Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TAKWA PERSPEKTIF AL-QURAN DAN HADIST

Dosen Pengampu: Dr. H. Fadhil, M.Ag

Anggota Kelompok 11:

1. Nadia Permata putri (208210058)


2. Lilis Surianti (208210008)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


PRODI TADRIS MATEMATIKA
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yamg Maha Pengasih lagi Maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
innayah-nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Takwa perspektif
al-quran dan hadist ”
Makalah ini telah kami susun secara maksimal dengan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memeperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi isi materi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari para pembaca agar kami dapat memeperbaiki
makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memeberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Jambi, 7 juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A.Latar Belakang................................................................................................................. 1
B.Rumusan Masalah............................................................................................................ 1
C.Tujuan Masalah................................................................................................................ 1
D.Manfaat.............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A.Pengertian Taqwa............................................................................................................. 2
B.Definisi taqwa.......................................................................................................... 3
C.Kwalifikasi Taqwa dalam Alqur-an......................................................................... 3
D.Implikasi Dakwa...................................................................................................... 6
BAB III PENUTUP........................................................................................................ 6
A.Kesimpulam.................................................................................................................. 6
B.Daftar pustaka.............................................................................................................. 6

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu Negara tidak dapat berdiri sendiri,seperti halnya individu sebagai makhluk
sosial. Negara tentunya akan memerlukan Negara atau komponen yang lain. bahkan adapula
Negara yang memiliki keterkaitan serta ketergantungan dalam aspek ekonomi,sosial,dan politik.
Jika adanya keterkaitan antar Negara dengan Negara lain tersebut tentunya ada sebuah hubungan
yang baik. Salah satunya merupakan Negara kita sendiri yaitu Negara Indonesia dengan Negara-
negara lain.dinamakan masyarakat global, ditandai adanya saling ketergantungan antar bangsa,
adanya persaingan yang ketat dalam suatu kompetensi dan dunia cenderung berkembang kearah
perebutan pengaruh antar bangsa, baik lingkup regional maupun lingkup global.
Namun pada kenyataannya masih banyak hubungan yang bertentangan antara Negara satu
dengan Negara yang lain. Yang mengakibatkan terjadinya konflik dan terusiknya perdamaian
dunia. Konflik biasanya dipicu dengan adanya masalah dalam hal sosial,ekonomi,politik,agama
maupu kebudayaan.terjadinya konflik akibat adanya keserakahan, kurang saling menghargai dan
mengerti antara satu dengan yang lain. Dari masalah diatas dalam makalah ini akan membahas
apa yang dimaksud dengan perdamaian dunia itu sendiri dan cara mewujudkan perdamaian dunia
serta partisipasi Indonesia dalam perdamaian dunia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, berikut beberapa rumusan masalah yang akan kita bahas pada
makalah ini :
1) Apa Pengertian Dari Perdamaian Dunia
2) Indonesia dalam Perdamaian Dunia
3) Apakah Indoesia Turut Serta Dalam Perdamaian Dunia?
4) Cara Mewujudkan Perdamaian Dunia
5) Indonesia Dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
6) Peran Indonesia Dalam Perdamaian Dunia
C. Tujuan dan Manfaat
1) Mengetahui Apa Sebenarnya Perdamaian Dunia
2) Mengetahui Hubungan Indonesia Dalam Perdamaian Dunia
3) Mengetahui Kontribusi Indonesia Dalam Perdamaian Dunia
4) Mengetahui Bagaimana Cara Mewujudkan Perdamaian Dunia
5) Mengetahui Organisasi-organisasi Perdamaian Dunia
6) Mengetahui Peran Indonesia Dalam Perdamaian Dunia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Taqwa
Pendahuluan

