Anda di halaman 1dari 17

HADITS TENTANG IKHLAS, IMAN YANG SUNGGUH IKHLAS SERTA

MENERAPKAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Disusun
Oleh:

KELOMPOK 2 (DUA)
Nama/ Nim : Putri Hayuni (21011364.)
Ratna Dewi (21011365)
Prodi / Unit : PAI / I (Satu)
Semester : II (Dua)
Mata Kuliah : Hadits Tarbawi

DOSEN PEMBIMBING
ABDUL KAHAR, S.Pd.I, M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYYAH (STIT)


MUHAMMADIYAH ACEH BARAT DAYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah swt., Tuhan Yang Maha
Segalanya, karena atas kehendak-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik serta tepat pada waktunya dengan bahasan mengenai “Hadits tentang
Ikhlas, Iman yang Sungguh Ikhlas serta Menerapkan dalam Kehidupan
Sehari-hari”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad Saw., para keluarga dan para sahabatnya.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dengan berbagai
bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan
hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan Makalah kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada Dosen pembimbing mata kuliah Hadist Tarbawi yang telah membimbing
dalam menulis makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Susoh, 26 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3


A. Pengertian Hadist Tarbawi.......................................................... 3
B. Pengertian Ikhlas ........................................................................ 3
C. Pengertian Iman .......................................................................... 5
D. Hadist tentang Ikhlas dan Iman .................................................. 6
E. Buah dari Keikhlasan .................................................................. 10
F. Hubungan Pendidikan Agama Islam dengan Ikhlas dan Iman ... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 13


A. Kesimpulan ................................................................................. 13
B. Saran ........................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikhlas merupakan salah satu sifat terpuji dalam Islam. Sifat ini sangat
penting ditegakkan dalam kehidupan manusia dengan tujuan memperoleh
kerukunan, kedamaian dan kepercayaan pada setiap individu. Sebuah aktivitas yang
berbau duniawi apabila dilakukan dengan niat yang benar disertai dengan rasa
ikhlas karena Allah Swt, maka amal perbuatan tersebut akan dinilai sebagai sebuah
ibadah yang akan diterima oleh Allah Swt. Bila sikap ini mampu direalisasikan
dalam semua dimensi kehidupan, maka pribadi setiap hamba tentu dapat terbentuk
secara baik. Sikap ini merupakan tindakan tulus hati yang bisa memberikan
ketenangan, kedamaian bagi diri pribadi dan orang lain. Lebih dari itu, sikap ini
akan mampu memberikan pencerahan-pencerahan terhadap dimensi-dimensi lain
seperti: terbentuknya sikap taat beribadah, rasa tanggung jawab, terbentuknya
pribadi yang disiplin, sikap keakraban yang tinggi dan lain-lain. Karena itu Allah
memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang memiliki sikap ikhlas ini.
Adapun sebaliknya, amal perbuatan yang bernuansa ibadah bisa berbalik
menjadi praktek kemaksiatan apabila dikerjakan dengan niat yang buruk. Orang
yang melakukannya tidak akan menuai apapun. Bahkan yang diraih adalah rasa
lelah setelah beraktivitas, kegagalan dan kerugian. Dengan demikian, kunci utama
diterimanya amalan seseorang adalah ikhlas dalam melakukannya. Oleh karena itu,
seharusnya orangnya tua dan guru selalu mengajarkan dan membina sikap ikhlas
pada setiap anak didiknya, seperti menganjurkan anak-anak bersedekah dengan
ikhlas dan tanpa mengharapkan pujian dari manusia. Demikian juga dalam
masyarakat anak-anak harus dibiasakan melakukan gotong royong dengan ikhlas.
Namun demikian, jika diperhatikan secara seksama dalam kehidupan
sehari-hari, sikap ikhlas yang sangat dianjurkan dalam pendidikan Islam masih
kurang terbina dengan baik dalam setiap pribadi muslim, khususnya para anak-anak
dan remaja. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari muslim, khususnya
para remaja, di mana mereka melakukan sesuatu perbuatan baik bukan karena niat
ikhlas mengharap rida Allah Swt, akan tetapi banyak yang dipengaruhi oleh

