Anda di halaman 1dari 24

TRANSAKSI YANG DILARANG DALAM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Matematika Keuangan Syariah
Dosen Pengampu:
Mar’atus Sholihah, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh:
Berliana Iqklima (126204212133)
Muhammad Abdur Rozaq (126204213174)
Fitri Sabrina Nur Azizah (126204213204)
Yeni Maulina (126204213207)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
MARET 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas seluruh nikmat,
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya yang telah dianugerahkan kepada kita semua sehingga makalah
dengan judul “Transaksi yang Dilarang dalam Islam” dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga
dan pengikut setianya. Semoga kesuksesan senantiasa mewujud dalam kehidupan dunia dan
akhirat, aamiin…
Sejalan dengan selesainya makalah ini, penulis menyampaikan terimakasih yang tak
terhingga terutama kepada:
1. Prof. Abd. Aziz, selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang telah
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga selesai.
2. Mar’atus Sholikhah, S.Pd.I., M.Pd., selaku Dosen Pengampu mata kuliah
Matematika Keuangan Syari’ah yang selalu membimbing dan memberikan arahan
dalam proses penulisan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
3. Semua pihak civitas akademika serta teman-teman Tadris Matematika 6D yang
senantiasa memberikan semangat dalam penulisan makalah ini hingga selesai.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sedemikian rupa. Dengan
harapan semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT dan tercatat sebagai amal shalih.
Penulis menyadari apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang ada pada makalah ini, penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya dan berkenan menerima kritik maupun saran yang
membangun, karena tiada harapan dari penulis kecuali makalah ini dapat bermanfaat, memberi
sumbangan positif, dan menambah ilmu yang barokah bagi kita semua, aamiin.
Tulungagung, 27 Maret 2024

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................................2


DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................................4
A. Latar Belakang ............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................................4
C. Tujuan .........................................................................................................................................4
BAB II ....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN ....................................................................................................................................6
A. Syarat Syahnya Transaksi dalam Islam .......................................................................................6
B. Penyebab Dilarangnya Transaksi dalam Islam ............................................................................7
1. Haram Zatnya ..........................................................................................................................7
2. Haram selain Zatnya ................................................................................................................7
3. Tidak Syah (Tidak Lengkap) Akadnya ..................................................................................20
BAB III.................................................................................................................................................22
PENUTUP............................................................................................................................................22
A. Kesimpulan ...............................................................................................................................22
B. Saran .........................................................................................................................................22
DAFTAR RUJUKAN..........................................................................................................................23

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam agama Islam, terdapat aturan mengenai segala bentuk kehidupan manusia,
mulai dari beribadah, bekerja, dan kegiatan lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Agama
Islam yang hampir 15 abad merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad menjadi
agama yang komprehensif, Islam mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan manusia,
seperti halnya ekonomi, sosial, hukum, politik, dan sebagainya.
Agama Islam memberikan kebebasan kepada manusia meliputi perlakuan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing individu. Oleh karena itu, pada dasarnya hukum dari
transaksi adalah boleh. “Boleh” dalam hal ini adalah semua transaksi diperbolehkan
sebelum adanya dalil-dalil yang membuat transaksi tersebut hukumnya haram. Namun hal
ini berbanding terbalik dengan ibadah, hukum dari ibadah adalah dilarang melakukan
sebelum ada perintah untuk melakukannya. Hal ini sudah jelas, bahwasanya Allah SWT
melarang makhluk-Nya melakukan tindakan memakan harta satu sama lain, kecuali
tindakan perdagangan yang dilandasi suka antara dua belah pihak (penjual dan pembeli).
Kegiatan ekonomi dalam Islam pun sudah pasti mengharamkan adanya kegiatan
yang memberikan dampak dzalim baik bagi salah satu pihak maupun kedua belah pihak.
Hal ini sejalan dengan prinsip dari berekonomi dalam Islam yaitu adanya larangan
merugikan orang lain dan diri sendiri, salah satunya riba. Oleh karena itu, untuk
memperdalam mengenai transaksi yang dilarang dalam Islam, penulis menyusun makalah
dengan judul “Transaksi yang Dilarang dalam Islam”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penyusunan
makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa saja syarat syah dari transaksi dalam Islam?
2. Hal apakah yang menyebabkan transaksi dilarang dalam Islam?
3. Apa saja bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui syarat syah dari transaksi dalam Islam.

