Anda di halaman 1dari 14

MAQOMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah
Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Kawakib, M.H.

Disusun Oleh : Kelompok 9

Kelas HKI 1 A

1. Nur Karmila 12212003


2. Rahmad Ramadani 12212013
3. Ikhwanudin 12212031

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang membahas tentang “MAQOMAT
DAN AHWAL” dapat kami selesaikan dengan baik. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan
kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun
melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua
orang tua kami yang telah memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen pengampu mata
kuliah akhlak tasawuf Bapak Kawakib M.H. dan juga kepada teman-teman seperjuangan
yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, materi yang terdapat dalam
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah
SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pontianak, 14 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqomat dan Ahwal Dalam Tasawuf .................................................... 2


B. Pendapat Mutakallimin Tentang Maqomat dan Ahwal Dalam Tasawuf .................. 3
C. Macam-macam Maqomat dan Ahwal Dalam Tasawuf ............................................ 3
D. Hubungan Maqomat dengan Ahwal Dalam Tasawuf ............................................... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqomat dan ahwal. Keduanya
dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak mungkin ada tasawuf, baik ia
sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa kehadiran maqamat dan ahwal.
Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat itu, jiwa seseorang sufi terbang
mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup, manusia dan Tuhan Yang Maha
agung dan indah. Pada saat yang sama, ia juga mengalami ahwal; merasakan nikmatnya
berada puncak spiritual yang tak terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak
kenikmatan dan keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid disebut ijtihad, al-
Hallaj menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya ma’rifat, al-Sarraj menyebutnya
musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya dengan mahabbah. Begitulah,
setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri untuk melukiskan nikmat dan
indahnya bertemu Sang Kekasih, walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat
menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan-keterbatasan (bahasa)
manusia. Wa Allah A’lam bi al-Sawab.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan maqomat dan ahwal dalam tasawuf?
2. Bagaimana pendapat mutakllimin tentang maqomat dan ahwal dalam tasawuf?
3. Apa saja macam-macam maqomat dan ahwal dalam tasawuf?
4. Bagaimana hubungan maqomat dengan ahwal dalam tasawuf?
C. Tujuan Masalah
1. Dapat menjelaskan tentang pengertian maqomat dan ahwal dalam tasawuf.
2. Dapat memahami pendapat mutakallimin tentang maqomat dan ahwal dalam tasawuf.
3. Dapat menyebutkan dan memahami tentang macam-macam maqomat dan ahwal
dalam tasawuf.
4. Dapat memahami hubungan maqomat dengan ahwal dalam tasawuf.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqomat dan Ahwal Dalam Tasawuf


1. Pengertian Maqomat
Maqomat adalah bentuk jamak dari kata maqom, yang secara bahasa berarti
pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqomat disebut dengan istilah stations
atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqomat adalah kedudukan
seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan,
mujahadat dan lain-lain, latihan spritual serta (berhubungan) yang tidak putus-
putusnya dengan Allah swt. atau secara teknis maqomat juga berarti aktivitas dan
usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan
kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan tertentu sampai
adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya,
yang diyakini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spirituanya di hadapan Allah
swt.1
Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk
melampaui tahapan-tahapan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi
untuk memperolehnya, memiliki suatu konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah
swt., jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu secara bertahap
menempuh berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal dengan maqom
(tingkatan). Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang
panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia. Kerasnya
perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi
kadang memerlukan wakyu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu tempat ke
tempat lain.
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa maqom adalah tingkatan
seseorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa
yang dilakukannya. Maqom diperoleh melalui usaha-usaha yang dilakukan seorang
hamba. Inilah mungkin yang membedakan antara Maqomat dan al-Ahwal yang
diperoleh melalui anugerah dari Allah swt.