1
dorongan hawa nafsu semata-mata, bukan karena ketulusan hati. Bahkan kondisi
ini nampak juga dalam pelaksanaan dan peningkatan ibadahnya, penyempurnaan
muamalahnya, maupun rasa persaudaraannya dan sikap disiplinnya yang terlihat
masih sangat kurang. Hal ini disebabkan oleh tidak terbinanya sikap ikhlas dan
sabar di dalam diri pribadi umat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka hal yang perlu
dilakukan pengkajian adalah sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan Hadits Tarbawi ?
2. Apa yang di maksud dengan Ikhlas ?
3. Apa yang dimaksud dengan Iman ?
4. Bagaimana penjelasan hadits tentang Ikhlas dan Iman ?
5. Apa buah dari keikhlasan ?
6. Bagaimana hubungan Pendidikan Agama Islam dengan Ikhlas dan Iman ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Hadits Tarbawi.
2. Untuk mengetahui makna Ikhlas.
3. Untuk mengetahui makna Iman.
4. Untuk mengetahui hadits tentang Ikhlas dan Iman
5. Untuk mengetahui buah dari keikhlasan.
6. Untuk mengetahui hubungan Pendidikan Agama Islam dengan Ikhlas dan
Iman.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Tarbawi
Kata ilmu hadits berasal dari Bahasa Arab ‘ilm al-hadits, yang terdiri atas
kata‘ilm dan al-hadits. Secara etimologis, ‘ilm berarti pengetahuan jamaknya
‘ulum, yang berarti al-yaqin (keyakinan) dan al-ma’rifah (pengetahuan). Menurut
para ahli kalam (mutakallimun), ilmu berarti keadaan tersingkapnya sesuatu yang
diketahui (objek pengetahuan). Tradisi di kalangan sebagian ulama, ilmu diartikan
sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya
ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu1.
Secara terminologi, hadits oleh para ulama diartikan sebagai segala yang
disandarkan pada Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
ataupun sifat-sifatnya. Nur al-Din’itr mendefinisikan hadits dengan segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat,
tabi’at dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.2
Adapun kata tarbawi yang merupakan bentuk masdar dari kata bahasa Arab
rabba, yurabbi, tarbiyyah (tarbawi), yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi pendidikan. Secara etimologi, kata tarbiyah mengandung arti
memelihara dan memberikan latihan.3 Dengan demikian, berdasarkan pengertian
hadits dan tarbawi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits tarbawi adalah
hadits-hadits yang obyek dan kontennya berkaitan dengan masalah tarbiyah atau
pendidikan dalam rangka mendidik dan membangun peradaban sesuai dengan
petunjuk dan nilai-nilai yang terhadap dalam hadits Rasul Saw.4
B. Pengertian Ikhlas
Kata Ikhlas adalah salah satu kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa arab ikhlash yang dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti tulus hati; bersih
hati dan jujur.5

1
Idris, Studi Hadis,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 53.
2
Idris, Studi Hadis, hlm. 54.
3
A.W. Munawwir, Kamus Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), hlm. 470.
4
Ummu Kultsum, Pendidikan dalam Kajian Hadits Tekstual dan Kontekstual: Upaya
Menelaah Hadits-Hadits Rasulullah Saw, (Tangerang: Cinta Buku Media, 2018), hlm. 8-9.
5
Dendy Sugiono (ed), Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 542.

3
Secara bahasa ikhlas berarti murni (al-shafi) dan bersih dari campuran.
Hakikat ikhlas adalah al-tabarri ‘an kulli ma dunallah, bebas dari apa yang selain
Allah. Artinya seseorang beribadah hanya mengharap ridha Allah SWT, bukan
karena mengharap pujian makhluk. Satu hal yang perlu dipahami bahwa ikhlas
berkaitan erat dengan niat dalam hati seseorang ketika beribadah. Ikhlas yang
sempurna harus dilakukan baik sebelum, sedang, dan sesudah beribadah. Sebab ada
orang yang ikhlas ketika beribadah, tetapi setelah itu ia terjebak sikap riya’ (pamer),
maka rusaklah nilai ibadahnya.6
Para ulama berbeda redaksi dalam mendefinisikan makna ikhlas.
Sebagaimana Al ‘Izz bin Abdis Salam menyatakan bahwa ikhlas ialah seorang
mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah Swt. yang tidak
berharap pengagungan dan penghormatan manusia serta tidak pula berharap
manfaat dan menolak bahaya. Adapun al-Harawi mengungkapkan bahwa ikhlas
yaitu membersihkan amal dari setiap noda. Selanjutnya, Abu ‘Utsman menyatakan
bahwa ikhlas adalah, melupakan pandangan makhluk dengan selalu melihat kepada
Khaliq (Allah). Kemudian Abu Hudzaifah al-Mar’asyi menjelaskan bahwa ikhlas
merupakan kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin. Abu ‘Ali
Fudhail bin ‘Iyadh juga menerangkan bahwa meninggalkan amal karena manusia
adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas yakni apabila
Allah menyelamatkan kamu dari keduanya.7
Dalam pengertian yang lebih spesifik lagi, ikhlas pada hakikatnya adalah
niat, sikap, atau perasaan yang timbul dalam hati nurani yang dalam pada diri
seseorang dan disertai dengan amal perbuatan. Ikhlas juga dapat dimaknai sebagai
ketulusan dalam mengabdikan diri kepada tuhan dengan segenap hati, pikiran dan
jiwa seseorang.8 Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa ikhlas
yaitu melakukan suatu amal semata-mata karena Allah, yakni semata-mata karena
iman kepada Allah.9

