Makalah Ini di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan kepada Allah kami mohon ampun.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini khususnya kepada Dosen kami yang telah membimbing dan
memberikan pengarahan kepada kami dalam menulis makalah ini sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUIAN.................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................................1
1.3. Tujuan Masalah.....................................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN......................................................................................................................2
2.1. Pengertian Fiqh Muamalah....................................................................................................2
2.2. Pembagian Fiqh Muamalah...................................................................................................4
2.3. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah............................................................................................6
2.4. Hubungan Fiqh Muamalah dengan Fiqh Lain........................................................................7
BAB 3 PENUTUP................................................................................................................................8
3.1. Kesimpulan............................................................................................................................8
3.2. Saran......................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................9
iii
BAB 1
PENDAHULUIAN
4
BAB 2
PEMBAHASAN
Sebagian ulama juga menambahkan bahwa kata fikih secara bahasa berarti memahami
sesuatu secara mendalam dan tidak hanya sekedar tahu. Jika seseorang mengatakan
( كالمك فقهتaku mengerti perkataanmu) maka orang tersebut benar-benar memahami
maksud dan tujuan perkataan lawan bicaranya2.
Menurut terminologi, seperti mana yang diungkapkan oleh mayoritas ulama, fikih
adalah:
Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan yang
diperoleh dari dalil-dalil terperinci3. Ibnu khaldun menjelaskan bahwa pengetahuan
tentang hukum-hukum Allah swt. tentang amal perbuatan manusia dalam term
kewajiban, larangan, anjuran, makruh dan mubah yang didapatkan dari al-Qur`an dan
hadis serta dalil-dalil lainnya sehingga ketika lahir konklusi hukum atas sebuah
perbuatan berdasarkan dalil maka itulah fikih4.
1
Majma al-Lugah al- Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasīṭ, jil. 2 (Kairo: Maktabah al-Syurūq al-Daulīyah, 2004), h.
698.
2
Wizārah al-Awqāf wa al-Syu`un al-Islamīyah al-Kuwaitīyah, Al- Mausū’ah al-Fiqhīyah al-Kuwaitīyah, jil. 1
(Kuwait: Dār Al-Salasil, 1427H), cet. 2, h. 12.
3
Ali Bin Muhammad al-Jurzani, Kitāb al-Ta’rīfāt (Beirut: Dār al- Kutub al-‘Ilmīyah, 1983), cet. 1, h. 168.
4
Muhammad Ustman Syabir, Al-Madkhal Ilā Fiqh al-Mu’āmalāt al- Mālīyah (Oman: Dār al-Nafā`is, 2010),
cet. 2, h. 10.
5
Pengertian ini menunjukkan bahwa fikih secara garis besar bermuara pada perilaku
dan tindak-tanduk manusia yang dapat dilihat secara kasat mata. Baik dalam konteks
vertikal atau hubungan dengan Sang Pencipta maupun dalam konteks horizontal atau
hubungan sesama manusia.
Fikih yang diartikan dengan pemahaman ini tidak hanya terbatas pada mengetahui
hukum perbuatan, tetapi lebih dari itu, fikih berarti memehami sumber – sumber
hukum, pendidikan dalil , illah hukum , maqasid hukum, sumber – sumber dan
hallainnya yang berkaitan dengan hukum.
Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan5. Jadi, pengertian muamalah
dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk mengatur manusia
dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit (khas), di- definisikan oleh para
ulama sebagai berikut:
1. Menurut Hudhari Byk yang dikutip oleh Hendi Suhendi
Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar
manfaatnya6.
2. Menurut Rasyid Ridha
Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-
cara yang telah ditentukan7.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian muamalah dalam arti sempit
(khas) yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya
dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia wajib
mentaati-Nya.
Manusia dalam definisi di atas maksudnya ialah seseorang yang telah mukalaf, yang
telah dikenai beban taklif, yaitu yang telah berakal, balig dan cerdas.
5
Abdul Madjid, Pokok – pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, ( Bandung,: IAIN Sunan
Gunung Jati,1986), h. 1
6
Hendi Suhendi , Fiqh Muamalah,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 2
7
Ibid
8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,... h.vii
6
2.2. Pembagian Fiqh Muamalah
Menurut Ibn Abidin yang dikutip oleh Hendi Suhendi, fiqh muamalah terbagi
menjadi lima bagian, yaitu:
1. Mu'awadhah Maliyah (hukum Kebendaan).
2. munakahat (hukum Perkawinan).
