Karya.
2016.
S. D Kusrahmadi. Pentingnnya Pendidikan Moral Bagi Anak Sekolah
Dasar .Dinamika Pendidikan. 2007.
Salmianti Dwi Saputri. 2023.
Sarwadih. 2023.
Siti Aisyah Mu·PLQTeori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Jurnal Al7D·GLE
9RO 1R -DQXDUL-Juni. 2013.
William Crain. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. .Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2014.
Yusuf. Psikologi Belajar Agama; Prespektif Pendidikan Agama Islam. .Bandung;
Pustaka Bani Quraisy. 2005.

55

Anda mungkin juga menyukai