Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PRINSIP DISTRIBUSI DALAM ISLAM


Mata Kuliah : Pengantar Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : Safaruddin Munthe S. Pd.l, M.E.l

DISUSUN OLEH:
Muhammad Hanafi 230302172
Sarah Cahyani 230302055
Sella Lestari 230302129

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEMESTER 2 EKSKLUSIF SABTU-AHAD


INSTITUT SYEKH ABDUL HALIM HASAN BINJAI

TAHUN AJARAN 2024


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang “ PRINSIP DISTRIBUSI DALAM ISLAM”.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanyaOleh karena itu dengan segala
kekurangan dalam makalah ini kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah
ilmiah tentang impilkasi nilai nilai ibadah dalam kehidupan sehari hari dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

BINJAI, 14 Maret 2024

Penulis
i
DATAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................iii

A. Latar Belakang.........................................................................................................iii

B. Rumusan Masalah....................................................................................................iii

C. Tujuan Pembahasan.................................................................................................iii

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................1

A. Prinsip-prinsip Distribusi Dalam Ekonomi Islam..................................................1

B. Teks-teks Mengenal Distribusi.................................................................................2

1. Distribusi Kekayaan Melalui Warisan.................................................................2

2. Distribusi Kekayaan Warisan Wasiat..................................................................2

3. Distribusi Kekayaan Melalui Wakaf....................................................................3

C. Transfer Kekayaan Melalui Pemberian Hibah.......................................................4

D. Transfer Kekayaan Melalui Luqathah....................................................................6

E. Transfer Kekayaan Melalui Umra dan Rubha.......................................................8

BAB III PENUTUP..................................................................................................................9

A. KESIMPULAN..........................................................................................................9

B. SARAN.......................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Distribusi merupakan bagian penting dari sistem ekonomi. Distribusi berguna dalam
memperlancar peredaran barang Distribusi yang merata akan menghasilkan kondisi stabilitas
dalam perekonomian bangsa, begitu pun sebaliknya. Karena distribusi dapat mempengaruhi
perekonomian sebuah bangsa, maka keberadaannya tidak boleh diabaikan, terlebih distribusi
tersebut berkaitan dengan barang-barang yang bersifat pokok.
Di sisi lain, yang patut untuk diketahui adalah lancar atau tidaknya pengadaan barang
untuk diperjual-belikan tergantung dari seberapa lancar distribusi atas barang itu dilakukan.
Semakin lancar distribusi atas barang dilakukan, semakin lancar pula pengadaan atas barang
itu, serta mengakibatkan lancarnya proses jual beli, dari penjual kepada pembali. "Pada
prinsipnya, Islam memberi aturan terkait sektor distribusi sebagaimana diisyaratkan dalam
banyak ayat al-Qur'an seperti surah al-Anfal/8: 1, al-Hasy/59: 7, al- Hadid/57: 7, at-Taubah/g:
60 dan lainnya. Subtansi dari ayat-ayat ini adalah memberi pengaturan agar harta atau barang
didistribusikan secara merata dan berkeadilan, tidak hanya berputar atau dikuasai oleh
segelintir orang. Hal ini dilakukan kesejahteraan masyarakat dicapai dan tidak terjadi
kedzaliman dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Prinsip-prinsip Distribusi Dalam Ekonomi Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan Teks-teks Mengenal Distribusi?
3. Apa yang dimaksud dengan Distribusi Kekayaan Warisan Wasiat?
4. Apa yang dimaksud denganDistribusi Kekayaan Melalui Wakaf?
5. Apa yang dimaksud Transfer Kekayaan Melalui Pemberian Hibah?
6. Apa yang dimaksud Transfer Kekayaan Melalui Luqathah?
7. Apa yang dimaksud Transfer Kekayaan Melalui Umra dan Rubha?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Prinsip-prinsip Distribusi Dalam Ekonomi Islam
2. Untuk Mengetahui Teks-teks Mengenal Distribusi
3. Untuk Mengetahui Distribusi Kekayaan Warisan Wasiat
4. Untuk Mengetahui Distribusi Kekayaan Melalui Wakaf
5. Untuk Mengetahui Transfer Kekayaan Melalui Pemberian Hibah
6. Untuk Mengetahui dimaksud Transfer Kekayaan Melalui Luqathah
7. Untuk Mengetahui dimaksud Transfer Kekayaan
Melalui Umra dan Rubha