6
Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf Pelaku Suci Menuju Revolusi Hati, (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2013), hlm. 81.
7
Sulaiman al-Asyqar, Al-Ikhlas, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H, hlm. 16-17.
8
Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (The Consice Encyclopaedia of Islam), terj.
Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 162.
9
Mohd. al-Ghazali, Akhlak Muslim, terj. Mohd. Rifa’i, (Semarang : Wicaksana, t.t.), hlm.
139.

4
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa ikhlas adalah mengerjakan segala
sesuatu yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya (ibadah) dengan penuh
ketulusan semata-mata hanya untuk mendapat keridhaan-Nya, baik di dunia
maupun di akhirat. Ikhlas merupakan kunci amalan hati. Semua amalan shalih tidak
akan sempurna tanpa dilandasi keikhlasan kepada Allah SWT semata. Bahkan
makan, minum ataupun berolah raga, juga harus didasari keikhlasan.
C. Pengertian Iman
Sedangkan kata iman yang asal katanya amina (ََ‫ ) َء ِامن‬mempunyai arti aman
atau tentram, selain itu ada juga kata yang berdekatan yaitu amanatan (‫ )أمانة‬yang
berarti jujur yang asal katanya ialah amuna (ََ‫)َأ َ ُمن‬. Ketiga asal kata ini menunjukan
kesamaan makna bahwa kata amina (ََ‫ ) َء ِامن‬menunjukan keyakinan seseorang
ditimbulkan karena pengetahuan yang didapat, yang menghasilkan sifat amanat
(‫ )أَ َمانَة‬dalam keyakinannya, sehingga timbul ketentraman dalam kehidupannya.10
Adapun definisi makna iman secara terminologi dari para ulama tafsir
terdapat beragam pendapat sebagaimana menurut al-Baidhawi berkata bahwa Iman
secara bahasa merupakan ungkapan tentang membenarkan sesuatu. Kata iman
diambil dari kata al-amn, seperti bahwasannya orang yang membenarkan sesuatu,
maka dia (akan) mengamankan hal yang diyakini kebenarannya itu dari pendustaan
dan ketidakcocokan atau perbedaan. Kemudian Muhammad Nawawi al-Jawi
mengungkapkan Iman adalah mereka yang percaya dengan segenap hati mereka.
Tidak sepeti orang-orang yang berkata namun tidak sesuai dengan hati mereka.11
Selanjutnya iman menurut Ibnu Katsir yaitu membenarkan ucapan dengan
perbuatan, kemudian melakukan shalat dan menunaikan zakat dan apa yang dibawa
oleh Rasulullah saw, juga apa yang dibawa oleh rasul sebelumnya, serta keyakinan
akan adanya kehidupan akhirat.12
Berdasarkan rincian penjelasan tentang pengertian makna iman, maka dapat
disimpulkan bahwa iman adalah keyakinan dengan segala pembenaran kepada

10
Dindin Moh. Saefudin, “Iman dan Amal Saleh dalam al-Quran”, Al-Bayan: Jurnal Studi
Al-Quran dan Tafsir, Vol 1 (2), Desember 2016, hlm. 12.
11
Muhammad Nawawi al-Jawi, Tafsir Uunir, Marah Labid, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011), hlm. 8.
12
Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, terj, Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2000), hlm. 202.