Diantara identitas seorang muslim adalah ketaqwaannya kepada Allah. Sebagai penegasan
terhadap identitas tersebut, al-Qur’an memuat 245 kali kata taqwa dengan segala derivasinya. [1] Ia
(taqwa) memiliki barometer yang telah ditentukan Allah secara jelas sesuai dengan kadar kemampuan
manusia, yang dengannya manusia terklasifikasikan menjadi orang-orang yang beruntung dan orang-
orang yang merugi (al-Faaizuun wa al-Khaasiruun).
Kandungan makna taqwa berkonotasi akan terealisasikannya semua syariat Islam dalam kehidupan
seorang muslim. Ia merefleksikan sinegritas antara rasa takut, kepatuhan dan kecintaan seorang hamba
kepada Tuhannya, yang membuahkan sebuah ketauhidan yang mutlak. Taqwa juga menjangkau aspek
yang sangat luas meliputi Iman, Islam dan Ihsan yang berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an dengan
beragam derivasi. Oleh sebab itu, pemahaman yang mendalam terhadap terma taqwa menjadi sangat
urgen mengingat bahwa ia hadir sebagai tema global yang telah mengundang banyak penafsiran.
Maka dari itu makalah ini hadir guna mencoba untuk mengelaborasi pemaknaan konsep taqwa dalam
al-Qur’an. Adapun pemahaman konsep dalam makalah ini terbatas dalam kwalifiasi prinsip-prinsip
pokok dalam taqwa sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an. Oleh karena itu penulis mencoba
memulai diskursus ini dengan menyajikan pemaknaan terma taqwa.
Takwa adalah sebuah tindakan seseorang dalam rangka menjalankan segala macam perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Takwa penting menjadi landasan seseorang dalam beragama. Karena
pentingnya nilai takwa, Allah SWT banyak menyebut ayat-ayat Al-Qur’an tentang takwa, yaitu sebagai
berikut: P

Pertama, QS. Al-Baqarah: 21:


‫َيا َأُّيَها الَّناُس اْع ُبُدوا َر َّبُك ُم اَّلِذ ي َخ َلَقُك ْم َو اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقوَن‬

Artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa.

Kedua, QS. Al-Baqarah: 41:

‫َو آِم ُنوا ِبَم ا َأْنَز ْلُت ُمَص ِّد ًقا ِلَم ا َم َع ُك ْم َو اَل َتُك وُنوا َأَّوَل َك اِفٍر ِبِهۖ َو اَل َتْش َتُروا ِبآَياِتي َثَم ًنا َقِلياًل َو ِإَّياَي َفاَّتُقوِن‬

Artinya: “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan
apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan
janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu
harus bertakwa.”

2
Pembahasan
B. Definisi Taqwa
Kata taqwa berasal dari waqaa-yaqii-wiqaayatan. Struktur penyusunannya adalah
huruf wa, qaf, dan ya. Dibaca waqaa,dengan arti menjaga dan menutupi sesuatu dari bahaya Bila kata
ini digunakan berdasarkan kaitannya dengan Allah (Ittaqullah), maka makna taqwa adalah melindungi
diri dari azabNya dan hukumanNya.Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Thanthawi yang
menjelaskan bahwa taqwa secara bahasa berarti melindungi dan menjaga diri dari segala sesuatu yang
membahayakan dan menyakiti.
Hal-hal yang membahayakan diri tersebut dapat dihindari dengan memenuhi perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan yang menjerumuskannya kedalam neraka. Implikasi dari ketaqwaan
tersebut menjadikan orang yang bertaqwa mendapatkan faedah atau manfaat yang besar serta
kemuliaan dari ketaqwaannya.
Mempertegas pengertian diatas, menurut Baydhowi taqwa adalah menjaga, merawat atau memelihara.
Yakni sebutan bagi siapapun yang melindungi dan mencegah dirinya dari apa yang membahayakannya
di Akhirat. Taqwa menurut Baydhowi memiliki tiga tingkatan. Pertama, adalah melindungi diri dari
azab yang kekal di akhirat, yakni dengan menghindari perbuatan syirik. Kedua, melindungi diri dari
segala perbuatan yang dapat mengotorinya, hingga perbuatan-perbuatan yang kecil. Ketiga, adalah
memisahkan keburukan dari kebenaran.
Bila dikaitkan dengan dua pngertian sebelumnya, yang mengartikan taqwa sebagai sebuah bentuk
kepatuhan dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, maka Baydhowi seakan
menegaskan bahwa dalam perintah tersebut terdapat anjuran untuk menjaga, merawat dan memelihara,
yang daripadanya manusia akan mendapatkan faedah dan manfaat dari kepatuhannya untuk menjaga,
merawat dan memelihara, serta terhindar dari bahaya dan segala larangan Allah.

