Anda di halaman 1dari 17

MAQOMAT DAN AHWAL

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Akhlak Tasawuf”
Yang Diampu Oleh:

Dr. Didik Heriadi, S,Ag. M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 7

Silfy Fauziah
Siti Zulaiha

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN GENGGONG
KRAKSAAN PROBOLINGGO
2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia , serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami berterima kasih kepada
Bapak Didik Heriadi selaku Dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritis dan saran yang membangun demi
perbaikan dimasa depan.

Kraksaan, 14 Februari 2023


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................
BAB I ............................................................................................................................................
PENDAHULUAN..........................................................................................................................
• LATAR BELAKANG ................................................................................................................
• RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................
BAB II ...........................................................................................................................................
PEMBAHASAN............................................................................................................................
• PENGERTIAN MAQOMAT DAN AHWAL..............................................................................
• PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MAQOMAT DAN AHWAL............................................
• PENGERTIAN ZUHUD, WA’I, TAWAKAL, SABAR DAN RIDHA.......................................
BAB III .........................................................................................................................................
PENUTUP......................................................................................................................................
• KESIMPULAN ...........................................................................................................................
• DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ajaran agama merupakan aspek penting bagi setiap manusia. Makna hidup
beragama bagi pemeluknya adalah mencapai derajat mulia di hadapan Tuhan
mereka. Banyak jalan yang ditempuh untuk mematangkan jiwa manusia menuju
derajat sempurna. Dalam Islam derajat manusia berbeda tingkatan antara satu
dengan yang lain, dalam hal dekat tidaknya dengan Sang Pencipta. Pendakian
menemukan Tuhan dalam konsep Islam disebut dengan maqam. Dalam
mendapatkan maqam-maqam tersebut banyak anak tangga yang harus dinaiki. Di
sisi lain, dalam dunia sufi dikenal istilah ahwal. Berbeda dengan maqam, ahwal
merupakan anugerah Tuhan kepada seseorang tanpa harus diusahakan. Sedangkan
maqam adalah posisi yang didapat berdasarkan usaha manusia. Semakin tinggi
tingkat pengorbanan seseorang mendaki maqam-maqam yang ada, maka semakin
tinggi pula tingkat kemulyaannya di hadapan Tuhan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian Maqomat dan Ahwal!
2. Jelaskan persamaan dan perbedaan Maqomat dan Ahwal!
3. Apa pengertian dari Zuhud, Wira’i, Tawakal, Sabar dan Ridha?
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAQOMAT DAN AHWAL
1. Maqomat
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang
derajat-derajat kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau
derajat dimaksud dalam kalangan sufi diistilahkan dengan maqam.
Semakin tinggi Jenjang kesufian maka semakin dekat pula sufi tersebut
kepada Allah Swt. Namun demikian, para sufi juga memiliki perbedaan
pendapat tentang maqam tersebut, terutama mengenai yang mana maqam
yang lebih tinggi dan yang mana maqam yang lebih rendah. Hal ini terjadi
karena tidak didapati dalil yang jelas tentang hal ini, baik dari nash Alquran
maupun Sunnah.
Istilah maqam di kalangan para sufi kadang kala disebut dengan
ungkapan jamaknya yaitu maqamat. Menurut al-Qusyairi yang dimaksud
dengan maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan
keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat
membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.
Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut:
‫مقام العبد يدى هلال فيما يقام فيو من العبادات واجمالىدات والرايضات والنقطاع إىل هلال‬
“Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja
keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan
kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk
berbakti kepada-Nya”.
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa maqam adalah
kedudukan seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt.
Posisi tersebut tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui proses yang
sungguh-sungguh. Dengan kata lain, dapat juga dipahami bahwa proses
yang dilalui oleh para sufi untuk mencapai derajat tertinggi harus melalui
maqammaqam yang banyak, dari maqam paling rendah sampai tertinggi.
Maqamat dan Ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia
tasawuf. Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang
dalam berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali
segala sesuatu yang ada di jagad raya ini.
Maqomat menurut bahasa adalah tahapan, sedangkan menurut istilah
adalah upaya sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui
tahapan-tahapan untuk mencapai makrifatullah, di mana upaya tersebut
telah menjadi sifat yang menetap pada diri seseorang.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa maqam adalah sebuah posisi
tertentu yang memiliki karakteristik yang saling berbeda antara satu
tingkatan dan tingkatan lainnya. Karakter maqam taubat merupakan sikap
penyesalan terhadap segala dosa. Maqam ini menunjukkan betapa
pentingnya taubat, karena dengan taubat tersebut, seseorang akan dapat
melangkah kepada maqam-maqam lainnya dala level yang lebih tinggi.
Sedangkan ridha adalah level tertinggi, yang dapat dimaknai tercapainya
kondisi ideal bagi seorang Muslim. Hal ini baru dapat tercapai apabila telah
melewati maqam-maqam lainnya seperti zuhud, shabar, dan tawakkal.
2. Ahwal
Al-Ahwal menurut bahasa adalah keadaan, sedangkan menurut istilah
yaitu keadaan jiwa dalam proses pendekatan diri kepada Allah Swt, di mana
keadaan tersebut masih temporer belum menetap dalam jiwa. Kondisi ini
menuntut tindakan untuk menyikapinya.
Ada ulama yang berpendapat bahwa ilmu-ilmu sufi itu adalah ilmu-ilmu
mengenal keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini
merupakan warisan dari tindakan-tindakan, dan hanya dialami oleh orang-
orang yang tindakan-tindakannya benar. Langkah pertama menuju
perbuatan yang benar adalah mengetahui ilmu yang menyangkut dengan
masalah itu yaitu peraturanperaturan yang sah yang terdiri atas prinsip-
prinsip hukum (fiqih) yang mengatur cara-cara shalat, berpuasa dan tugas-
tugas keagamaan lainnya, juga mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur
perkawinan, perceraian, transaksi transaksi dagang, dan masalah-masalah
lain yang mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah
ditetapkan dan ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu
merupakan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan dengan jalan mempelajarinya;
dan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha mencari ilmu ini dan
aturan-aturannya, sepanjang dia mampu mencari hingga batas kemampuan
akalnya sebagai manusia, setelah dia mendapat dasar yang menyeluruh
dalam ilmu agama dan cara-cara memahami Alquran dan sunnah.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ahwal adalah suatu
kondisi jiwa yang diperoleh melalui kesucian jiwa. Hal merupakan sebuah
pemberian dari Allah Swt. Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh usaha
manusia, berbeda dengan yang disebut dengan maqamat.
Berbeda dengan al-Thusi, al-Qusyairy memberikan makna ahwal adalah
anugerah Allah atau keadaan yang datang tanpa wujud kerja. Seperti halnya
maqamat, dalam ahwal juga terjadi perbedaan di kalangan para ulama sufi
tentang jumlah dan urutannya. Hal ini mengingat Nabi sendiri sejauh ini,
tidak memberikan suatu sinyalemen tentang macam-macam dan tingkatan-
tingkatan ahwal tersebut dalam hadis-hadis Beliau. Dengan kata lain, ahwal
secara umum dapat ditemukan dalam ungkapan ayat Al-quran maupun hadis
Nabi, namun tidak dijelaskan secara rinci mana peringkat tertinggi dan
terendah dari ahwal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peringkat ahwal
adalah hasil ijtihad dan pemikiran para ulama sufi.

B. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MAQOMAT DAN AHWAL


Maqamat merupakan salah satu konsep yang digagas oleh Sufi yang
berkembang paling awal dalam sejarah tasawuf Islam. Kata maqamat sendiri
merupakan bentuk jamak dari kata maqam, yang secara literal berarti tempat
berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi atau tingkatan. Dalam al-Qur’an kata ini
maqam yang mempunyai arti tempat disebutkan beberapa kali, baik dengan
kandungan makna abstrak maupun konkrit. Di antara penyebutnya terdapat
pada QS al-Baqarah ayat 125, QS al-Isra ayat 79, QS Maryam ayat 73, QS as-
Saffat ayat 164, QS ad-Dukhan ayat 51 dan QS ar-Rahman ayat 46. Sedangkan
kata ahwal merupakan bentuk jamak dari kata hal, yang secara literal dapat
diartikan dengan keadaan. Adapaun secara lebih luas ahwal dapat diartikan
sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela
perjalanan spiritualnya.
Secara historis konsep maqamat diduga muncul pada abad pertama hijriyah
ketika para sahabat Nabi masih banyak yang hidup. Sosok yang
memperkenalkan konsep tersebut adalah menantu Rasulullah saw yaitu sahabat
Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditemukan dalam satu informasi bahwa suatu
ketika para sahabat bertanya kepadanya mengenai soal Iman, Ali bin Abi
Thalib menjawab bahwa iman itu dibangun atas empat pondasi yaitu kesabaran
(as-sabr), keyakinan (al-yaqinu), keadilan (al-‘adl) dan perjuangan (al-jihadu).
Dan masing masing pondasi tersebut mempunyai sepuluh tingkatan (maqamat).
Hal ini setidaknya menjadi bukti kuat bahwa sumber tasawuf sudah dapat
dilihat pada masa Nabi Muhammad saw.
Namun dalam tradisi tasawuf, istilah maqamat dan ahwal ini biasanya
disandarkan kepada tokoh sufi mesir yaitu Syekh Zunnun al-Mashri. Dia
adalah salah satu sufi masyhur yang lahir di Mesir selatan dan meninggal pada
tahun 859 M. Dia adalah seorang sufi yang memperkenalkan teori ma’rifah
atau gnosis dalam tradisi tasawuf. Menurut Zunnun ma’rifah adalah cahaya
yang diberikan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Sebuah ungkapan mengenai
ma’rifah yang terkenal darinya “Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan dan
jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu Tuhan”. Zunnun juga
menambahkan bahwa ma’rifah bukan saja merupakan hasil dari usaha seorang
sufi untuk menggapainya tapi juga merupakan anugerah dari Tuhan. Dengan
demikian adanya usaha dan kesabaran dalam menunggu anugerah Tuhan
merupakan keniscayaan untuk menggapai ma’rifah.
Dalam perkembangan selanjutnya konsep maqamat dan ahwal ini
merupakan salah satu konsep tasawuf yang pada giliranya mendapat perhatian
yang serius dari para Sufi. para Sufi kemudian membuat beberapa definisi dan
tingkatan maqamat yang berbeda-beda. Para Sufi juga membuat beberapa
definisi berkenaan dengan ahwal dan bagaimana mengenai proses dari konsep-
konsep tersebut. Adapun tujuan dari pembuatan konsep maqamat atau ahwal
oleh para Sufi adalah sebagai gerakan atau prilaku untuk mencapai
kesempurnaan menuju Tuhan secara sistematik. berdasarkan konsep maqamat
dan hal ini maka para sufi dapat memberikan suatu aturan yang dapat