1
Syamsun, Niam, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014),
hlm. 137.

v
2. Pengertian Ahwal
Adapun ahwal adalah bentuk jamak dari hal biasanya diartikan sebagai
keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya. Hal ini merupakan anugerah dan rahmat dari Tuhan.2
Kendatipun kondisi atau sikap mental itu semata anugerah Allah SWT, bukan
karena Latihan dan perjuangan, namun bagi setiap orang yang ingin meningkatkan
intensitas jiwanya haruslah berusaha menjadikan dirinya orang yang berhak menerima
anugerah Allah SWT tersebut. Yaitu dengan meningkatkan amal perbuatannya, baik
dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya.
B. Pendapat Mutakallimin Tentang Maqomat dan Ahwal Dalam Tasawwuf
1. Pendapat mutakallimin tentang maqomat
Menurut Abu Nasr as-Sarraj, maqomat dalam tasawuf merupakan jalan
panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat
dengan Allah SWT. Menurut al-Qusyairi, maqom ialah hasil usaha manusia dengan
kerja keras dan keluruhan budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat
membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.3
2. Pendapat mutakallimin tentang ahwal
Al-Sarraj memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam di
dalam kalbu dengan sebab zikir yang tulus.” Ada yang mengatakan bahwa hal adalah
zikir yang lirih (khafiy), sebagaimana Hadis Nabi Muhammad yang menyatakan
bahwa sebaik-baik zikir adalah yang lirih (khayr al-dzikir al-khafy). Menurut al-
Sarraj, al-Junaid juga melihat bahwa hal bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal.
Dalam pandangan al-Sarraj, hal tidak diperoleh melalui ibadah, riyadhah, dan
mujahadah sebagaimana maqomat, melainkan anugerah Allah SWT.4
C. Macam-macam Maqomat dan Ahwal Dalam Tasawwuf
1. Macam-macam maqomat
Macam-macam maqom dalam tasawuf yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri
sebagai berikut:

2
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 38.
3
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘ilm al-Tashawwuf (Mesir: Dar el-Khair, t.th), hlm. 56.
4
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A., Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., Akhlak Tasawuf,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 53.

vi
a. Al-Taubah
Dalam bahasa Indonesia, tobat bermakna “sadar dan menyesal akan dosa
(perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan
perbuatan.” Maqom tobat (al-taubah) merupakan maqom pertama yang harus
dilewati setiap salik dan diraih dengan menjalankan ibadah, mujahadah, dan
riyadhah. Hampir semua sufi sepakat bahwa tobat adalah maqom pertama yang
harus dilalui setiap salik. Istilah tobat berasal dari bahasa Arab, taba, yatubu,
tobatan, yang berarti kembali, dan disebut Alquran sebanyak 87 kali dalam
berbagai bentuk. Istilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah
dari dosa seseorang untuk mencari pengampunannya.5
Yang membedakan antara tobat dalam syariat biasa dengan maqom tobat
dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara tobatnya orang awam dengan
tobatnya orang khawas. Karena tobat orang khawas termasuk sufi dari kelalaian
mengingat Allah, maka kesempurnaan taobat dalam ajaran tasawuf adalah apabila
seseorang yang bertobat sudah mencapai maqom: al-Taubatubmin taubatih, yakni
tobat terhadap kesadaran keadaan dirinya dan kesadaran akan tobatnya itu
sendiri.6
b. Al-Istiqamah
Al-Istiqamah merupakan satu tahapan penting di antara tahapan penting lain
dalam tasawuf. Mengingat pentingnya tahapan ini, orang yang tidak istiqamah
dalam keberadaannya, tidak akan pernah meningkat dari satu tahapan ke tahapan
maqom berikutnya, dan perjalanan mistis (suluk)-nya tidak akan kukuh. Tanda
istiqomah dari orang yang mulai menempuh suluk adalah; amal-amal lahiriyahnya
tidak dicemari oleh kesenjangan. Bagi orang yang berada pada tahap pertengahan
(ahl al-wasath) adalah, tidak ada tabir yang melidunginya dari kelanjutan wushul
(bertemu dengan Tuhan)-nya.
c. Al-Wara’
Kata wara’ berasal dari bahasa Arab wara’a, yara’u,wara’an yang bermakna
berhati hati, Di dunia tasawuf, kata warak ditandai dengan kehati-hatian dan
kewaspadaan tinggi. Meski istilah ini tidak di temukan dalam Alquran, tetapi
semangat dan perintah untuk bersikap warak dapat dengan mudah ditemukan di
dalamnya, dan banyak hadis Nabi Muhammad saw. menggunakan istilah wara’.