4
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab dari transaksi yang dilarang dalam
Islam.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Syarat Syahnya Transaksi dalam Islam
Manusia merupakan makhluk ekonomi, yang mana manusia selalu memiliki
keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat rasional. Dalam usaha
memenuhi kebutuhan hidup masing-masing individu terjadi hubungan atau kerjasama
dengan pihak lain, salah satunya adalah dengan adanya kegiatan jual beli.
Dalam pandangan Islam, transaksi jual beli didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang
didalamnya terdapat proses tukar menukar barang maupun uang antara dua orang atau lebih
yang memiliki tujuan dan menggunakan tata cara tertentu sesuai dengan syariah islam.1
Dasar hukum yang disyari’atkan dalam transaksi jual beli adalah Al-Qur’an, Hadist,
dan ijma’. Dalam hal ini, kaidah hukum asal dalam syariah dikelompokkan menjadi dua,
yaitu tata cara ibadah dan muamalah.2 Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah
bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan Al-Qur’an dan hadist.
Hal ini tentu berbeda jika dilihat dari sisi urusan muamalah. Dalam urusan muamalah, kaidah
hukum yang berlaku adalah semuanya diperbolehkan kecuali terdapat dalil yang
melarangnya atau mengharamkannya.3
Dalam bidang ekonomi dan keuangan islam, terdapat tiga rukun jual beli atau syarat
sahnya transaksi jual beli antara lain sebagai berikut.
1. Adanya penjual dan pembeli.
2. Adanya shigat/lafal ijab dan qabul.
3. Adanya uang atau barang yang ditransaksikan.4
Dari ketiga hal yang menjadi syarat syah dari jual beli ini, terdapat catatan khusus
mengenai shigat dalam rukun jual beli. Imam al-Rafi’i sebagaimana dikutip oleh Syekh
Zakaria Al-Anshory dalam kitab Fathul Wahab menyatakan bahwa, dari ketiga rukun jual
beli yang telah dipaparkan di atas, shighat merupakan rukun utama dari jual beli, sehingga

1
Luqmanul Hakiem Ajuna, “Kupas Tuntas Al-Bai’,” BISNIS : Jurnal Bisnis Dan Manajemen Islam 4, no.
2 (2016): 78, https://doi.org/10.21043/bisnis.v4i2.2691.
2
Arif Wibowo, “Dasar-Dasar Ekonomi Dan Keuangan Islam,” Islamic Finance 2 (n.d.): 1–7.
3
Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan”, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
(2003): 29.
4
Ahmad muslich Wardih, “Pengertian Jual Beli Dalam Islam,” Fiqih Muamalat, 2019, 11–35.

6
oleh al-Rafi’i ia dimasukkan sebagai syarat utama jual beli. Tanpa adanya shighat, jual beli
yang dilakukan tidak sah. Hal inilah yang kelak menjadi dasar mengapa jual beli tanpa lafal
ijab qabul tidak diperbolehkan dalam mazhab Syafi’i dan hanya bisa ditemukan di mazhab
Hanafi.
Shighat tidak harus diucapkan dalam bentuk kalimat jelas (sharih), tetapi bisa
diucapkan dengan kata kiasan (kinayah), asalkan secara adat kebiasaan kalimat itu
mengandung pengertian serah terima barang dalam bentuk jual beli. Seperti halnya, ucapan
seorang pembeli kepada penjual, “Aku ambil baju ini sekarang ya. Besok saya kasih
uangnya ke kamu”. Kata ambil dan kasih, keduanya menurut adat masyarakat kita bisa
bermakna jual beli dalam kondisi tertentu.
B. Penyebab Dilarangnya Transaksi dalam Islam
1. Haram Zatnya
Transaksi tidak diperbolehkan sebab objek (barang dan/atau jasa) yang
ditransaksikan juga dilarang, misalnya khamr, bangkai, daging babi, darah dan
sebagainya. Jadi transaksi jual beli daging babi itu haram, meskipun akad jual belinya
sah. Dengan demikian bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian daging
babi kepada bank dengan menggunakan akad murabahah (akad yang dijalankan dengan
mengambil keuntungan), maka walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini haram karena
objek transaksinya haram.
2. Haram selain Zatnya
1. Karena Melanggar Prinsip An Taradin Minkum
1) Tadlis
Segala transaksi yang dilakukan di dalam agama Islam harus didasarkan
pada prinsip kerelaan antara pihak penjual dan pembeli (keduanya sama-sama
ridha). Kedua belah pihak harus memberikan informasi yang sama sehingga
nantinya tidak ada pihak yang merasa ditipu karena terdapat kondisi yang bersifat
unknown to one part (keadaan dimana salah satu pihak tidak mengetahui
informasi yang diketahui pihak lain, atau disebut juga dengan assymetric
information).
Unknown to one part dalam bahasa fiqihnya disebut tadlis. Tadlis dapat
terjadi dalam empat hal, diantaranya adalah sebagai berikut.