Diantara bentuk kehati-hatian lainnya, sebagai contoh seperti yang dijelaskan oleh Qurthubi, adalah
sedikit berbicara. Hal ini dipertegas oleh Abu Yazid al-Busthomi, yang mengatakan bahwa orang yang
bertaqwa adalah orang yang ketika berbicara sesuai dengan petunjuk Allah, dan apabila berbuat,
perbuatannya bersumber dari petunjuk Allah.
Konotasi dari kehati-hatian adalah sikap waspada seseorang yang dengannya senantiasa
memperhatikan baik buruknya sesuatu. Ia disebut sebagai furqan. Kemampuan untuk membedakan
antara hal-hal yang baik dan buruk ataupun yang benar dengan yang batil, menuntut seseorang untuk
menguasai dan mengetahui secara mendalam hakikat sesuatu tersebut. Karna dengan pengetahuan itu ia
akan benar-benar dapat memutuskan sesuatu sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan oleh
syariah Islam.
Selain itu, ketaqwaan dapat diartikan pula sebagai dicabutnya kecintaan kepada syahwat dari diri
seseorang, seperti yang dijelaskan oleh Abu Sulaiman Ad-Darani. Taqwa juga menggambarkan
seseorang yang menghindari syirik dan lepas atau terbebas dari kemunafikan.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat dipahami bahwa taqwa dapat diartikan sebagai sebuah bentuk
kehati-hatian, menjaga, merawat dan memelihara diri, baik dari nafsu syahwat, perbuatan syirik,
ataupun segala hal yang menyebabkan seseorang menerima azab Allah di akhirat. Lebih jauh, seorang
yang bertaqwa memiliki kemampuan untuk memisahkan antara yang haq dan yang batil, atau dengan
bahasa lain, ia memiliki sifat furqan. Jadi, pada hakikatnya orang yang bertaqwa adalah orang yang
menjaga diri dari azab Allah, yaitu mereka yang memilki pandangan dan kesadaran yang tinggi dalam
memahami dan menghayati sebab-sebab yang dapat menimbulkan azab tersebut.

C. Kwalifikasi Taqwa dalam Al-Qur’an


Setelah menilik beberapa definisi taqwa diatas, berikut akan dijabarkan beberapa poin terkait konsep
taqwa;