5
Ja’far, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm. 60.
6
M. Alfatih, Suryadilaga, Ilmu Tasawuf, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), hlm. 89-99

vii
Menurut orang sufi, wara’ merupakan meninggalkan segalah sesuatu yang tidak
jelas persoalannya baik menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan
lainnya.7
d. Al-Zuhd
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.8 Kata Zuhud berasal dari
bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang artinya menjauhkan diri, tidak
menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti
“perihal meninggalkan keduniawian; pertapaan”.
e. Al-Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih
dari apa yang telah ada pada diri kita.9 Dapat disimpulkan Al-faqr adalah
golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan
memisahkan dari Allah swt. atau penyucian hati secara keseluruhan terhadap
apapun yang membuat jauh dari Allah swt.10
f. Al-Shabr
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya
adalah mengikat, bersabar, menahan dari laranangan hukum, dan menahan diri
dari kesedihan. Kata ini disebutkan di Alquran sebanyak 103 kali. Di dalam
bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah,
tidak lekas putus asah, tidak lekas patah hati), dan tabah, tenang, tidak tergesah,
dan tidak terburu nafsu.
g. Al-Tawakkul
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti
“mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung.”
Istilah tawakal disebut di dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali.
Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak Allah;

7
Miswar, dkk., Akhlak Tasawuf: membangun Karakter Islam (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm.
177.
8
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 1
9
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, hlm. 30.
10
Syamsul Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014)
hlm. 152.

viii
percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya),
atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah.”
h. Al-Ridha
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang,
puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam kamus bahasa
Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”.
2. Macam-macam ahwal
Terdapat beberapa macam-macam ahwal. Beberapa di antaranya dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Khauf
Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah
karena khawatir kurangnya pengabdian. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah
tidak senang kepadanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu
berusaha agar sikap dan tingkah laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang
dikehendaki Allah. Bisa jadi perasaan khauf ini timbul karena takut kepada siksa
Allah. Juga bisa timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah
begitu mendalam, sehingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah melupakannya.
b. Raja’
Raja’ berarti suatu sikap optimis dalam memperoleh karunia dan ramat ilahi
yang disediakan bagi hamba-hambanya yang shaleh, karena ia meyakini bahwa
Allah SWT maha pengasih, penyayang, dan maha pengampun. Jiwwanya penuh
pengharapan dan pengampunan, merasa lapang dadapenuh gairah penanti rahmat
dan kasih sayang Allah SW. perasaan optimis ini akan memberikan gairah bagi
sufi untuk terwujudnya apa yang diidam-idamkan.
c. Syauq
Syauq adalah kerinduan, karena setiap orang yang cinta akan sesuatu tentu ia
akan merindukanya. Secara psikologi, rindu tidak akan tumbuh, melainkan
terhadap sesuatu yang sudah diketahui. Kesempurnaan rasa rindu itu adalah
ru’yah (melihat) dan liqa’ (bertemu) yang dirindukan, dan demikian akan dapat
pada hari akhir nanti. Dengan demikian, syauq adalah rasa rindu yang memancar
dari kalbu karena gelora cinta sejati. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam
terhadap Allah SWT akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Setiap denyut
jantung, detak kalbu dan desah nafas, ingatannya hanya kepada Allah. Inilah