iii
BAB II PEMBAHASAN

A. Prinsip-prinsip Distribusi Dalam Ekonomi Islam


Islam sangat mendukung pertukaran barang dan menganggap produktif dan mendukung
para pedagang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah dan
membolehkan orang-orang memiliki modal untuk berdagang tapi ia tetap berusaha agar
pertukaran barang itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Tetap mengumpulkan
antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, 2) Antara dua penyelenggara
transaksi ekonomi tetap ada keadilan dan harus tetap ada kebebasan ijab dan qabul dalam
akad; 3) Tetap berpengaruh rasa cinta dan lemah lembut; 4) Jelas dan jauh dari perselisihan.
Mengutip pendapat Yusuf Qardhawis dalam bukunya Norma dan Etika Islam, prinsip-
prinsip yang terdapat dalam distribusi adalah sebagai berikut: Pertama, Prinsip kebebasan.
Adapun prinsip kebebasan dalam distribusi senantiasa selalu berdasarkan kepada keimanan,
yaitu kepercayaan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. Dengan demikian, seorang
muslim dituntut untuk menghambakan diri hanya kepada Allah SWT saja. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surah ar-Ra'du/13: 36, "Orang-orang yang telah kami berikan kitab
kepada mereka bergembira dengan kitabnya yang diturunkan kepadamu, dan di antara
golongan-golongan (Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari
sebahagiannya. Katakanlah "Sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk menyembah Allah
dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia)
dan hanya kepada-Nya aku kembali."
Sendi kebebasan adalah percaya kepada Allah dan mengesakan-Nya. Inti kepercayaan
kepada Allah dalam Islam adalah tauhid. Namun, hakikatnya tauhid adalah mengesakan Allah
dan beribadah dan memohon pertolongan-Nya. Allah satu-satunya Tuhan seluruh alam,
pemilik dan pengatur segala urusan. Hanya di tangan-Nyalah penciptaan dan letak rezeki,
mati dan hidup, penentuan halal dan haram. Kebebasan di sini adalah kebebasan dalam
bertindak yang dibingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan, tidak seperti pemahaman kaum
kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia yang dimilikinya,
keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara satu masyarakat dan masyarakat
yang lainnya.
Kedua, Prinsip keadilan. Prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip penting dalam
sistem ekonomi Islam. Bahkan, prinsip keadilan ini tidak hanya ditemukan dalam praktek
perekonomian saja, akan tetapi juga diterapkan dalam semua ajaran Islam dan peraturan-
peraturannya baik dari aspek aqidah, syariat, maupun akhlak. Dengan demikian, jelas bahwa
ketidakadilan dalam distribusi merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan sistem
ekonomi Islam yang merupakan salah satu cabang aturan yang terdapat dalam Islam. Di sisi
lain, ketika ketidaka-dilan ditemukan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, hal ini akan
merusak rasa persaudaraan di dalam Islam.