dijalankan oleh pengikutnya sehingga jalan menuju Tuhan menjadi jelas dan
mudah.
Salah satu sufi yang menjelaskan mengenai maqamat dan ahwal adalah
alQusyairi (w. 1027 M), yang terkandung dalam mahakaryanya Ar-risalah
alQusyairiyah. Menurutnya maqam adalah tahapan adab atau etika seorang
hamba dalam rangka mencapai (wushul) kepada Allah SWT dengan berbagai
upaya, yang diwujudkan dengan suatu pencarian dan ukuran tugas. Maqam ini
merupakan tempat dimana harus dilalui oleh para Sufi secara berurutan. Oleh
karena itu alQusyairi menyaratkan bahwa tidak boleh bagi seorang Sufi
melewati satu maqam sebelum maqam sebelumnya terpenuhi. Orang tidak
boleh bertawakal sebelum dia menjadi seorang yang qona’ah, tidak ada inabah
sebelum melakukan taubat. Sedangkan hal dimaknai sebagai suatu keadaan
yang dirasakan oleh hati seorang sufi tanpa adanya kesengajaan dan usaha dari
para sufi tersebut. Hal merupakan anugerah dari Allah SWT kepada hamban-
Nya yang ia kehendaki.
Permasalahan selanjutnya yang sering dibahas oleh sufi mengenai kesamaan
atau perbedaan antara maqamat dan ahwal. Pada umumnya mayoritas sufi
membedakan antara maqam dan hal. Al-Ghazali (w. 1111) misalnya,
menyatakan bahwa maqam dan hal itu berbeda. Maqam bersifat tetap,
sedangkan hal bersifat berubah-rubah. Untuk memperjelasnya, al-Ghazali
memberikan contoh pada warna kuning yang mempunyai dua bagian. Warna
kuning tetap bisa ditemukan pada emas, sedangkan warna kuning tidak tetap
bisa dilihat pada orang yang terkena penyakit kuning. Warna emas yang terus
menerus kuning ini diibaratkan dengan maqam. Sedangkan warna kuning pada
orang yang menderita penyakit kuning diibaratkan hal yang bisa berubah-
rubah.
Berbeda dengan pandangan al Ghazali di atas, salah satu sufi yaitu Abu
Hafs Syihab ad-Din Umar al-Suhrawardi (w. 1234 M) mengatakan bahwa
maqam dan hal tak dapat dipisahkan. Ia berasalah bahwa hal dan maqam
mempunyai dua sisi: pemberian dan perolehan. Sebenarnya keduanya sama-
sama anugerah. Tidak ada hal dan maqam yang terpisah dan tidak ada maqam
yang tidak dimasuki oleh hal. Pendapat ini didukung oleh pernyataan al-
Kalabadzi yang mengatakan, “setiap maqam memiliki permulaan dan akhir dan
di antara keduanya terdapat bermacam-macam hal. Akhirnya, dari berbagai
pendapat di atas kita bisa melihat bahwa ada beberapa perbedaan di antara para
sufi mengena pemaknaan akan konsep maqamat dan ahwal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara maqamat dan ahwal
memiliki perbedaan. Jika maqamat merupakan tingkatan seorang hamba di
hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang
dilakukannya, artinya maqamat merupakan hasil usaha manusia, sedangkan
ahwal adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah
kepada seseorang hamba, tanpa harus dilakukan suatu latihan oleh orang
tersebut. Meskipun jika ditelusuri terus bahwa pemberian Tuhan tersebut ada
hubungannya dengan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh seorang hamba
sebelumnya. Sedangkan maqamat adalah keadaan jiwa seorang hamba sebagai
buah usaha latihan jiwa yang dilakukannya.

