Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KETATANEGARAAN DINASTI ABBASIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Siyasah

Dosen Pengampu : Abidin Latuna, S.H.I, M.H

Disusun Oleh:

Nama: NPM

Muhammad Jihhad : 2221010122

Safira Rachmah : 2221010124

Shabrina Nur Assysyifa 2221010139

Smester / Kelas : 3 (Tiga) / D

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

1445 H/ 2023 M

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi. Kami ucapkan
terimakasih kepada:

1. Bapak Abidin Latua, S.H.I, M.H selaku dosen pengampu mata kuliah fiqh
siyasah yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan
makalah ini.
2. Selanjutnya kami ucapkan terimakasih kepada seluruh rekan – rekan yang
terlibat dalam penulisan makalah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Bandar Lampung, 25 Oktober 2023

..........................

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3


A. Pembentukan Pemerintahan Dinasti Abbasiyah...................... 3
B. Sistem Pemerintahan Dinasti Abbasiyah ................................ 5
C. Masa Kejayaan Pemerintahan Dinasti Abbasiyah ................... 11
D. Kedududkan Pemerintahan Dinasti Abbasiyah Dalam Siyasah
Syariah ................................................................................. 13
E. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah .................. 14

BAB III PENUTUP ............................................................................... 17


A. Kesimpulan ........................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum Daulah Abbasiyah lahir telah ada terlebih dahulu Daulah
Umayyah yang diprakarsai oleh Muawwiyah. Pada masa Umayyah
pemerintahan yang demokratis berubah menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun menurun). Ketika dinasti Umayyah melemah, kaum
muslimin sibuk mencari figur-figur pemimpin yang mampu
mengembalikan kaum muslimin ke jalan yang benar dan menciptakan
keadilan diantara mereka. Mereka berpendapat bahwa figur yang mampu
berbuat demikian harus dari Bani Hasyim. Ditulis dan dikirimlah surat
tersebut ke Abu Hasyim Abdullah bin Abu Thalib, salah seorang ulama
terpercaya. Tidak lama kemudian kabar (surat) itu sampailah kepada
Khilafah Bani Umayyah, Suliaman bin Abdul Malik, sehingga Abu
Hasyim merasa terancam nyawanya. Dia lalu melarikan diri ke Hamimah,
yang masuk ke wilayah Damaskus, disitulah sang paman, Ali As-sajjad
bin Abdullah bin Abbas tinggal. Ketika akan meninggal, Abu Hasyim
menyerahkan surat-surat yang diterimanya kepada Muhammad bin
Abdullah bin Abbas dan berkata “Dirikanlah dinasti baru dan pewarisnya
adalah anak-cucumu”. Maka Muhammad bin Abdullah bin Abbas
melaksanakan wasiat itu. Ia mengumpulkan orang-orang kepercayaannya
untuk menyerukan kelemahan-kelemahan Dinasti Umayyah.
Daulah Abbasiyah dimulai pada tahun 120-350 H atau 737-961 M.
Pemimpin pertama zaman Abbasiyah adalah Abu Abbas Abdullah bin
Abdul Muthalib. Beliau merupakan kakak dari ayahanda Nabi Muhammad
SAW yang terkenal dengan gelar Abu Abbas As-Saffah. Melihat uraian
diatas, maka kami tertarik untuk menulis makalah yang membahas tentang
persoalan-persoalan diatas dengan judul: ”Ketatanegaraan pada masa
Abbasiyah ”.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal pembentukan pemerintahan dinasti abbasiyah ?
2. Bagaimana sistem pemerintahan dinasti abbasiyah ?
3. Kapan masa kejayaan pemerintahan dinasti abbasiyah ?
4. Bagaimana kedududkan pemerintahan dinasti abbasiyah dalam siyasah
syariah ?
5. Apa yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran dinasti abbasiyah ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana awal pembentukan pemerintahan dinasti
abbasiyah !
2. Untuk mengetahui bagaimana sistem pemerintahan dinasti abbasiyah !
3. Untuk mengetahui kapan masa kejayaan pemerintahan dinasti
abbasiyah !
4. Untuk mengetahui bagaimana kedududkan pemerintahan dinasti
abbasiyah dalam siyasah syariah !
5. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan kemunduran dan
kehancuran dinasti abbasiyah !