5
ketentuan Allah Swt dan Rasul-Nya yang diterapkan dalam amal kepada sebagian
dari nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt.
D. Hadits tentang Ikhlas dan Iman
1. Hadits tentang Ikhlas

ِ ‫ ََِسعت رسو َل‬: ‫ال‬ َ َ‫اب َر ِض َي هللاُ َعْنهُ ق‬ ِ َّ‫اْلَط‬ ِِ ِ


‫هللا صلى هللا عليه‬ ُْ َ ُ ْ ٍ ‫َِب َح ْف‬
ْ ‫ص عُ َمَر بْ ِن‬ َ ْ ‫َع ْن أَم ِْْي الْ ُم ْؤمن‬
ْ ِ‫ْي أ‬
‫هللا َوَر ُس ْولِِه‬
ِ ََ ِ‫ فَمن َكانَت ِهجرتُه إ‬. ‫ات وإََِّّنَا لِ ُك ِل ام ِر ٍئ ما نَوى‬
ُ َْ ْ ْ َ َ َ ْ
ِ ِ ِ ُ ‫ إََِّّنَا اْألَعم‬: ‫وسلم ي ُقو ُل‬
َ َّ‫ال ِبلني‬ َْ َْ
.‫اََر إِلَْي ِه‬ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ َ‫ ومن َكان‬،‫فَ ِهجرتُه إِ ََ هللاِ ورسولِِه‬
َ ‫ت ه ْجَرتُهُ ل ُدنْيَا يُصْي بُ َها أ َْو ْامَرأَة يَْنك ُح َها فَ ِه ْجَرتُهُ إ ََ َما َه‬ْ ْ َ َ ْ ُ ََ ُ َْ
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Khattab r.a, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah Saw. bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung
niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari dan Abu al-Husain, Muslim bin al-Hajjaj
bin Muslim al-Qusyairi an-Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan
kitab yang paling shahih)

Hadits di atas menjelaskan tentang diterima atau tidaknya dan sah atau
tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak
mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Amal yang dimaksud
adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan
maupun keyakinan hati. Adapun niat memiliki dua fungsi yaitu: pertama, jika niat
berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk
membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan; kedua, Jika niat berkaitan
dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan
antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.13
Jika para ulama berbicara tentang niat, terdapat dua hal yang mencakup
makna niat, yakni niat sebagai syarat sahnya ibadah yaitu istilah niat yang dipakai

13
Abu Isa Abdullah bin Salman, Ringkasan Syarah Hadits Arba’in (2017), hlm. 6.

6
oleh fuqaha’ dan niat sebagai syarat diterimanya ibadah atau yang disebut dengan
ikhlas. Niat bisa menjadi hal yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan.
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Ikhlas
dan membebaskan niat semata-mata karena Allah Swt. dituntut pada semua amal
shaleh dan ibadah. Jika niat sejak awalnya salah atau tidak ikhlas, maka akan
berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal yang menyebabkan amal tersebut
batal atau bahkan tertolak. Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan
bagian dari iman karena ia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut
pemahaman Ahli Sunnah wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan
dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.14
Keridhaan Allah Swt tidak bisa diukur dengan kehidupan lahiriah maupun
keberadaan materi seseorang. Allah hanya akan menerima amal perbuatan hamba-
hamba-Nya yang ikhlas dan hanya menerima amalan yang dipersembahkan kepada-
Nya. Adapun yang bersifat duniawi, maka sama sekali tidak ada artinya di mata
Allah Swt. Sebagaimana sabda Nabi Saw.

‫ص َو ِرُك ْم َوأ َْم َوالِ ُك ْم َولَكِ ْن‬ َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِ َّن‬
ُ ََ ِ‫اَّللَ ََل يَْنظُُر إ‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫َع ْن أَِِب ُه َريْ َرةَ ق‬
.‫يَْنظُُر إِ ََ قُلُوبِ ُك ْم َوأ َْع َمالِ ُك ْم‬
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian,
tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian”. (HR. Muslim)
2. Hadits tentang Iman
Iman dalam konteks kehidupan sosial memberi pengertian bahwa iman
tidak hanya mencakup aspek keyakinan beragama, yang meliputi keimanan kepada
Allah Swt, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari
Kiamat, dan Qadha’ dan Qadar. Iman juga memberi petunjuk dan tuntunan serta
menaruh perhatian besar terhadap realitas kehidupan manusia. Dengan kata lain,
iman yang benar-benar sebagai aspek keyakinan berkorelasi positif dan memberi
pengaruh kuat dan signifikan terhadap kualitas kehidupan sosial dan kemanusiaan.

14
Muhyoddin Yahya bin Syaraf Nawawi, Hadits Arba’in Nawawiyah, terj. Muh.
Mu’inudinillah Bashri dan Maerwandi Tarmizi, (Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah,
2007), hlm. 7.

