Anda di halaman 1dari 25

DINASTI UMAYYAH (661-750 M)

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tarikh Al-Hadarah Islamiyyah

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ajid Thahir, M. Ag
Dr. Ajid Hakim, M. Ag

Oleh:
Nisa Nurfadilah 2210090033
Risydatul Latiefah 2210090036

PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA ARAB


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniaNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah
yang berjudul “Dinasti Umayyah (661-750 M)” untuk memenuhi salahsatu tugas mata kuliah
Tarikh Al-Hadarah Islamiyyah. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan kepada junjungan
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari kebodohan kepada alam
yang penuh ilmu pengetahuan.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kelemahan. Untuk itu agar ada kritik dan saran yang membangun bagi penulis dari para
pembaca makalah ini. Penulis menerima dengan rendah hati kritik dan saran dari para pembaca
guna tercapai kesempurnaan dimasa yang akan datang.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini. Mudah-mudahan memberikan manfaat serta menambah ilmu
khusus bagi penulis, umumnya bagi siapa saja yang membaca makalah ini.

Bandung, 23 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Berdirinya Dinasti Umayyah........................................................................................3
B. Pola pemerintahan Dinasti Umayyah...........................................................................5

C. Ekspansi wilayah Dinasti Umayyah.............................................................................7

D. Sumbangan peradaban Islam pada masa Dinasti Umayyah.........................................8

E. Hukum dan pendidikan pada masa Dinasti Umayyah.................................................11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..............................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus mulai terbentuk sejak terjadinya
peristiwa tahkim pada Perang Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas
kematian Khalifah Utsman bin Affan itu, semula akan dimenangkan oleh pihak Ali, tetapi
melihat gelagat kekalahan itu, Muawiyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali untuk
kembali kepada hukum Allah.

Dalam peristiwa tahkim itu, Ali telah terperdaya oleh taktik dan siasat Muawiyah
yang pada akhirnya ia mengalami kekalahan secara politis. Sementara itu, Muawiyah
mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah, sekaligus raja.
Peristiwa ini di masa kemudian menjadi awal munculnya pemahaman yang beragam dalam
masalah teologi, termasuk tiga kekuatan kelompok yang sudah mulai muncul sejak akhir
pemerintahan Ali yaitu Syiah, Muawiyah itu sendiri dan Khawarij.

Dinasti Umayah selalu dibedakan menjadi dua: Pertama, Dinasti Umayah yang
dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Syiria).
Fase ini berlangsung sekitar 1 abad (sekitar 90 tahun) dan mengubah sistem pemerintahan
dari sistem khilafah kepada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki); Kedua, Dinasti
Umayah di Andalusia (Spanyol) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan
Umayyah yang dipimpin oleh Gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Al Malik, kemudian
di ubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil
menaklukan Bani Umayah di Damaskus.

Jika melihat Dinasti Bani Umayyah, secara khusus yang berpusat di Damaskus,
maka perlu untuk memberikan perspektif secara utuh dari mulai awal terbentuknya, pola
pemerintahannya, masa kejayaannya dengan melihat sumbangan apa yang sudah mereka
berikan terhadap peradaban umat Islam termasuk hukum dan pendidikan masa zaman itu.
Maka dari itu penulis akan sedikit membahas dalam makalah ini mengenai aspek-aspek
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman terbentuknya Dinasti Umayyah?
2. Bagaimana pola pemerintahan Dinasti Umayyah?
3. Bagaimana ekspansi wilayah Dinasti Umayyah?

1
4. Bagaimana sumbangan peradaban Islam pada masa Dinasti Umayyah?
5. Bagaimana hukum dan pendidikan pada masa Dinasti Umayyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Bagaimana terbentuknya Dinasti Umayyah.
2. Untuk mengetahui pola pemerintahan Dinasti Umayyah.
3. Untuk mengetahui ekspansi wilayah Dinasti Umayyah.
4. Untuk mengetahui sumbangan peradaban Islam pada masa Dinasti Umayyah.
5. Untuk mengetahui hukum dan pendidikan pada masa Dinasti Umayyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terbentuknya Dinasti Umayyah
Setelah terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib, maka kedudukannya digantikan dan
dijabat oleh anaknya Hasan. Ia memegang kekhalifahan setelah kematian ayahnya, Ali bin
Abi Thalib dengan pembaiatan yang dilakukan oleh orang-arang yang ada di Kufah (suatu
kota yang ada di Irak, bagian Barat dari sungai Eufrat) dan tinggal di sana selama kurang
lebih enam bulan. Pada suatu hari datanglah Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Hasan
dengan melakukan perundingan. Dia berupaya agar Hasan menyerahkan kekuasaan
khalifah kepadanya dengan syarat tidak seorang pun menuntut kepadanya dari kalangan
orang-orang Madinah, Hijaz, dan Irak.
Permasalahan yang terjadi pada masa ayahnya, Ali bin Abi Thalib dengan menunaikan
ataupun melepaskan segala hutang-hutangnya dan itu disanggupi oleh Mu’awiyah seperti
yang diinginkan oleh Hasan dan karenanya ia pun membuat perjanjian damai. Maka
tercapailah perdamaian di antara kedua belah pihak. Perjanjian inilah yang kemudian
akhirnya dapat mempersatukan Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik,
kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa yang absolut dalam sejarah pemerintahan Islam. Di mana
tahun 41 H/661 M atau tahun persatuan dikenal dalam sejarah sebagai tahun bersatunya
umat Islam (‘am jama’ah) (Hasan Ibrahim, 1989, 64).
Selain itu, ‘am jama’ah juga menandai akhir dari era Khulafa’ al-Rasyidin dan awal
era pemerintahan kerajaan; dimulainya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dalam belantika
sejarah politik Islam. Seorang pemikir Islam, as-Suyuthi mengemukakan bahwa peristiwa
itu merupakan wujud dari mu’jizat nabawiyyah dalam sebuah Hadis, “Allah Swt. akan
mendamaikan dua kelompok yang bertikai dari kalangan muslim.” Hasan Ali bin Abi
Thalib R.a. turun sebagai khalifah pada 41 H pada bulan Rabi’ul Awal—sebagian
pendapat menyebut Jumadil Awal—untuk menghindari pertikaian yang terjadi dalam
pemerintahan Islam. Hasan kemudian meninggalkan kota Kufah menuju Madinah dan
tinggal di kota tersebut sampai ia meninggal karena diracuni oleh istrinya sendiri Ja’dah
binti Asy’ast bin Qaish yang belakangan kemudian diperistri oleh Yazid bin Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan wafat pada tahun 49 H atau 5 Rabi’ul Awal 50 H (Munawir Haris,
2018, 395).
Sebagai khalifah atau raja pertama Dinasti Bani Umayyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(661-680 M) membentuk pemerintahannya sebagaimana sistem kerajaan; kekuasaan
diwariskan secara turun-temurun, dan khalifah-khalifah setelahnya kerap kali bertindak
otoriter. Meski anak dari pasangan Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah bin Rabi’ah,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Ayahnya adalah
salah seorang dari pembesar atau tokoh Quraisy di zaman jahiliyah, pemimpin yang
dihormati dan disegani, serta memiliki harta yang banyak. Mu’awiyah adalah satu di antara
beberapa orang sahabat yang menjadi penulis wahyu. Bahkan, ia pernah meminta kepada
Rasulullah Saw. supaya memperisteri anak perempuannya, yaitu Azzah binti Abi Sufyan,
akan tetapi tidak terjadi. Ketika daerah Syam bisa ditaklukkan, khalifah Umar menjadikan