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Pemerintahan Dinasti Abbasiyah


Sejak Umar bin Abd. Aziz (717-720 M / 99-101 H) khalifah ke-8
dari Daulah Umayyah - naik tahta telah muncul gerakan oposisi yang
hendak menumbangkan Daulah tersebut yang dipimpin oleh Ali bin
Abdullah, cucu Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi dari kelompok
Sunni. Kelompok Sunni ini berhasil menjalin kerja sama dengan kelompok
Syi’ah, karena mereka sama-sama keturunan Bani Hasyim. Kedua
kelompok di atas juga menjalin kerja sama dengan orang-orang Persia,
karena orang-orang Persia dianaktirikan oleh Daulah Umayyah, baik
secara politik, ekonomi maupun sosial. Padahal mereka sudah lebih dahulu
memiliki peradaban maju. Tujuan aliansi adalah menegakkan
kepemimpinan Bani Hasyim dengan merebutnya dari tangan Bani
Umayyah. Untuk mencapai tujuan itu berbagai kelemahan Daulah
Umayyah, mereka manfa’atkan sebaik-baiknya.1
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama
yang merupakan pusat kegiatan, anatara satu dengan yang lain memiliki
kedudukan tersendiri dalam memainkan peranya untuk menegakan
kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul
Muthalib.Dari nama Al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini di
sandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah, dan
Khurasan. Keluarga Abbasiyah bermukim di kota Humaimah, yang
dipimpin oleh al-Imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar
berdirinya Dinasti Abbasiyah. Para penerang Abbasiyah berjumlah 150
orang dibawah 12 orang pemimpin, mereka semua berada dibawah
kepemimpinan Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilakukan denga strategi yang cukup
matang dengan gerakan rahasia. Akan tetapi Marwan binMuhammad yang
merupakan khalifah terakhir dari Dinasti Umayyah, mengetahui gerakan

1
Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam, 3rd ed. (Riau: Puataka Riau, 2013), 179.

3
yang dilancarkan oleh Imam Ibrahim selaku pimpinan Abbasiyah. Ibrahim
akhirnya tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah, dipenjara dan
kemudian di eksekusi mati. Pimpinan aliansi dilanjutkan oleh saudaranya
yang bernama Abul Abbas yang kelak menjadi khalifah pertama dari
Dinasti Abbasiyah. Abul Abbas segera memindahkan markasnya dari
Humaimah ke Kufah dan bersembunyi disana.
Sementara itu Abu Muslim memerintahkan panglimanya yang
bernama Quthaibah bin Syahib untuk merebut Kufah. Dalam gerakan
menuju Kufah dia di hadang oleh pasukan Dinasti Umayyah di Kerbala.
Pertempuran sengitpun terjadi, dia memenangka peperangan itu meskipun
dia tewas. Anaknya Hasan memegang kendali selanjutnya dan bergerak
menuju Kufah, dan melalui pertempuran yang tidak begitu berarti kota
Kufah itu dapat ditaklukkan. Abul Abbas keluar dari persembunyiannya
dan memperoklamirkan dirinya sebagai khalifah pertama, yang diberi
nama dengan Daulah Abbasiyah dan dibai’at oleh penduduk Kufah di
masjid Kufah. Mendengar hal itu, khalifah Marwan menggerakkan
pasukan berkekuatan 120.000 orang tentara menuju Kufah. Untuk itu,
Abul Abbas memerintahkan pamannya Abdullah bin Ali menyongsong
musuh tersebut. Kedua pasukan itu bertemu di pinggir sungai Zab, anak
sungai Tigris. Pasukan Umayyah berperang tanpa semangat dan menderita
kekalahan. Abdullah bin Ali melanjutkan serangan ke Syiria. Kota demi
kota berjatuhan. Terakhir Damaskus, ibu kota Daulah Umayyah menyerah
pada tanggal 26 April 750 M. Namun khalifah Marwan melarikan diri ke
Mesir, dan dikejar oleh pasukan Abdullah. Akhirnya dia tertangkap dan
dibunuh pada tanggal 5 Agustus 750 M.
Dengan demikian, setelah Marwan bin Muhammad terbunuh
sebagai khalifah terakhir Daulah Umayyah, maka secara resmi berdiri
Dinasti Abbasiyah. Sementara orang- orang Syi’ah tidak memperoleh
keuntungan politik dari kerjasama ini, dan mereka terpaksa memainkan