a. Taqwa Sebagai Refleksi dari Iman, Islam dan Ihsan


Menurut Yunahar Ilyas, bila ajaran Islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya
taqwa adalah integralisasi ketiga dimensi tersebut.Iman adalah gabungan dari kepercayaan, rasa takut
(khauf) dan harap (ar-rajaa), sedangkan rasa takut adalah substansi dari taqwa. Rasa takut yang disertai
dengan harap tersebut menjadi landasan seorang muslim untuk senantiasa bertauhid dan meninggalkan
syirik. Inilah yang menjadi acuan seseorang untuk menjalankan agamanya, sehingga ia disebut muslim.
Dan bila keislaman itu dilakukan secara konsisten, maka timbullah ihsan dalam diri muslim
tersebut.Dengan demikian, seseorang dikatakan bertaqwa apabila ia telah beriman atau percaya dengan
segenap rasa takut dan harap yang terus menerus berkesinambungan, hingga akhirnya terpatri dalam
dirinya dan menjadi sebuah kebiasaan.
Kebiasaan baik dan kepatuhan (al birru) ini merefleksikan kepercayaanya kepada Allah, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan hari akhir (Iman), ketundukannya untuk menjalankan ibadah
(Islam) dan kerelaannya untuk senantiasa berbuat kebajikan (Ihsan). Kualifikasi muslim seperti ini
persis perisis seperti apa yang digambarkan dalam surat Al-Baqarah ayat 3-4 dan juga surat Ali ‘imran
ayat 134-135 tentang ciri-ciri orang beriman, dan juga dibanyak ayat lainnya di dalam al-Qur’an. Maka,
keimanan seseorang haruslah bersifat aktif dan menjadi penggerak bagi lahirnya perbuatan-perbuatan
baik yang akan mengantarkannya pada derajat taqwa. Ini tergambar dari bagaimana setelah disebutkan
berganti-ganti beberapa bagian dari Iman, Islam dan Ihsan itu, kemudian Allah menutupnya dengan
kalimat: “Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa dalam ayat tersebut taqwa dicirikan dengan Iman, Islam
dan Ihsan sekaligus. Atau dengan kata lain, orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu
bersamaan menjadi Mukmin, Muslim dan Muhsin.
b. Taqwa dalam Arti Takut Serta Waspada
Taqwa kepada Allah mengisyaratkan akan besarnya azab dan hukuman Allah (bagi siapapun yang
mengingkarinya), jika tidak, maka tak mungkin ketaqwaan tersebut mempengaruhi seseorang untuk
tunduk dan patuh terhadap kekuasaan Allah. Karna perintah untuk takut kepada Allah selalu muncul
setelah adanya perintah untuk melaksanakan suatu ketetapan. Ini menjadi penegasan terhadap perintah
tersebut agar benar-benar dilakukan, untuk menutup kemungkinan manusia menyimpang dari perintah
Allah. Malahan, tak jarang perintah itu disertai dengan ancaman akan sebuah azab yang berat, baik
langsung ataupun tidak langsung. Ini mengindikasikan perintah Allah kepada manusia untuk senantiasa
waspada dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, agar tidak bertentangan dengan syariatnya.
Sikap waspada, takut dan kehati-hatian menjadikan manusia senantiasa mencari cara untuk melindungi
dirinya dari azab dan hukuman Allah baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Adapun cara
untuk melindungi diri dari azab Allah adalah dengan menjauhi apa yang menjadi laranganNya dan
mengikuti apa yang menjadi perintahNya. Yakni dengan perasaan takut terhadap azabNya dan terhadap
yang memberikan Azab. Perasaan takut terhadap azab itulah yang menjadi sebuah dasar dari ketaqwaan
kepada Allah. Orang yang takut kepada azab tersebut tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari
azab, untuk itu, dia perlu mengetahui apa saja yang menyebabkan dirinya mendapatkan azab. Dengan
demikian, seorang muslim yang bertaqwa akan senantiasa berhati-hati dalam melangkah dan
mengambil keputusan.
c. Taqwa dalam Arti Furqan (Pembeda)
Diciptakan sebagai makhluk yang menjalankan misi dari Allah sebagai pengelola bumi, manusia kerap
dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam hidup. Bila mengamati dari ayat-ayat al-Qur’an, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya sekian banyak pilihan-pilihan tersebut terklasifikasi kedalam dua
golongan; haq (benar) dan batil (salah);
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dari kedua ayat diatas, Allah telah mengisyaratkan dengan jelas kepada manusia, bahwa apa saja yang
diperbolehkan Allah, itulah yang disebut haq, dan apa saja yang menjadi larangannya adalah batil.
Walaupun terkadang kedua hal tersebut menjadi samar dimata manusia, namun dengan berpegang
kepada petunjuk Allah berupa al-Qur’an dan Sunnah serta ijtihad dan penjelasan dari para ulama,
manusia akan mampu mengetahui kebenaran. Itulah pentingnya manusia mencari tahu kebenaran
dengan sarana yang telah telah diberikan Allah melalui akal. Dengan demikian, seseorang yang
bertaqwa tentulah seseorang yang mengetahui dengan pasti kebenaran-kebenaran yang harus diikutinya
dan kejahatan yang harus dihindari.
Tidak berhenti disitu, seorang yang bertaqwa juga dituntut untuk dapat melindungi kebenaran tersebut
dari kegelapan kebodohan dan menunjukannya kepada cahaya akal, serta memperuntukannya dengan
perantara yang benar. Kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan tersebut akan
didapatkannya dari konsistensi ketaqwaanya. Ini seperti sebuah jaminan eksklusif bagi mereka yang
senantiasa menjaga ketaqwaan.Oleh karena itu, kemampuan untuk membedakan (furqan) ini, akan
menjadi hal yang sangat langka dan menjadi identitas bagi orang-orang yang beriman dan menjalankan