7
Sebagaimana sabda Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril tentang Iman yakni
sebagai berikut:

َ‫َخ ََبَ ََن أَبُو َحيَّا َن الت َّْي ِم ُّي َع ْن أَِِب ُزْر َعةَ َع ْن أَِِب ُه َريْ َرة‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫يم أ‬
َ ‫ال َحدَّثَنَا إ َْسَاعيلُ بْ ُن إبْ َراه‬ َ َ‫َّد ق‬
ٌ ‫َحدَّثَنَا ُم َسد‬
‫اْليَا ُن أَ ْن‬ ِْ ‫ال‬ ِْ ‫ال َما‬
َ َ‫اْليَا ُن ق‬ َ ‫َّاس فَأ َََتهُ َِ َِْبيلُ فَ َق‬
ِ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َِب ِرًزا يَ ْوًما لِلن‬َّ ‫صلَّى‬ ُّ ِ‫ال َكا َن الن‬
َ ‫َِّب‬ َ َ‫ق‬
ِْ ‫ال‬
َّ ‫اْل ْس ََلُُ أَ ْن تَ ْعبُ َد‬ ِْ ‫ال َما‬ ِ ‫تُ ْؤِمن ِِب ََّّللِ وم ََلئِ َكتِ ِه وُكتُبِ ِه وبِلِ َقائِِه ورسلِ ِه وتُ ْؤِمن ِِبلْب ع‬
َ‫اَّلل‬ َ َ‫اْل ْس ََلُُ ق‬ َ َ‫ث ق‬ ْ َ َ َ ُ َُ َ َ ََ َ
‫ال أَ ْن‬ ِْ ‫ال َما‬
َ َ‫اْل ْح َسا ُن ق‬ َ َ‫ضا َن ق‬ َّ ‫ي‬ ِ ِ ِِ ِ
َ ‫وُ َرَم‬ َ‫ص‬ ُ َ‫وضةَ َوت‬
َ ‫الزَكاةَ الْ َم ْف ُر‬ َ ‫الص ََلةَ َوتُ َؤد‬
َّ ‫يم‬ َ ‫َوََل تُ ْشر َك به َش ْي ئًا َوتُق‬
‫ول َعنْ َها ِِ َْعلَ َم ِم ْن‬ ُ ُ‫ال َما الْ َم ْسئ‬َ َ‫اعةُ ق‬ َ ‫الس‬
َّ ‫ال َم ََت‬ َ َ‫َّك تَ َراهُ فَإِ ْن ََلْ تَ ُك ْن تَ َراهُ فَإِنَّهُ يَ َر َاك ق‬
َ ‫اَّللَ َكأَن‬
َّ ‫تَ ْعبُ َد‬
ِ ‫اْلبِ ِل الْب هم ِف الْب ْن ي‬ ِ ِ َّ
‫ان ِف‬ َُ ُ ُْ
ِْ ُ‫ت ْاأل ََمةُ رََّّبَا وإِ َذا تَطَاو َل ر َعاة‬
ُ َ َ َ ْ ‫ُخَِبُ َك َع ْن أَ ْش َراط َها إِذَا َولَ َد‬ ْ ‫السائ ِل َو َسأ‬
َّ‫اع ِة ْاْيَةَ ُُث‬ َّ ‫اَّللَ عِ ْن َدهُ عِ ْل ُم‬
َ ‫الس‬ َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم { إِ َّن‬َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫س ََل يَ ْعلَ ُم ُه َّن إََِّل‬
ُّ ِ‫اَّللُ ُُثَّ تَ ََل الن‬
َ ‫َِّب‬ ٍ َْ‫َخ‬
‫اَّللِ ََ َع َل‬
َّ ‫ال أَبُو َع ْبد‬ َ َ‫َّاس ِدينَ ُه ْم ق‬ ِ ِ ِ
َ ‫ال َه َذا َ َْبيلُ ََاءَ يُ َعل ُم الن‬ َ ‫ال ُرُّدوهُ فَلَ ْم يَ َرْوا َش ْي ئًا فَ َق‬ َ ‫أ َْدبََر فَ َق‬
ِ َ‫اْلي‬
‫ان‬ ِْ ‫ذَلِك ُكلَّهُ ِم ْن‬
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, Telah menceritakan kepada
kami Isma'il bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abu Hayyan At
Taimi dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah berkata; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pada suatu hari muncul kepada para sahabat, lalu datang Malaikat Jibril
'Alaihis Salam yang kemudian bertanya: "Apakah iman itu?" Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menjawab: "Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan
kamu beriman kepada hari berbangkit". (Jibril 'Alaihis salam) berkata: "Apakah
Islam itu?" Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Islam adalah kamu
menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan
shalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadlan".
(Jibril 'Alaihis salam) berkata: "Apakah ihsan itu?" Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam menjawab: "Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila
kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu. (Jibril 'Alaihis salam)
berkata lagi: "Kapan terjadinya hari kiamat?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menjawab: "Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi aku
akan terangkan tanda-tandanya; (yaitu); jika seorang budak telah melahirkan
tuannya, jika para penggembala unta yang berkulit hitam berlomba-lomba