4
peranan lagi sebagai kelompok oposisi pada pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah ini berkuasa selama 508 tahun lamanya. 2

B. Sistem Pemerintahan Dinasti Abbasiyah


Zhill Allah fî al-Ard” (Naungan Allah di Atas Bumi) adalah sebuah
istilah populer di kalangan sejarawan ketika membincang era Abbasiyah.
Ungkapan ini muncul dari pernyataan Abu Ja’far al-Manshur ketika
berhasil menumbangkan Dinasti Umayyah. Konsekuensi dari pernyataan
ini adalah bahwa kekuasaan khalifah berasal dari mandat Tuhan, bukan
pilihan rakyat. Oleh karenanya, kekuasaan dipandang suci dan mutlak
harus dipatuhi oleh umat Islam. Secara garis besar sistem pemerintahan
Dinasti Abbasiyah ini mirip dengan Dinasti Umayyah sebelumnya, yakni
masih bersifat monarki dan khalifah dipilih secara turun-temurun
berdasarkan ikatan keluarga atau keturunan. Namun, ada beberapa aspek
yang membedakan Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti Umayyah. Aspek-
aspek yang menjadi identitas dan karakteristik tersendiri bagi Bani Abbas,
yaitu :
1. Pemerintahan Abbasiyah dinyatakan sebagai “Daulah”, dan memilih
Baghdad -bukan lagi Damaskus- sebagai pusat pemerintahannya.
2. Dominasi bangsa Arab dalam kekuasaan mulai berkurang.
Keberadaan mawâli di dalam pemerintahan cukup memberikan arus
perubahan dalam warna dan corak pemerintahaan di era ini. Walhasil,
diskriminasi Arab atas mawâli yang di era Umayyah begitu kental,
berangsur-angsur hilang.
3. Pemerintahan Abbasiyah adalah pemerintahan non-Arab di mana
orang-orang Khurasan dan Persia sangat menonjol dalam
pemerintahan, sedang zaman Umayyah adalah Arab murni yang sangat
peka terhadap suku Arab (Quraisy).
4. Kepemimpinan dan pemerintahan tidak tergantung sumpah setia dan
pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5. Kekuatan militer melemah jika dibandingkan pada masa Umayyah.

2
Ummu Kalsum, Sejarah Peradaban Islam : Klasik Dan Pertengahan (Pamekasan: Duta Media
Publishing, 2021), 105- 106.

5
Luas wilayah kekuasaan yang begitu luas tidak didukung dengan
sistem pengelolaan pemerintahan dan pengawasan yang baik.
Alasan ini memicu terbentuknya kekuatan-kekuatan Islam lain yang
dapat merongrong kekuasaan. Setidaknya ini terlihat dengan
keberadaan kekuasaan Umayyah II yang berpusat di Andalusia dan
Dinasti Fathimiyyah yang mampu membangun perabadan Islam di
benua Afrika.

Sistem monarki absolut yang mewarnai kekuasaan Dinasti


Abbasiyah sejatinya berbeda dengan sistem monarki yang pernah
dipraktikkan di era Umayyah. Dari sekian poin yang diuraikan di atas, hal
yang perlu digarisbawahi adalah dalam sistem pengangkatan khalifah
(pemimpin). Pada masa Abbasiyah, pengangkatan seorang khalifah tidak
harus diawali dengan baiat dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi
kekuasaan, sedangkan pada masa Umayyah, baiat adalah sebuah
keharusan. Perlu dicatat, bahwa ketika al-Ma’mun berkuasa, ia
menganggap bahwa jabatan khalifah bukan milik perseorangan yang akan
diwariskan kepada keturunannya. Khalifah adalah jabatan bagi orang yang
memang memiliki kemampuan dan cakap di bidang itu. Oleh karenanya,
al-Ma’mun tidak melantik putra-putranya, melainkan saudaranya, al-
Mu’tashim, karena dipandang mampu dan cakap memimpin umat Islam. 3

Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai


sistem politik. Ketika Daulah Abasiyah memegang tampuk kekuasaan
tertinggi islam, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat
panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H (750 M-1258 M) yang dibagi
menjadi 5 periode :

1. Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut periode


pengaruh Persia pertama.