syariat Islam dengan konsisten.
Kemampuan ‘membedakan’ ini tentunya mengindikasikan adanya pengetahuan yang seimbang
terhadap apa-apa yang menjadi kebenaran dan kebatilan. Wujud pengetahuan tersebut merupakan
sesuatu yang sangat urgen bagi seorang muslim untuk dapat mencapai suatu kebenaran. Pasalnya, rasa
takut seorang hamba kepada Allah, dan kemampuannya untuk menghindari apa yang diharamkan Allah
tidak lain adalah karna ia mengetahui apa-apa yang menjadi larangan tersebut. Begitupun kecintaannya
kepada Allah muncul, dikarenakan pengetahuannya yang mendalam tentang dzat Allah. Maka,
terealisasikannya amal perbuatan secara benar yang meliputi segala ketentuan dan ketetapannya, tidak
lain karna pengetahuan yang menyeluruh terhadapnya. Sebaliknya, ketidakadaannya pengetahuan
manusia terhadap sesuatu menjadikanya sebagai musuh bagi manusia itu. Dengan demikian, bila
manusia tidak memiliki pengetahuan tentang Allah dan syariat yang ditetapkannya, maka mereka akan
memusuhinya dan menentangnya. Dengan demikian, seorang yang bertaqwa adalah yang menjalankan
segala perintahNya secara konsisten dengan kesadaran yang penuh, hingga dapat menentukan mana
yang benar dan mana salah.
d. Taqwa dalam Arti Tunduk dan Patuh
Taqwa memiliki makna filosofis yang dalam. Seperti yang dikatakan Tabataba’i bahwa dalam jiwa
seseorang terdapat dua potensi, yaitu potensi berbuat baik dan potensi berbuat jahat yang keduanya
tidak dapat berkumpul dalam satu waktu. Maka manusia yang bertaqwa adalah manusia yang mampu
mengembangkan potensi kebaikan atau ketaatan yang ada dalam dirinya dengan cara berbuat ihsan dan
meredam potensi buruknya. Hal ini menjelaskan, bahwa sekedar patuh saja tidak cukup untuk
menempatkan manusia ke dalam derajat taqwa yang sesungguhnya. Manusia bertaqwa haruslah
manusia yang produktif dalam kebaikan. Sehingga kebaikan itu bukan hanya dirasakan untuk dirinya
sendiri, namun juga untuk sekitarnya.
Pendapat ini diperkuat oleh Hamka dalam tafsirnya al-Azhar, yang mengatakan bahwa dalam kalimat
taqwa terkandung arti yang lebih komprehensif, yakni: cinta, kasih, harap, cemas tawakkal, ridha,
sabar, berani, dan lain-lain. Ini menunjukan betapa kompleksnya arti taqwa yang sesungguhnya. Ia
bukan hanya berarti melindungi diri dari hal-hal yang membahayakan, akan tetapi juga berarti
semangat untuk memperbaiki dan membangun hidup dan kehidupannya melalui semangat beragama,
baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual. Terkait dengan kedua potensi yang dimiliki manusia
(baik dan buruk), taqwa mengisyaratkan akan usaha seorang manusia untuk mereduksi keburukan yang
ada dalam dirinya dan menggantinya dengan kebaikan. Usaha tersebut dilakukan atas dasar kesadaran
total akan wujud perintah Allah terhadap kebaikan dan larangannya terhadap keburukan, sehingga apa
yang dilakukannya bersumber dari petunjuk AllahInilah yang kemudian disebut sebagai sebuah
kepatuhan dan ketundukan total kepada Allah.
Kepatuhan dan ketundukan manusia kepada Allah ini mengharuskan manusia untuk menjalankan
syariat Islam yang diturunkan secara komprehensif dan universal tanpa menambahnya atau
mengurangi. Ini dikarenakan, semua aturan itu telah diatur sedemikian lengkapnya dalam al-Qur’an.
Sebagai contoh, dalam bentuk hubungan antar sesama manusia (Hablum minannas), al-Qur’an
mengatur sistem perdagangan yang bersih, dan jujur, menjauhi riba ataupun perbuatan curang dalam
takaran dan timbangan. Selain itu, untuk menekan tindak kriminal, al-Qur’an secara tegas
menghadirkan solusi dengan memberikan balasan yang setimpal kepada pelakunya (qishas) hingga
menimbulkan efek jera, yang berimplikasi meminimalisir tindak kriminal. Islam juga mengatur
pengendalian hawa nafsu Serta masih banyak lagi yang tidak habis disebutkan satu-persatu. Hal ini
membuktikan, bahwa dasar hukum Islam sangatlah sempurna bagi manusia untuk membantu mereka
mengemban amanahnya di bumi. Oleh sebab itu, manusia hanya perlu menjalankan dengan penuh
kepatuhan, dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan.
Untuk menjaga produktivitas ketaqwaan, taqwa mengisyaratkan kepada seorang muslim agar
senantiasa melakukan aktivitas yang baik dan bermanfaat, sehingga berdampak kepada kemakmuran
dan kesejahteraan umat. Didalamnya juga terdapat himbauan untuk dapat menjalin ukhuwwah
Islamiyah yang kuat terhadap sesama muslim dan seluruh makhluk Allah di dunia. Tatanan hidup yang
dibentuk oleh Islam secara universal dan komprehensif tersebut bertujuan untuk membentuk sebuah
umat yang berakhlak qur’ani sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Jika seorang manusia
mampu menjalankan semua peraturan yang telah ditetapkan tersebut, maka barulah ia dikatakan
sebagai seorang yang bertaqwa. Implikasinya adalah munculnya akhlak yang baik dari dalam diri
seorang, sebagai buah dari konsistensi ketaqwaan. Oleh sebab itu, dalam pembentukan akhlaq yang
baik, ketaqwaan adalah kunci utamanya.
Dengan akhlak yang baik nan konsisten tersebut, seseorang akan terus menghasilkan perbuatan baik
yang berakibat pada bertambahnya pahala yang ia dapatkan. Pada akhirnya, ia akan memperoleh
sebuah kemenangan dan balasan yang baik berupa pengampunan dosa, derajat yang mulia, surga dan
segala kenikmatannya. Semua perolehan tersebut adalah hasil dari ketaqwaan yang produktif dan
konsisten.

