Dengan menyebut nama Allah SWT yamg Maha Pengasih lagi Maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
innayah-nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Takwa perspektif
al-quran dan hadist ”
Makalah ini telah kami susun secara maksimal dengan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memeperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi isi materi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari para pembaca agar kami dapat memeperbaiki
makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memeberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A.Latar Belakang................................................................................................................. 1
B.Rumusan Masalah............................................................................................................ 1
C.Tujuan Masalah................................................................................................................ 1
D.Manfaat.............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A.Pengertian Taqwa............................................................................................................. 2
B.Definisi taqwa.......................................................................................................... 3
C.Kwalifikasi Taqwa dalam Alqur-an......................................................................... 3
D.Implikasi Dakwa...................................................................................................... 6
BAB III PENUTUP........................................................................................................ 6
A.Kesimpulam.................................................................................................................. 6
B.Daftar pustaka.............................................................................................................. 6
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu Negara tidak dapat berdiri sendiri,seperti halnya individu sebagai makhluk
sosial. Negara tentunya akan memerlukan Negara atau komponen yang lain. bahkan adapula
Negara yang memiliki keterkaitan serta ketergantungan dalam aspek ekonomi,sosial,dan politik.
Jika adanya keterkaitan antar Negara dengan Negara lain tersebut tentunya ada sebuah hubungan
yang baik. Salah satunya merupakan Negara kita sendiri yaitu Negara Indonesia dengan Negara-
negara lain.dinamakan masyarakat global, ditandai adanya saling ketergantungan antar bangsa,
adanya persaingan yang ketat dalam suatu kompetensi dan dunia cenderung berkembang kearah
perebutan pengaruh antar bangsa, baik lingkup regional maupun lingkup global.
Namun pada kenyataannya masih banyak hubungan yang bertentangan antara Negara satu
dengan Negara yang lain. Yang mengakibatkan terjadinya konflik dan terusiknya perdamaian
dunia. Konflik biasanya dipicu dengan adanya masalah dalam hal sosial,ekonomi,politik,agama
maupu kebudayaan.terjadinya konflik akibat adanya keserakahan, kurang saling menghargai dan
mengerti antara satu dengan yang lain. Dari masalah diatas dalam makalah ini akan membahas
apa yang dimaksud dengan perdamaian dunia itu sendiri dan cara mewujudkan perdamaian dunia
serta partisipasi Indonesia dalam perdamaian dunia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, berikut beberapa rumusan masalah yang akan kita bahas pada
makalah ini :
1) Apa Pengertian Dari Perdamaian Dunia
2) Indonesia dalam Perdamaian Dunia
3) Apakah Indoesia Turut Serta Dalam Perdamaian Dunia?
4) Cara Mewujudkan Perdamaian Dunia
5) Indonesia Dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
6) Peran Indonesia Dalam Perdamaian Dunia
C. Tujuan dan Manfaat
1) Mengetahui Apa Sebenarnya Perdamaian Dunia
2) Mengetahui Hubungan Indonesia Dalam Perdamaian Dunia
3) Mengetahui Kontribusi Indonesia Dalam Perdamaian Dunia
4) Mengetahui Bagaimana Cara Mewujudkan Perdamaian Dunia
5) Mengetahui Organisasi-organisasi Perdamaian Dunia
6) Mengetahui Peran Indonesia Dalam Perdamaian Dunia
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Taqwa
Pendahuluan
Diantara identitas seorang muslim adalah ketaqwaannya kepada Allah. Sebagai penegasan
terhadap identitas tersebut, al-Qur’an memuat 245 kali kata taqwa dengan segala derivasinya. [1] Ia
(taqwa) memiliki barometer yang telah ditentukan Allah secara jelas sesuai dengan kadar kemampuan
manusia, yang dengannya manusia terklasifikasikan menjadi orang-orang yang beruntung dan orang-
orang yang merugi (al-Faaizuun wa al-Khaasiruun).