3
Ahmad Tabrani Dkk, Modul Perkembangan Islam Pasca Khulafaur Rasyidin, 3rd ed. (Jakarta:
Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2023), 28-29.

6
2. Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Di sebut masa pengaruh
Turki pertama.
3. Periode ke tiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan
dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.
4. Periode ke empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan
kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh
Turki dua.
5. Periode ke lima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M). Merupakan masa
mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban islam. 4

Sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Bank Abbasiyah


merupakan pengembangan dari bentuk yang sudah belumnya, Bani Abbas
mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek,
yaitu aspek khilafah, wizarah, hijab dan kitabah.

1. Aspek Khilafah
Berbeda dengan pemerintahan Bani Umaiyah sebelumnya, Bani Abbas
menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap
agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk
memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan mereka terhadap
rakyat. Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini terlihat
pertama kali dalam pernyataan al-Manshur bahwa dirinya adalah wakil
Allah di bumi-Nya (Zhill Allâh fi al-Ardh). Pernyataan ini telah
menggeser pengertian khalifah sebelumnya dalam Islam. Abu Bakar
yang dilantik sebagai khalifah pertama tidak menyatakan dirinya
sebagai khalifah Tuhan, tetapi khalifah Rasulullah. Sebab, ia
menggantikan kedudukan diri Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai
pemimpin politik dan ke agamaan. Abu Bakar tidak menggantikan
posisi beliau sebagai Rasul Setelah 'Umar memerintah, gelar Khalifah
malah digantinya dengan Amir al-Mu'minîn. Karenanya, Abu Bakar
dan 'Umar tidak merasa diri mereka mutlak benar dan harus diikuti.
Mereka membutuhkan kontrol sosial dari segenap rakyatnya agar dapat

4
A. Najili Aminullah, “Dinasti Bani Abbasiyah, Politik, Peradaban Dan Intelektual,” Geneologi
PAI:Jurnal Pendidikan Agama Islam 3, no. 2 (2016): 17–30, http://jurnal.uinbanten.ac.id.

7
menjalankan pemerintahan dengan baik dan benar. Sementara pada
masa Bani Umaiyah, kekuasan mereka lebih terpusat pada urusan
politik.5
2. Aspek Wizarah
Wizarah adalah salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu
tugas-tugas kepala negara. Orang yang membantu dalam pelaksanaan
tugas-tugas kenegaraan tersebut disebut wazîr. Sebelum masa Bani
Abbas, wizarah memang sudah ada, namun belum terlembaga. Pada
zaman Nabi SAW yang membantu tugas-tugas kenegaraan beliau
antara lain adalah Abu Bakar dan pada masa Abu Bakar, ia dibantu
oleh ‘Umar. Pada zaman wazir Bani Umaiyah hanya berfungsi sebagai
penasehat.
Pada masa Bani Abbas, di bawah pengaruh kebudayaan Persia, wazir
ini mulai dilembagakan. Dalam pemerintahan al-Saffah, wazir yang
diangkatnya adalah Abu Salamah al-Khallal bin Sulaiman al-
Hamadzani. Wazir ini bertugas sebagai tangan kanan khalifah. Dia
menjalankan urusan-urusan kenegaraan atas nama khalifah. Dia berhak
mengangkat dan memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah
bahkan hakim. Wazir juga berperan mengoordinasi departemen
(Diwan), seperti Departemen Perpajakan (Diwan al-K men Pertahanan
(Diwan al-Jaisy), dan Departemen Keuangan (Di Bayt al-Mal). Kepala
departemen ini terkadang disebut dengan wazir. Akan tetapi mereka
tetap mengikut dan tetap berada di kekuasaan wazir koordinator. yang
dikepalai oleh masing-masing wazir ini merupakan pemerintahan Bani
Abbas yang disebut dengan Diwan al-'Aziz Departemen-departemen
kabinet dalam -Kharaj).
Berdasarkan hal ini, al-Mawardi ahli tata negara pada masa Bani
Abbas, membagi wazir menjadi dua bentuk. Pertama, wazîr al-
tafawidh yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan
berbagai ke jaksanaan kenegaraan. la juga merupakan koordinator
kepala-kepala departemen. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana

5
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2014), 98.