ix
syauq. Perasaan inilah yang menjadi moto pendorong orang sufi untuk selalu ada
sedekat mungkin dengan Allah.
d. Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman perasaan ‘Uns
merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan dengan
Tuhan (pencerahan dalam kebenaran). Seseorang yang pada kondisi Uns akan
merasakan, kesenangan, seerta suka cita yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan
terhadap seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah yan mana hati
dan perasaan diliputi oleh cinta dan lain-lain.
Dalam pandangan kaum sufi, sifat ‘Uns (intim) adalah sifat merasa selalu
berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan tersebut melukiskan sifat ‘Uns, “Ada
orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan
kekasihnya sebab sedang dimabukan oleh cinta. Seperti halnya sepasang pemuda
pemudi. Ada juga yang merasa bising dalam kesepian, ia adalah orang yang
memikirkan tugas pekerjannya semata-mata. Adapaun engkau, selalu berteman
dimana pun engkau berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah,
artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.”
Orang-orang yang merasakan ‘Uns itu terbagi menjadi tiga tingkatan, yakni:
1. Merekea yang merasakan intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian,
merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
2. Ketika sang hamba sudah sedemikian intim berrsama Allah dan jauh dari
apapun selainya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan bisikan yang
menyibukanya.
3. Hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena adda rasa segan, kedekatan, dan
keagungan bersama’Uns itu tersendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak
melihat ‘Uns tersebut.
e. Mahabah
Mahabah secara literal menganndung beberapa pengertian sesuai denan
katanya. Mahabah berasal dari kata hibbah yang berarti benih yang jatuh ke bumi,
karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber
tanaman.
Dalam persfektif tasawuf, mahabah bila ditelurusuri maknanya menurut
pandangan para sufi. Menurt al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni
cenderung kepada Tuhan dan tanpa apa-apa yang berhubungan denganya tanpa
x
usaha. Cinta menurut pandangan sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang
dicintainya.
f. Yaqin
Menurut sebagian sufi, yaqin adalah sesuatu pengetahuan yang diletakkan
kedalam hati seseorang. Jadi berdasarkan pendapat ini bahwa keyakinan itu
adalah pengetahuan yang didapat tanpa melalui usaha, tapi hanya semata
limpahan karunia Allah. Sebaliknya, Abu Bakae Thahir mengatakan: ”Yaqin
adalah ilmu memiliki kepastian tanpa ada keraguan.” Berdasarkan pengertian ini
maka yaqin adalah ilmu pengetahuan yang didapat dengan perantaraan usaha.11
D. Hubungan Maqomat dengan Ahwal Dalam Tasawwuf
Perlu diketahui, antara maqom dan ahwal tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat
dilihat dalam kenyataan bahwa maqom menjadi prasyarat menuju Tuhan. Bahwa dalam
maqom akan ditemukan kehadiran ahwal. Sebaliknya, ahwal yang telah ditemukan dalam
maqom akan mengantarkan seseorang untuk naik ke maqom-maqom selanjutnya.
Sekedar contoh, apabila seorang yang tengah berada dalam maqom tobat maka akan
menemukan ahwal (perasaan) betapa indahnya bertobat itu dan betapa nikmatnya
menyadari dosa-dosa di hadapan Tuhan.
Adapun contoh orang yang memiliki maqomat dan ahwal dalam tasawuf adalah
sebagai berikut:
1. Orang yang selalu meningkatkan perbuatan berbagai dosa besar.
Seperti menyekutukan Allah Swt, durhaka kepada orang tua, berzina,
meminum khamar, bersumpah palsu dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan
agama.
2. Orang yang meninggalkan dosa kecil.
Seperti perbuatan makruh, sikap dan tindakan yang menyimpang dari
keutamaan, merasa diri suci, merasa telah dekat dengan Tuhan.
3. Bertobat tinggi.
Adalah dari kelengahan hati mengingat Allah Swt. Kalau bertobat dari dosa
atau maksiat itu tobat biasa. Namun, bertobat dari lengah mengingat Allah hanya
mampu dilakukan oleh orang yang derajat tinggi.
4. Sabar dalam pandangan sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman

11
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A., Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., Akhlak Tasawuf,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 54-58.

xi
Adalah dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat
menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia
Allah Swt. yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, memperoleh kedudukan
mulia di sisi-Nya, karena tanpa kesabaran, keberhasilan tidak mungkin dicapai.

xii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
SWT berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun
mujahadah. Di samping itu, maqomat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Maqom
dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah
kewajian yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan
mencapai maqom berikutnya sebelum menyempurnakan maqom sebelumnya.
Berkaitan dengan macam-macam maqomat yang harus ditempuh oleh seorang salik
untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT, para sufi memiliki pendapat yang
berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din
mengatakan bahwa maqomat itu ada delapan, yaitu at-taubah al-shabr, at-tawakkal, dan
al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak
disepakati sebagai maqomat. Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-
Luma’ menyebutkan jumlah maqomat hanya tujuh, yaitu at-taubah, al-wara’, al-zuhud,
al-faqr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabzy, maqomat
terdiri dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa,
tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu
ditegaskan di sini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah SWT
yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam
menempuh maqomat. Maqom diusahakan, sementara hal tidak. Maqom sifatnya tetap dan
permanen, sedangkan hal tidak ttetap, datang dan pergi.

xiii
DAFTAR PUSTAKA

Syamsun, Niam. 2014. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta:


Ar-Ruz Media.
Mulyadi Kartanegara. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga.

Al-Qusyairi. Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘ilm al-Thashawwuf. Mesir: Dar el-Khair

Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A., Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H. 2013.
Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana Publishing.

M. Alfatih, Suryadilaga. 2016. Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Kalimedia

Miswar, dkk. 2016. Akhlak Tasawuf: Membangun Karakter Islam. Medan: Perdana
Publishing.
Amin Syukur. 2004. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amin Syukur. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern.

xiv

Anda mungkin juga menyukai