1
B. Teks-teks Mengenal Distribusi
Kebijakan umum ekonomi menurut ajaran Islam adalah keadilan distributif (QS.al-Hasyr
[59] (7), yaitu keadilan yang membagi kesejahteraan umum kepada setiapwarga negara sesuai
dengan jasa dan kebutuhan masing-masing. Dengan prinsip keadilan ini, Islam menegaskan
bawah segelintir orang tidak dibolehkan menjadi sangat kaya, sementara pada saat yang sama
kelompok lain semakin di miskinkan.
1. Distribusi Kekayaan Melalui Warisan
Warisan memainkan peranan penting dalam distribusi kekayaan didalam Islam, dan
hukum warisan yang dipakai oleh satu masyarakat akan membentuk pola distribusi kekayaan
diantara anggota masyarakat tertentu. Masyarakat yang primogeniture yang menjadikan anak
sulung mewarisi seluruh harta warisan menyebabkan konsentrasi hartahanya pada sedikit
orang. Demikian juga masyarakat yang patrilineal yang hanya membatasi kewarisan pada
anak laki-laki, atau masyarakat matrilineal yang membatasi kewarisan pada anak perempuan
menyebabkan distribusi harta menjadi terbatas, Islam mengajarkan adanya warisan tanpa
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sehingga penyebaran harta menjadi sangat luas.
Dengan warisan Islam ingin memastikan bahwa aset dan kekuatan ekonomi tidak
berpusat pada seseorang saja, betapa pun kayanya seseorang, jika seorang bapak meninggal,
maka anak, istriibu, dan kerabat lainnya akan memperoleh harta penggalanya. Dalam proses
distribusi kekayaan melalui warisan, ada ketentuan bahwa warisan harus diserahkan kepada
hali warisanya dengan ketentuan bagian laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan
Hal ini meningkat laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menafkahi
keluarganya, sedangkan anak perempuan menjadi tanggung jawab saudaranya yang laki-laki
atau suaminya.
Distribusi kekayaan melalui warisan hanya diberikan kepada orang yang berhak
menerima warisan (ahliwaris), sedangkan kepada orang kafir, Islam tidak membolehkan
adanya kewarisan dari seseorang muslim kepada seorang kafir.
Warisan adalah perpindahan hak kepemilikan dari orang yang telah meninggal kedunia
kepada ahli waris, jumlah ulama sepakat bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang
Islam berdasarkan ijma' (kesepakatan ulama). Para fukaha menerangkan bahwa terputusnya
hubungan warisan antara anak kafir dengan orangtua Islam itu dikarenakan atas dasar dari
hubungan warisan dalam muwalah (menguasai/hubungan dekat) dan munasarah (tolong-
menolong) dan tolong-menolong dalam hal ini sudah tidak adalagi, meski pun terdapat
hubungan darah diantara mereka, karena sudah dilarang oleh agama.
2. Distribusi Kekayaan Warisan Wasiat
Wasiat secara etimologi adalah pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan, baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah
wafat. 1Wasiat merupakan salah satu bentuk sarana tolong-menolong antara sesama muslim
baik yang bersifat materi maupun manfaat. Sedangkan secara terminologi, para ulama fiqh
mendefinisikan wasiat sebagai penyerahan harta secara suka rela dari seseorang kepada pihak
lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun

2
berbentuk manfaat.2 Dari idefinisi ini terlihat perbedaan antara wasiat dan pemilikan harta
lainnya seperti jual beli atau sewa menyewa, karena pemilikan dalam kedua bentuk akad
yang terakhir ini bisa berlaku semasa yang bersangkutan masih hidup. Sedangkan wasiat,
sekalipun akadnya dibuat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tetapi hukumnya baru
berlaku setelah orang yang berwasiat itu wafat. Sebelum itu, akad wasiat tersebut tidak
mempunyai efek apapun dari segi perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat.
Adapun masalah pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dalam ilmu faraid
yaitu ilmu yang berkaitan dengan harta peninggalan, cara menghitung pembagiannya serta
bagian masing-masing ahli waris.3Namun terkadang dalam masalah-masalah yang bersifat
kasuistik, pembagian waris berdasarkan faraid ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Seperti
adanya kerabat dekat yang miskin tapi tidak termasuk dalam ashhab al-furudh, atau ashhab
al-furudhnya termasuk orang-orang yang kaya. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka perlu ada
solusi, yang salah satunya adalah dengan wasiat orang yang meninggal.
Berdasarkan atas pertimbangan kemaslahatan, seseorang dapat berwasiat tentang
pembagian seluruh hartanya. Akan tetapi hal ini bukan berarti tidak mempercayai masalah
konsep pembagian waris dalam Islam, tetapi justru berusaha untuk menempatkan konsep
pembagian waris ini secara proporsional, sebagaimana Umar bin Khatab RA yang tidak
melakukan hukuman potong tangan terhadap pencuri karena adanya pertimbangan yang
bersifat kasuistik.
1

3. Distribusi Kekayaan Melalui Wakaf


Dalam Islam amalan wakaf memiliki kedudukan yang sangat penting. Wakaf
mengajarkan seorang muslim untuk merelakan harta yang diberikan untuk digunakan dalam
kepentingan ibadah dan kebaikan. Harta wakaf yang sudah diberikan sudah bukan menjadi
hak milik pribadi melainkan menjadi hak milik umat. Wakaf bisa dijadikan sebagai lembaga
ekonomi yang potensial untuk dikembangkan selama bisa dikelola secara optimal, karena
institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan nasional dari aspek sosial yang
perlu mendapat perhatian sebagai penopang hidup dan harga diri bangsa.
Wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dengan cara menahan pokoknya
kemudian menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud menahan pokoknya adalah
menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, didagangkan,
digadaikan, maupun disewakan. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai
dengan kehendak sang pemberi wakaf tanpa imbalan.
Wakaf merupakan salah satu ajaran Islam yang mengandung unsur spiritual dan material.
Wakaf banyak memiliki manfaat dan faedah terutama dalam hal membantu fakir miskin
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini karena harta wakaf dapat digunakan sebagai
modal investasi jangka panjang untuk membangun fasilitas umum yang diperlukan
masyarakat (Shalih Abdullah Kamil, 1993: 41).

