Anda di halaman 1dari 26

FIQIH MUAMALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu : Nandang Abdurohim, H., M. Ag.

Disusun Oleh :
Kelompok 8 Kelas IV-B
Ismi Ayu Wulandari (1182060051)
Jessy Mustika Purnama (1182060054)
Lia Amelia (1182060058)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PMIPA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya kami masih diberi kesehatan jasmani dan rohani sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Evaluasi Pembelajaran
Biologi tepat pada waktunya.
Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini, diantaranya:
 Allah SWT yang telah memberikan nikmat kepada kami, terutama nikmat iman
dan sehat sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.
 Orangtua yang telah berjasa dan memberi motivasi dalam hidup kami.
 Bapak Nandang Abdurohim, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Fiqih.
 Kepada teman-teman seperjuangan yang telah membantu dan saling
memotivasi dalam proses pengerjaan makalah ini, sehingga dapat selesai pada
waktunya.
Penulis telah berjerih payah dalam merancang makalah ini dengan baik, apabila
terdapat sandingan makalah yang lebih baik, kami siap untuk menjadikan makalah
kami menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini mampu memberi manfaat bagi
penulis khususnya dan bagi teman-teman lainnya. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, 27 April 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
A. Pengertian Fiqh Muamalah ................................................................................. 3
B. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah ......................................................................... 6
C. Prinsip-Prinsip Fiqh Muamalah .......................................................................... 7
D. Jual Beli................................................................................................................ 11
E. Hukum Jual Beli ................................................................................................. 12
F. Rukun Jual Beli ................................................................................................... 14
a) Akid (penjual dan pembeli) .............................................................................. 14
b) Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad) ............................................................................ 15
c) Sighat (Ijab dan qabul) ...................................................................................... 15
G. Syarat-Syarat Jual Beli................................................................................... 15
1. Syarat In’iqad.................................................................................................. 15
2. Syarat Sah Jual Beli ........................................................................................ 16
3. Syarat Nafadz .................................................................................................. 16
4. Syarat Luzum .................................................................................................. 17
H. Macam-Macam Jual Beli................................................................................ 18
1. Ditinjau Dari Sah dan Tidak Sah-nya........................................................... 18
2. Jual Beli yang Dilarang .................................................................................. 18
BAB III............................................................................................................................. 21
PENUTUP........................................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Muamalah adalah salah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan
peradaban Islam yang maju di masa lalu. Muamalah juga merupakan satu bagian
dari syariat Islam, yaitu mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan
manusia, masyarakat, dan alam berkenaan dengan kebendaan dan kewajiban.

Diantara permasalahan yang paling berkembang dalam kehidupan


bermasyarakat hari ini adalah masalah muamalah, khususnya muamalah maliyah
atau interaksi sesama manusia yang berkaitan dengan uang dan harta (materi)
dengan segala bentuk macam transaksinya. Hal ini tidak dapat kami pungkiri, sebab
perubahan itu terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi. Aturan-aturan yang mengatur mengenai hal ini harus bersifat
fleksibel mengikuti zaman.

Dalam persoalan muamalah syariat Islam lebih banyak memberikan


penjelasan terkait prinsip dan kaidah secara umum dibandingkan jenis dan bentuk
muamalah secara perinci. Semakin berkembangnya teknologi, maka semakin
kompleks pula cara manusia untuk bertransaksi uang dan harta. Maka dari itu jelas
diperlukan dasar-dasar pengetahuan mengenai fiqh muamalah yang baik untuk
dijadikan pedoman bagi kaum muslim supaya tidak terjerat kepada kemudharatan.

Memang telah kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas
dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah
akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli yang
saat ini sedang ramai seperti pembelian barang-barang secara online.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang disajikan di atas, kami menyusun beberapa


rumusan masalah yakni sebagai berikut.

1. Apa yang dimaksud dengan fiqh muamalah ?

1
2. Apa saja yang menjadi ruang lingkup dari fiqh muamalah ?
3. Apa saja prinsip-prinsip yang dijadikan dalam fiqh muamalah ?
4. Apa pengertian dari jual beli ?
5. Bagaimana hukum tentang jual beli ?
6. Apa saja rukun pada saat jual beli ?
7. Apa saja syarat-syarat yang harus ada ketika jual beli ?
8. Apa saja bentuk dari jual beli ini ?
C. Tujuan

Dari rumusan masalah yang ada, kami menyusun tujuannya yakni sebagai berikut.