D. Implikasi Taqwa
Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa ketaqwaan seorang muslim merupakan hasil dari
perpaduan antara kepercayaan (Iman), kepatuhan dan pengetahuan, maka hasil dari perpaduan ini pun
(ketaqwaan) juga membuahkan manfaat yang dapat terlihat dalam diri seseorang berupa;
 Mendapatkan sikap furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, benar dan
salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela.
 Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumiMendapatkan jalan keluar dari kesulitan
 endapatkan rezeki tanpa diduga-duga.
 Mendapatkan kemudahan dalam urusannya.
 Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar.
Keseluruhan hasil ini dapat dirasakan oleh seorang muslim, semasa ia hidup di dunia, maupun setelah
ia berpulang ke akhirat. Semuanya merupakan wujud dari hasanah fi ad-dunya dan hasanah fi al-
Akhirah yang menjadi dambaan setiap insan mukmin. Dengan demikian, taqwa dapat dikatakan sebagai
sebuah kedudukan yang merupakan akumulasi dari Iman, Islam dan Ihsan, yang membuahkan kebaikan
dan manfaat bagi seorang muslim.

Kesimpulan
Terma taqwa mengandung beberapa arti yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Ia (taqwa) dapat
diartikan sebagai sebuah sikap takut, waspada, dan hati-hati terhadap apa yang menjadi larangan Allah,
yang menjadi landasan ketauhidan seorang hamba. Taqwa juga mengisyaratkan akan tunduk dan
patuhnya seorang hamba terhadap apa yang menjadi perintahnya, yang berbuah keselamatan di dunia
dan akhirat serta segala hal yang menyertainya berupa kedamaian, pertolongan dan jaminan untuk
keadaan yang lebih baik.

Selain itu, taqwa juga berarti kemampuan seseorang untuk dapat membedakan yang haq dan batil, yang
diperolehnya dari konsistensi ketaatannya kepada Allah. Ia secara umum dapat diartikan sebagai
sebuah refleksi dari Iman, Islam dan Ihsan. Dengan demikian, taqwa mengandung makna yang sangat
mendalam yang mengindikasi sebuah kedudukan yang hanya bisa didapatkan dengan mematuhi
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.