7
• Kuantitas
Tadlis kuantitas misalnya menjual baju bekas dalam satu kointainer.
Karena jumlahnya banyak tidak mungkin menghitung satu persatu, disini
terdapat usaha penjual untuk mengurai jumlah barang yang dikirim kepada
pembeli.
• Kualitas
Tadlis kualitas ialah menyembunyikan cacat barang yang ditawarkan.
Misalnya dalam penjulan mobil bekas.
• Harga
Tadlis harga atau dalam istilah figih disebut dengan ghaban adalah
dengan memanfaatkan ketidaktauan pembeli akan harga pasar dengan
menaikkan harga produk di atas harga pasar. Misalnya seorang tukang ojek
menaikkan tarif jasanya 5 kali lipat dari tarif normalnya kepada seorang turis.
Hal ini dilarang sebab turis tersebut tidak mengetahui harga pasar yang
berlaku.
• Waktu penyerahan
Tadlis dalam waktu penyerahan misalnya seorang konsultan yang
berjanji akan menyelesaikan sebuah proyek dalam waktu dua bulan untuk
memenangkan tender, padahal konsultan tersebut tahu bahwa tidak mungkin
menyelesaikan proyek tersebut dalam kurun waktu tadi.
2. Karena Melanggar Prinsip La Tazhlimuna Wa La Tazhlamuni
Prinsip kedua dari transaksi dalam Islam yang tidak boleh dilanggar adalah
prinsip la tazhlimuna wa la tazhlamuni, dimana prinsip ini diartikan sebagai jangan
mendzalimi dan jangan didzalimi. Berikut transaksi-transaksi yang melanggar
prinsip ini diantaranya adalah sebagai berikut.
2) Taghrir/Gharar
Definisi dari “gharar” dibagi menjadi dua, yaitu gharar dalam transaksi dan
gharar dalam perbuatan. Gharar dalam transaksi didefinisikan sebagai sinonim
dari kata khatar, dimana kata khatar ini adalah situasi bahaya (jeopardy or peril),
risiko (hazard or risk), penipuan (khada’), ketidakjelasan (al-jahl). Definisi ini
dilandaskan pada hadis jual beli gharar. Jual beli yang mengandung gharar ini

8
dapat diilustrasikan pada kegiatan menjual burung yang terbang di udara dan
menjual ikan yang berada di lautan. Namun dilain sisi, gharar juga diartikan
sebagai suatu perbuatan penipuan yang memberikan dampak menderita disertai
dengan kebatilan yang berkaitan dengan kebenaran (haq). Menurut para fuqaha,
terdapat dua hal yang menjadi sebab utama terjadinya gharar diantaranya adalah
sebagai berikut.
➢ Kurangnya informasi (berkaitan dengan sifat, spesifikasi, harga, maupun
waktu penyerahan).
➢ Tidak adanya objek kontrak.5
Hal ini juga sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Adiwarman
A. Karim, taghrir atau yang biasa disebut juga dengan kata gharar adalah situasi
dimana terjadi incomplete information dikarenakan adanya uncertainty to both
parties (ketidakpastian dari kedua belah pihak). Jika dikaitkan dengan transaksi
tadlis, pada transaksi tadlis hal yang terjadi adalah pihak A tidak mengetahui
mengenai suatu hal yang diketahui oleh pihak B. Akan tetapi, pada transaksi
taghrir ini, kedua belah pihak (pihak A maupun pihak B) sama-sama tidak
memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan (uncertain to both
parties).
Gharar atau taghrir terjadi dalam empat hal, diantaranya adalah sebagai
berikut.
➢ Kuantitas
➢ Kualitas
➢ Harga
➢ Waktu penyerahan
Ketika salah satu dari empat hal diperlakukan dari yang seharusnya bersifat
certain menjadi uncertain maka terjadilah gharar.

Certain (pasti) Uncertain (tidak


pasti)
Taghrir

5
Nur Kholis and Amir Mu’allim, Transaksi Dalam Ekonomi Islam, 2018. hal. 61

9
• Gharar dalam kuantitas
Gharar dalam kuantitas ini terjadi pada kasus ijon, dimana ketika
penjual menyatakan bahwasanya ia akan membeli buah seharga n, meskipun
pada pohonnya sama sekali belum tampak buah yang akan ia beli. Maka dalam
hal ini, terlihat secara nyata terdapat ketidakpastian dalam transaksi mengenai
kuantitas dari buah yang akan dijual. Ketika buah yang dipanen sebesar a kg
maka akan terjual seharga n, begitupun ketika buah yang dipanen sebesar b kg
maka harganya akan tetap, yaitu n. Hal ini juga akan menghasilkan nilai ual
yang sama ketika buah gagal panen.
• Gharar dalam kualitas
Salah satu contoh gharar dalam kualitas adalah ketika seseorang
menjual hewan yang masih dalam kandungan induknya. Dalam hal ini, terjadi
ketidakpastian dalam hal kualitas objek transaksi, dimana mereka tidak
mengetahui kondisi dari anak hewan tersebut yang masih dalam kandungan,
baik cacat, sehat, maupun dalam keadaan tertentu.
• Gharar dalam harga
Gharar dalam harga salah satu contohnya adalah ketika bank syariah
menyatakan akan memberikan pembiayaan murabahah rumah 1 tahun dengan
marjin 20 % atau 2 tahun dengan marjin 40 % yang kemudian telah dilakukan
kesepatakan dengan nasabah. Ketidakpastian yang terjadi pada kegiatan ini
adalah harga yang disepakati tidak jelas, apakah 20 % ataukah 40 %. Namun,
pengecualian ketika pada saat kesepakatan dilakukan, nasabah menyatakan
“setuju melakukan transaksi rumah dengan marjin 40 % dibayarkan 2 tahun.
• Gharar dalam waktu penyerahan
Sedangkan pada kejadian gharar dalam waktu penyerahan contohnya
adalah ketika seseorang menjual barang yang hilang dengan harga n yang
kemudian telah dilakukan kesepakatan dengan pembeli. Maka, dalam
kejadian ini terdapat ketidakpastian pada waktu penyerahan. Hal ini
dikarenakan kedua belah pihak tidak mengetahui secara pasti mengenai waktu
barang tersebut ditemukan.