1. Mengetahui pengertian secara bahasa dan secara istilah dari fiqh muamalah.
2. Mengetahui apa saja yang menjadi ruang lingkup dari fiqh muamalah.
3. Memahami prinsip-prinsip apa yang menjadi pedoman dalam fiqh
muamalah.
4. Mengetahui pengertian dari jual beli.
5. Mengetahui dan memahami hukum dari jual beli seperti apa.
6. Mengenali rukun-rukun yang ada ketika melakukan jual beli.
7. Mengetahui persyaratan ketika melakukan suatu jual beli.
8. Mengenali berbagai macam bentuk dari jual beli.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh Muamalah

Kata fiqh secara etimologi adalah (‫ )الفقه‬yang memiliki makna pengertian


atau pemahaman. Menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan
keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak,
maupun ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan
selanjutnya, fiqh diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan
tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.

Secara bahasa Muamalah berasal dari kata amala yu’amilu yang artinya
bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah
Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditentukan. Muamalah juga dapat diartikan sebagai segala aturan
agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan
alam sekitarnya tanpa memandang perbedaan.

Fiqh Muamalah menurut para ahli dalam arti luas :

1. Menurut Ad-Dimyati, fiqh muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan


duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
2. Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan hukum
mengenai kegiatan perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman,
ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat pengadilan, bahkan soal
distribusi harta waris.
3. Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum
mengenai hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan
bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama
lain.
4. H. Lammens, S.J., guru besar bidang bahasa Arab di Universitas Joseph, Beirut
sebagaimana dikutip dalm buku Pengantar Fiqh Mu’amalah karya Masduha
Abdurrahman, memaknai fiqh sama dengan syari’ah. Fiqh secara bahasa

3
menurut Lammens adalah wisdom (hukum). Dalam pemahamannya, fiqh adalah
rerum divinarum atque humanarum notitia (pengetahuan dan batasan-batasan
lembaga dan hukum baik dimensi ketuhanan maupun dimensi manusia).
5. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqh dengan pengetahuan tentang
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-
dalil yang terinci atau kumpulan hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.

Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia


dalam urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemayarakatan.
Manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan yang telah
ditetapkan Allah swt. sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala
aktifitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dalam
Islam tidak ada pemisahan antara amal perbuatan dan amal akhirat, sebab sekecil
apapun aktivitas manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT agar
kelak selamat di akhirat.

Fiqh Muamalah menurut para ahli dalam arti sempit:

1. Menurut Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan


manusia saling menukar manfaat.
2. Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan
jasmaninya dengan cara yang paling baik.

Jadi pengertian Fiqh muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada
keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan
mengembangkan mal (harta benda). Fiqh muamalah juga membahas tentang hak
dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad agar setiap hak sampai
kepada pemiliknya serta tidak ada pihak yang mengambil sesuatu yang bukan
haknya.

4
Dilihat dari objek hukumnya, fiqh terbagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti; thaharah, shalat, puasa,


haji, zakat, nazar, dan sumpah serta segala sesuatu bentuk ibadah yang
berkaitan langsung antara manusia dengan Tuhannya
2. Hukum-hukum mu’amalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia atau hubungan manusia dan lingkungan sekitarnya
baik yang bersifat kepentingan pribadi maupun kepentingan, seperti hukum-
hukum perjanjian dagang, sewa menyewa dan lain-lain.

Mu’amalah menurut golongan Syafi’i adalah bagian fiqh untuk urusan-


urusan keduniaan selain perkawinan dan hukuman, yaitu hukum- hukum yang
mengatur hubungan manusia sesama manusia dan alam sekitarnya untuk
memperoleh kebutuhan hidupnya.

Menurut Ibnu Abidin, muamalah meliputi lima hal, yakni transaksi


kebendaan (Al-Mu’awadlatul amaliyah), pemberian kepercayaan (Amanat),
perkawinan (Munakahat), urusan persengketaan (Gugatan dan peradilan), dan
pembagian warisan.

Jadi, dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa fiqh muamalah dapat
diartikan dalam dua pengertian sebagai berikut :

1. Fiqh muamalah dilihat dari sisi bahwa ia adalah sebuah kesatuan hukum dan
aturan-aturan tentang hubungan antar sesama manusia dalam hal kebendaan
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
2. Fiqh muamalah dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang hukum.

Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa secara garis besar definisi atau
pengertian fiqh muamalah yaitu, hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara
berhubungan antar sesama manusia, baik hubungan tersebut bersifat kebendaan
maupun dalam bentuk perjanjian perikatan. Fiqh mu’malah adalah salah satu
pembagian lapangan pembahasan fiqh selain yang berkaitan dengan ibadah, artinya
lapangan pembahasan hukum fiqh mu’amalah adalah hubungan interpersonal antar

5
sesama manusia, bukan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan-Nya (ibadah
mahdloh).

B. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah

Dalam ruang lingkupnya Fiqh Muamalah dibagi menjadi dua yaitu Al-
Muamalah Al-Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah.