Daftar Pustaka
Abdillah, Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu. 1964. Tafsir Al-
Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an. Kairo: Dar al-Fikr
Al-‘Arabi, Muhammad Ibnu Abdillah Abu Bakar Ibnu. Annash Al-Kaamil Li Kitaabi Al-‘Awaashimi
Min Al-Qawaashimi, Mesir: Maktabatu Darut Turats
Al-Asfahaniy, al-Raghib. 1972. Mu ‘jam MufraddtAlfaz Al-Qur ‘an. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Baqiy, Muhamad Fu’ad Abd. 1945. Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Mesir: Dar
al-Kutub
Al-Baydhowi, Nashiruddin Abu al-Khairi Abdullah Ibnu ‘Umar Ibnu Muhammad. 1997. Anwaru At-
Tanzil wa Asraru At-Ta’wil. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1989. Ihya ‘Ulumuddin, Juz I. Beirut: Dar al-Ma’rifah
Al-Hanafi, Abu Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-
Bukhari. At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Al-Mahali, Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Tanpa Tahun. Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah

Al-Qur’an Al-Karim

Al-Qusyairi, Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abd Malik. 2010. Tafsir Al-Qusyairi, Mesir: al-Hayatu al-
Mishriyyah al-‘amah li al-Kitab
Al-Zamakhsyari, Muhammad Ibnu Umar. 1977. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil
Fi Wujuh al~Ta ‘wii. Beirut: Dal al-Fikr
As-Samarqhandi. Bahrul Ulum. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Asy-Syathibi, Ibrahim Ibnu Musa Ibnu Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi As-syahir bin. 2008. al-
I’tisham, Juz III. Saudi Arabia: Daru Ibnu Jauzi li an-nasr wa Tauzi’
At-Thusi, Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali. Fadhaaihu al-Baathinah. Kuwait:
Muassasatu Dar al-Kutub As-Tsaqaafiyyah
Hamka. 1988. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
Ibnu Kasir. 1992. Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim. Beirut: Dal al-Fikr
Ibnu Taymiyyah. 1996. al-Imaan. Yordan: al-Maktab al-Islami
Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Ridho, Muhammad Rasyid Ibnu. 1990. Ali Tafsir Al-Mannar. Kairo: Al-Hayah al- Mishriyyah
al-‘amah lilkitab
Tabataba’i, Muhammad Husen. 1991. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lamiy.
Thanthawi, Muhammad Sayyid. 1997. At-Tafsir Al-Washit, Juz I. Kairo: Nahdah Al-Misr