1. ZUHUD, WIRAI’I, TAWAKAL, SABAR dan RIDHA


Maqamat dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion, tempat seorang
calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar
dapat melanjutkan perjalan ke stasion berikutnya. Penyucian diri
diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca Alquran, dan
dzikir. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri. Oleh
karena itu, terjadilah penyucian diri calon sufi berangsur-angsur.
Tentang berapa jumlah stasion atau maqamat yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama
pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li
Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya
mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-
mahabbah dan al-ma’rifah.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat
yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati,
yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-
ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka
tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut
terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli
tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya
sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan
Tuhan).
a. Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Kata Zuhud berasal dari bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang
artinya menjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam
bahasa Indonesia, zuhud berarti “perihal meninggalkan keduniawian;
pertapaan”. Dalam Alquran, kata zuhud memang tidak digunakan, melainkan
kata al zâhidîn sebanyak 1 kali yang disebut dalam Q.S. Yûsuf/ 12: 20.
Meskipun istilah ini kurang banyak digunakan dalam Alquran, akan tetapi
banyak ayat Alquran yang mengarah secara tegas kepada makna zuhud, yaitu
dapat dilihat dalam penjelasan dalam Alquran mengenai keutamaan akhirat
ketimbang dunia.
Menurut para sufi, dunia dan semua kehidupan materinya adalah sumber
kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Tentang
kehidupan dunia ini, Hasan Basri berkata: perlakukan dunia ini sebagai
jembatan dilalui jangan membangun apa-apa diatasnya. Dalam kesempatan
lainnya beliau juga mengemukakan, “ Jauhilah dunia ini karena ia bagaikan
ular, lembut dalam elusan tangan, racunnya mematikan. Hati-hati terhadap
dunia ini, karena ia penuh kebohongan dan kepalsuan”.
Menurut dari pengertiannya Zuhud dapat dipahami bahwa tingkatan zuhud
pada dasar nya ada tiga yaitu: (1) Orang yang zuhud terhadap dunia, padahal
ia suka padanya, hatinya condong padanya dan nafsunya selalu menoleh
kepadanya; kendati demikian, dilawannya hawa nafsu dan keinginan terhadap
kenikmatan duniawi itu. Orang ini disebut mutazzahid (yang berusaha untuk
hidup zuhud);
(2) orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena ia menganggap
terhadap perkara keduniaan itu sepele (sedikit sekali manfaat dan gunanya),
meskipun demikian ia menginginkannya. Tetapi ia melihat kezuhudannya dan
berpaling padanya;
(3) orang yang zuhud terhadap dunia,tetapi zuhud terhadap ke-zuhud-annya
itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah meninggalkan jubah
keduniannya. Orang yang demikian setingkat dengan orang yang
meninggalkan tembikar dan memungut intan permata.
Zuhud dalam pengertian luas ialah melepaskan ketergantungan hati
terhadap segala macam kehidupan dunia dan kehidupan materinya. Tetapi
dalam pandangannya zuhud bisa dipahami sebagai langkah antisipatif untuk
tidak selalu bergantung dengan dunia dan pengaruh-pengaruhnya, yang bisa
melupakan batas-batas kewajaran sebagai umat manusia yang bisa
memposisikan diri sebagai makhluk individu dan sosial secara seimbang.
b. Wira’i
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang
bermakna berhati-hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia warak bermakna
“patuh dan taat kepada Allah.” Di dunia tasawuf, kata warak ditandai dengan
kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi. Meski istilah ini tidak di temukan
dalam Alquran, tetapi semangat dan perintah untuk bersikap warak dapat
dengan mudah ditemukan di dalamnya.
Menurut orang sufi warak merupakan meninggalkan segalah sesuatu yang
tidak jelas persoalannya baik menyangkut makanan, pakaian maupun
persoalan. Secara graduasi, dalam tasawuf warak merupakan langkah kedua
sesudah tobat. Hal ini menunjukkan bahwa di samping merupakan pembinaan
mentalitas keislaman, juga warak sebagai tanggal awal untuk membersihkan
hati dari ikatan keduniaan.
Menurut para sufi warak itu ada dua macam yaitu:
(1) Warak lahiriah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal yang
tidak diridai Allah swt.
(2) Warak batin, yaitu tidak mengisi hatinya kecuali hanya Allah swt.