8
Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazîr tafwidh ini, maka orang
yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan
khalifah. Kedua, wazîr al-tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas
sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazîr tafwidh.
Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri. 6
3. Aspek Kitabah
Besarnya pengaruh wazir-wazir dalam pemerintahan membutuhkan
tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya dalam mengoordinasi
masing-masing departemen. Untuk itu, wazir pun mengangkat para
kâtib untuk menempati pos-posnya. Di antara jabatan katib ini adalah
katib al- rasail, katibal-kharaj, katib al-jund, katib al-syurthah, dan
kâtib al-qadhi, 15 Sesuai dengan namanya, para kâtib (kuttab) bertugas
dalam bidang masing-masing. Di antara jabatan katib yang paling
strategis dan penting adalah jabatan kâtib al-rasa'il. la bertugas
mengumumkan keputusan atau undang-undang, menyusun dan
mengonsep surat- surat politik dengan bahasa yang baik dan indah
sebelum disahkan oleh khalifah serta mengeluarkan surat-surat resmi
negara. Itulah sebabnya khalifah memilih kâtib al-rasâ'il ini dari
kalangan ahli sastra. Katib al-rasa'il ini dapat disebut juga asisten
pribadi (aspri) Khalifah atau Sekretaris Negara, karena dia duduk
berdampingan dengan Khalifah fah dalam menentukan keputusan
negara dan kepada masyarakat. Tampaknya ada perbedaan tugas
antara kepala dewan dan kätib. Kepala dewan (wazir tanfidz) bertugas
mengurus departemen yang mereka pimpin dan menjalankannya sesuai
dengan petunjuk khalifah atau wazir tafwidh. Adapun karib bertugas
mengawasin departemen. Ia bertugas dalam bidang kesekretariatan
pada masing- masing departemen.
4. Aspek Jilbab
Hijabah berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem politik Bani
Abbas, hajib (petugas hijab) berarti pengawal khalifah, karena tugas
dan wewenang mereka adalah menghalangi dan membata agar tidak

6
Ibid, 99-100.

9
semua orang bebas bertemu dengan Khalifah Bani Abbas Mereka
bertugas menjaga keselamatan dan keamanan khalifah. Pada masa al-
Khulafa al-Rasyidin hijabah ini tidak ada dan tidak dibutuh kan. Siapa
saja boleh bertemu dengan khalifah kapan saja tanpa ada halangan.
Bahkan khalifah bergaul membaur bersama-sama mereka secara
intens. Setelah terjadi pembunuhan terhadap diri khalifah 'Ali,
Mu'awiyah, sebagaimana disebutkan di atas sebelumnya, bersikap
lebih hati-hati. la memutuskan bahwa tidak sembarang orang bisa
bertemu dengan khalifah. Pada masa Bani Abbas, protokoler ini lebih
diperketat. Orang tidak diperkenankan masuk istana dan bertemu
dengan khalifah, kecuali untuk hal-hal yang sangat penting. Bila ada
tamu yang datang, hajib terlebih dahulu menanyakan maksud dan
tujuannya. Setelah itu, barulah hajib memutuskan boleh tidaknya ia
bertemu dengan khalifah. Kalau boleh, hajib sendiri yang
mengantarkannya kepada khalifah.
Adanya hajib ini tampaknya merupakan suatu kebutuhan dalam
pemerintahan. Kompleksnya permasalahan kenegaraan dan
kemasyarakatan serta luasnya daerah pemerintahan Bani Abbas
menuntut perlunya khalifah bersikap ekstra hati-hati terhadap segala
kemungkinan buruk yang dapat menimpa diri mereka. Jadi dapat
dipahami bahwa hajib ini kurang lebih sama dengan pengawal
pengamanan presiden (paspampres) pada masa sekarang. Harun
Nasution menyebutkan bahwa hajib dapat diartikan sebagai kepala
rumah tangga istana. Bahkan,hajib yang kuat bisa inemiliki kekuasaan
yang lebih besar dari wazir, Hajib memegang kedudukan penting
dalam pemerintahan Bani Abbas. la mempunyai pengaruh dalam
sebagai besar urusan pemerintahan. Menteri-menteri departemen harus
mendapat persetujuan hajib dalam melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan.7

Selain empat aspek tersebut di atas, untuk urusan daerah (provinsi),


khalifah Bani Abbas mengangkat kepala daerah (amir) sebagai pembantu

7
Ibid, 101 - 102.

10
mereka. Ketika mereka masih kuat, sistem pemerintah ini bersifat
sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang
diwakili oleh wazir.

C. Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah


Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang
berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan
positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari
sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang
khalifah yang benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya,
seperti bidang-bidang sosial dan budaya. 8
1. Kemajuan dalam bidang politik dan militer
Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mancolok anatara
pemerinatah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah,
terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerinath
Dinasti Bani Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu
pada upaya perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara pemerinath
Dinasti Bani Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga masa
pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam.
Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan
tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu,
pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik
pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik,
maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen
pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen
inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan
pertahanan keamanan.Pembentuka lembaga ini didasari atas kenyataan
polotik militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah,

8
Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam, Book, 1st ed. (Sulawesi Selatan: STAIN Pare-pare
Sulsel, 2017), 221.

11
banayak terjadi pemebrontakan dan bahkanbeberapa wilayah berusaha
memisahkan diri dari pemerintahan Dinasyi Abbasiyah
2. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
Keberahasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam
secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang
mendukung. Di anataranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani
Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab ( Mawali ), yang memiliki
tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi
kehidupan mereka. Meraka diberikan fasilitas berupa materi atau
finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu
pengetahuan malalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau
dikaji oleh masyarakat sebelumnya.
Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang
membawa harum dinasyi ini.Kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban islam juga terjadi pada bidang ilmu sejarah, ilmu bumi,
astronomi dan sebagainya. Dianatar sejarawan muslim yang pertama
yang terkenal yang hidup pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq
(w. 152 H / 768 M ).
3. Kemajuan dalam ilmu agama islam
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang
lima abad ( 750-1258 M ), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama,
tidak lepas dariperan serta para ulama dan pemerintah yang memberi
dukungan kuat, baik dukungan moral, material dan finansia, kepada
para ulama. Perhatian yang serius dari pemeruntah ini membuat para
ulama yangingin mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi
yangkuat, sehingga mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan
memajukan ilmu pengetahuan dan perdaban Islam. Dianata ilmu

12
pengetahuan agama Islam yang berkembang dan maju adalah ilmu
hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf.

D. Kedududkan Pemerintahan Dinasti Abbasiyah Dalam Siyasah


Syariah
Fiqh Siy sah Syar’iyah telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.
Dalam mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial budaya
yang diridhai Allah SWT. Terutama tampak setelah Rasulullah SAW.
melakukan hijrah. Meskipun demikian bukan berarti bahwa fakta yang
sama tidak ditemukan ketika Rasulullah SAW. masih tinggal di Mekkah.
Pada masa itu, Rasulullah SAW. lebih memusatkan perhatian atas
perencanaan daripada pelaksanaan hal-hal yang berhubungan dengan fiqh
Siy sah Syar’iyah.Pada masa Abbasiyah, ada Ulama Sunny yang mulai
menulis tentang siyasah, yaitu Ibn Abi Rabi’, mempersembahkan buku
kepada khalifah al-Mu’tashim berjudul ”Suluk al-Malik fi Tadbir al-
Mamalik” (pedoman raja dalam menjalankan roda pemerintahan).
Meskipun buku tersebut dianggap memuja raja, tetapi alur
pikirtentang ”tata negara” sudah diwujudkan. Ibnu Abi Rabi’ menekankan
wajib secara mutlak, rakyat patuh terhadap khalifah. Ia digambarkan
sebagai khalifah yang adil, bijak dan mampu memberi kesejahteraan pada
rakyatnya. Dalam teorinya terdapat kata ”kota dan negara”, merupakan
kerja sama antar manusia yang membentuk negara tersebut. Imam al-
Ghazali (1058 - 1111 M) dalam bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad,
menyetujui teori tersebut dan mengomentari bahwa misi kepala negara
adalahsuci (qudus). Berbeda dengan komentar al-Mawardi (975 - 1059 M)
bahwa memecatkepala negara mungkin terjadi. Ia mengemukakan teori
”kontrak sosial”. Mengangkat kepala negara adalah proses kontrak sosial.
Praktek pemerintahan Dinasti Abbasyiah ini memiliki ciri-ciri
khusus yang membedakan dengan praktek pemerintahan sebelumnya
yakni Khulafa Al-Rasyidin dan Dinasti Bani Umayyah, Yaitu9:
1. Pertama, unsur perekat bangsa adalah agama,