Kandungan makna taqwa berkonotasi akan terealisasikannya semua syariat Islam dalam kehidupan
seorang muslim. Ia merefleksikan sinegritas antara rasa takut, kepatuhan dan kecintaan seorang hamba
kepada Tuhannya, yang membuahkan sebuah ketauhidan yang mutlak. Taqwa juga menjangkau aspek
yang sangat luas meliputi Iman, Islam dan Ihsan yang berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an dengan
beragam derivasi. Oleh sebab itu, pemahaman yang mendalam terhadap terma taqwa menjadi sangat
urgen mengingat bahwa ia hadir sebagai tema global yang telah mengundang banyak penafsiran.
Maka dari itu makalah ini hadir guna mencoba untuk mengelaborasi pemaknaan konsep taqwa dalam
al-Qur’an. Adapun pemahaman konsep dalam makalah ini terbatas dalam kwalifiasi prinsip-prinsip
pokok dalam taqwa sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an. Oleh karena itu penulis mencoba
memulai diskursus ini dengan menyajikan pemaknaan terma taqwa.
Takwa adalah sebuah tindakan seseorang dalam rangka menjalankan segala macam perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Takwa penting menjadi landasan seseorang dalam beragama. Karena
pentingnya nilai takwa, Allah SWT banyak menyebut ayat-ayat Al-Qur’an tentang takwa, yaitu sebagai
berikut: P
Artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa.
َو آِم ُنوا ِبَم ا َأْنَز ْلُت ُمَص ِّد ًقا ِلَم ا َم َع ُك ْم َو اَل َتُك وُنوا َأَّوَل َك اِفٍر ِبِهۖ َو اَل َتْش َتُروا ِبآَياِتي َثَم ًنا َقِلياًل َو ِإَّياَي َفاَّتُقوِن
Artinya: “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan
apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan
janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu
harus bertakwa.”
2
Pembahasan
B. Definisi Taqwa
Kata taqwa berasal dari waqaa-yaqii-wiqaayatan. Struktur penyusunannya adalah
huruf wa, qaf, dan ya. Dibaca waqaa,dengan arti menjaga dan menutupi sesuatu dari bahaya Bila kata
ini digunakan berdasarkan kaitannya dengan Allah (Ittaqullah), maka makna taqwa adalah melindungi
diri dari azabNya dan hukumanNya.Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Thanthawi yang
menjelaskan bahwa taqwa secara bahasa berarti melindungi dan menjaga diri dari segala sesuatu yang
membahayakan dan menyakiti.
Hal-hal yang membahayakan diri tersebut dapat dihindari dengan memenuhi perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan yang menjerumuskannya kedalam neraka. Implikasi dari ketaqwaan
tersebut menjadikan orang yang bertaqwa mendapatkan faedah atau manfaat yang besar serta
kemuliaan dari ketaqwaannya.
Mempertegas pengertian diatas, menurut Baydhowi taqwa adalah menjaga, merawat atau memelihara.
Yakni sebutan bagi siapapun yang melindungi dan mencegah dirinya dari apa yang membahayakannya
di Akhirat. Taqwa menurut Baydhowi memiliki tiga tingkatan. Pertama, adalah melindungi diri dari
azab yang kekal di akhirat, yakni dengan menghindari perbuatan syirik. Kedua, melindungi diri dari
segala perbuatan yang dapat mengotorinya, hingga perbuatan-perbuatan yang kecil. Ketiga, adalah
memisahkan keburukan dari kebenaran.
Bila dikaitkan dengan dua pngertian sebelumnya, yang mengartikan taqwa sebagai sebuah bentuk
kepatuhan dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, maka Baydhowi seakan
menegaskan bahwa dalam perintah tersebut terdapat anjuran untuk menjaga, merawat dan memelihara,
yang daripadanya manusia akan mendapatkan faedah dan manfaat dari kepatuhannya untuk menjaga,
merawat dan memelihara, serta terhindar dari bahaya dan segala larangan Allah.
Diantara bentuk kehati-hatian lainnya, sebagai contoh seperti yang dijelaskan oleh Qurthubi, adalah
sedikit berbicara. Hal ini dipertegas oleh Abu Yazid al-Busthomi, yang mengatakan bahwa orang yang
bertaqwa adalah orang yang ketika berbicara sesuai dengan petunjuk Allah, dan apabila berbuat,
perbuatannya bersumber dari petunjuk Allah.