1. Al-Muamalah Al-Adabiyah

Yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar menukar benda yang
bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat adabiyah
mencakup beberapa hal, yakni diantaranya adalah ijab qabul, saling meridhai, tidak
ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang,
penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera
manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

2. Al-Muamalah Al-Madiyah

Yaitu muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian para ulama


berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah muamalah yang bersifat
kebendaan karena objek fiqh muamalah adalah benda yang halal, haram, dan
syubhat untuk diperjual belikan. benda-benda yang memadharatkan, benda-benda
yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dan beberapa segi lainnya.
Beberapa hal yang termasuk ke dalam ruang lingkup muamalah yang bersifat
Madiyah adalah sebagai berikut:

a. Jual beli (al-Bai’ al-Tijarah) merupakan tindakan atau transaksi yang telah
disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam islam.
b. Gadai (al-Rahn) yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta
dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga
memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
c. Jaminan dan tanggungan (Kafalan dan Dhaman) diartikan menanggung atau
penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari
seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain,

6
dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak
tersebut dalam menghadapi penagih (utang). Sedangkan dhaman berarti
menanggung hutang orang yang berhutang.
d. Pemindahan hutang (Hiwalah) berarti pengalihan, pemindahan.

Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama)


kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar
hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama.
Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran
maupun tidak.
e. Jatuh bangkrut (Taflis) adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh
kekayaannya habis.
f. Perseroan atau perkongsian (al-Syirkah) dibangun atas prinsip perwakilan dan
kepercayaan, karena masing-masing pihak yang telah menanamkan modalnya
dalam bentuk saham kepada perseroan, berarti telah memberikan kepercayaan
kepada perseroan untuk mengelola saham tersebut.
g. Masalah-masalah seperti bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah- masalah
baru lainnya.
C. Prinsip-Prinsip Fiqh Muamalah

Prinsip mendasar dari muamalah adalah manusia diciptakan sebagai khalifah


di bumi untuk mengembangkan dan melestarikan bumi. Bumi ditundukkan untuk
diambil manfaatnya oleh manusia. Firman Allah swt dalam surat Al-An’am : 165
yang artinya sebagai berikut.

"Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di Bumi dan Dia
mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas
(karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat
memberi hukuman, dan sungguh Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Manusia menjadi khalifah di muka bumi ini memiliki kewajiban untuk


mengelola dan memanfaatkan yang ada di bumi. Untuk tetap tertata dengan baik
dan teratur semua aspek yang ada di bumi ini memerlukan adanya aturan. Dengan
adanya agama maka diberikan aturan main antara yang boleh dan tidak boleh

7
dilakukan. Islam sendiri memiliki aturan-aturan main supaya umatnya tidak resah
dan tetap dapat menjalani kehidupannya dengan baik, salah satunya aspek dalam
dunia perdagangan (ekonomi). Kegiatan ekonomi tidak hanya sebatas nilai materi
saja tetapi juga akan bernilai ibadah. Berikut ini prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan dalam fiqh muamalah.

1. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (diperbolehkan).

Ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah
diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Kegiatan
transaksi apapun hukumnya halal, sepanjang belum/tidak ditemukan nash yang
secara shahih melarangnya. Kaidah ini menjadikan fikih muamalah fleksibel, tidak
kaku, dan tidak ketinggalan dalam menjawab perkembangan kontemporer serta
interaksi sosial, sehingga syari’ah dapat menangkap segala transaksi muamalah.

Konsekuensi dari hukum asal muamalah adalah memilah dan memilih mana
yang halal dan haram. Prinsip mengedepankan yang halal dan menjauhi yang
haram, termasuk menjauhi transaksi berbau riba. Firman Allah pada surat al-
Baqarah ayat 175 yang artinya :

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

2. Konsentrasi Fikih Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan

Fiqih muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan,


mereduksi permusuhan, dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak
menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan
hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang
gerak kehidupan manusia.

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Syari’ah datang dengan membawa


kemaslahatan dan menyempurnakannya, menghilangkan kerusakan dan
meminimalisirnya, mengutamakan kebaikan yang lebih dan kemudharatan yang
sedikit, memilih kemaslahatan yang lebih besar dengan membiarkan yang lebih
kecil, dan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan memilih yang lebih
kecil).

8
3. Mendahulukan barang-barang kebutuhan pokok dengan harga murah

Barang-barang kebutuhan pokok/barang produksi (‫ )ﻟﺴﻠﻌﺔا ﻟﻤﻨﺘﺠﺔا‬diperlukan


oleh semua orang, utuk itu harus diberikan harga yang murah kepada mereka dan
hal itu akan terjadi jika beban produksi murah. Untuk itu, Islam mengedepankan
meringankan beban kewajiban produksi dan menghindari biaya tinggi pada
produksi barang kebutuhan pokok. Islam mengharamkan penimbunan karena dapat
menimbulkan kenaikan harga.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Penjual (al-jâlim) diberkahi dan


penimbun dilaknat)”. Hadits lain mengatakan: “Sejelek- jelek manusia adalah
penimbun, jika harga murah dia sedih, dan jika harga naik dia bahagia”.