3
Mu’awiyah sebagai walinya (gubernur) untuk kota Damaskus setelah saudaranya Yazid
bin Abi Sufyan, dan tetap diteruskan pada masa Khalifah Usman bin Affan, bahkan daerah
kekuasaannya ditambah. Akhirnya, Mu’awiyah berhasil membangun pusat pemerintahan
di kota Damaskus dan berkuasa selama 40 tahun.
Namun, ketika Khalifah Usman dibunuh, penggantinya Khalifah Ali bin Abi Thalib
memberikan isyarat kepada Mu’awiyah dan pembesarpembesar lainnya yang terlibat
dalam pembunuhan Khalifah Usman agar turun dari jabatannya. Meski Mu’awiyah telah
dipecat sebagai gubernur Syam, tetapi penduduk Syam tetap berpihak kepadanya dan
bahkan menentang Ali. Mu'awiyah mengatakan bahwa dia tidak akan membaiat Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah sampai diserahkannya orang-orang yang membunuh Usman.
Mu’awiyah beranggapan bahwa Usman dibunuh dengan cara yang zalim, maka kemudian
terjadi peristiwa Perang Shiffin yang keputusannya beralih secara tahkim melalui
perwakilan Ali yaitu Abu Musa al-Asy’ari dan perawakilan Mu’awiyah yakni Amr bin
Ash untuk melakukan perundingan; sebuah perundingan yang merugikan pihak Ali bin
Abi Thalib, karena pihak Mu’awiyah ingkar terhadap perjanjian. Akibatnya perselisihan
semakin memanas yang membuat sebagian kalangan membentuk kelompok ketiga, pihak
yang kecewa dengan Ali dan Mu’awiyah, ialah golongan Khawarij. Umat Islam terpecah
menjadi tiga golongan. Belakangan salah seorang khawarij dari kota Kufah yang bernama
Abd al-Rahman bin Muljam diketahui membunuh khalifah terakhir, Ali bin Abi Thalib.
Para sahabat dan pengikut Ali yang kebanyakan penduduk Irak kemudian membaiat Hasan
bin Ali bin Abi Thalib R.a. (‘imad al-din, 1998, 146-147). Tetapi hampir di saat yang
bersamaan penduduk Syam juga membaiat Mu’awiyah sebagai khalifah. Hasan
memegang dan memimpin pasukan Irak, sedangkan pasukan dari Syam dimotori oleh
Mu’awiyah. Ketika dua pasukan itu berjumpa, maka diupayakan agar diadakan perjanjian
damai. Hasan akhirnya melepaskan jabatan khalifah dan menyerahkan kekuasaan kepada
Mu’awiyah, dan sejak detik itu pula tongkat kekhalifahan berada di tangan Mu’awiyah
yang kemudian dikenal sebagai tahun persatuan (‘am jamaah) sebagaimana disebutkan.
Sebetulnya, jauh sebelumnya masyarakat Syam telah membaiat Mu’awiyah sebagai
khalifah yakni setelah tragedi arbitrase (tahkim) tahun 37 H, sementara pembaiatan secara
umum dilakukan setelah perjanjian damai tahun 41 H. Mu’awiyah menyerahkan perwalian
Syam kepada Fadhalah bin Ubaid, kemudian setelahnya kepada Abi Idris Khaulani.
Pengawalan dipimpin Qais bin Hamzah, sementara Sarjun bin Manshur al-Rumi ditunjuk
sebagai sekretaris sekaligus asistennya. Mu’awiyah adalah khalifah yang pertama kali
mengangkat pengawal atau penjaga dan menerapkan sistem pemerintahan monarchi
heridetis (kerajaan turun-temurun). Yang mesti digarisbawahi adalah bahwa pada
hakikatnya pembaiatan secara umum (‘am al-jama’ah) tidak lebih dari pengakuan secara
terpaksa dalam upaya menjaga kesatuan umat. Atau dengan kata lain masuknya unsur
kekuasaan dan keterpaksaan menggantikan kesukarelaan total atau permusyawaratan.
Asas yang mendasari sistem kekhalifahan telah menyimpang ke arah sistem monarki
(Dhiau al-Din Rais, 2001, 140). Berbagai opini pun kemudian muncul dari sejumlah
kelompok Islam mengenai kekhalifahan Mu’awiyah. Kelompok Ahl al-Sunnah wa al-
Jamaah, misalnya, mengakui kekhalifahannya beberapa saat setelah tahun persatuan,
meskipun memang lebih terkesan dan banyak didorong oleh tendensi akan realitas, sebab