9
David Aprizon Putra Syarial Dedi, Mabrul Syah, Fiqh Siyasah, 1st ed. (Bengkulu: LP2 IAIN
Curup, 2019).

13
2. Kedua, Jabatan Khalifah adalah suatu jabatan yang tidak bisa
dipisahkan dari Negara
3. Ketiga, kepala pemerintahan eksekutif dijabat oleh seorang wazir,
4. Keempat, Dinasti ini lebih menekankan kebijaksanaannya pada
konsolidasi dan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi
5. Kelima, Dinasti ini bersifat universal karena muslim Arab dannon-
Arab adalah sama
6. Keenam, corak pemerintahannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Persia
7. Ketujuh, kekuasaan khalifah yang bersifat absolut sangat menonjol
8. Delapan, Dinasti ini memanfaatkan kemajuan ekonomi untuk
mengembangkan penelitian-penelitian ilmiah diberbagai bidang
sehingga mencapai prestasi-prestasi gemilang yang mengagumkan
dunia.

Penerangan dan pembinaan hukum digalakkan, dan pembinaan


akhlak masyarakat sangat diperhatikan. Perubahan sistem politik pada
masa Abbasyiah ini dapat dilihat dari cara rekruitmen pembantu-pembantu
Khalifah. Ketika Bani Umayyah berkuasa yang berpusat di Damaskus,
para penguasa dan para pembantunya seluruhnya dari orang- orang Arab.
Oleh karena itu Dinasti Bani Umayyah dsebut Dinasti Arab murni atau
Arab sentries. Lain halnya dengan Dinasti Abbasyiah, lebih
mengutamakan sifat keislaman disbanding Arabismenya. Ini terbukti
ketika Dinasti Abbasyiah berkuasa banyak memakai orang-orang Persia
sebagai pembantu-pembantunya, terutama dari Khurasan.

E. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah


Periode disintegrasi ditandai dengan menurunya kekuasaa Khalifah
di bidang politik karena dilanda perpecahan. Politik sentral Khalifah telah
berpindah kedaerah-daerah. Pemerintahan Daulah Abbasiyah banyak
melakukan tidakan yang tidak menyenangkan rakyat yang mengakibatkan
rakyat menjauhkan diri dari pemerintahan pusat dan mendirikan
pemerintahan-pemerntahan kecil didaerah, akibatnya kekuasaan sentral

14
pusat menjadi hilang peranannya kalau tidak diktakan lumpuh, maka
Khalifah hanya sebagai lambang belaka. Akibat dari itu semua Khalifah
Abbasiyah yang lemahmeminta bantuan kepada Dinasti yang kuat di
daerah untukmembantunya mengatasi tekanan Sultan yang telah terlebih
dahulu masuk dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah. 10
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi
awal kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses kausalitas
sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal,
ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya,
budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay, disamping
itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke
wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh
Hulagu Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab
kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.
Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang
kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai
menurun dan akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa
faktor dalam keruntuhan Dinasti Abbasyiah, yaitu:
1. Faktor Internal11
a. Ketidak Mampuan Para Khalifah
b. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
c. Luasnya Wilayah Kekuasaan dan Lemahnya Ekonomi
d. Persaingan antara Sunni dan Syiah
2. Faktor Eksternal12
Adapun salah satu faktor eksternal yang menjadi penyebab melemah
dan hancurnya Dinasti Abbasiyah adalah.
a. Pertama, adanya perang Salib. Kekalahan tentara Romawi telah
menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen
terhadap ummat Islam.