8
membangun gedung-gedung selama lima masa, yang tidak diketahui lamanya
kecuali oleh Allah". Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca:
"Sesungguhnya hanya pada Allah pengetahuan tentang hari kiamat" (Qs. Luqman:
34). Setelah itu Jibril 'Alaihis salam pergi, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam berkata; "hadapkan dia ke sini." Tetapi para sahabat tidak melihat
sesuatupun, maka Nabi bersabda; "Dia adalah Malaikat Jibril datang kepada
manusia untuk mengajarkan agama mereka." Abu Abdullah berkata: "Semua hal
yang diterangkan Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dijadikan sebagai iman."
(HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini mempunyai nilai yang tinggi di dalam Islam karena ia meliputi
segala urusan ibadah yang zahir dan yang batin. Ia menjangkau dari urusan
keimanan dan amal perbuatan anggota fisik seperti lidah, tangan dan kaki,
sehingga perkara yang melibatkan urusan keikhlasan hati dan batin manusia yang
perlu diperhatikan agar amal perbuatan dan ibadah yang dilakukan mencapai tujuan
untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt.15
Secara umumnya, hadits ini membicarakan tentang kesempurnaan agama
Islam dengan menyebutkan terdapat tiga komponen yang menjadi asas dalam
Islam yang mencakupi seluruh aspek kehidupan manusia yang terkandung di
dalamnya ibadah yang menjadi tujuan hidup manusia. Komponen tersebut adalah.
Iman, Islam dan ihsan. Berdasarkan riwayat hadits dari berbagai jalur periwayatan
(sanad), Rasulullah secara eksplisit menjelaskan keterkaitan antara iman dan
kehidupan sosial, sebagaimana sabdanya.

ً‫ض ٌٌ َو ِستُّو َن ُش ْعبَة‬


ْ ِ‫ض ٌٌ َو َسبْ عُو َن أ َْو ب‬ ِْ ‫اَّلل َعلَْي ِه و َسلَّم‬
ْ ِ‫اْليَا ُن ب‬ َِّ ‫ول‬
َ َ َُّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ َ َ‫َع ْن أَِِب ُه َريْ َرةَ ق‬
ِْ ‫اَّلل وأ َْد ََن َها إِ َماطَةُ ْاألَذَى َع ْن الطَّ ِر ِيق وا ْْلَيَاء ُش ْعبَةٌ ِم ْن‬
ِ َ‫اْلي‬ ِ ِ
.‫ان‬ ُ َ َ َُّ ‫ضلُ َها قَ ْو ُل ََل إلَهَ إ ََّل‬ َ ْ‫فَأَف‬
Dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam
puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah
perkataan, Laa Ilaaha Illallahu (tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan
malu itu adalah sebagian dari iman."

15
A. R. Mustafa, Hadis Empat Puluh, (Shah Alam: Dewan Pustaka Fajar, 2009), hlm. 72.

9
Hadits di atas berstatus shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhâri, no. 9 dan
dalam al-Adabul Mufrad, no. 598; Muslim, 35 (58), dan lafazh hadits di atas adalah
lafazh riwayat imam Muslim; Ahmad, II/414, 445; Abu Dawud, no. 4676; At-
Tirmidzi, no. 2614; An-Nasâ-I, VIII/110; Ibnu Mâjah, no. 57; Ibnu Hibban, no. 166,
181, 191-a t-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
Hadits yang berasal dari Abu Hurairah tersebut memberi informasi bahwa
iman memiliki 63 atau 73 lebih bagian (cabang). Tauhid “la ilaha illa Allah
diposisikan sebagai iman yang paling tinggi (utama), sementara iman yang terendah
diungkapkan dengan bahasa “menyingkirkan bahaya (rima) di jalan”. Berdasarkan
logika matematis, masih ada cabang iman sebanyak antara 61-69 atau 71-79 (bid’un
wa sittun aw wa sab’un syu’bah) bagian iman di antara interval iman tertinggi dan
terendah itu, di antaranya adalah rasa malu, bersikap adil, jujur, dermawan, toleran,
cinta damai, menghormati tamu, memberi rasa aman kepada tetangga dan
sebagainya.16
E. Buah dari Keikhlasan
Dalam Islam, ikhlas menempati kedudukan yang tinggi dihadapan Allah.
Oleh karena itu, tentu terkandung faedah pada sebuah kata keikhlasan yakni Allah
akan menerima amal dan memberikan pahala bagi seseorang yang penuh dengan
sifat ikhlas. Sebagaimana firman-Nya berikut ini.
ِ ِِۗ ‫ْي الن‬ ٍۢ ِ‫ف او ا‬ٍ ٍ ِ‫۞ ََل خْي ِف َكثِ ٍْي ِمن ََّّْن ٰوىهم اََِّل من اَمر ب‬
َ ‫َّاس َوَم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذل‬
‫ك‬ َ َْ‫ص ََل ٍح ب‬
ْ َْ ‫ص َدقَة اَْو َم ْع ُرْو‬
َ َ َ ْ َ ْ ُ ْ ْ ْ َْ َ
ِ ‫ابتِغَ ۤاء مرض‬
َ ‫ات ٰاَّللِ فَ َس ْو‬
﴾١١٤﴿ ‫ف نُ ْؤتِْي ِه اَ ًَْرا َع ِظْي ًما‬ َ َْ َ ْ
Artinya: Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali
(pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat)
kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang
berbuat demikian karena mencari rida Allah kelak Kami anugerahkan
kepadanya pahala yang sangat besar. (Qs. An-Nisa’: 114)

