Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada
mata kuliah Fiqih Siyasah
Kelas HKI 3 A
FAKULTAS SYARIAH
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul
“Institusi Monarki Islam; Umayah dan Abasiyah” ini dapat kami selesaikan dengan
baik dan tepat waktu. Atas limpahan rahmat-Nya juga yang telah Allah berikan
kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun berdasarkan kajian pustaka
maupun dari beberapa sumber internet.
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
D. Dinasti Penerusnya...................................................................................... 11
A. Kesimpulan ................................................................................................ 13
B. Saran .......................................................................................................... 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang turun dari Allah SWT di daerah Arab. Yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam muncul pada awal abad ke 7. Islam
mulai berkembang di Mekkah. Selanjutnya Islam mengalami perkembangan
dengan perluasan wilayah ke Madinah. Di sanalah dibentuk semacam
pemerintahan yang berdasarkan kosntitusi yang disebut piagam Madinah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
2. Untuk mengetahui bentuk pemerintahan Dinasti Umayah dan Abbasiyah.
3. Untuk dapat meninjau lebih jauh sistem ketatanegaraan Dinasti Umayah
dan Abbasiyah.
4. Untuk memahami dinasti penerus yang ada setelah Dinasti Umayah dan
Abbasiyah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
rumah Abu Sufyan, maka ia akan selamat. Artinya bahwa keberadaan Abu
Sufyan adalah tetap pemimpin Makkah, meskipun ia tunduk kepada
kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah
dan Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah tidak lagi sebagai pempimpin
bangsa Arab. Pada saat itu kepemimpinan Islam dan bangsa Arab, tidak
memperhatikan asal-usul kabilah dan kesukuan. Proses rekrutmen
pempimpin didasarkan pada kemampuan dan kecakapan.
Meskipun Usman bin Affan adalah dari keluarga Bani Umayyah, tetapi
ia tidak pernah mengatasnamakan diri sebagai Bani Umayyah. Begitu juga
Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai
gubernur Syiria adalah karena kecakapannya. Ambisi Bani Umayyah untuk
memimpin kemabali muncul ketika mereka sudah mempunyai kekuatan
besar. Dengan berbagai upaya, mereka menyusun kekuatan dan merebut
kekhalifahan umat Islam. Usaha ini akhirnya berhasil setelah Hasan bin Ali
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya
kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang dikenal dengan istilah Amul
Jama’ah.1
2. Latar Belakang Dinasti Abasiyah
Latar belakang berdirinya Daulah Abbasiyah tidak terlepas dari
berbagai masalah yang mewarnai pemerintahan Bani Umayyah. Sejak awal
berdirinya Dinasti Umayyah (Sunni), kelompok Muslim Syiah telah
memberontak karena merasa hak mereka terhadap kekuasaan dirampok oleh
Muawiyah (pendiri Bani Umayyah) dan keturunannya. Begitu pula dengan
kelompok Khawarij, yang juga merasa bahwa hak politik tidak dapat
dimonopoli oleh keturunan tertentu, tetapi hak setiap Muslim. Masalah itu
terus memburuk hingga pada pertengahan abad ke-8, banyak umat yang
tidak lagi mendukung Bani Umayyah, yang dinilai korup, sekuler, dan
memihak sebagian kelompok. Kelompok lain yang sangat membenci
kekuasaan Dinasti Umayyah adalah Mawalli, yaitu orang-orang Muslim
1
Fuji Rahmadi, Dinasti Umayyah (Kajian Sejarah dan Kemajuannya), Vol. 3 No. 2, Al-
Hadi, 2018, hal. 671-672.
4
non-Arab. Mereka yang kebanyakan dari Persia ini merasa tidak
diperlakukan setara dengan orang Arab karena diberi beban pajak lebih
tinggi. Keadaan pun semakin diperburuk oleh perang saudara antara sesama
Bani Umayyah, yang oleh masyarakat telah dicap bermoral buruk.
Permasalahan yang menimpa pemerintahan Bani Umayyah memicu
lahirnya Gerakan Abbasiyah. Gerakan Abbasiyah sendiri diambil dari nama
paman Nabi Muhammad SAW, Al-Abbas. Gerakan ini berusaha
menggulingkan Kekhalifahan Umayyah karena mengklaim Daulah
Abbasiyah sebagai penerus sejati Nabi Muhammad, berdasarkan garis
keturunan mereka yang lebih dekat. Dalam revolusinya, Daulah Abbasiyah
berbekal janji akan mendirikan sistem yang lebih ideal bagi umat Islam,
daripada Dinasti Umayyah yang dinilai sebagai penindas dan tidak memiliki
legitimasi keagamaan. Gerakan yang dilakukan Bani Abbasiyah pun
didukung oleh sebagian besar orang Arab yang dirugikan Umayyah, dengan
tambahan faksi Yaman, Mawali, Khawarij, dan Syiah. Kelompok inilah
yang mendukung Abdul Abbas As-Saffah, keturunan paman Nabi
Muhammad, untuk melakukan revolusi guna menggulingkan kekuasaan
Bani Umayyah.