1
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Daar al-Fikr, 2004), jilid 10, hlm. 7440-7441
3
Wakaf memiliki dua unsur utama, pertama unsur spiritual karena wakaf merupakan
cabang ibadah yang dapat mendekatkan diri wakif kepada Allah SWT. Kedua unsur material
karena wakaf difahami sebagai usaha menjadikan harta dari kepentingan konsumsi menjadi
modal investasi yang dapat menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan masa depan.
Dari pemahaman tersebut, wakaf memiliki tiga unsur penting menurut system ekonomi
makro Islam, yaitu: Wakaf dapat mengurangi tingkat suku bunga (Rate Of Interest). Wakaf
merupakan salah satu mekanisme redistribusi kekayaan, dan mekanisme wakaf mengandung
unsur investasi dan tabungan (Saving). Selain itu, harta wakaf dapat membantu aktivitas
ekonomi sebuah Negara, baik digunakan sebagai sumber modal pembangunan atau yang lain.
Sifat abadi harta wakaf sangat mendukung penyediaan modal tersebut. Harta wakaf dapat
digabungkan dengan harta individu dan dijadikan modal bagi sebuah perusahaan. Sebagian
dari keuntungannya dapat ditasarufkan berdasarkan peruntukannya. Harta wakaf juga dapat
berfungsi sebagai pendapatan. Ini dapat dilihat jika harta wakaf dipinjamkan kepada
masyarakat melalui system Qard al- Hasan (pinjaman kebajikan).
Wakaf merupakan sarana utama dalam pendistribusian asset atau kekayaan umat dan
bersifat publik. Melalui wakaf diharapkan sumber-sumber ekonomi tidak hanya
terkonsentrasi pada orang-orang kaya saja, tapi juga memungkinkan terdistribusi kepada
sebagian kalangan yang sangat membutuhkannya. Dalam Islam wakaf merupakan doktrin
agama, sedangkan dalam perekonomian, perwakafan merupakan sarana yang signifikan
dalam mewujudkan kesejahteraan. Dengan demikian, kehidupan ekonomi dalam Islam
merupakan bagian penting dari ibadah.
2

C. Transfer Kekayaan Melalui Pemberian Hibah


Asal kata hibah “wahaba”. Istilah “wahaba” diartikan sebagai berpindahnya sesuatu dari
satu tangan ke tangan yang lain. Arti lain dari “wahaba” ialah melakukan suatu kebaikan
secara sadar. Secara istilah hibah diartikan sebagai pemberian orang yang masih hidup berupa
suatu benda beserta haknya kepada orang lain tanpa adanya paksaan ataupun harapan balasan
orang yang menerima pemberiannya.
Menurut Ibn ‘Abidin, hibah secara bahasa diartikan sebagai lewatnya atau Secara istilah
hibah diartikan sebagai pemberian hak milik kebendaan dari orang yang masuk hidup secara
suka rela tanpa adanya paksaan dan tanpa adanya imbalan. Menurut Sayid Sabiq, Hibah ialah
pemberian suatu harta yang dilakukan seseorang yang masih hidup kepada orang lain secara
sukarela tanpa paksaan dan tanpa imbalan. Pemberian seseorang tidak bisa dikatakan sebagai
hibah apabila orang yang memberi hanya memberikan izin untuk memanfaatkan bukan untuk
memiliki kepada orang yang menerima pemberiannya.
Dalam KHI Pasal 171 butir 9 dijelaskan pengertian hibah ialah pemberian sesuatu dari
orang yang masih hidup yang diberikan secara sukarela, tanpa adanya paksaan, dan tanpa