4. Tidak mencampuri transaki orang lain

Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu sudah ditentukan takdirnya oleh


Allah swt. Islam juga mengajarkan agar seorang muslim mengutamakan pertalian
dan persaudaraan. Oleh karena itu, merampas dan mengambil transaksi orang lain
merupakan sikap tercela yang harus dihindari karena dapat mengganggu hubungan
sosial dengan sesama. Nabi mengingatkan: “Seseorang jangan
menjual/menawarkan kepada orang yang sedang ditawari orang lain”.

5. Tidak berlebihan dalam kebutuhan

Islam mengajarkan kepada umatnya agar saling menolong antar sesama dan
membantu memenuhi kebutuhan orang lain. Perintah ini sesuai dengan hadis Nabi
saw yang mengatakan: “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak
mendzalimi dan membiarkannya. Barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya,
maka Allah akan memenuhi kebutuhannya, dan barangsiapa meringankan kesulitan
orang lain, Allah akan meringankannya kesulitan-kesulitan di hari kiamat”. (HR.
Tirmidzi dari Abu Dawud)

9
6. Kemudahan dan Murah hati

Murah hati merupakan ajaran dan etika Islam. Murah hati dalam muamalah
juga sangat dianjurkan dalam Islam. Contoh toleransi dalam muamalah antara lain:

a. Toleransi dalam jual beli dengan memaafkan kesalahan kecil dan ramah. Nabi
saw bersabda:

“Allah merahmati orang yang ramah ketika menjual, membeli dan


meminta/menuntut”. (HR. Bukhari)

b. Mengkreditkan kepada orang yang kesulitan dan menunda pembayaran barang


yang disepakati penyerahannya pada waktu tertentu. Dalam hal seperti ini
dilegalkan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 280)

c. Menerima pembatalan transaksi, karena pembeli merasa tidak perlu terhadap


barang dagangan yang ia beli atau karena ada cacat. Nabi bersabda:

“Barangsiapa menerima pengembalian orang lain, Allah akan mengampuni


kesalahannya”. (HR. Abu Dawud)

7. Jujur dan Amanah

Nabi sangat menganjurkan agar pedagang menerapkan prinsip kejujuran


dan amanah dalam urusan berniaga. Bahkan Nabi menyatakan, pedagang yang
memiliki dua sifat terpuji ini ditempatkan dengan nabi-nabi di hari kiamat.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Pedagang yang amanah dan jujur bersama
para nabi, orang-orang jujur dan syuhada”. (HR. Tirmidzi)

8. Menjauhi Penipuan (gharar)

Gharar dimaksud di sini adalah ketidakjelasan baik dari sisi barang, harga,
ataupun penerimaan. Menipu, membohongi, mengurangi timbangan hukumnya

10
haram. Contohnya adalah membeli barang dengan syarat pembayaran dilakukan
setelah orang tua datang, sementara kapan kedatangan orang tua tidak diketahui.

Mengurangi timbangan ketika menjual dan meminta lebih timbangan ketika


membeli. Firman Allah dalam surat al-Muthaffifîn ayat 1-3 yang artinya :

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang


apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.

9. Memenuhi Akad atau transaksi

Menepati janji dan memenuhi transaksi/akad hukumnya adalah wajib.


Sebagaimana membayar hutang. Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 1
yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.

10. Tidak Bersumpah Terhadap Barang Dagangan

Sumpah dalam jual beli tidak diajarkan dalam Islam karena dapat
mendatangkan keburukan dikemudian hari. Sabda Nabi melarang hal demikian :

“Jauhilah dirimu dari berbanyak sumpah dalam jual beli, karena akan
mengurangi dan menghabiskan”. (HR. Muslim).

11. Kerja Keras

Keras keras dibarengi dengan sikap ikhlas adalah kunci keberhasilan dalam
berusaha. Kerja keras menunjukkan semangat dan kemauan yang tinggi untuk maju
dan berkembang. Sifat inilah yang seharusnya menjadi etos kerja setiap pribadi
muslim. Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai
hambanya yang bekerja keras dalam usaha”. (HR. Baihaqi).

D. Jual Beli

Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini


(Kifayatul Akhyar:534), bahwa diterangkan sebuah lafaz Bai’ menurut Lughat

11
artinya: memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu yang lain. Sedangakan Bai’
menurut syara’, jual beli artinya: membalas suatu harta benda seimbang dengan
harta benda yang lain, yang keduanya boleh dikendalikan dengan ijab qabul
menurut cara yang dihalalkan oleh syara’ (Siswadi, 2013:60).