10
Dari keempat kejadian diatas, keadaan sama-sama relah masih pada tahap
bersifat sementara. Sementara dalam hal ini adalah sementara keadaannya masih
belum jelas bagi kedua belah bihak, baik penjual maupun pembeli. Meskipun
pada kemudian hari ketika keadaannya telah jelas akan memberikan dampak
pada pembeli maupun penjual merasa terdzalimi.6
3) Rekayasa Pasar dalam Supply (Ikhtikar)
Ihtikar secara terminologi yaitu ketika seseorang membeli makanan pada
saat harga mahal, yang kemudian ia menimbun barang tersebut dengan tujuan
menjual barang itu dengan harga yang lebih mahal ketika kebutuhan terhadap
barang tersebut mendesak. Secara bahasa, ihtikar berasal dari kata ihtikara-
yahtakiru yang artinya menahan dan mengumpulkan. Sedangkan secara
etimologi, ihtikar didefinisikan sebagai perbuatan menimbun, pengumpulan
(barang-barang) atau tempat untuk menimbun.7
Ihtikar biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier. Entry barrier
adalah menghambat produsen maupun penjual yang lain masuk ke dalam pasar
dengan maksud agar ia berperan sebagai pemain tunggal dalam pasar tersebut
(monopoli). Hal ini mengakibatkan terjadinya perspektif yang salah di kalangan
umum, mereka menyamakan antara ihtikar dengan monopoli dan penimbunan.
Padahal terdapat perbedaan antara keduanya, dimana seorang monopolis belum
tentu melakukan ihtikar, begitupun dengan sebaliknya. Di lain sisi, tidak setiap
orang yang melakukan penimbunan adalah ihtikar. Beberapa kegiatan dapat
dikatakan sebagai ihtikar jika memenuhi beberapa syarat di bawah ini.
• Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock
ataupun melakukan entry barriers.
• Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum
terjadinya kelangkaan.

6
Adiwarman, A. Karim. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 5.(Depok: PT. Rajagrafindo
Persada, 2014). hal. 32-34
7
Muhammad Deni Putra dan Frida Amelia, Dampak Ihtikar terhadap Mekanisme Pasar dalam Perspektif
Islam. Jurnal Imara, Vol 3 No. 2, Desember 2019. hal. 184-185.

11
• Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan
sebelum komponen a dan b dilakukan.8
4) Bai’ Najasy
Ada beberapa pendapat mengenai definisi dari bai’ najasy. Menurut Abu
Isa, bai’ najasy terjadi ketika seseorang yang biasanya sudah membuat
kesepakatan antaranya dan penjual menawar suatu barang saat pembeli datang,
padahal pada dasarnya ia sendiri tidak berniat untuk membeli barang tersebut,
hal itu dilakukan dengan tujuan menipu pembeli dan menawarnya dengan harga
yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Umer Chapra, bahwasanya najasy
adalah curang dan kolusi.
Sedangkan Dr. Hamzah Ya’qub mengemukakan pendapatnya bahwa
yang termasuk dalam kategori najasy adalah memuji dagangannya sendiri dan
membuat rencana dengan temannya agar berpura-pura menawar barang
dagangannya dengan harga yang lebih tinggi dengan tujuan agar orang yang
membelinya tidak merasa kemahalan dan terpengaruh membeli barang tersebut.
Terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama’ mengenai hukum dari
bai’ najasy. Sebagaian dari ulama’, yaitu Syafi’iyah, Hanabilah, dan al Maziri
berpendapat bahwasanya hukum dari bai’ najasy mutlak haram, baik harga
komoditi naik dari harga normal dikarenakan najasy maupun tidak. Sedangkan
ulama’ lain, yaitu Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ibn Hazm berpendapat
bahwasanya hukum dari naiknya harga komoditi disebabkan oleh najasy apabila
melebihi harga normal adalah tidak haram.9
5) Riba
Secara etimologi riba berarti Az-Ziyadah artinya tambahan, Sedangkan
secara istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil. Riba dalam bahasa Inggris disebut usury, yang intinya adalah
pengambilan bunga atas pinjaman uang dengan berlebihan, sehingga cenderung

8
Adiwarman, A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 5, (Depok: PT. Rajagrafindo
Persada, 2014), hal. 35
9
Deby Melani, Sandi Rizki Febriadi, Fahmi Fatwa Rosyadi Staria H, Tinjauan Fikih Muamalah terhadap
Jual Beli Najasy pada Marketplace Lazada. Prosiding Hukum Ekonomi Syariah Vol 6 No. 2, Tahun 2020, hal. 247