3. Mukhashamat (hukum Acara).
4. Amanat dan Ariyah (pinjaman).
5. Tirkah (harta peninggalan)9.
Pendapat al-Fikri yang juga dikutip oleh Hendi Suhendi menyatakan bahwa
muamalah dibagi dua bagian sebagai berikut:
1. Al-Muamalah al-Madiyah
Yaitu muamalah yang mengkaji objeknya, sehingga sebagian ulama berpendapat
bahwa muamalah al-madiyah ialah muamalah bersifat kebendaan karena objek fiqh
muamalah adalah benda yang halal, haram, dan syubhat untuk diperjualbelikan,
benda-benda yang memudaratkan, dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia,
serta segi-segi yang lainnya.
2. Al-Muamalah al-Adabiyah
Yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber
dari pancaindra manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban, misalnya jujur, hasud, dengki, dan dendam.
Muamalah al-madiyah yang dimaksud al-Fikri ialah aturan- aturan yang ditinjau
dari segi objeknya. Oleh karena itu, jual beli benda bagi muslim bukan hanya
sekadar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi secara vertikal bertujuan
untuk memperoleh rida Allah dan secara horizontal bertujuan untuk memperoleh
keuntungan, tetapi juga untuk mencari ridho Allah10.
7
seseorang, baik berupa harta maupun manfaat, kepada pihak lain tanpa adanya
kompensasi. Mayoritas akad ini ditujukan untuk perbuatan sosial dan amal
kebaikan.
Contoh dari tabarru' adalah akad hibah, wasiat, wakaf, dan i'ārah. Akad-akad
tersebut memiliki satu persamaan yaitu memberikan harta atau manfaat kepada
pihak lain tanpa adanya kompensasi atas apa yang diberikannya.
3. Isqāt (pembatalan/pengguguran)
Dari sisi bahasa, isqat ) إسقاطberarti inzal atau iqā' yang berarti menjatuhkan
atau menggugurkan, baik untuk hal yang bersifat materi atau immateri. Secara
istilah, isqāt berarti menggugurkan kepemilikan atau hak si pemilik atau orang
yang berhak.19 Pengertian ini menunjukkan bahwa isqāt berlaku pada kepemilikan
dan hak.
Contoh isqāt antara lain adalah perceraian, memerdekakan budak, syufah,
penghapusan utang, dan lain sebagainya. Imam Sarkhasy berkata bahwa isqāt tanpa
ganti rugi sama dengan tabarru' yang memindahkan kepemilikan tanpa ganti
rugi.20
4. Itlāq
Secara bahasa itlaq إطالقmemiliki arti izin, membebaskan, melepaskan, atau
tanpa ikatan. Sedangkan pengertian itlāq adalah memberikan izin atau
membebaskan seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya dia tidak
mempunyai hak untuk melakukan tindakan atau perbuatan tersebut.
Contoh itlāq adalah akad wakālah atau perwakilan, di mana seseorang memberikan
izin kepada orang lain untuk menggantikan posisinya sesuai dengan kesepakatan.
5. Taqyīd
Taqyid ) (تقییدdalam bahasa berarti mengikat, membatasi atau menghalangi.
Sedangkan dalam terminologi, taqyīd berarti membatasi atau menghilangkan izin
bagi pihak yang sebelumnya mendapat izin untuk melakukan suatu perbuatan.
Taqyīd merupakan kebalikan dari ițlāq.
Contoh dari taqyīd adalah penghentian wakālah, pemberhentian hakim, nadzir
wakaf dan lain sebagainya. Selain itu, hajr juga merupakan contoh dari taqyid di
mana seseorang dibatasi haknya karena suatu alasan seperti orang gila yang
dikarantina.
6. Musyarakah
Secara bahasa, musyarakah ) مشاركةadalah perkongsian atau perserikatan dan
dapat juga dikatakan dengan pencampuran harta dari pemilik yang berbeda. Dalam
terminologi, musyarakah berarti percampuran dua porsi atau lebih dari beberapa
pihak.
Contoh akad musyarakah adalah mudārabah, syirkah, musāqqah dan lain
sebagainya.
7. Taušīq
Menurut etimologiausia ) توثیقberarti mempercayakan sesuatu atau bersandar
kepada sesuatu. Sedangkan taušīq dalam terminologi berarti akad yang
memberikan kepastian bagi debitur atas piutang yang diberikannya akan dibayar
dengan adanya jaminan dari kreditur.
8
Pengertian ini menunjukkan bahwa esensi dari taušīq adalah adanya jaminan,
garansi atau asuransi atas hak yang dimiliki seseorang karena tujuan utama dari
akad ini adalah menjaga harta dan hak orang lain. Beberapa contoh tauśīq adalah
akad gadai, kafālah, dan hawālah.
8. Istihfāz
Istihfāz ) استحفاظmenurut bahasa berasal dari kata al-hifz yang berarti menjaga.
Sedangkan menurut terminologi, istihfāz adalah setiap akad yang terjadi antar dua
belah pihak dengan tujuan untuk menitipkan dan menjaga barang. Istihfāz dikenal
juga dengan akad amanah karena si penerima barang mendapat amanah orang lain
untuk menjaga hartanya. Contoh istihfāz adalah akad wadī'ah atau akad titipan.