Sedangkan menurut Dimyaudin (Fiqih Muamalah:69), menjelaskan bahwa


jika secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu.
Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta
dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Disini harta diartikan sebagai
sesuatu yang memiliki manfaat serta ada kecenderungan manusia untuk
menggunakannya. Dan cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan
ijab dab qabul.

Dari kedua pemaparan diatas terdapat kesamaan yaitu mengenai kata kerja,
pelaku, dan objeknya. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan jual beli terdapat unsur-
unsur :

1) Jual beli dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan, yang saling
melakukan tukar menukar.
2) Kegiatan tukar menukar tersebut atas suatu harta (barang). Atau sesuatu
yang dihukumi sebagai harta yang seimbang nilainya.
3) Adanya perpindahan kepemilikan antara pihak yang melakukan transaksi
tukar-menukar harta tersebut.
4) Dilakukan dengan cara tertentu yang dibenarkan oleh hukum syara’.

E. Hukum Jual Beli

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang
lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya maka manusia harus berinteraksi
dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, jual beli dapat digunakan sebagai salah
satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, sarana tolong menolong antara
sesama umat manusia yang mempunyai landasan kuat dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyinggung tentang jual beli,

12
bahwasannya jual beli pada dasarnya merupakan akad yang diperbolehkan salah
satu nya dalam surah berikut ini.(al Baqarah:275)

Artinya : “… dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

Dan hadist Nabi yang berasal dari Said bin Umar menurut riwayat al-Bazar
yang disahkan oleh al-Hakim:

Artinya, ”Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa
yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seorang dengan tangannya dan jual beli
yang mabrur”.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa jual beli itu dihalalkan


(kebolehan) sedangkan riba diharamkan (menolak). Allah SWT adalah dzat yang
maha mengetahui atas hakikat persoalan kehidupan. Maka, jika dalam suatu perkara
terdapat kemaslahatan, maka akan diperintahkan untuk dilaksanakan. Kemudian
sebaliknya jika menyebabkan kemudharatan, maka Allah SWT akan melarangnya.
Bahkan dijelaskan bahwa usaha jual beli adalah usaha yang paling baik. (Siswadi,
2013: 61).

Telah diterangkan dalam hadist Rasulullah yang juga menjelaskan bahwa


jual beli yang sah adalah jual beli yang dilandasi rasa suka sama suka kedua belah
pihak yaitu sebagai berikut:

Yang artinya: “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka” (HR
Bukhari).

13
Kemudian bagaimana apabila proses jual beli ada ketidaksesuaian antara
penjual dan pembeli, maka diterangkan dalam hadist “Dua orang jual beli boleh
memilih akan meneruskan jual beli mereka atau tidak, selama keduanya belum
berpisah dari tempat akad.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka dari itu boleh membatalkan proses jual beli apabila ada
ketidaksesuaian dari pihak penjual maupun pembeli, selama masih berada di tempat
tersebut dan belum melakukan transaksi pembayaran yang telah disepakati.

Menurut argumen Abdu al-Rahman dalam bukunya tentang hukum jual beli
dijelaskan bahwa. Jual beli dapat bersifat wajib apabila penjual atau pembeli
didasarkan untuk kelangsungan hidupnya. Misalnya seseorang harus menjual dan
membeli makanan untuk memenuhi kelangsungan hidup. Adapun jual beli menjadi
sunnah jika seseorang bersumpah untuk menjual suatu barang, dan tidak membuat
bahaya terhadap dirinya, maka hukum menjual dan memberinya sunnah. Jual beli
juga bisa menjadi makruh, jika yang diperjual belikan barangnya makruh. Adapun
jual beli menjadi haram apaibila yang diperjual belikan barangnya haram
(Apipudin, 2016: 83).

F. Rukun Jual Beli

Rukun merupakan sesuatu pekerjaan yang harus dimulai sebelum


melakukan pekerjaan. Rukun menurut ajaran Islam merupakan hal yang pokok
yang tidak boleh ditinggalkan, apabila ditinggalkan maka tidak sah sesuatu yang
akan kita kerjakan tersebut. Sehingga rukun merupakan suatu hal yang mendasar
yang tidak boleh ditinggalkan.