12
mengarah kepada eksploitasi atau pemerasan. 10 Para ulama sepakat bahwa riba
adalah haram dan Islam tidak memperkenankan hal itu dipraktikkan dalam
muamalah. Riba adalah usaha mencari rezeki yang tidak dibenarkan serta dibenci
Allah SWT. Al-Quran dan Hadis secara jelas melarang praktik riba. Allah SWT
berfirman dalam Al-Quran: “Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (Al-Baqarah: 275). Kemudian Allah juga memerintahkan
orang-orang beriman untuk menghentikan praktik riba (Al-Baqarah 278). Allah
SWT mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintah-
Nya untuk meninggalkan riba (QS Al-Baqarah 279).
Larangan riba dalam Al-Quran dilarang dalam empat tahap.
▪ Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zahirnya
menambah harta dan menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. Surat ar-Rum ayat
(39).
▪ Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang
keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Surat an-Nisa ayat (160-
161).
▪ Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Surat Ali Imran ayat (130).
▪ Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Surat al –Baqarah ayat (278-279).
Larangan terhadap riba ini juga dijumpai dalam hadis nabi Muhammad
SAW. Ada beberapa hadis yang memuat tentang larangan riba ini, antara lain
adalah:
▪ HR. Bukhari no. 2034, Kitab al-Buyu Diriwayatkan oleh Abdurahman bin
Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah SAW melarang penjualan
emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya
sesuai dengan keinginan kita.”

10
Khotibul Umam, “Pelarangan Riba Dan Penerapan Prinsip Syariah Dalam Sistem Hukum Perbankan Di
Indonesia,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 29, no. 3 (2018): 391,
https://doi.org/10.22146/jmh.28436.

13
▪ HR. Muslim no. 2995, Kitab al-Masaqqah: “Jabir berkata bahwa Rasulullah
saw. Mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan
orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,
“Mereka itu semuanya sama”.11
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu riba
utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qardh
dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba
nasi’ah .
• Riba Qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berutang.
• Riba Jahiliyyah yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam
tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
• Riba Fadhl yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis
barang ribawi.
• Riba Nasi’ah yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.12
Contoh Kasus Riba
Terdapat seorang individu dimisalkan A meminjamkan uang sebesar Rp.
10.000.000 kepada temannya. Antara kedua belah pihak membuat kesepakatan
bahwa peminjam harus mengembalikan uangan tersebut dengan diberikan
tambahan sebesar 10% dari jumlah uang yang dipinjam setelah satu tahun. Maka
setelah satu tahun, peminjam harus mengembalikan uang sebesar Rp. 11.000.000
kepada si A. Apakah kejadian tersebut merupakan perbuatan riba? Jika iya, apa
alasan yang melandasi bahwasanya kegiatan tersebut termasuk riba?

11
Ibid.
12
Salman Al Parisi et al., “Perspektif Riba dan Studi Kontemporer-Nya dengan Pendekatan Tafsir Al Quran
dan Hadits,” JESI (Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia) 8, no. 1 (2018): 23,
https://doi.org/10.21927/jesi.2018.8(1).23-36.

14
Penyelesaian.
Transaksi yang dilakukan pada kegiatan yang dipaparkan di soal
merupakan riba. Menurut fiqih, kegiatan transaksi dalam lingkup pinjam-
meminjam yang didalamnya melibatkan adanya bunga termasuk riba. Hal ini
sejalan dengan definisi riba dalam Islam, dimana riba didefinisikan sebagai setiap
tambahan yang tidak memiliki kompensasi atau pertukaran setara. Dalam kasus
yang dipaparkan di soal, peminjam harus mengembalikan lebih dari jumlah yang
ia pinjam sehingga terdapat pertukaran yang tidak setara.
Menurut fiqih, adanya riba memberikan dampak eksploitasi dan
ketidakadilan karena membebankan peminjam dengan biaya yang tidak
sebanding dengan nilai pinjaman. Oleh karena itu, transaksi ini dilarang dalam
Islam.
Dalam kasus ini, 10% yang dikenakan oleh si A kepada peminjam
merupakan riba yang merupakan kelebihan pembayaran yang tidak didasarkan
pada pertukaran yang adil. Hal ini bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam yang menekankan pada prinsip keadilan dan transparansi dalam transaksi
keuangan.
6) Maysir
Maysir adalah transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan. Identik dengan kata maysir adalah
qimar. Menurut Muhammad Ayub, baik maysir maupun qimar dimaksudkan
sebagai permainan untung-untungan (game of cance). Dengan kata lain, yang
dimaksudkan dengan maysir adalah perjudian.13
Kata maysir dalam bahasa Arab secara harfiah adalah memperoleh
sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa
bekerja. Yang biasa disebut berjudi. Judi dalam terminologi agama diartikan
sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu
benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain
dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian

13
Muhammad Arif, “Riba, gharar dan maysir dalam ekonomi islam,” Repositry : UIN Alauddin Makassar,
2019, 1–14, http://repositori.uin-alauddin.ac.id/15699/1/Muhammad Arif_Sebelum Revisi.pdf.