4
menurut mereka kekhalifahan Mu’awiyah belum berdiri atas dasar pembaiatan yang bebas
dan umum. Pandangan yang berseberangan dengan kelompok ini datang dari kaum Syi’ah,
bahwa mereka hanya mengakui kekhalifahan Ali dan anak keturunannya, serta
berpandangan bahwa kelompok selain Syi’ah adalah perampas hak-hak mereka. Dan
karena itu pula mareka tidak mengakui sama sekali kekhalifahan Mu’awiyah dan khalifah
berikutnya (Dhiau al-Din Rais, 2001, 141).
B. Pola pemerintahan Dinasti Umayyah
Sebagaimana dikemukakan bahwa Mu’awiyah adalah awal kekuasaan Bani Umayyah,
yang menerapkan monarchi heridetis (kerajaan turun-temurun) sebagai ganti dari
pemerintahan kekhalifahan yang demokratis (Philip K. Hitti, 2002, 240). Berdasarkan
data sejarah yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa kekhalifahan Mu’awiyah diperoleh
dengan dan melalui diplomasi, kekerasan, tipu daya, dan tidak melalui pemilihan dengan
suara terbanyak. Pada mulanya Mu’awiyah secara khusus tidak menginginkan adanya
perubahan sama sekali. Dia menghormati kekuatan-kekuatan yang ada, dengan tetap
membatasi dirinya pada penyeimbangan secara bijaksana antara satu kesatuan denga
kekuatan lainnya. Dia juga sangat berhati-hati untuk memperlakukan kekuatan berbagai
kelompok suku yang ada. Sebagai contoh, mereka yang mendukung ‘Ali diperlakukannya
dengan “penghormatan” dan kebesaran yang tak terduga dan tanpa rasa malu, dan
sebaliknya justru dia menerima dukungan mereka yang diperlukannya Kesuksesan
kepemimpinan secara turun-temurun sesungguhnya dimulai ketika Mu’awiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid. Dilihat
dari bentuk pemerintahannya, sebenarnya Mu’awiyah bermaksud mencontoh monarki di
Persia dan Byzantium (Philip K. Hitti,2002, 240). Dalam buku-buku sejarah menyebutkan
bahwa ide awal pewarisan kekhalifahan berasal dari al-Mughirah ibn Syu’bah (Abi Ja’far,
1967, 301), yang kala itu menjabat sebagai gubernur Kufah di masa Mu’awiyah. Dialah
yang memberi saran kepada Mu’awiyah untuk mengangkat anaknya Yazid untuk menjadi
khalifah penggantinya. Ketika itu, Mu’awiyah juga sudah meminta pandangan Ziyad,
Gubernur Basrah pada waktu itu berkenan dengan hal tersebut. Dengan pertimbangan
Ziyad, Mu’awiyah tidak tergesa-gesa dan bertindak gegabah dalam mengambil keputusan.
Tetapi setelah kematian Ziyad, keinginan untuk menjadikan anaknya sebagai putra
mahkota kembali menguat dan semakin bulat.

Tak dapat disangkal bahwa Mu’awiyah dalam memimpin masih tetap menggunakan
istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah”, dalam pengertian

5
penguasa yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90
tahun. Oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan ibu kota negara yang sebelumnya di Madinah
dipindahkan ke Damaskus. Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus
melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari
pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota
yang kosmopolitan. Dari kota inilah Daulah Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan
Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab
(Philip K. Hitti, 2002, 240). Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah
antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke Sungai Oxus, Afganistan
sampai ke Kabul, kemudian dilanjutkan ke Byzantium, bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai daerah Balukistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maltan (Harun
Nasution, 1990, 58-61). Konsolidasi internal dilakukan sejak masa pemerintahan
Mu’awiyah dengan tujuan untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan
keamanan dalam negeri, antisipasi atas setiap gerakan pemberontakan, dan untuk
memperlancar program pemerintah. Idealnya konsolidasi tersebut dijadikan sebagai
prasarana menuju keberhasilan programprogram dinasti. Ada lima Diwan al-Jund (Dinas
Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Dinas Urusan Administrasi dan Surat atau The
Board of Correspondence), Diwan al-Barid (Dinas Urusan Pos atau The Board of Posts),
Diwan al-Kharaj (Dinas Urusan Keuangan atau the Board of Finance), dan Diwan al-
Khatam (Dinas Urusan Dokumentasi atau the Board of Signet) (Ahmad Amin, 1993, 99).
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan empat
belas Khalifah. Dimulai oleh ke-pemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri
oleh kepemimpinan Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani
Umayyah adalah sebagai berikut:

1. Muawiyah I bin Abu Sufyan (661-681 M)

2. Yazid I bin Muawiyah (681-683 M)

3. Muawiyah II bin Yazid (683-684 M)

4. Marwan I bin al-Hakam (684-685 M)

5. Abdul-Malik bin Marwan (685-705 M)

6. Al-Walid I bin Abdul-Malik (705-715 M)

7. Sulaiman bin Abdul-Malik (715717 M)

6
8. Umar II bin Abdul-Aziz (717-720 M)

9. Yazid II bin Abdul-Malik(720-724 M)

10. Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M)

11. Al-Walid II bin Yazid II (743-744 M)

12. Yazid III bin al-Walid (744 M)

13. Ibrahim bin al-Walid (744 M)

14. Marwan II bin Muhammad (745-750 M).

C. Ekspansi wilayah Dinasti Umayyah


Dinasti Umayyah berhasil memperluas wilayah karena diawal masa berdirinya dinasti
ini, Muawiyah sangat menegedepankan ekspansi wilayah. Di zaman Muawiyah, Tunisia
dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai
ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul, angkatan lautnya melakukan serangan-
serangan ke ibu kota Byzantium, Konstatinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan oleh
Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentaranya
menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menaklukan Balkan, Bukhara, Ferghana dan
Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind
dan daerah Punjab sampai ke Maltan.