Konotasi dari kehati-hatian adalah sikap waspada seseorang yang dengannya senantiasa
memperhatikan baik buruknya sesuatu. Ia disebut sebagai furqan. Kemampuan untuk membedakan
antara hal-hal yang baik dan buruk ataupun yang benar dengan yang batil, menuntut seseorang untuk
menguasai dan mengetahui secara mendalam hakikat sesuatu tersebut. Karna dengan pengetahuan itu ia
akan benar-benar dapat memutuskan sesuatu sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan oleh
syariah Islam.
Selain itu, ketaqwaan dapat diartikan pula sebagai dicabutnya kecintaan kepada syahwat dari diri
seseorang, seperti yang dijelaskan oleh Abu Sulaiman Ad-Darani. Taqwa juga menggambarkan
seseorang yang menghindari syirik dan lepas atau terbebas dari kemunafikan.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat dipahami bahwa taqwa dapat diartikan sebagai sebuah bentuk
kehati-hatian, menjaga, merawat dan memelihara diri, baik dari nafsu syahwat, perbuatan syirik,
ataupun segala hal yang menyebabkan seseorang menerima azab Allah di akhirat. Lebih jauh, seorang
yang bertaqwa memiliki kemampuan untuk memisahkan antara yang haq dan yang batil, atau dengan
bahasa lain, ia memiliki sifat furqan. Jadi, pada hakikatnya orang yang bertaqwa adalah orang yang
menjaga diri dari azab Allah, yaitu mereka yang memilki pandangan dan kesadaran yang tinggi dalam
memahami dan menghayati sebab-sebab yang dapat menimbulkan azab tersebut.
D. Implikasi Taqwa
Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa ketaqwaan seorang muslim merupakan hasil dari
perpaduan antara kepercayaan (Iman), kepatuhan dan pengetahuan, maka hasil dari perpaduan ini pun
(ketaqwaan) juga membuahkan manfaat yang dapat terlihat dalam diri seseorang berupa;
Mendapatkan sikap furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, benar dan
salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela.
Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumiMendapatkan jalan keluar dari kesulitan
endapatkan rezeki tanpa diduga-duga.
Mendapatkan kemudahan dalam urusannya.
Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar.
Keseluruhan hasil ini dapat dirasakan oleh seorang muslim, semasa ia hidup di dunia, maupun setelah
ia berpulang ke akhirat. Semuanya merupakan wujud dari hasanah fi ad-dunya dan hasanah fi al-
Akhirah yang menjadi dambaan setiap insan mukmin. Dengan demikian, taqwa dapat dikatakan sebagai
sebuah kedudukan yang merupakan akumulasi dari Iman, Islam dan Ihsan, yang membuahkan kebaikan
dan manfaat bagi seorang muslim.
Kesimpulan
Terma taqwa mengandung beberapa arti yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Ia (taqwa) dapat
diartikan sebagai sebuah sikap takut, waspada, dan hati-hati terhadap apa yang menjadi larangan Allah,
yang menjadi landasan ketauhidan seorang hamba. Taqwa juga mengisyaratkan akan tunduk dan
patuhnya seorang hamba terhadap apa yang menjadi perintahnya, yang berbuah keselamatan di dunia
dan akhirat serta segala hal yang menyertainya berupa kedamaian, pertolongan dan jaminan untuk
keadaan yang lebih baik.