10
Nasution, Op.Cit 195.
11
Kalsum, Op.Cit, 118.
12
Ibid, 120.

15
b. Kedua, Serangan tentar Mongol ke Negara Muslim. Orang-orang
Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah
kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang
kemudian disatukan oleh Jenghis Khan.

16
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Marwan bin Muhammad terbunuh sebagai khalifah terakhir Daulah


Umayyah, maka secara resmi berdiri Dinasti Abbasiyah. Sementara orang-
orang Syi’ah tidak memperoleh keuntungan politik dari kerjasama ini, dan
mereka terpaksa memainkan peranan lagi sebagai kelompok oposisi pada
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah ini berkuasa selama
508 tahun lamanya.

Sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Bank Abbasiyah


merupakan pengembangan dari bentuk yang sudah belumnya, Bani Abbas
mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek,
yaitu aspek khilafah, wizarah, hijab dan kitabah. Selain empat aspek
tersebut di atas, untuk urusan daerah (provinsi), khalifah Bani Abbas
mengangkat kepala daerah (amir) sebagai pembantu mereka. Ketika
mereka masih kuat, sistem pemerintah ini bersifat sentralistik. Semua
kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang diwakili oleh
wazir.

Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang


berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan
positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam,
kemajuan dalam bidang, sosial budaya, militer, agama dan ilmu
pengetahuan semua itu merupakan bentuk kejayaan bani abbasiyah selama
mejadi penguasa.

Praktek pemerintahan Dinasti Abbasyiah ini memiliki ciri-ciri


khusus yang membedakan dengan praktek pemerintahan sebelumnya
yakni Khulafa Al-Rasyidin dan Dinasti Bani Umayyah, Yaitu Pertama,
unsur perekat bangsa adalah agama, Kedua, Jabatan Khalifah adalah suatu
jabatan yang tidak bisa dipisahkan dari Negara Ketiga, kepala
pemerintahan eksekutif dijabat oleh seorang wazir, Keempat, Dinasti ini

17
lebih menekankan kebijaksanaannya pada konsolidasi dan peningkatan
laju pertumbuhan ekonomi, Kelima, Dinasti ini bersifat universal karena
muslim Arab dannon-Arab adalah sama, Keenam, corak pemerintahannya
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia Ketujuh, kekuasaan khalifah
yang bersifat absolut sangat menonjol, Delapan, Dinasti ini memanfaatkan
kemajuan ekonomi untuk mengembangkan penelitian-penelitian ilmiah
diberbagai bidang sehingga mencapai prestasi-prestasi gemilang yang
mengagumkan dunia.
Terdapat factor internal dan eksternal yang menyebabkan
kemuduran bani abbasiyah
1. Faktor Internal: ketidak mampuan para khalifah, munculnya dinasti-
dinasti kecil yang memerdekakan diri, luasnya wilayah kekuasaan dan
lemahnya ekonomi, persaingan antara sunni dan syiah
2. Faktor Eksternal: Adapun salah satu faktor eksternal yang menjadi
penyebab melemah dan hancurnya Dinasti Abbasiyah adalah. Pertama,
adanya perang Salib. Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan
benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat
Islam.

18
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah, A. Najili. “Dinasti Bani Abbasiyah, Politik, Peradaban Dan


Intelektual.” Geneologi PAI:Jurnal Pendidikan Agama Islam 3, no. 2 (2016):
17–30. http://jurnal.uinbanten.ac.id.

Dkk, Ahmad Tabrani. Modul Perkembangan Islam Pasca Khulafaur Rasyidin. 3rd
ed. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,
2023.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2014.

Kalsum, Ummu. Sejarah Peradaban Islam : Klasik Dan Pertengahan.


Pamekasan: Duta Media Publishing, 2021.

Nasution, Syamruddin. Sejarah Peradaban Islam. 3rd ed. Riau: Puataka Riau,
2013.

Sewang, Anwar. Sejarah Peradaban Islam. Book. 1st ed. Sulawesi Selatan:
STAIN Pare-pare Sulsel, 2017.

Syarial Dedi, Mabrul Syah, David Aprizon Putra. Fiqh Siyasah. 1st ed. Bengkulu:
LP2 IAIN Curup, 2019.

19

Anda mungkin juga menyukai