Ekspansi ke wilayah Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin


Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, keamanan, dan
ketertiban.2 Pada masa pemerintahan yang berjalan kurang lebih 10 tahun, tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya benua Eropa, yaitu pada
tahun 711 M setelah Aljazair dan Maroko dapat ditaklukan Thariq bin Ziyad, pemimpin
pasukan Islam atas perintah gubernur Afrika Utara, Musa bin Nushair dengan membawa
pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dan benua Eropa dan
mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq),
tentara spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova dengan cepat dapat dikuasai, menyusul kota-kota
lain seperti Sevilla, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibukota Spanyol yang baru setelah
jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah Karena

7
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa.

Selain Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair pahlawan yang berjasa menaklukan
Spanyol adalah Tharif bin Malik yang dapat disebut sebagai pahlawan perintis membuka
jalan ke Spanyol. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, pasukan Islam berusaha menaklukan
Perancis melalui pegunungan Pyrenia dipimpin oleh Abdul Rahman bin Abdullah Al-
Ghofiqi, ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poiters. Melalui daerah tersebut, ia
mencoba menyerang Tours. Al-Ghofiqi terbunuh dan tentaranya mundur ke Spanyol. Di
samping daerah-daerah tersebut diatas, pulau-pulau yang terdapat di laut tengah juga jatuh
ke tangan pemerintah Bani Umayyah seperti pulau Mayorca, Corsica, Saedinia, Creta,
Rhodes, Cyprus dan sebagian Sicillia. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah
baik wilayah timur atau barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-
betul sangat luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab.
Selanjutnya sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Palestina, Turkmenia, Uzbek,
Kirgis dan Asia Tengah.

D. Sumbangan peradaban Islam pada masa Dinasti Umayyah


Pada masa dinasti Umayyah berkuasa, harus diakui banyak sekali keberhasilan yang
di capai. jika dapat diklasifikan, maka yang paling utama dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu
Wilayah kekuasaan dan Perpolitikan juga Perkembangan Keilmuan, berikut diantaranya:
1. Ekspansi (perluasan wilayah/daerah kekuasaan) secara besar-besaran. Daerah-daerah
itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek,
dan Kirgis di Asia Tengah (Harun Nasution, 1999, 55)
2. Muawiyah banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang.
3. Mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
4. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada
masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya.
5. Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-
daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M
dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.

8
6. Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh puteranya al-
Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan
berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang
cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara
secara tetap.
7. Dia juga membangun jalan jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan
daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang
megah (A. Syalabi, 1999, 45).
8. Pada aspek politik, Dinasti Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali
baru untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi negara yang
lebih teratur. Selain mengangkat Penasihat sebagai pendamping, Khalifah Bani
Umayyah di bantu beberapa sekretaris yaitu: Katib ar-Rasail, sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan para pembesar setempat;
Katib al-Kharaj, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan
pengeluaran negara; Katib al-Jundi, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan segala
hal yang berkaitan dengan ketentaraan; Katib asy-Syurtah, sekretaris yang bertugas
sebagai pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum; Katib al-Qudat, sekretaris yang
menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hukum setempat
(Munir Amin, 2009, 132)
9. Perkembangan Keilmuan. Pada masa pemerintahan dinasti umayyah, kota Makkah dan
Madinah menjadi tempat berkembangnya music, lagu dan puisi. Sementara di Irak
(Bashrah dan Kufah) berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam.
Sedangkan di Marbad, kota satelit di Damaskus, berkumpul para pujangga, filsuf,
ulama, dan cendikiawan lainnya (Munir Amin, 2009, 133). Berikut adalah beberapa ilmu
yang berkembang pesat:
a) Pengembangan Bahasa Arab.
Pada Dinasti Umayyah, Bahasa arab dijadikan Bahasa resmi dalam tata usaha negara
dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat-menyurat menggunakan Bahasa arab.
b) Ilmu Qiraat.
Ilmu seni membaca al-Quran yang merupakan syariat tertua yang mulai dikembangkan
pada masa khulafaa Rasyidin. Pada dinasti ini lahir para ahli qiraat ternama seperti
Abdullah bin Qusair.

9
c) Ilmu Tafsir.
Salah satu bukti perkembangan ilmu tafsir masa itu adalah dibukukannya ilmu tafsir
oleh mujahid.
d) Ilmu Hadits.
Pada masa ini, hadits-hadits nabi berupaka untuk dikumpulkan, kemudian di teliti asal-
usul nya, hingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu
hadits. Di antara ahli hadits yang terkenal pada masa ini adalah Al-Auzi Abdurrahman
bin Amru, Hasan Basri, Ibnu Abu Malikah, Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil.
e) Ilmu Fikih.
Pada awal mulanya perkembangan ilmu fiqh didasari pada dibutuhkannya adanya
peraturan-peraturan sebagi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Al-Quran
dan hasits dijadikan sebagai dasar fiqh Islam. diantara ahli fiqh yang terkenah adalah
Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
f) Ilmu Nahwu.
Dengan meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya upaya Arabisasi maka
ilmu tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu nahwu dan
menjadi salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari. Salah satu tokoh yang legendaris
adalah Abu al- Aswad al-Du’ali yang berasal dari Baghdad. Salah satu jasa dari Al-
Du’ail adalah menyusun gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf
hijaiyah yang semula tidak ada.
g) Ilmu Geografi dan Tarikh.
Geografi dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu tersendiri. Dalam melalui
ilmu tarih mereka mengumpulkan kisah tentang Nabi dan para Sahabatnya yang
kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-buku tentang penaklukan (maghazi)
dan biograf (sirah). Munculnya ilmu geografi dipicu oleh berkembangnya dakwah
Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh.
h) Usaha Penterjemahan.
Pada masa ini dimulau usaha penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-
bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Ini merupakan rintisan pertama dalam penerjemahan
buku yang kemudian dilanjutkan dan berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah.
Buku-buku yang diterjemahkan pada masa ini meliputi buku-buku tentang ilmu kimia,
ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, ilmu kedokteran, dan lain-lain.