Menurut Imam Nawawi rukun jual beli meliputi tiga hal, yaitu: harus
adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud alaihi (barang yang diakadkan)
dan shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul (penerimaan) (Siswadi, 2013:
62).

a) Akid (penjual dan pembeli)

Adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi atau akad jual beli. Yang
terdiri dari penjual dan pembeli. Seorang penjual dan pembeli haruslah mempunyai

14
ahliyah (kecakapan) dan wilayah (kekuasaan), baik itu merupakan pemilik asli
maupun wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk
mentransaksikanya.

b) Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad)

Adalah suatu obyek yang diperjual belikan yang harus jelas bentuk, kadar
dan sifat-sifatnya dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi apabila
jual beli barang yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah
satu dari keduanya, maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’I telah mengatakan, tidak
sah jual beli tersebut karena ada unsure penipuan.

c) Sighat (Ijab dan qabul)

Ijab adalah sebuah perkataan atau perbuatan yang disampaikan pertama oleh
satu pihak yang menunjukan kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual maupun si
pembeli. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang timbul dari orang yang akan
menerima hak milik meskipun keluarnya pertama. Dalam konteks jual beli, yang
memiliki barang adalah penjual sedangkan yang akan memilikinya adalah pembeli.
Demikian, pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual disebut Ijab, sedangkan
pernyataan yang dikeluarkan oleh pembeli disebut qabul.

G. Syarat-Syarat Jual Beli

Jual beli merupakan suatu akad yang dianggap sah apabila memenuhi syarat
yang telah ditetapakan oleh syariat islam. Syarat-syarat jual beli ada 4 yaitu, syarat
in’iqad (terjadinya akad), syarat sahnya jual beli, syarat nafadz (kelangsungan jual
beli) dan syarat luzum (mengikat) (Muslich, 2015).

1. Syarat In’iqad

Syarat In’iqad yaitu syarat yang harus terpenuhi agar akad sah secara syara’
jika syarat ini tidak terpenuhi maka akad dianggap batal. Menurut Hanafiah ada
empat syarat untuk keabsahan jual beli yaitu, syarat yang berkaitan dengan aqid,
akad, tempat terjadinya akad dan objek yang di akadkan, yang pertama syarat aqid
ialah harus berakal atau mumayyiz dan harus berbilang atau lebih dari satu orang.
Yang kedua syarat akad yang sah ialah qobul harus seuai dengan ijab artinya

15
pembeli menerima apa yang di ijabkan oleh penjual apabila tidak sesuai akad jual
beli dianggap tidak sah, yang ketiga syarat tempat terjadinya akad haruslah berada
pada satu majlis jika berada pada majlis yang berbeda maka akad jual beli tidak sah.
Yang terakhir adalah syarat objek yang di akadkan yaiu haruslah maujud (ada),
barang yang di akadkan haruslah barang yang dikuasai secara langsung dan boleh
diambil manfaatnya menurut syariat, barang yang di akadkan haruslah barang yang
sudah dimiliki dan dapat diserahkan pada saat akad jual beli dilaksanakan.

2. Syarat Sah Jual Beli

Syarat Sah Jual Beli dibagi menjadi 2 yaitu syarat khusus dan syarat
umum. Syarat umum adalah syarat yang harus terpenuhi pada setiap jenis akad
jual beli. Jual beli dikatakan sah apabila terhindar dari :

a. Ketidak jelasan barang yang dijual baik jenis, macam, maupun kadarnya
menurut pembeli, ketidak jelasan harga ataupun masa apabila jual beli
dilakukan dengan cara angsuran
b. Adanya pemaksaan dalam kesepakatan akad jual beli
c. Adanya pembatasan waktu karena kapemilikan atas suatu barang tidak dapat
dibatasi oleh waktu
d. Ketidak jelasan atau gharar dalam sifat barang maupun bentuknya
e. Adanya kemudharatan dalam penyerahan barang yang di akad kan
f. Adanya syarat yang merusak yaitu ,syarat yang hanya menguntungkan salah
satu pihak dan syarat tersebut tidak ada dalam syara’ maupun ada kebiasaan
setempat.

Syarat khusus sahnya jual beli ialah barang harus diterima saat akad
berlangsung, mengetahui harga pertama apabila jenis jual belinya adalah
murabahah, saling menerima penukaran, harga yang dipertukarkan sama dan sesuai
dengan kesepakatan yang telah disepakati kedua belah pihak.

3. Syarat Nafadz

Syarat nafadz adalah syarat yang harus terpenuhi agar jual beli berlangsung
ada dua syarat yang harus terpenuhi yaitu barang yang diperjual belikan haruslah
dikuasai sepenuhnya atau hak milik penjual sepenuhnya bukan hak milik orang lain

16
yang kedua ialah barang yang diperjual belikan tidak terdapat hak orang lain
didalamnya. Dilihat dari segi syarat nafadz jual beli dibagi menjadi dua yaitu jual
beli nafadz dan jual beli mauquf.

Jual beli nafadz adalah jual beli yang rukunnya, syarat in’iqadnya dan syarat
nafadznya terpenuhi sedangkan jual beli mauquf atau ditangguhkan adalah jual beli
yang rukunnya dan syarat in’iqadnya terpenuhi tetapi syarat nafadznya tidak
terpenuhi

4. Syarat Luzum

Syarat Luzum yaitu syarat terikatnya jual beli secara sah yaitu dengan
melakukan akad jual beli yang terbebas dari salah satu jenis khiyar yang
memperbolehkan membatalkan akad jual beli secara sepihak seperti khiyar syarat,
khiyar ru’yah dan khiyar aib.