Selain, Abdul Abbas As-Saffah, salah satu tokoh yang berperan dalam
proses berdirinya Daulah Abbasiyah adalah Abu Muslim Al Khurasani.
Abdul Abbas As-Saffah merekrut Abu Muslim Al Khurasani sebagai agen
propaganda sekaligus panglima perang. Peran Abu Muslim Al Khurasani
begitu sentral ketika menjadi agen propaganda Gerakan Abbasiyah pada
746. Ia mampu menarik simpati rakyat Khurasan untuk menggalang
kekuatan politik dan mendeklarasikan gerakan oposisi Abassiyah. Setahun
kemudian, yakni pada 747, Abu Muslim Al Khurasani memimpin
pemberontakan pada kekuasaan Bani Umayyah di Merv, sekarang masuk
Tukmenistan. Pertempuran itu berlangsung hingga mampu menguasai
Herat, Balkh, Tukharistan, Tirmidh, Samarqand, dan Bukhara. Peperangan
Revolusi Abbasiyah memuncak pada 750, ketika terjadi Pertempuran Zab,
yang menandai runtuhnya Bani Umayyah. Khalifah Bani Umayyah terakhir,
5
Marwan II, berhasil ditangkap dan dibunuh di Mesir, sedangkan Abdul
Abbas As-Saffah resmi memimpin Bani Abbasiyah sebagai khalifah
pertamanya.2
2
Faisal Ismail, Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M),
(Yogyakarta: Diva Press, 2007), hal. 322.
6
pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan),
shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepada keagamaan dan
hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan
bertanggung jawab kepadanya.
2. Pemerintahan Dinasti Abasiyah
Sistem dan bentuk pemerintahan, struktur organisasi pemerintahan dan
administrasi pemerintahan Dinasti ini pada hakikatnya tidak jauh berbeda
dari Dinasti Umayah. Namun ada hal-hal baru yang diciptakan oleh Bani
Abbas. Sistem dan bentuk pemerintahan monarki yang pelopori oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan diteruskan oleh Dinasti Abbasiyah; dan memakai
gelar khalifah. Tapi derajatnya lebih tinggi dari gelar khalifah di zaman
Dinasti Umayah. Khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah menempatkan diri
mereka sebagai zhillullah fi al-ardh (bayangan Allah di bumi). Pernyataan
ini diperkuat dengan ucapan Abu Ja’far al-Mansur, “Sesungguhnya saya
adalah Sultan Allah di bumiNya.” Ini mengandung arti bahwa khalifah
memperoleh kekuasaan dan kedaulatan dari Allah, bukan rakyat. Karena
khalifah menganggap kekuasaannya ia peroleh atas kehendak Tuhan dan
Tuhan pula yang memberi kekuasaan itu kepadanya, maka kekuasaannya
bersifat absolut. Sebab kekuasaannya ia anggap sebagai penjelmaan
kekuasaan Tuhan sebagai Penguasa Tunggal alam semesta. Karena itu pula
kekuasaan absolut khalifah-khalifah Abbasiyah lebih menonjol dari
khalifah-khalifah Bani Umayah. Timbulnya interpretasi baru terhadap
kedudukan khalifah di zaman Abbasiyah, sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan Persia. Karena kota Baghdad, pusat pemerinntahan Dinasti
Abbasiyah berada di lingkungan pengaruh Persia. Seorang penguasa yang
mengklaim bahwa ia memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam ilmu
politik, disebut teori ketuhanan. Teori ini menerangkan bahwa kedaulatan
berasal dari Tuhan. Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan dan Tuhan pula
yang memberi kekuasaan itu kepadanya.3
3
Krenenburg dan TK. B. Sabarudin, Ilmu Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal.
9.
7
3. Perbedaan Dinasti Umayah dan Abasiyah dengan Khulaur Rasyidin
Dikemukakan ciri-ciri khususnya yang membedakan pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dengan pemerintahan Dinasti Umayah. Ciri-cirinya
antara lain: unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik
dan ekonomi; khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala
pemerintahan eksekutif; kedudukan khalifah masih mengikuti tradisi
kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan karenanya siapa saja boleh
bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan haknya: Dinasti ini
lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada kekuasaan negara; Dinasti
ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah
Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non-Arab tidak mendapat
kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab; dan qadhi
(hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara.4 Disamping itu
Dinasti ini tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan.
Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya
sebagai pejuang Islam. Ciri lain dari Dinasti ini kurang melaksanakan
musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifar absolut
walaupun belum begitu menonjol. Dengan demikian tampilnya Dinasti
Umayah yang mengambil bentuk monarki, merupakan babak edua dari
praktek pemerintahan umat Islam dalam sejarah.