10
i) Seni dan Budaya
Pada masa dinasti Umayah ini berkembang seni Arsitektur terutama setelah
ditaklukkananya spanyol oleh Thariq bin Ziyad. Ekspresi seni ini diwujudkan pada
bangunan-bangunan masjid yang didirikan mada masa ini. Arsitektur bangunannya
memadukan antara budaya Islam dengan budaya sekitar. Bukti perkembangan
arsitektur pada masa ini nampak seperti pada Kuba batu Masjidil al-Aqsha yang dikenal
dengan Dome or The Rock (Qubah Ash-Shakhra) di Yerusalem, bangunan Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi yang disempurnakan bangunannya pada masa Umar bin
Abdul Aziz, menara-menara yang didirikan oleh al-Walid di Suria dan Hijaz, bangunan
gereja yang diperbaiki dan diubah fungsinya oleh al-Walid menjadi masjid, serta istana-
istana kecil dan rumah-rumah peristirahatan pada khalifah dan anak-anaknya. Seni rupa
berupa lukisan yang terlihat pada ukiran dinding bangunan juga berkembang. Para
pelukis disebut dengan mushawwirun. Sedangkan dalam lagu dan nyanyian sebenarnya
telah berkembang pada masa pra islam dengan adanya lagu kemenangan, perang,
keagamaan dan cinta serta terdapat beberapa alat musik berupa tabur segi empat (duff),
seruling (qashabah), suling rumput (zamr). Musisi terkenal pada masa ini salah satunya
adalah Said ibn Misjah, Ibn Surayjsab Ibn Muhriz (Philip K Hitti, 2002, 343).
Perkembangan Politik Budaya Arab, sebagaimana dikutip Fadlil Munawwar
Manshur dalam Ali, dalam bidang pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah, mengalami
perubahan dan kemajuan. Perubahan yang signifikan dan memiliki pengaruh besar di
kemudian hari adalah diubahnya sistem demokrasi atau syura (musyawarah untuk memilih
khalifah) dengan sistem monarki, pembentukan dewan-dewan, penetapan pajak dan
kharaj, sistem pemerintahan provinsial, dan kemajuan di bidang militer. Pada masa dinasti
ini juga dibentuk lima dewan di pusat pemerintahan, yaitu dewan militer (diwânul-jund),
dewan keuangan (diwânul-kharaj), dewan surat-menyurat (diwânul-rasâil), dewan
pencapan (diwânul- khatam), dan dewan pos (diwânul-barîd).

E. Hukum dan pendidikan pada masa Dinasti Umayyah


1. Perkembagan Hukum
Karakteristik pemikiran hukum Islam pada masa Dinasti Umayyah sangat sarat
dengan nuansa kedaerahan. Dominannya penguasa yang berasal dari suku Arab turut
mempengaruhi sejumlah kebijakan terkait dengan perkembangan hukum Islam pada saat
itu. Penggunaan riwayat sahabat diberlakukan sebagai rujukan utama dalam memutuskan
hukum. Kebijakan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan emosional dan geografis

11
dengan tradisi ulama Hijaz yang masih memegang kuat hadis Nabi. Namun demikian,
penguasa Dinasti Umayyah memberikan kewenangan berkreasi pada lembaga peradilan
sebagai lembaga independensi yang berfungsi menjalankan putusan-putusan hukum yang
berasal dari pendapat para tabi’in. Pendapat tabi’iin menjadi rujukan para hakim dalam
memutuskan perkara disamping mereka melakukan ijtihad melalui penalaran deduksi yang
selanjutnya menjadi yurispridensi hukum Islam pada saat itu.

Organisasi negara Islam di bawah rezim Umayyah tidak secara tegas memisahkan
antara fungsi eksekutif dan fungsi legislatif. Dalam kedua hal ini kekuasaan tertinggi tetap
berada pada khalifah. Melalui pendelegasian otoritasnya banyak pejabat (bawahannya)
yang memiliki wewenang yudikatif dalam batas batas daerah territorial atau fungsional
dari tugas administrasi mereka. Gubernur propinsi, komandan tentara, pejabat kas negara
(bayt al-mal), inspektur (pengawas) pasar, dan bahkan pejabat pengairan memiliki hak dan
kewenangan dalam konteks hukum untuk mengadili setiap perbuatan yang dianggap telah
melanggar. Sementara itu, pejabat polisi (syurthah) merangkum aneka ragam wewenang.
Sebab ruang lingkup tugasnya meliputi penyelidikan atas kejahatan, penangkapan,
pemeriksaan (dalam pengadilan) dan hukuman bagi terhukum. Lalu bagaimana
penyelesaian dalam hal perkara-perkara perdata (keagamaan), yang oleh penguasa
(pemerintah) didelegasikan kepada qadhi. Posisi qadhi lambat laun menjadi penting dan
dipandang sebagai jabatan strategis dalam sistem pemerintahan Umayyah. Aktivitas para
qadhi yang diangkat oleh pemerintah dengan sejumlah rekomendasi pihak-pihak tertentu
tidaklah bersifat netral atas perkara-perkara yang akan diputuskan. Meski kemudian, para
qadhi yang diangkat oleh pemerintah memiliki wewenang yudikatif secara umum,
menembus sistem pemisahan administrasi negara yang bersifat subsider (tambahan). Dan
ketika masa pemerintahan Umayyah berakhir, mereka telah menjadi alat negara yang
sentral dalam hal menangani hukum. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, mereka
bukanlah para pemutus hukum yang sama sekali independen; dan keputusan-keputusan
hukum mereka dapat ditinjau kembali oleh penguasan politik atau lebih dikenal dengan
hukum Umayyah (Noel J. Coulson, 1987, 139).