Syarat barang yang hendak diperjual belikan adalah barang itu suci, artinya
bukan barang najis. Barang itu bermanfaat. Barang itu milik sendiri atau milik
orang lain yang telah mewakilkan untuk menjualnya.Barang itu dapat
diserahterimakan kepemilikannya. Barang itu dapat diketahui jenis, ukuran, sifat
dan kadarnya.

Selain syarat barang yang harus dipenuhi dalam jual beli ada beberapa
syarat penjual dan pembeli yang harus dipenuhi dalam kegiatan jual beli, yaitu :
Pertama, berakal sehat, orang yang tidak sehat pikirannya atau idiot (bodoh), maka
akad jual belinya tidak sah. Kedua, atas kemauan sendiri, artinya jual beli yang
tidak ada unsur paksaan. Ketiga, sudah dewasa (baligh), artinya akad jual beli yang
dilakukan oleh anak-anak jual belinya tidak sah, kecuali pada hal-hal yang sifatnya
sederhana atau sudah menjadi adat kebiasaan, seperti jual beli es, permen dan lain-
lain. Keempat, keadaan penjual dan pembeli itu bukan orang pemboros terhadap
harta, karena keadaan mereka yang demikian itu hartanya pada dasarnya berada
pada tanggungjawab walinya.

17
H. Macam-Macam Jual Beli
1. Ditinjau Dari Sah dan Tidak Sah-nya

Ditinjau dari segi hukumnya Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah
bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas.
Dari sudut pandang ini, Hanafiyah membaginya menjadi dua, yaitu:

Shahih, yaitu jual beli yang disyariatkan dengan memenuhi asal dan sifatnya
atau dengan ungkapan lain, jual beli shahih adalah jual beli yang tidak terjadi
kerusakan, baik pada rukunnya maupun syaratnya.

Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak dibenarkan sama sekali oleh syara’
dan dinamakan jual beli bathil atau jual beli yang disyariatkan dengan terpenuhi
pokoknya (rukunya), tidak sifatnya, dan ini dinamakan jual beli fasid.

Sedangkan menurut Syafi’iyah membedakan jual beli menjadi dua, yaitu:

a. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya


b. Bathil, adalah jual beli yang rukun dan syarat jual beli tidak terpenuhi, dan
tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya jual beli atas barang yang tidak
ada (bai’ al-ma’dum), jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah
yang tidak tampak, jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi,
bangkai dan khamar (Haroen, 2007: 201).

2. Jual Beli yang Dilarang


a. Jual beli yang harganya di atas/di bawah harga pasar dengan cara menghadang
penjual sebelum tiba dipasar. Sabda Nabi Saw. dari Ibnu Abbas ra:

“Janganlah kamu menghadang orang yang berangkat ke pasar”(Muttafaq Alaih).

b. Membeli barang yang sudah dibeli atau dalam proses tawaran orang lain. Sabda
Nabi Saw. :

18
“Janganlah seseorang menjual sesuatu yang telah dibeli orang lain” (Muttafaq
Alaih).

c. Jual beli barang untuk ditimbun supaya dapat dijual dengan harga mahal di
kemudian hari, padahal masyarakat membutuhkannya saat itu. Sabda
Rasulullah Saw :

“Tidak ada yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah)” (HR.
Muslim).

d. Jual beli untuk maksiat

“Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS. Al-
Maidah [5]: 2).

e. Jual beli dengan cara menipu

“Nabi melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipuan” (HR.


Muslim).

f. Jual beli dengan mengandung riba, Firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda” (QS. Ali Imran [3]:130).

19
Fiqih muamalah, telah mengidentifikasi dan menguraikan macam-macam
jual beli, termasuk jenis-jenis jual beli yang dilarang oleh Islam. Macam atau jenis
jual beli tersebut ialah :

1. Bai’ Al-mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang
berperan sebagai alat tukar.
2. Bai’ Al-muqayyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang
dengan barang (barter).
3. Bai’ Al-sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing
dengan mata uang asing lain.
4. Bai’ Al-murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi jual
beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan,
termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
5. Bai’ Al-musawamah adalah jual-beli biasa, dimana penjual tidak
memberitahukan haga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
6. Bai’ Al-muwadha’ah yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan
dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan
(discount).
7. Bai’ As-salam adalah akad jual beli di mana pembeli membayar uang (sebesar
harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang
diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang
disepakati.
8. Bai’ Al-istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli
dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai
dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang
yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.

Di antara jenis-jenis jual beli tersebut, yang sering digunakan dalam


bertransaksi adalah yang berdasarkan prinsip Bai’ Al-murabahah, Bai’ As-salam
dan Bai’ Al-istishna’ (Yunus, dkk. 2018 : 150-151).