15
tertentu”. Sebagian Ulama’ juga menjelaskan bahwa maysir diartikan sebagai
taruhan. Ibnu Hajar al-Makki rahimahullah dalam Az-Zawâjir ‘an Iqtirâfil
Kabâ‘ir, 2/200, menyatakan “Al-Maysir (judi) adalah taruhan dengan jenis apa
saja”
Maysir (judi) dilarang dalam syariat Islam, baik dari Al-Qur’an, As-
Sunnah dan Ijma’. Sehingga dalam kontrak muamalah bisnis perdagangan
syariah maupun bentuk transaksi ekonomi lainnya tidak diperbolehkan adaunsur
maysir di dalamnya. Keharaman berjudi ini sangat jelas berdasarkan dalil. Di
dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah:90). Rasulluah
dalam salah satu hadist bersabda, “Barangsiapa yang menyatakan kepada
saudaranya, ‘mari aku bertaruh denganmu’ maka hendaklah dia bersedekah”
(HR. Bukhari-Muslim)14
Banyak bentuk maysir/judi yang sekarang berkembang di Masyarakat,
transaksi perjudian sering ada dalam permainan dan perlombaan bisa kita lihat
seperti penggunaan kartu, dadu, seperti adu ayam jantan, adu panco sepak bola,
dan sebagainya.
Contoh Kasus Maysir
Siti membeli tiket lotre dengan harapan mendapatkan hadiah uang tunai
dengan nilai yang besar. Siti membayarkan sejumlah uang untuk membeli tiket
lotre tersebut tanpa mengetahui apakah dia mendapatkan hadiah ataukah tidak.
Apakah kejadian tersebut merupakan perbuatan riba? Jika iya, apa alasan yang
melandasi bahwasanya kegiatan tersebut termasuk riba?
Penyelesaian
Membeli tiket lotre yang dilakukan oleh Siti dianggap sebagai maysir.
Menurut Fiqh, setiap kegiatan yang melibatkan unsur spekulasi dan
ketidakpastian merupakan maysir. Dalam Islam, maysir didefinisikan sebagai

14
Nabila Zulfaa, “Bentuk Maysir Dalam Transaksi Keuangan,” Jurnal Hukum Ekonomi Islam (JHEI) 2,
no. 1 (2018): 1–15.

16
perjudian atau taruhan yang hasilnya hanya bergantung pada keberuntungan atau
kejadian acak. Transaksi ini dilarang dalam Islam, hal ini dikarenakan berbagai
faktor, yaitu
• Tidak ada usaha yang sebanding
• Adanya unsur ketidakpastian
• Risiko kerugian
• Dampak negative sosial.
Sehingga, dalam kasus Siti, pembelian tiket lotre dengan harapan
mendapatkan hadiah dengan nilai yang besar adalah salah satu bentuk dari
maysir. Hal ini dikarenakan Siti mengambil risiko finansial berdasarkan peluang
tidak pasti, yang mana itu merupakan ciri khas dari perjudian/maysir yang
dilarang dalam Islam.
7) Risywah
Suap dalam bahasa arab disebut risywah15. Risywah adalah memberi
sesuatu kepada pihak lain untuk emndapatkan sesuatu yang bukan haknya16.
Risywah merupakan kejahatan publik (jarimatul ‘aamah) yang telah membudaya
dan biasa di negeri kita17. Di Indonesia itu sendiri KKN menjadi subur karena
ditopang dengan kegiatan risywah. Disisi lain, risywah dipahami sebagai hadiah
atas wujud apresiasi kedekatan dan kecintaan yang objektif. Oleh sebab itu orang
seringkali tidak paham dan tidak bisa membedakan antara risywah dengan
hadiah. Kasus suap ini tidak hanya menjadi masalah pada tingkat pemegang
kebijakan, namun sudah merambah ke berbagai segmen kehidupan masyarakat
yang tumbuh menjadi suatu budaya.
Ibn Abidin, dengan mengutip kitab al-Fath, mengemukakan empat
macam bentuk risywah, yaitu18:

15
Deny Guntara and Irma Garwan, “Risywah Dalam Politik Menurut Persfektif Hukum Islam,” Jurnal
Hukum Islam, 2022, 321.
16
Cahyono, “Konsep Pasar Syariah Dalam Perspektif Etika Bisnis Islam.”
17
Haryono, “Risywah (Suap-Menyuap) Dan Perbedaannya Dengan Hadiah Dalam Pandangan Hukum Islam
(Kajian Tematik Ayat Dan Hadis Tentang Risywah),” Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial 4,
no. 07 (2016): 429–50.
18
Siti Kadariah, Tuti Anggraini, and Marliyah, “Risiko Ekonomi Pada Praktek Risywah Dan Ihtikâr,” Jurnal
EMT KITA 6, no. 2 (2022): 334–41, https://doi.org/10.35870/emt.v6i2.678.