16
M. Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits Relasi Iman dan Sosial Humanistik
Paradigma Integrasi Interkoneksi, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Yogyakarta, 2008), hlm.
55.

10
Adapun buah keikhlasan karena Allah swt. sebagaimana disebutkan oleh
Audah al-Awasyiah antara lain sebagai berikut:17
1. Mendapat pertolongan dan dibela oleh Allah swt.
2. Selamat dari siksaan neraka.
3. Mendapat kedudukan tinggi di akhirat.
4. Diselamatkan dari kesesatan di dunia.
5. Merupakan sebab bertambahnya petunjuk.
6. Orang yang ikhlas dicintai penduduk langit.
7. Orang yang ikhlas diterima dengan baik di muka bumi.
8. Orang yang ikhlas akan mendapatkan reputasi (nama baik) di kalangan
manusia.
9. Dihindarkan dari kesulitan-kesulitan duniawi.
10. Ketenteraman hati dan kebahagiaan.
11. Doanya mudah dikabulkan.
12. Menyebabkan iman indah dalam hati dan menjadikan hati benci kepada
kefasikan dan kemaksiatan.
13. Orang yang ikhlas akan diberi taufik oleh Allah sehingga berkesempatan
berteman dengan orang-orang yang ikhlas.
14. Sanggup memikul segala kesulitan hidup di dunia, betapa pun beratnya.
15. Mendapat husnul khatimah.
16. Merasakan kenikmatan dan kabar gembira akan mendapatkan kesenangan di
dalam kubur.
F. Hubungan Pendidikan Agama Islam dengan Ikhlas dan Iman
Mengenai hubungan pendidikan yang bernuansa Islam dengan ikhlas dan
iman dapat dijabarkan dalam beberapa poin di bawah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan visi misi pendidikan dan sifat serta karakter pendidik dan
peserta didik.
Ketika pengelola lembaga pendidikan dalam proses manajemennya
dilandasi ikhlas semata-mata karena untuk memperoleh rida Allah SWT maka
sumber daya yang dimiliki oleh lembaga pendidikan didayagunakan sesuai dengan

17
Audah al-Awayisyah, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani, (Yogyakarta: Maktabah
AlHanif, 2007), 149-156.