2
Murtadho Ridwan. Wakaf dan Pembangunan Ekonomi. Jurnal Zakat dan Wakaf. Vol. 4, No. 1, Juni
(2017) hal 106-1

4
mengharapkan ganti rugi atau balasan dari orang lain yang menerima pemberiannya.
Meskipun demikian bukan berarti mutlak harta pemberian hibah dalam sistem pembagian
waris mutlak dikatakan hibah. Apabila melihat dan memahami pengertian tentang harta
waris dalam pengertian fikih maupun dalam ketentuan KHI memang harta pemberian yang
diberikan oleh orang yang masih hidup belum bisa dikatakan sebagai harta waris melainkan
lebih tepatnya sebagai harta hibah. Namun ada klausul dalam KHI pasal berikutnya yang
menjelaskan tentang harta hibah dapat dikatakan sebagai harta waris. Klausul tersebut
terdapat dalam keterangan pasal 211 yang menyebutkan hibah orang tua kepada anaknya bisa
dikatakan sebagai harta waris.
Dari klausul dalam KHI Pasal 211 dapat diketahui pemberian harta dari orang tua kepada
anaknya melalui jalur hibah dapat dikatakan sebagai harta waris. Atau dengan kata lain dapat
dikatakan harta yang dibagikan orang tua selama masih hidup kepada anak-anaknya selaku
ahli warisnya dapat dikatakan sebagai harta waris. Meskipun unsur kematian si pewaris tidak
terpenuhi, namun harta yang dibagikan dan diberikan orang tua ke anaknya merupakan harta
yang memang dimiliki secara mutlak bukan sengketa oleh orang tua dan akan dibagikan
kepada anak-anaknya. Dari klausul dalam KHI pasal 211 dapat dipahami pula bahwa sistem
pembagian waris menggunakan jalur hibah dalam hukum Islam diperbolehkan dengan catatan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pewaris yakni orang tuanya setelah meninggal seperti
perawatan jenazah, pembayaran hutang ditanggung dan dibayarkan bersama oleh ahli waris.
Islam mengatur sedemikian ketatnya aturan dalam pembagian waris ada tujuannya bukan
berarti tanpa alasan. Alasan utama yang melatarbelakangi adanya ketatnya aturan Islam
terkait pembagian waris adalah adanya maslahat antara dua pihak yaitu pihak pewaris dan
ahli waris.
Melalui aturan Islam yang begitu ketat, menjadikan kewajiban pewaris setelah meninggal
ada yang menanggungnya yaitu ahli warisnya. Kekhawatiran yang sering terjadi ketika
pewaris membagi hartanya dibagi sebelum pewaris itu meninggal adalah terlantarnya dirinya
dan tidak terpenuhinya kewajiban yang harus dipenuhi setelah dirinya meninggal dunia
seperti perawatan jenazahnya, dan kewajiban membayar hutang-hutangnya. Hal tersebut
bukan berarti melemahkan kedudukan hibah dalam sistem pembagian waris. Keduanya baik
harta dibagi sebelum atau setelah pewaris meninggal tetap ada sisi maslahatnya. Harta waris
yang dibagikan sebelum pewaris dinyatakan meninggal juga membawa maslahat dimana
jumlah harta benda yang akan menjadi tinggalan diketahui secara pasti dari sumber
terpercaya, kemudian maslahat yang utamanya adalah tercegahnya pertikaian antar saudara
dalam sistem pembagian waris. Dasarnya sejalan dengan kaidah fikih: Berdasarkan
pemaparan yang ada diketahui aturan fikih terkait sistem pembagian waris itu dikuatkan oleh
aturan dalam KHI yang menjelaskan tentang waris lengkap dengan penyelesaian kasus-kasus
yang sering terjadi dalam sistem pembagian waris yang tertuang dalam pasal-pasalnya pada
Bab Hukum Waris Islam. 3