12
Rachmat Syafe’i, Fikih Muamalah Maliyah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 15
9
2.4. Hubungan Fiqh Muamalah dengan Fiqh Lainnya
Para ulama fiqh telah mencoba mengadakan pembidangan ilmu fiqh, namun di
antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam pembidangannya. Ada yang
membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu:
1. Ibadah, yakni segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, seperti shalat, shiyam, zakat, haji, dan jihad.
2. Muamalah, yakni segala persoalan yang berkaitan dengan urusan- urusan dunia dan
undang-undang13.
Menurut Ibn Abidin yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, pembagian fiqh dalam
garis besarnya terbagi tiga, yaitu:
1. Ibadah, bagian ini melengkapi lima persoalan pokok, yaitu shalat,zakat, shiyam, haji,
dan jihad.
2. Muamalah, bagian ini terdiri dari: mu'awadhah maliyah, munakahat, mukhashamat,
dan tirkah (harta peninggalan).
3. 'Uqubat, bagian ini terdiri dari: qishash, had pencurian, had zina,had menuduh zina,
takzir, tindakan terhadap pemberontak, dan pembegal14.
Di antara pembagian di atas, pembagian yang pertama lebih banyak disepakati oleh
para ulama. Hanya, maksud dari muamalah di atas ialah muamalah dalam arti luas,
yang mencakup bidang-bidang fiqh lainnya. Dengan demikian, muamalah dalam arti
luas merupakan bagian dari fiqh secara umum. Adapun fiqh muamalah dalam arti
sempit merupakan bagian dari fiqh muamalh dalam arti luas yang setara dengan
bidang fiqh dibawah cakupan arti fiqh secara luas.
13
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1997, h.31
14
Putra, 1997), cet. ke-1, hlm. 3113 Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam jilid I(Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), cet. ke-6, hlm. 46.
10
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum dengan
syarat hubungan keperdataan tersebut tidak dilarang oleh al-qur’an dan as-sunnah. Ini
berarti Islam membuka pintu selebar-lebarnya kepada pihak –pihak yang
berkepentingan untuk mengembangkan dan menciptakan bentuk dan macam-macam
transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman sepanjang itu tidak merugikan diri
sendiri dan orang lain.
Selain itu dalam transaksi-transaksi muamalat, yang menjadi acuannya adalah
terciptanya unsur kemaslahatan yang mengandung makna bahwa hubungan itu
mendatangkan kebaikan, berguna dan berfaedah bagi kehidupan pribadi dan
masyarakat.
3.2. Saran
Mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan
bantuan antara satu dengan yang lainnya terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari, maka dari kesimpulan diatas dapat diberikan saran kepada masyarakat yang
melakukan adat gulingan. Adapun saran dari penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dalam suatu akad (perjanjian) dalam bentuk apapun hendaknya
dilakukan secara tertulis. Apabila terjadi penyimpangan dikemudian hari, maka
dapat diselesaikan dengan adanya alat bukti.
2. Diharapkan kepada pihak yang melakukan praktek adat gulingan agar selalu
menjaga kejujuran dan kepercayaan, agar praktek adat gulingan ini terus bisa
dilakukan dan bermanfaat, dan selalu berada dalam ajaran yang di syari’atkan oleh
agama.
11
DAFTAR PUSTAKA
Majma al-Lugah al- Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasīṭ, jil. 2 (Kairo: Maktabah al-Syurūq al-
Daulīyah, 2004), h. 698.
Wizārah al-Awqāf wa al-Syu`un al-Islamīyah al-Kuwaitīyah, Al- Mausū’ah al-Fiqhīyah al-
Kuwaitīyah, jil. 1 (Kuwait: Dār Al-Salasil, 1427H), cet. 2, h. 12.
Ali Bin Muhammad al-Jurzani, Kitāb al-Ta’rīfāt (Beirut: Dār al- Kutub al-‘Ilmīyah, 1983),
cet. 1, h. 168.
Muhammad Ustman Syabir, Al-Madkhal Ilā Fiqh al-Mu’āmalāt al- Mālīyah (Oman: Dār al-
Nafā`is, 2010), cet. 2, h. 10.
Abdul Madjid, Pokok – pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam,
(Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati,1986), h. 1
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 2 Ibid
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h.vii
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,...h. 3
Ibid ,h.17
Muhammad Ustman Syabir, Al-Madkhal, h. 44-57.
Rachmat Syafe’i, Fikih Muamalah Maliyah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 15
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1997,
h.31
Putra, 1997), cet. ke-1, hlm. 3113 Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam jilid I
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. ke-6, hlm. 46.
12