Meski pengaruh kekuasaan yudikatif semakin disempurnakan, hanya saja tidak ada
perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan peradilan, sehingga tidak banyak
informasi tentang peradilan yang didapatkan pada masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah
lebih banyak disibukkan dalam urusan politik kenegaraan, sehingga hampir segenap

12
kekuasaan difokuskan pada upaya pembasmian terhadap para para pemberontak dan
penentang pemerintahan. Bahkan dalam pandangan Hasbi Asshiddiqie, bahwa salah satu
perkembangan yang dicapai era Umayyah dalam sistem peradilan adalah mulai
dibukukannya putusan-putusan hakim. Demikian juga sidang-sidang sudah dilaksanakan
di gedung yang memang diperuntukan untuk proses peradilan (Alaiddin Koto, 2011, 79).
Proses lembaga peradilan era Umayyah telah terorganisasikan secara mandiri, lembaga
peradilan pada masa ini dikenal dengan Nizham al-Qadha (organisasi kehakiman) yang
sudah dipisahkan dari kekuasaan politik (M. Hasbi Asshiddiqie, 1997, 24).

Dalam konteks kebijakan administrasi hukum, pemerintahan Umayyah mengambil


langkah yang siginifikan, yakni menjadikan hakim sebagai pembentuk hukum yang hanya
berlaku terhadap orang Islam. Para hakim diperkenankan untuk menggunakan kreasinya
dalam mengkombinasikan hukum lokal dengan semangat al-Qur’an dan norma-norma
hukum temporer yang berlaku di dalam masyarakat muslim pada waktu itu (Faisar
Ananda, 1996, 12). Pada saat itu, mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi
keputusan-keputusan hakim, maka jika tidak didapatkan nash dan ijma, hakim
diperkenankan untuk memutuskan perkara dengan hasil ijtihadnya sendiri (Alaidin koto,
2011, 79).

Kebijakan tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada ketentuan khusus yang harus
dilakukan oleh para hakim berkaitan dengan bagaimana ia memutuskan perkara, sepanjang
tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Hakim diberi kewenangan untuk memformulasikan
hukum secara kreatif. Pengangkatan hakim pada masa ini juga dilakukan secara terpisah
dengan pengangkatan gubernur. Kepala pemerintahan hanya mengangkat para hakim yang
akan diposisikan di ibukota pemerintahan, sedangkan hakim-hakim yang ditugaskan di
daerah-daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah (Asadullah al-Faruq,
2009, 47). Demikian juga kepemimpinan terhadap lembaga peradilan, lembaga peradilan
dipegang oleh orang Islam, sedangkan kalangan non-muslim diberikan otonomi hukum
dibawah kebijakan masing-masing pemimpin agama mereka. Hal ini juga yang mendasari
mengapa hakim hanya ada di kota-kota besar. Hakim ibukota tidak bisa membatalkan
hakim daerah. Kekuasaan pembatalan keputusan hanya dipegang oleh kepala
pemerintahan atau wakilnya. Tugas hakim hanyalah mengeluarkan vonis dalam perkara-
perkara yang diserahkan kepadanya.

13
Pada masa itu belum ada hakim khusus yang memutuskan perkara pidana dan
hukuman penjara. Kekuasaan ini masih dipegang oleh kepala pemerintahan sendiri.
Adapun ciri peradilan pada masa ini adalah :

a) Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri dalam hal-hal yang tidak
ada nash atau ijma’.
b) Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-putusan
mereka berlaku untuk rakyat biasa dan penguasa. Khalifah selalu mengawasi gerak-
gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng dari garis-garis yang
sudah ditentukan.
c) Putusan-putusan hakim belum lagi disusun dan dibukukan secara sempurna; dan
permulaan hakim yang mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi adalah
hakim Mesir dimasa Pemerintahan Mu’awiyyah.

Adapun langkah penyusunan yurisprudensi juga telah dilakukan pada masa dinasti
ini. Melihat semakin meningkatnya perkara-perkara rakyat, dan sering pula terjadi putusan
yang sama terhadap masalah yang berbeda, maka atas inisatif seorang hakim yang bertugas
di Mesir, Salim ibn Ataz, dibuatlah suatu himpunan yurisprudensi.

Terdapat sejumlah instansi penyelenggara tugas kekuasaan kehakiman pada masa


dinasti Umayyah yang dapat dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu: al-Qadhaa’, al-
Hisbah, dan al-Nadhar fi al-Mazhalim; dan ketiga lembaga ini memiliki fungsi dan
kewenangan masing-masing.

2. Perkembangan ilmu dan corak pendidikan


Perkembangan Ilmu dan Corak Pendidikan Bani Umayyah memberikan andil yang
cukup signifikan bagi pengembangan budaya Arab pada masa-masa sesudahnya, terutama
dalam pendidikan dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, sastra, dan filsafat. Pada
masa dinasti ini, mulai dikembangkan cabang-cabang ilmu baru yang sebelumnya tidak
diajarkan dalam sistem pendidikan Arab. Diajarkanlah cabang-cabang ilmu baru, seperti
tata-bahasa, sejarah, geografi, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lain. Meskipun demikian,
perkembangan sistem pendidikan baru berlangsung pada paruh terakhir Dinasti Umayyah
dan tidak pada awal dinasti ini. Badira, sebuah kota dekat Madinah, pada awalnya
hanyalah merupakan tempat belajar dan berkumpulnya para murid untuk belajar bahasa
Arab dan pembacaan sastra. Pada waktu itu, bila ada orang yang menguasai dan memiliki
pengetahuan tentang bahasa ibu dan mengetahui bagaimana berenang dan menggunakan