3
Ajib.
Sayid Sabiq and Muhammad, Fiqhu Al-Sunnah, Jilid Ke-4.Penerjemah Ahmad Cornish Creativa
(ACC (Depok: Fathan Media Prima, 2014).
A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah,
Cet II (Jakarta: Kencana, 2007)
5
D. Transfer Kekayaan Melalui Luqathah
Al-luqaṭah (barang temuan) adalah suatu barang yang hilang dari pemiliknya lalu
ditemukan dan diambil orang lain. Hilangnya sebuah barang dari pemiliknya tidak
mengakibatkan kepemilikannya terhadap barang tersebut juga hilang. Masyarakat
bertanggung jawab untuk merawat menyimpan dan menyampaikan barang tersebut kepada
pemiliknya semampu mereka.
Menurut istilah fiqh barang temuan itu sama dengan “luqathah”. Mendengar barang
temuan/luqathah tersebut maka hal ini tertuju kepada bentuk suatu tindakan yang
mendapatkan sesuatu milik orang lain secara tidak sengaja, sedangkan benda tersebut tidak
diketahui siapa pemiliknya. Ini berarti bahwa benda yang ditemukan itu bukanlah kepunyaan
penemu, melainkan milik orang lain.Luqathah secara Etimologi berarti “barang temuan”.
Kata barang ini bersifat umum, bukan dikhususkan pada barang tertentu saja. Al-Luqathah
juga berarti sesuatu yang diperoleh setelah diusahakan, atau sesuatu yang dipungut.
Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan
tempat dan kemampuan penemunya. Hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai
berikut:
a. Wajib
Wajib mengambil barang temuan bagi penemunya apabila orang tersebut percaya kepada
dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya dan
terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
b. Sunnah
Sunnat mengambil benda-benda temuan bagi penemunya, apabila penemu percaya pada
dirinya bahwa ia akan mampu memelihara benda-benda temuan itu dengan sebagaimana
mestinya, tetapi bila tidak diambilpun barang- barang tersebut tidak dikhawatirkan akan
hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya
c. Makruh
Bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan
mampu memelihara benda- benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut
tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk mengambil
benda-benda tersebut.
d. Haram
Bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya
sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara
harta tersebut sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-
benda tersebut.

6
4

Macam-Macam Luqathah
Macam-macam Luqathah atau barang temuan antara lain:
a) Benda-benda tahan lama
Yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yag lama, misalnya emas, perak, pisau,
gergaji, meja dan yang lainnya.
b) Benda-benda tidak tahan lama
Yakni benda-benda yang tidak dapat disimpan pada waktu yang lama, misalnya makanan,
tepung, buah-buahan, dan sebagainya. Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual
supaya tidak tersia-siakan. Bila kemudian baru datang pemiliknya, maka penemu wajib
mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang dijual atau dimakan.
c) Benda-benda yang membutuhkan perawatan
Seperti padi harus dikeringkan atau kulit hewan perlu disamak.
d) Barang-barang yang memerlukan perbelanjaan
Seperti binatang ternak unta, sapi, kuda, kambing dan ayam. Pada hakikatnya binatang-
binatang itu tidak dinamakan al- luqathah, tetapi disebut al-dhalalah, yakni binatang-binatang
yang tersesat atau kesasar.
Pembagian barang temuan harus dilihat dari daya tahannya, bahan temuan bisa
dikelompokkan menjadi tiga bagian.Pertama, Barang temuan itu bersifat tetap atau tahan
lama atau tidak berubah, seperti: emas, perak dan sejenis dengan itu termasuk jenis uang.
Untuk tingkat kategori ini, ada alasan bahwa barang tersebut boleh diambil dengan catatan
telah melakukan konfirmasi (pengumuman selama setahun; penyiaran) dengan cara terbuka
kepada masyarakat banyak. Kategori yang kedua, sekiranya barang atau benda yang
dimaksud itu tidak tahan lama, seperti yang disebut di atas, maka orang yang bersangkutan
boleh memilih, apakah akan digunakan untuk dimakan, dijual atau disimpan; dan ketiga
pilihan ini menjadi substansi hukum atas diri (menjadi hak si penemu)
5