Selain itu, taqwa juga berarti kemampuan seseorang untuk dapat membedakan yang haq dan batil, yang
diperolehnya dari konsistensi ketaatannya kepada Allah. Ia secara umum dapat diartikan sebagai
sebuah refleksi dari Iman, Islam dan Ihsan. Dengan demikian, taqwa mengandung makna yang sangat
mendalam yang mengindikasi sebuah kedudukan yang hanya bisa didapatkan dengan mematuhi
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Daftar Pustaka
Abdillah, Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu. 1964. Tafsir Al-
Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an. Kairo: Dar al-Fikr
Al-‘Arabi, Muhammad Ibnu Abdillah Abu Bakar Ibnu. Annash Al-Kaamil Li Kitaabi Al-‘Awaashimi
Min Al-Qawaashimi, Mesir: Maktabatu Darut Turats
Al-Asfahaniy, al-Raghib. 1972. Mu ‘jam MufraddtAlfaz Al-Qur ‘an. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Baqiy, Muhamad Fu’ad Abd. 1945. Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Mesir: Dar
al-Kutub
Al-Baydhowi, Nashiruddin Abu al-Khairi Abdullah Ibnu ‘Umar Ibnu Muhammad. 1997. Anwaru At-
Tanzil wa Asraru At-Ta’wil. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1989. Ihya ‘Ulumuddin, Juz I. Beirut: Dar al-Ma’rifah
Al-Hanafi, Abu Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-
Bukhari. At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Al-Mahali, Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Tanpa Tahun. Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah
Al-Qur’an Al-Karim
Al-Qusyairi, Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abd Malik. 2010. Tafsir Al-Qusyairi, Mesir: al-Hayatu al-
Mishriyyah al-‘amah li al-Kitab
Al-Zamakhsyari, Muhammad Ibnu Umar. 1977. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil
Fi Wujuh al~Ta ‘wii. Beirut: Dal al-Fikr
As-Samarqhandi. Bahrul Ulum. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Asy-Syathibi, Ibrahim Ibnu Musa Ibnu Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi As-syahir bin. 2008. al-
I’tisham, Juz III. Saudi Arabia: Daru Ibnu Jauzi li an-nasr wa Tauzi’
At-Thusi, Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali. Fadhaaihu al-Baathinah. Kuwait:
Muassasatu Dar al-Kutub As-Tsaqaafiyyah
Hamka. 1988. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
Ibnu Kasir. 1992. Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim. Beirut: Dal al-Fikr
Ibnu Taymiyyah. 1996. al-Imaan. Yordan: al-Maktab al-Islami
Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Ridho, Muhammad Rasyid Ibnu. 1990. Ali Tafsir Al-Mannar. Kairo: Al-Hayah al- Mishriyyah
al-‘amah lilkitab
Tabataba’i, Muhammad Husen. 1991. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lamiy.
Thanthawi, Muhammad Sayyid. 1997. At-Tafsir Al-Washit, Juz I. Kairo: Nahdah Al-Misr
[1] Muhamad Fu’ad Abd. Al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Mesir: Dar al-
Kutub, 1945), hal: 848-851.
[2] Luwis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lām, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), hal: 915.
[3] Q.S Al-Baqarah: 196, 203, Al-Maidah: 4,7,8.
[4] Muhammad Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir Al-Mannar, (Kairo: Al-Hayah al- Mishriyyah al-‘amah
lilkitab, 1990), hal: 105.
[5]
Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Washit, Juz I (Kairo: Nahdah Al-Misr, 1997 ), hal: 13.
Lihat juga, al-Raghib al-Asfahaniy, Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur ‘an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),
hal: 568. Lihat juga, Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim, (Beirut: Dal al-Fikr, 1992), hal: 55. Lihat
juga, Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari,. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil
Fi Wujuh al~Ta ‘wii, (Beirut: Dal al-Fikr, 1977), hal: 120.
[6]
Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahali, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah, Tanpa Tahun), hal: 8. Lihat juga, As-Samarqhandi, Bahrul Ulum, ( ), hal: 8.
[7]
As-Samarqhandi, Bahrul Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), hal: 8.
[8]
Nashiruddin Abu al-Khairi Abdullah Ibnu ‘Umar Ibnu Muhammad al-Baydhowi, Anwaru At-Tanzil
wa Asraru At-Ta’wil, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1997 ), hal: 17-18.
[9]
Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurthubi
Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Fikr, 1964), hal: 203.
[10]
Ibid.
[11]
Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Fadhaaihu al-Baathinah, (Kuwait:
Muassasatu Dar al-Kutub As-Tsaqaafiyyah), hal: 197.
[12]
Umar bin Khatab, mengibaratkan ketaqwaan dengan seseorang yang berjalan dijalan yang dipenuhi
duri, lalu dia berjalan dengan cepat dan menghindari duri-duri tersebut. Ibid.
[13] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), hal: 18.
[14] Abu Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-Bukhari al-
Hanafi, At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hal: 98-99.