[1] Muhamad Fu’ad Abd. Al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Mesir: Dar al-
Kutub, 1945), hal: 848-851.
[2] Luwis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lām, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), hal: 915.
[3] Q.S Al-Baqarah: 196, 203, Al-Maidah: 4,7,8.
[4] Muhammad Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir Al-Mannar, (Kairo: Al-Hayah al- Mishriyyah al-‘amah
lilkitab, 1990), hal: 105.
[5]
Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Washit, Juz I (Kairo: Nahdah Al-Misr, 1997 ), hal: 13.
Lihat juga, al-Raghib al-Asfahaniy, Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur ‘an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),
hal: 568. Lihat juga, Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim, (Beirut: Dal al-Fikr, 1992), hal: 55. Lihat
juga, Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari,. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil
Fi Wujuh al~Ta ‘wii, (Beirut: Dal al-Fikr, 1977), hal: 120.
[6]
Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahali, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah, Tanpa Tahun), hal: 8. Lihat juga, As-Samarqhandi, Bahrul Ulum, ( ), hal: 8.
[7]
As-Samarqhandi, Bahrul Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), hal: 8.
[8]
Nashiruddin Abu al-Khairi Abdullah Ibnu ‘Umar Ibnu Muhammad al-Baydhowi, Anwaru At-Tanzil
wa Asraru At-Ta’wil, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1997 ), hal: 17-18.
[9]
Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurthubi
Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Fikr, 1964), hal: 203.
[10]
Ibid.
[11]
Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Fadhaaihu al-Baathinah, (Kuwait:
Muassasatu Dar al-Kutub As-Tsaqaafiyyah), hal: 197.
[12]
Umar bin Khatab, mengibaratkan ketaqwaan dengan seseorang yang berjalan dijalan yang dipenuhi
duri, lalu dia berjalan dengan cepat dan menghindari duri-duri tersebut. Ibid.
[13] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), hal: 18.
[14] Abu Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-Bukhari al-
Hanafi, At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hal: 98-99.
[15] Q.S Muhammad: 5
[16] Ibnu Taymiyyah, al-Imaan, (Yordan: al-Maktab al-Islami, 1996), hal: 147.
[17] Yunahar Ilyas, hal: 18.
[18] Ibid, Hal: 20.
[19] Muhammad Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir Al-Mannar, hal: 105.
[20] Q.S Al-Baqarah: 150.
[21] Q.S Yasin: 45.
[22] Abu Bakar Muhammad Ibnu Abu Ishaq Ibnu Ibrahim Ibnu Ya’qub Al-Kalabadzi al-Bukhari al-
Hanafi, At-Ta’riif Li Mazhabi Ahli at-Tashaawuf, hal: 98-99.
[23] Q.S Al-Isra’: 81
[24] Q.S Al-Hajj: 62
[25] Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1989), hal: 112
[26] Al-Qusyairi, Tafsir Al-Qusyairi, (Mesir: al-Hayatu al-Mishriyyah al-‘amah li al-Kitab, 2010), hal:
10.
[27] Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir Al-
Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, hal: 203.
[28] Q.S Al-Anfal: 29
[29] Muhammad Ibnu Abdillah Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi, Annash Al-Kaamil Li Kitaabi
Al-‘Awaashimi Min Al-Qawaashimi, (Mesir: Maktabatu Darut Turats) hal: 17.
[30] Q.S Al-Hajj: 8
[31] Muhammad Husen Tabataba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lamiy,
1991), hal: 375.
[32] Q. S Al-A’raf: 7
[33] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal: 122-123.
[34] Ibnu Taymiyyah, Al-Imaan, hal: 132
[35] Ibrahim Ibnu Musa Ibnu Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi As-syahir bi Asy-Syathibi, al-
I’tisham, Juz III, (Saudi Arabia: Daru Ibnu Jauzi li an-nasr wa Tauzi’, 2008), hal 159.
[36] Masalah perdagangan ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat; Al-Baqarah: 275, 276, 278, 279,
Ali ‘imran: 130, An-Nisaa: 161, Ar-Rum: 39, Al-An’am: 152, Al-A’raf: 85, Hud: 84, 85, Ar-Rahman:
9, dan Al-Mutaffifin: 1.
[37] Masalah qishas dijelaskan dalam al-Qur’an dalam surat; Al-Baqarah: 179.
[38] Mengenai kebutuhan fiologis dan biologis manusia yang mencakup makan, minum, serta
kebutuhan seksual, yakni apa yang dihalalkan bagi manusia dan apa yang diharamkan kepadanya, al-
Qur’an telah menyebutkannya di dalam surat; Al-A’raaf: 31, Al-Mu’min: 79, Yasin: 72, Al-Mu’minun:
21, An-Nahl: 5, An-Nisa: 15, Al-Isra’: 32.
[39] Perintah untuk menjalin ukhuwwah Islamiyah yang menjadi cakupan taqwa tersebut meliputi hal-
hal yang bersifat individual maupun komunal, seperti saling bantu-membantu dalam kebaikan,
berprilaku adil, menepati janji, kejujuran hingga hubungan dalam keluarga. Q.S: Ali Imran: 76, Al-
Baqarah: 282, Al-Maidah: 8, Al-Anfal: 58, An-Nisa’: 135, 129, 127, 105, 58.
[40] Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai “sesuatu yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Hal ini
mengindikasikan bahwa akhlak adalah spontanitas seseorang yang lahir dari suatu kebiasaan. Dengan
demikian, bila seseorang membiasakan dirinya untuk berbuat baik, spontanitas yang timbul dari dirinya
adalah kebaikan. Inilah yang dinamakan akhlak yang baik. Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, hal: 58
[41] Al-Qur’an menyebutkan banyak sekali keberuntungan yang didapatkan dari ketaqwaan seeorang,
diantaranya dalam surat; An-Nur: 52, Al-Baqarah: 212, Ali ‘Imran: 15, Annisa: 77, Al-A’raf: 35 dsb.
[42] Q.S Al-Anfal: 29
[43] Q.S Al-A’raf: 96
[44] Q.S At-Thalaq: 2
[45] Q.S At-Thalaq: 3
[46] Q.S At-Thalaq: 4
[47] Q.S Al-Anfal: 29, Q.S At-Thalaq: 5
[48] Yunahar Ilyas, hal: 24

Anda mungkin juga menyukai