4
Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-Husaini, .... , h. 1.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 260.
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah...., h. 29.
Ibid.
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), h. 54.
5
Ibid.
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah...., h. 30.
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Mutiara Hadits..., h. 734, Hadis nomor 1130.
7
E. Transfer Kekayaan Melalui Umra dan Rubha
Umra adalah salah satu bentuk hibah di mana seseorang menghibahkan sesuatu miliknya
kepada orang lain selama hidupnya (yang diberi hibah), dan jika orang itu mati maka barang
hibah akan kembali lagi menjadi miliknya. Ini dilakukan dengan berkata, "Barang ini aku
berikan kepadamu selama kamu masih hidup." Orang yang berkata demikian disebut mu'mir,
sementara lawan bicaranya (orang yang diberi hibah) disebut mu'mar. Rasulullah m, telah
menetapkan bahwa pengembalian barang hibah kepada mu'mir setelah mu'mar meninggal
dunia adalah batil dan tidak diperbolehkan. Artinya, barang hibah akan tetap menjadi milik
penuh si mu'mar. Jika mu'mar mati, barang itu menjadi hak ahli warisnya. Lalu, jika dia tidak
mempunyai ahli waris, barang itu menjadi milik Baitul Mal, dan mu'mir (pemberi) tidak
berhak sedikit pun atasnya.
Diriwayatkan dari Abu Salamah dari Jabir, bahwa Nabi Saw bersabda,
"Siapa saja lelaki yang diberi 'umra, maka itu miliknya dan orang setelahm, (ahli
warisnya). Itu untuk orang yang diberi, tidak bisa kembali kepada orany yang memberi
karena ia telah memberi suatu pemberian yang bisa diwariskan (HR. Muslim, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan An-Nasa'i)[
Ruqba adalah seseorang berkata kepada temannya, "Aku berikan rumahku padamu
dan menjadikannya milikmu selama kamu masih hidup. |ika kamu mati sebelumku, rumah itu
kembali menjadi milikku. Tapi, jika ak u mati sebelummu, rumah itu milikmu." Masing-
masing dari keduanya menunggu dan menanti kapan temannya meninggal dunia sehingga
rumah akan menjadi miliknya.
Diriwayatkan dari Jabir bahwa Hamilullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
Umra itu boleh bagi yang diberi 'umra, dan ruqba juga boleh bagi orang yang diberi ruqba."
(HR. Muslim Abu Dawud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah). Hukum ruqba sama seperti hukum
'umra. Demikianlah menurut pendapat Asy-Syafi'i dan Ahmad. Pendapat ini mengikuti
makna zahir teks hadist di atas. Abu Hanifah berkata, “'Umra itu bersifat seperti harta
sedangkan ruqba bersifat seperti pinjam-meminjam."
6

6
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Op. Cit, hlm 244
Asymuni A. Rahman, dkk, Op. Cit, hlm. 205

8
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pendistribusian dalam Islam bermuara pada ajaran sekecil apapun perbuatan yang
manusia lakukan semua akan dipertanggung-jawabkan diakhirat dan tidak boleh harta
kekayaan berputar hanya di kalangan tertentu. Secara mendasar,Islam mengarahkan
mekanisme muamalahantaraprodusen dan konsumen dilakukan atas dasar tidak boleh ada
pihak yang merasa dirugikan. Apabila terjadi ketidak-seimbangan distribusi
kekayaan, maka hal ini akan memicu timbulnya konflik individu maupun sosial.Sistem
ekonomi Islam menawarkan sistem penditribusian ekonomi yang mengedepankan nilai
kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai
keadilan dalam kepemilikan yang disandarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan
keadilan. Sistem distribusi ini menawarkan mekanisme dalam sistem distribusi ekonomi
yang islami, yaitu mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi, dengan melibatkan
adanya peran pemerintah dalam aktivitas ekonomi produktif dan non-produktif,sehingga
dapat mewujudkan keadilan distribusi.
B. SARAN
Kami harap bagi pembaca bila menemukan kekeliruan atau kata yang mempunyai makna
menyinggung ataupun salah dalam penerapan dalam kehidupan pembaca/ bertentangan maka
kami mohon maaf, karena kami pembuat makalah ini hanya ciptaan yang mungkin masih
memiliki kekurangan

9
DAFTAR PUSTAKA

Purkon Arip. Pembagian Harta Waris Dengan Wasiat. Mizan: Jurnal Ilmu Syariah, FAI
Universitas Ibn Khaidun (UIKA) Bogor. Vol. 2 No. 1 (2014)
Ridwan Murtadho. Wakaf dan Pembangunan Ekonomi. Ziswaf : Jurnal Zakat dan Wakaf. Vol
4. No. 1 (Juni 2017)
Fatorina Fetri. Hibah dalam Sistem Pembagian Waris Islam. Malan : Jurnal Islam dan
Masyarakat Muslim. Vol. 3 No. 2 (2021)
Munthe, Safaruddin. 2024. Pengantar Ekonomi Islam. Binjai: Institut Syekh
Abdul Halim Hasan

10

Anda mungkin juga menyukai