[15] Q.S Muhammad: 5
[16] Ibnu Taymiyyah, al-Imaan, (Yordan: al-Maktab al-Islami, 1996), hal: 147.
[17] Yunahar Ilyas, hal: 18.
[18] Ibid, Hal: 20.
[19] Muhammad Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir Al-Mannar, hal: 105.
[20] Q.S Al-Baqarah: 150.
[21] Q.S Yasin: 45.
[22] Abu Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-Bukhari al-
Hanafi, At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf, hal: 98-99.
[23] Q.S Al-Isra’: 81
[24] Q.S Al-Hajj: 62
[25] Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1989), hal: 112
[26] Al-Qusyairi, Tafsir Al-Qusyairi, (Mesir: al-Hayatu al-Mishriyyah al-‘amah li al-Kitab, 2010), hal:
10.
[27] Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir Al-
Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, hal: 203.
[28] Q.S Al-Anfal: 29
[29] Muhammad Ibnu Abdillah Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi, Annash Al-Kaamil Li Kitaabi
Al-‘Awaashimi Min Al-Qawaashimi, (Mesir: Maktabatu Darut Turats) hal: 17.
[30] Q.S Al-Hajj: 8
[31] Muhammad Husen Tabataba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lamiy,
1991), hal: 375.
[32] Q. S Al-A’raf: 7
[33] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal: 122-123.
[34] Ibnu Taymiyyah, Al-Imaan, hal: 132
[35] Ibrahim Ibnu Musa Ibnu Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi As-syahir bi Asy-Syathibi, al-
I’tisham, Juz III, (Saudi Arabia: Daru Ibnu Jauzi li an-nasr wa Tauzi’, 2008), hal 159.
[36] Masalah perdagangan ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat; Al-Baqarah: 275, 276, 278, 279,
Ali ‘imran: 130, An-Nisaa: 161, Ar-Rum: 39, Al-An’am: 152, Al-A’raf: 85, Hud: 84, 85, Ar-Rahman:
9, dan Al-Mutaffifin: 1.
[37] Masalah qishas dijelaskan dalam al-Qur’an dalam surat; Al-Baqarah: 179.
[38] Mengenai kebutuhan fiologis dan biologis manusia yang mencakup makan, minum, serta
kebutuhan seksual, yakni apa yang dihalalkan bagi manusia dan apa yang diharamkan kepadanya, al-
Qur’an telah menyebutkannya di dalam surat; Al-A’raaf: 31, Al-Mu’min: 79, Yasin: 72, Al-Mu’minun:
21, An-Nahl: 5, An-Nisa: 15, Al-Isra’: 32.
[39] Perintah untuk menjalin ukhuwwah Islamiyah yang menjadi cakupan taqwa tersebut meliputi hal-
hal yang bersifat individual maupun komunal, seperti saling bantu-membantu dalam kebaikan,
berprilaku adil, menepati janji, kejujuran hingga hubungan dalam keluarga. Q.S: Ali Imran: 76, Al-
Baqarah: 282, Al-Maidah: 8, Al-Anfal: 58, An-Nisa’: 135, 129, 127, 105, 58.
[40] Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai “sesuatu yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Hal ini
mengindikasikan bahwa akhlak adalah spontanitas seseorang yang lahir dari suatu kebiasaan. Dengan
demikian, bila seseorang membiasakan dirinya untuk berbuat baik, spontanitas yang timbul dari dirinya
adalah kebaikan. Inilah yang dinamakan akhlak yang baik. Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, hal: 58
[41] Al-Qur’an menyebutkan banyak sekali keberuntungan yang didapatkan dari ketaqwaan seeorang,
diantaranya dalam surat; An-Nur: 52, Al-Baqarah: 212, Ali ‘Imran: 15, Annisa: 77, Al-A’raf: 35 dsb.
[42] Q.S Al-Anfal: 29
[43] Q.S Al-A’raf: 96
[44] Q.S At-Thalaq: 2
[45] Q.S At-Thalaq: 3
[46] Q.S At-Thalaq: 4
[47] Q.S Al-Anfal: 29, Q.S At-Thalaq: 5
[48] Yunahar Ilyas, hal: 24