17
1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan memberikannya, yaitu
risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun
keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa
menolak kemudaratan dan mengambil manfaat. Risywah ini haram bagi
yang mengambilnya saja. Sebagai alasan risywah ini dapat dianggap upah
bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut
digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari
dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang lain. Akan tetapi di satu
sisi haram, karena substansinya adalah kedzaliman. Oleh sebab ituhal ini
haram bagi yang mengambilnya saja. Namun apabila tidak disyaratkan, dan
seseorang yakin bahwa pemberian itu hadiahyang diberikan pada penguasa,
maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang
memberikan dan haram bagi yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan
karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak
boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.
Pandangan Ulama terhadap Risywah
Terdapat tiga komponen yang mendapat kecaman dari Rasulullah
sehubungan dengan perbuatan risywah. Pertama, ada rasyi atau orang yang
menyogok, kedua ada murtasyi atau orang yang menerima sogok, dan ketiga
ada ra’isy atau orang yang menjadi perantara dalam sogok menyogok. Ketiga
orang ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu datang dari
Rasulullah SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT. Kedua laknat ini
ditemukan dalam lafadz hadist.
Berdasarkan dalil-dalil yang ada ulama sepakat untuk melarang risywah.
bahkan Ibn Ruslan mengatakan bahwa suap itu haram denga ijma’ ulama.
Demikian juga pendapat Imam al-Mahdi dalam kitabnya al-Bahr. Dengan arti
kata tidak ada ulama yang membolehkannya. Larangan ini berlaku secara
umum, baik sogok dalam dunia peradilan maupun dalam bidang lainnya.

18
Dalam riwayat dari Rasulullah ditemukan sogok itu dilarang dalam
dunia peradilan sebagaimana riwayat Turmuzi yang diterima dari Abu
Hurairah. Akan tetapi dalam riwayat Turmuzi juga yang diterima dari Abdullah
bin Amr dan Tsauban pelarangan sogok berlaku secara umum tanpa
mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini harus dipakai
sehingga pelarangan sogok berlaku dalam bidang apapun. Hanya saja sogok di
dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam dunia
peradilan perebutan hak bagi orang-orang yang berperkara. Bila mana sogok
dibolehlan maka hak jatuh ke tangan orang yang bukan pemiliknya.
Ada pendapat yang membolehkan sogok apabila berkaitan dengan
penetapan hak. Pendapat ini diekemukakan oleh al-Mansur Billah, Abu Ja’far
dan sebagian pengikut asy-Syafi’i. Namun, asy-Syaukani membantahnya
karena menurut keumuman hadis yang ada sogok dilarang. Kalaupun ada
perbedaan pendapat dalan hal ini dianggap tidak sah, karena tidak
mempengaruhi hukum yang telah ditetapkan. Mengkhususkan kebolehan sogok
terhadap penetapan hak tidak ada dalil. Oleh karena itu harus berlaku
keumuman hadis yang melarang sogok dalam bentuk apapun.
Selanjutnya asy-Syaukani mengemukakan argumen bahwa pada
dasarnya harta seorang muslim itu haram. Tidak halal menggunakan harta
seorang muslim kecuali apabila diperoleh dengan cara yang baik dan benar.
Harta dapat diperoleh secara tidak halal melalui dua kemungkinan. Pertama,
diperoleh dengan cara benar, tetapi tidak halal. Kedua, dengan cara tidak benar
dan tidak halal. Sedangkan menyogok untuk mendapatkan hak walaupun benar
tetap tidak halal, karena sogok disamping memakan harta orang lain, dia juga
menyulitkan dan memberatkan seseorang.
Contoh Kasus Risywah
Mengutip Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 23 Tahun 2000
disebutkan sebagai “pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang
lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak
benar menurut syariah) atau membatalkan perbuatan yang hak”. Fatwa MUI
tersebut merespon atas maraknya praktik kotor politik praktis saat pemilu

19
sedang berlangsung yang biasa disebut dengan “serangan fajar”. Di Indonesia
politik uang menjadi hal lumrah karena sudah dianggap budaya. Biasanya para
politisi tersebut membagikan amplop berisi uang dan sembako yang tersisipkan
poster atau stiker yang berisi informasi/profil singkat politisi yang maju pemilu.
Serangan fajar ini bertujuan untuk membeli suara masyarakat agar memilih
partai, kader, atau calon yang melangsungkan pemilu.
3. Tidak Syah (Tidak Lengkap) Akadnya
Salah satu jenis transaksi yang dilarang dalam Islam adalah tidak sah
(lengkap) akadnya. Suatu transaksi dikatakan tidak sah/tidak lengkap akadnya bila
terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini19:
a. Tidak terpenuhinya rukun dan syarat transaksi
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary
condition), misalnya ada penjual dan pembeli20. Tanpa adanya penjual dan
pembeli, maka jual beli tidak ada. Umumnya rukun dalam muamalah
iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3 yaitu:
✓ Pelaku, bisa berupa penjual-pembeli, penyewa-pemberi sewa, penerima
upah-pemberi upah.
✓ Objek, bisa berupa barang atau jasa.
✓ Ijab-kabul, dalam terminologi fikih adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak yang bertransaksi21. Kesepakatan akan batal apabila terdapat
kesalahan/kekeliruan objek, paksaan (ikrah), penipuan (tadlis).
Syarat merupakan pelengkap dari rukun. Menurut Mahzab Hanafi bila
rukun terpenuhi sedangkan syarat tidak terpenuhi maka akad akan rusak22.
Keberadaan syarat tidak boleh:
▪ Menghalalkan yang haram