11
visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan. Adapun keimanan mempengaruhi visi
pendidikan agar dapat menjadikan pendidikan sebagai sarana yang unggul dalam
membentuk insan yang dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka
bumi. Semuanya dikelola hendaknya dengan ikhlas yakni karena Allah semata
untuk memperoleh ridha Allah bukan untuk memperoleh kekayaan atau kehidupan
dunia. Dengan demikian, para pendidik dan peserta didik harus mencerminkan
sifat-sifat yang sesuai dengan keimanan.
2. Berkaitan dengan sumber-sumber pendidikan
Islam menyeru kepada orang yang beriman untuk beribadah dengan ikhlas
kepada Allah Swt. Hal ini dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya supaya menjadi
manusia yang tentram, damai, dan jiwa menjadi tenang. Realisasi dari sikap ikhlas
yang sesuai dengan tuntunan agama Islam akan mendorong Islam kelak akan
menjadi pelopor kebaikan, perbaikan dan pembangunan. Fenomena ini akan
mampu meredam sikap sombong, dan riya untuk memamerkan kebaikan kepada
sesama manusia. Hidup ikhlas dalam Islam merupakan anjuran agama Islam, maka
perlu ditanamkan kepada peserta didik sebagai pengarah kehidupan.
3. Berkaitan dengan cara pengaplikasian iman dan ikhlas dalam kehidupan sehari-
hari.
Apabila iman telah benar-benar menjiwai diri seseorang, maka ia akan
berbuat baik dan lahirlah sikap ikhlas kepada Allah dalam segala usaha yang
dilakukannya. Ia juga tidak berani melanggar perintah Allah, karena ia yakin bahwa
Allah melihat perbuatannya dan dibalas setimpal menurut perbuatannya. Aqidah
seperti itu akan mendalam, apabila ditunjang dengan ilmu dan pendidikan. Oleh
karena itu, nilai-nilai pendidikan sangat mendukung dalam membentuk aqidah
manusia terutama bagi anak-anak usia dini, karena apabila tidak diajarkan di waktu
usia dini, maka ketika dewasanya sangat sulit untuk ditanamkan dalam jiwanya.
Dengan demikian, dalam aplikasi sikap hidup ikhlas kepada muslim harus terlebih
dahulu dibina dan ditanamkan keimanan dalam jiwanya.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ikhlas memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Kualitas baik
buruknya amal perbuatan seseorang sangat bergantung pada keikhlasannya dalam
beramal. Karakteristik orang-orang ikhlas yaitu senantiasa beramal dan
bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama
orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan; terjaga dari segala yang diharamkan
Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka; dalam bekerja,
beraktivitas, mengajar, mendidik, dan mengelola lembaga pendidikan, seseorang
yang melakukannya dengan ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi
oleh siapa pun, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Aplikasi sikap ikhlas dalam pendidikan Islam adalah memberikan dan
membekali pendidikan agama kepada setiap muslim, membina dan menanamkan
Iman ke dalam jiwa setiap muslim, memilih teman yang ikhlas kepada Allah dalam
setiap kali mengadakan kegiatan, menanamkan kepada pribadi muslim akan
keagungan Allah Swt. dan kedahsyatan azab-Nya, memperbanyak mengingat
kematian. Cara-cara inilah yang harus dilakukan dalam mengaplikasikan sikap
hidup ikhlas pada setiap pribadi muslim.
B. Saran
Pembahasan tentang ikhlas itu sangat luas, oleh karena itu penulis berharap
akan ada pembahasan yang lebih baik lagi mengenai tema ini kedepannya.
Walaupun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin sesuai kemampuan untuk
meneliti hadits tentang ikhlas serta iman, namun tentu masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Dengan demikian, penulis berharap ada
yang dapat menyempurnakan kajian ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

A. R. Mustafa. Hadis Empat Puluh. Shah Alam: Dewan Pustaka Fajar, 2009.
A.W. Munawwir. Kamus Arab–Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Abdul Mustaqim. Akhlak Tasawuf Pelaku Suci Menuju Revolusi Hati. Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2013.
Abu Isa Abdullah bin Salman. Ringkasan Syarah Hadits Arba’in (2017).
Ad-Dimasyqi, Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2000.
Al-Asyqar, Sulaiman. Al-Ikhlas. Cet. III, Darul Nafa-is, 1415 H.
Al-Jawi, Muhammad Nawawi. Tafsir Uunir, Marah Labid. Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2011.
Audah al-Awayisyah, Keajaiban Ikhlas. Terj. Abu Barzani. Yogyakarta: Maktabah
AlHanif, 2007.
Cyrill Glasse. Ensiklopedi Islam Ringkas (The Consice Encyclopaedia of Islam).
Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Dendy Sugiono. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Dindin Moh. Saefudin, “Iman dan Amal Saleh dalam al-Quran”, Al-Bayan: Jurnal
Studi Al-Quran dan Tafsir, Vol 1 (2), Desember 2016.
Idris. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.
M. Yusuf. Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits Relasi Iman dan Sosial
Humanistik Paradigma Integrasi Interkoneksi. Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Yogyakarta, 2008.
Mohd. al-Ghazali. Akhlak Muslim. Terj. Mohd. Rifa’i. Semarang : Wicaksana, t.t.
Muhyoddin Yahya bin Syaraf Nawawi. Hadits Arba’in Nawawiyah. Terj. Muh.
Mu’inudinillah Bashri dan Maerwandi Tarmizi. Maktab Dakwah Dan
Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007.
Ummu Kultsum, Pendidikan dalam Kajian Hadits Tekstual dan Kontekstual:
Upaya Menelaah Hadits-Hadits Rasulullah Saw. Tangerang: Cinta Buku
Media, 2018.

14

Anda mungkin juga menyukai