20
BAB III

PENUTUP
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqh muamalah yaitu, hukum-
hukum yang berdasarkan kepada nash dan hadits yang berkaitan dengan tata cara
berhubungan antar sesama manusia, baik hubungan tersebut bersifat kebendaan
maupun dalam bentuk perjanjian perikatan.

Kemudian ruang lingkup dari fiqh muamalah ada dua, yaitu muamalah
adabiyah yang ditinjau dari segi cara tukar menukar benda yang bersumber dari
manusia, diantaranya adalah ijab qabul, hak dan kewajiban, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat. Yang kedua adalah
muamalah madiyah yaitu muamalah yang mengkaji objeknya sehingga bersifat
kebendaan, diantaranya adalah jual beli, gadai, jaminan dan tanggungan (Kafalan
dan Dhaman), pemindahan hutang (Hiwalah), dan masalah-masalah seperti bunga
bank, asuransi, dan kredit.

Prinsip yang mendasar dalam fiqh muamalah ini adalah Firman Allah swt
QS. Al-An’am : 165. Prinsip yang perlu diperhatikan diantaranya adalah muamalah
ini hukumnya diperbolehkan, untuk mewujudkan kemaslahatan, mendahulukan
barang kebutuhan pokok dengan harga murah, tidak mencampuri transaksi orang
lain, kemudahan dan murah hati, jujur dan amanah, menjauhi gharar, memenuhi
akad, tidak bersumpah terhadap barang dagangan, dan kerja keras.

Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran


harta dengan harta menggunakan cara tertentu. Cara tertentu di sini merupakan
sighat dan ijab qabul. Unsur jual beli adalah dilakukan oleh dua pihak yang
bersangkutan, kegiatan tukra menukar atas suatu harta (barang), adanya
perpindahan kepemilikan antara pihak yang bersangkutan, dan dilakukan dengan
cara tertentu yang dibenarkan secara syara’.

Hukum dari jual beli adalah diperbolehkan sebagaimana firman Allah swt
dalam QS. Al-Baqarah:275. Rukun dari jual beli ini adanya akid (penjual dan
pembeli), maq’ud (obyek akad), dan terdapat sighat (ijab dan qabul). Syarat

21
terjadinya jual beli diantaranya adalah syarat in’iqad (terjadinya akad), syarat
sahnya jual beli, syarat nafadz, dan syarat luzum (mengikat).

Macam-macam jual beli dalam Islam apabila ditinjau dari sah atau tidak sah-
nya maka terbagi menjadi jual beli shahih yang jual belinya disyariatkan dengan
memenuhi asal dan sifatnya, tidak terjadi kerusakan baik pada rukun maupun
syartanya. Kedua, ghairu shahih, yaitu jual beli yang tidak dibenarkan sama sekali
oleh syara’ dan dinamakan jual beli fasid.

Jual beli yang dilarang dalam Islam diantaranya adalah jual beli yang
harganya di atas atau di bawah harga pasar dengan cara menghadang penjual setelah
tiba di pasar, jual beli barang untuk ditmbun supaya dapat dijual dengan harga
mahal di kemudian hari, membeli barang yang sudah dibeli atau dalam proses
tawaran orang lain, jual beli dengan cara menipu, jual beli untuk maksiat, dan jual
beli dengan mengandung riba.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. M. (n.d.). Dasar-Dasar Fikih Muamalah. Jakarta: Universitas Terbuka.

Apipudin. (2016). Konsep Jual Beli Dalam Islam (Analisis\ Pemikiran Abdu al-Rahman
Jaziri dalam Kitab al-Fiqg' Ala al-Madahib al-Arba'ah). Jurnal Islaminomic, Vol. 5
No. 2 Hal. 82-83.

Dimyaudin, D. (2008). Pengantar Fiqh Muamalah . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kementrian Agama Republik Indonesia. (2014). FIKIH. Jakarta: Kementerian Agama .

Muslich, A. W. (2015). FIQH MUAMALAT. Jakarta: AMZAH (Bumi Aksara Group).

Siswadi. (2013). Jual Beli Dalam Perspektif Islam . Jurnal Ummul Qura, Vol. 3 No. 2 Hal.
61-63.

Syhabudin, A. (2018). FIQH MUAMALAH SEBAGAI PRINSIP DASAR EKONOMI SYARI'AH .


Jurnal Ekonomi Perbankan Islam , 2-3.

Yunus, M., Hamdani, F. F., & Shofia, G. K. (2018). TINJAUAN FIKIH MUAMALAH
TERHADAP AKAD JUAL BELI DALAM TRANSAKSI ONLINE PADA APLIKASI GO-
FOOD . Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah , 134-146 .

23

Anda mungkin juga menyukai