c. Tawakal
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti
“mempercayakan, memberi, mwmbuang urusan, bersandar, dan bergantung”,
istilah tawakal disebut di dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 70
kali. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak
Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan
sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah”.
Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri. Menurut Al-Qusyairi
lebih lanjut mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya
gerak dalam perbutan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu.
Hal ini terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya
didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi
kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya adalah takdir Allah.
Pengertian tawakal yang demikian itu sejalan pula dengan yang
dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakal adalah menyerahkan
diri kepada qadha dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram,
jika mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat apa-apa
bersikap sabar dan menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut dari
dirinya. Percaya kepada janji Allah. menyerah kepada Allah dengan Allah dan
karena Allah.
Al-Ghazali mengemukakan gambaran orang bertawakal itu adalah sebagai
berikut:
(1) Berusaha untuk memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat
kepadanya.
(2) Berusaha memelihara sesuatu yang dimilikinya dari hal-hal yang tidak
bermanfaat.
(3) Berusaha menolak dan menghindari dari hal-hal yang menimbulkan
mudarat.
(4) Berusaha menghilangkan yang mudarat.
Bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. dalam
firman-Nya, Allah menyatakan :
Artinya: “... dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman
bertawakal. (Q. S. At-Taubah [9]: 51).
d. Sabar
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran,
maknanya adalah mengikat, bersabar, menahan dari laranangan hukum, dan
menahan diri dari kesedihan. Kata ini disebutkan di Alquran sebanyak 103
kali. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan
(tidak lekas marah, tidak lekas putus asah, tidak lekas patah hati),dan
tabah,tenang,tidak tergesah-gesah,dan tidak terburu nafsu”.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan
tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr
an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar
badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam
berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang
berlebihan.
Al-Ghazali menjadikan sabar sebagai satu keistemewaan dan spesifikasi
makhluk manusia. Sikap mental itu tidak dimiliki oleh binatang, juga para
malaikat. Al-Ghazali membedakan sabar kepada tiga tingkatan, yaitu:
1) sabar untuk senantiasa teguh (istiqamah) dalam melaksanakan perintah
Allah swt.,
2) sabar dalam menhindarkan dan menjauhkan diri dari perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh-Nya,
3) sabar dalam menghadapi atau menanggung cobaan dari-Nya.
Dikalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah
perintah Allah Swt dalam menjauhi segalah laranganNya dan dalam
menerima segalah percobaan-percobaan yanng ditimpahkan-Nya pada diri
kita.
e. Ridha
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya
“senang, puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam
kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan
rahmat”.
Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang
kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya
hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari
Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum
turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada
dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala (cobaan
yang berat).
Setelah mencapai maqam tawakal, dimana nasib hidup salik bulat-bulat
diserahkan pada pemeliharaan Allah, meninggalkan serta membelakangi
segala keinginan terhadap apapun selain Tuhan, maka harus segera diikuti
menata hatinya untuk mencapai maqam ridla.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf adalah sebuah ilmu yang membicarakan tentang bagaimana upaya
seorang manusia sebagai hamba Allah, berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.
Pendekatan diri manusia dalam konteks ini memberi makna bahwa seseorang
dikatakan dekat dengan Tuhannya apabila telah melaksanakan kewajiban pokok
ditambah ibadah-ibadah lainnya yang tidak wajib dilaksanakan. Dalam tasawuf
juga terdapat teori-teori yang digagas oleh para tokoh sufi sebagai sebuah metode
yang dapat dipraktekkan oleh siapa saja yang ingin dirinya dekat kepada Tuhan
mereka. Dalam konteks ini dikatakan dengan maqam-maqam (maqamat), yang
dihasilkan dari latihan spiritual seseorang hamba. Sedangkan ahwal adalah
kondisi seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Tuhan mereka tanpa
dilalui latihan-latihan spiritual. Dengan kata lain ahwal adalah kondisi atau status
seorang hamba terhadap Tuhannya yang merupakan anugerah dari Tuhan, tanpa
melalui usaha berupa latihan maupun pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din. Jilid IV Mathba‟ah al-Amirat al-Syarfiyyah, 1909.

Amin, Ahmad. Dzuhrul Islam. jld IV, Kairo: Maktabah al-Nahdh al-Misriyah, 1964.

M. Jamil. Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas.. Ciputat: Gaung


Persada Press, 2004.

Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Anda mungkin juga menyukai