14
busur serta anak panah, maka orang itu dipandang sebagai orang terpelajar. Akan tetapi,
sejak sistem pendidikan dikembangkan, kualifikasi “terpelajar” lambat laun berubah
(Fadlil Munawwar Manshur, 2003, 179). Berikut ini beberapa ciri khas corak pendidikan
Islam pada masa Umayyah (Hasan Langulung, 1988, 69-74):

a) Bersifat Arab

Ciri utama corak pendidikan masa Umayah adalah bersifat Arab dan Islam tulen.
Artinya yang terlibat dalam dunia pendidikan masih didominasi oleh orangorang Arab,
karena pada saat itu elemen-elemen Islam yang baru belum begitu bercampur. Hal ini
disebabkan pula karena unsur-unsur Arab itulah yang utama saat itu dan memberi arah
pemerintahan secara politik, agama, dan budaya. Pada periode ini, pengajaran Islam
dilakukan dengan cara membentuk halaqah-halaqah ilmiah yang diselenggarakan di
masjid-masjid. Dari halaqah-halaqah inilah pada perkembangan, selanjutnya melahirkan
beragam madzhab dan aliran-aliran Islam, di antaranya muncul khawarij, syi’ah dan
mu’tazilah.

b) Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam yang Baru Muncul

Sangat wajar kalau pendidikan Islam pada periode awal kehidupan Islam ini untuk
merusaha menyiarkan Islam dan ajaran-ajarannya. Itulah sebabnya pada periode ini
banyak dilakukan penaklukan-penaklukan wilayah dalam rangka menyiarkan dan
menguatkan prinsip-prinsip agama. Dalam pandangan mereka Islam adalah agama dan
negara. Pada masa ini pula, khalifah-khalifah mengutus para ulama ke seluruh negeri dan
bersama dengan tentara untuk menyiarkan dakwah Islamiah. Mereka juga mengingatkan
para gubernur setiap daerah akan pentingnya penyiaran agama dan ajaran-ajarannya.
Selanjutnya ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah beliau pernah
mengutus 10 ahli fiqih ke Afrika Utara untuk mengajar anak-anak keluarga Barbar akan
ajaran-ajaran Islam.

c) Prioritas pada Ilmu-Ilmu Naqliyah dan Bahasa

Pada periode ini, pendidikan Islam memberi prioritas pada ilmu-ilmu naqliyah yang
meliputi ilmu-ilmu agama yang terdiri dari membaca al-Quran, tafsir, hadits, dan fiqih,
begitu juga ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu di atas, yaitu ilmu-ilmu bahasa
semacam nahwu, bahasa, dan sastra. Kecenderungan naqlyiah dan bahasa dalam aspek
budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan ciri pertama bahwa pendidikan pada masa

15
ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama bertujuan untuk mengukuhkan dasar-
dasar agama.

d) Menunjukan Perhatian pada Bahan Tertulis sebagai Media Komunikasi

Datangnya Islam merupakan faktor penting bagi munculnya kepentingan penulisan.


Pada permulaannya penulisan dirasa penting ketika saat itu Nabi Muhammad SAW
hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang diturunkan. Atas dasar itu, beliau mengangkat
orang-orang yang bisa menulis untuk memegang jabatan ini. Ibrahim bin al-Ibyari dalam
ensiklopedia al-Qurannya mencatatkan sedikitnya ada dua puluh empat penulis
Rasulullah saw. Di antaranya adalah Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, ‘Utsman bin
‘Affanm ‘Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Zaid
bin Tsabit, Khalid bin al-Walid dan ‘Amr bin al-’Ash. Pada masa Umayah tugas
penulisan semakin banyak dan terbagi ke dalam lima bidang, yaitu: penulis surat-surat,
penulis harta, penulis tentara, penulis polisi dan penulis hakim. Penulis surat-surat adalah
yang paling tinggi pangkatnya sehingga posisi ini tidak diberikan kecuali kepada
keluarga dan teman-temannya. Penulisan Bahasa Arab itu bertambah penting ketika
pengaraban kantor di negeri-negeri Islam pada masa Abdul Malik bin Marwan. Al-Walid
mengikuti jejak ayahnya, Abdul Malik dan dirubahnya penulisan dewandewan di Mesir
ke dalam bahasa Arab, yang sebelum itu dalam bahasa resmi Mesir sebelumnya. Dengan
demikian, kita dapatkan pada masa ini terjadi Arabisasi dalam semua segi kehidupan dan
bahasa Arab pun dijadikan bahasa komunikasi baik secara lisan maupun tulisan di
seluruh wilayah Islam.

e) Membuka Jalan Pengajaran Bahasa-Bahasa Asing

Keperluan untuk mempelajari bahasa-bahasa asing dirasakan sangat perlu semenjak


kemunculan Islam yang pertama kali walaupun hanya dalam ruang lingkup terbatas. Hal
ini terjadi sebagai akibat dari interaksi Islam dengan negeri-negeri lain, serta semakin
meluasnya daerah kekuasaan orang-orang Islam ke luar kawasan semenanjung Arabia.
Sehubungan dengan itu, Nabi Muhammad SAW telah mengajak para sahabatnya untuk
mempelajaribahasa-bahasa asing di luar bahasa Arab sampai bersabda: “Barang siapa
yang mempelajari bahasa suatu kaum, niscaya ia akan selamat dari kejahatannya.”
Keperluan ini semakin dirasakan penting ketika Islam dipegang oleh Dinasti Umayyah
di mana wilayah Islam sudah semakin meluas sampai ke Afrika Utara dan Cina serta
negeri-negeri lainnya yang jelasjelas bahasa sehari-hari mereka bukanlah bahasa Arab.