Ditemukan ciri-ciri khususnya yang membedakan pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dengan pemerintahan Dinasti Abasiyah. Ciri-cirinya
antara lain: unsur pengikat bangsa adalah agama; jabatan khalifah adalah
suatu jabatan yang tidak bisa dipisahkan dari negara; kepala pemerintahan
eksekutif dijabat oleh seorang wazir; Dinasti ini lebih menekankan
kebijaksanaannya pada konsolidasi dan peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi; Dinasti ini bersifat universal karena muslim Arab dan non-Arab
adalah sama; dan corak pemerintahannya banyak dipengaruhi oleh
4
Nourouzzaman Shiddiqi, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Cakra Donya, 1981),
hal. 87-88.
8
kebudayaan Persia.5 Ciri lain adalah kekuasaan khalifah yang bersifat
absolut sangat menonjol. Dinasti ini memanfaatkan kemajuan ekonomi
untuk pengembangan penelitian-penelitian ilmiah di berbagai bidang
sehingga mencapai prestasi-prestssi gemilang yang mengagumkan dunia.
Penerangan dan pembinaan hukum digalakkan, dan pembinaan akhlak
Masyarakat sangat diperhatikan.
5
Ibid, hal. 90-91.
6
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 163-
166.
9
d. Meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun
ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah.
Perluasan wilayah di zaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua
setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab.
e. Baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan
yang berbeda dari zaman Khulafaur Rasyidin. Mereka merekrut orang-
orang non-muslim sebagai pejabat-pejabat pemerintahan, seperti
penasehat, administrator, dokter, dan di kesatuan-kesatuan tantara. Tapi
di zaman Khalifah Umar bin Abd Al-Aziz kebijaksaan itu ia hapuskan.
Karena orang-orang non-muslim (Yahudi, Nasrani, dan Majusi) yang
memperoleh previlage di dalam pemerintahan banyak merugikan
kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka.
f. Muawiyah mengadakan pembaharuan di bidang administrasi
pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Byzantium
g. Kebijaksanaan keputusan politik dan keputusan politik penting yang
dibuat oleh khalifah Muawiyah adalah mengubah sistem pemerintahan
dari bentuk khilafah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki
dengan mengangkat putranya Yazid menjadi putra mahkota untuk
menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya nanti.
2. Ketatanegaraan Dinasti Abasiyah
a. Khilafah: berfungsi menyatukan kekuasaan agama dan politik.
Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan
politis, yaitu untuk memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan
mereka terhadap rakyat.
b. Wizarah (kementrian): salah satu aspek dalam kenegaraan yang
membantu tugas-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang
yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
c. Kitabah: salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-
tugas wazir dalam mengkoordinir masing-masing departemen. Diantara
10
jabatan katib ini adalah katib al-rasail, katib al-kharaj, katib al-jund,
katib al-syurtha dan katib al-qadhi.
d. Hijabah: berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem politik Bani
Abbas, hajib (petugas hijab) berarti pengawal khalifah. Mereka bertugas
menjaga keselamatan dan keamanan khalifah.7
D. Dinasti Penerusnya
Patut pula dicatat ketika itu Kerajaan Usmani bukan satu-satunya yang
berkuasa di Dunia Islam. Masih ada dua kerajaan besar Islam lainnya yang
berkuasa, yaitu Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Periode ini disebut Masa Tiga Kerajaan Besar, Kerajaan Usmani, Kerajaan
Safawi dan Kerajaan Mughal, dan merupakan fase kemajuan Islam tahap II.
7
Muhammad Iqbal, Fiqh SIyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Kencana, 2014), hal. 135.
11
Kemajuan yang dicapai oleh ketiga Kerajaan Besar ini terutama di bidang
literatur dan arsitektur.8
Kerajaan Safawi didirikan oleh Syaikh Ismail Safawi di Tahun 1501 dan
runtuh pada tahun 1722 Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur,
salah satu dari cucu-cucu Timur Lenk, di tahun 1526, lalu runtuh di tahun 1857
melawan tentara Inggris dalam perang Sipahi memperebutkan Delhi. Dua
Kerajaan besar ini juga mengambil bentuk pemerintahan monarki. Dengan
demikian pemerintahan bentuk monarki di Dunia Islam berlangsung dari tahun
661 (Dinasti Umayah di Damaskus) sampai tahun 1924 setelah lembaga
khilafah di Turki dihapuskan.
8
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.
84.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
13
monarki. Ketatanegaraan Dinasti Abasiyah Khilafah berfungsi menyatukan
kekuasaan agama dan politik. Selain itu ada beberapa lembaga yang dibentuk,
seperti Wizarah (kementrian), Kitabah, dan Hijabah.
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Rahmadi, Fuji. 2018. "Dinasti Umayah (Kajian Sejarah dan Kemajuannya)." Al-
Hadi 3 (2): 671-672.
Sabarudin, Krenenburg dan TK. B. 1986. Ilmu Negara. Jakarta: Pradnya Paramita.
15