16
Dengan demikian pengajaran bahasa asing menjadi suatu keharusan bagi pendidikan
Islam di masa itu, bahkan semenjak kemunculan Islam pertama kali dalam rangka
memenuhi universalitas agama Islam (rahmatan lil ‘alamin).

f) Menggunakan Kuttab dan Masjid

Pendidikan Islam menggunakan surau dan masjid sebagai pusat pendidikan. Di antara
jasa besar Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan
masjid sebagai pusat aktivitas ilmiah, termasuk syair, sejarah bangsa-bangsa terdahulu,
perdebatan, dan aqidah serta pengajaranpengajaran lainnya. Pada masa ini pula pendirian
masjid banyak dilakukan terutama di daerahdaerah yang baru ditaklukan. Masjid nabi di
Madinah dan Masjid al-Haram di Mekah merupakan pusat pengkajian ilmiah dan sering
dikunjungi oleh orang-orang Islam dari berbagai wilayah. Pada masa pemerintahan Al
Walid bin Abdul Malik masjid Umawiyah yang didirikan antara tahun 88-96 H
merupakan universitas terbesar saat itu.

Pada masa ini pula didirikan Masjid Zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai
universitas tertua di dunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh ‘Uqbah
bin Nafi’ yang menaklukkan Afrika Utara pada tahun 50 H. Dari sini dapat dilihat bahwa
fungsi pendidikan dari masjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama penguasa-
penguasa Kerajaan Umayyah pada masa itu. Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti
Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar-Rasyidin yang
ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Kuttab
serta Majelis Sastra. Jadi, tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:

a) Kuttab
Kuttab atau Maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis, jadi Kuttab adalah tempat belajar menulis. Kuttab merupakan tempat anak-anak
belajar menulis dan membaca, menghafal Al-Quran serta belajar pokok-pokok ajaran
Islam (Mahmud Yunus, 1981, 39). Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik di samping
mengajarkan Al-Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Perhatian
mereka bukan tertumpu mengajarkan Al-Quran semata dengan mengabaikan pelajaran
yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Al-Quran dipakai
sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan
ditulis untuk dipelajari. Di samping belajar menulis dan membaca murid-murid juga
mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita nabi, hadits, dan pokok agama. (Zuhairimi,

17
1992, 47) . Peserta didik dalam Kuttab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin atau
pun kaya. Para guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak
miskin yang belajar di Kuttab memperoleh pakaian dan makanan secara cumacuma. Anak-
anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak-anak lakilaki dalam belajar
(Athiyyah Al-Abrasy, 1993, 55).

b) Masjid
Setelah pelajaran anak-anak di Kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat
menengah yang dilakukan di masjid. Peranan masjid sebagai pusat pendidikan dan
pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan
mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan
ilmu pengetahuan. Pada Dinasti Umayyah, masjid merupakan tempat pendidikan tingkat
menengah dan tingkat tinggi setelah kuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al-Quran,
Tafsir, Hadits dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu
hitung, dan ilmu perbintangan.
Jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan
adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Diskusi sejarah
bangsa terdahulu dan akidah. Pada periode ini juga didirikan masjid ke seluruh pelosok
daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid al-Haram di Makkah selalu menjadi
tumpuan penuntut ilmu di seluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid
ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan universitas terbesar dan juga didirikan
Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.

c) Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi
dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.
Menurut Al Athiyyah Al Abrasy “Balaibalai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus
yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian
necis, bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak,
tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh
bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada
pembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar
Muchlis dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan
pokokpokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan”. Usaha yang
tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penerjemahan ilmu-

18
ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Walid ibn Yazid.
Ia memerintahkan beberapa sarjana Yunani dan Qibti ke dalam bahasa Arab tentang ilmu
kimia, kedokteran dan ilmu falaq.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

20
DAFTAR PUSTAKA

A Syalabi dalam Badri Yatim. 1999. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari. 1967. Tarikh al-Umaml wa al- Muluk, Juz V Kairo:
Rawa’i Turats Arabi.

Ahmad Amin. 1993. Yaum al-Islam (Islam dari Masa ke Masa) terj. Abu Laila & M. Tohir,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung.
Alaiddin Koto. 2011. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Asadullah al-Faruq. 2009. Hukum Acara Peradilan Islam Jakarta : Pustaka Yustisia.

Athiyyah Al-Abrasy. 1993. Tarbiyah Al Islamiyah, Terj. Bustami A. Ghani. Jakarta: Bulan
Bintang.

Fadlil Munawwar Manshur,. “Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab pada Masa
Dinasti Umayyah”. dalam Humaniora, Volume XV, No. 2, 2003.

Faisar Ananda Arfa. 1996. Sejarah Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis tentang Hukum
Islam di Barat Jakarta: Pustaka Firdaus

Harun Nasution. 1990. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspekny. Jakarta: UI Press

Hasan Langgulung. 1980. Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21. Jakarta,: Pustaka Al Husna.

Ibrahim Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang,

Imad al-Din Abi al-Fida Ismail bin Umar Katsir. 1998. Bidayah wa al-Nihaya, Juz II. Beirut:
Dar al-Hijr.

Jurnal studi islam, volume 10, 2018.


M. Hasbi Asshiddiqie. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki
Putra.

Mahmud Yunus. 1981. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hida Karya Agung.

Muh Rais Dhiau al-Din. 2001. Al-Nazhariyah al-Siyasiyyah al-Islamiyah (Teori Politik
Islam), terj. Abdul Hayyie el-Kattani, dkk. Cet. VI. Jakarta: Gema Insani Press.

Munawir Haris. Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.


Munir Amin, Samsul. 2009. Sejarah Peradapan Islam. Jakarta : AMZAH.

21
Noel J Coulson, 1987. Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, Jakarta:
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Philip K. Hitti. 2002. History of The Arabs: From Earliest Times to the Present. New York:
Palgrave Macmillan.

Zuhairini. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

22

Anda mungkin juga menyukai