19
Robinson Robinson, “Dekonstruksi Makna Transaksi Dalam Akuntansi: Suatu Pendekatan Idealisme
Syariah Islam,” BISNIS : Jurnal Bisnis Dan Manajemen Islam 2, no. 2 (2014): 27,
https://doi.org/10.21043/bisnis.v2i2.5265.
20
Heru Cahyono, “Konsep Pasar Syariah Dalam Perspektif Etika Bisnis Islam,” Ecobankers : Journal of
Economy and Banking 1, no. 2 (2020): 14, https://doi.org/10.47453/ecobankers.v1i2.171.
21
Robinson, “Dekonstruksi Makna Transaksi Dalam Akuntansi: Suatu Pendekatan Idealisme Syariah
Islam.”
22
Aulia Hanum and Arif Hoetoro, “ANALISIS KESYARIAHAN AKAD MURABAHAH BIL WAKALAH
( Studi Kasus Pada Bank Muamalat Indonesia , Bank BRI Syariah , Bank Syariah Mandiri , Dan Bank CIMB Niaga
Syariah, Cabang Malang),” FEB, Universitas Brawijaya, 2015, 1–20.

20
▪ Mengharamkan yang halal
▪ Menggugurkan rukun
▪ Bertentangan dengan rukun, atau
▪ Mencegah berlakunya rukun
b. Terjadinya Ta’alluq
Ta’allluq yaitu transaksi dimana terjadi 2 akad yang saling mengikat, maka
berlakunya akad 1 tergantung akad 223. Contohnya A menjual barang X seharga
Rp120 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali
menjual X tersebut kepada A secara tunai seharga Rp100 juta. Transaksi tersebut
haram, karena ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan
B kembali menjual barang tersebut kepada A. Dalam kasus ini, disyaratkan
bahwa akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan. Penerapan syarat ini
mencegah terpenuhinya rukun.
c. Two in one atau Safqatain fi al-safqah
Yaitu kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh 2 akad sekaligus
sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus
diguanakan/berlaku24. Two in one terjadi bila semua dari ketiga faktor ini
terpenuhi yaitu objek sama, pelaku sama, dan jangka waktu sama. Misalnya
terjadi pada transaksi sewa-beli, pada transaksi ini yang terjadi adalah
ketidakjelasan karena akad mana yang akan dipergunakan sewa atau beli, hal
inilah yang menyebabkan transaksi diharamkan karena adanya ketidakjelasan.

23
Cahyono, “Konsep Pasar Syariah Dalam Perspektif Etika Bisnis Islam.”
24
Robinson, “Dekonstruksi Makna Transaksi Dalam Akuntansi: Suatu Pendekatan Idealisme Syariah
Islam.”

21
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Syarat syah dari transaksi dalam Islam adalah adanya penjual dan pembeli, ijab dan
qabul, adanya barang yang ditransaksikan
2. Hal yang menyebabkan transaksi dilarang dalam Islam adalah karena zatnya, bukan
karena zatnya, dan tidak lengkap akadnya. Yang dimaksut dengan dilarang karena zat
adalah zat seperti khamer, babi, bangkai.darah, dan yang dimaksud dilarang bukan
karena zat yaitu seperti barang tidak sesuai harga,pembeli atau penjual dirugikan,
adanya unsur riba, kemudian untuk yang tidak lengkap akadnya itu tidak sah karena
srayar syahnya transaksi yaitu akadnya jelas atau ijab dan qabulnya jelas.
3. Bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam yaitu transaksi yang didalamnya
mengandung unsur riba dan untung untungan atau berjudi, karena hal tersebut merugikan
salah satuu pihak

B. Saran
Demikian yang dapat penulis sampaikan, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan
karena keterbatasannya pengetahuan, kurangnya rujukan atau referensi yang penulis peroleh
untuk makalah ini. Penulis berharap agar pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

22
DAFTAR RUJUKAN

Al, Salman Parisi dkk. 2018. Perspektif dan Studi Kontemporer-Nya dengan Pendekatan Tafsir
Al Qur’an dan Hadist. Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 8(1), hlm. 23-36.
Arif, Muhammad. 2019. Riba, Gharar, dan Masysir dalam Ekonomi Islam. Repository: UIN
Alauddin Makassar, hlm. 1-14.
Deni, Muhammad Putra & Frida Amelia. 2019. Dampak Ikhtikar terhadap Mekanisme Pasar
dalam Perspektif Islam. Jurnal Imara, 3(2), hlm. 184-185.
Cahyono, Heru. 2020. Konsep Pasar Syariah dalam Perspektif Etika Bisnis Islam. Journal of
Economy and Banking, 1(2).
Guntara, Deni dan Irma Garwan. 2022. Risywah dalam Politik Menurut Perspektif Hukum
Islam. Jurnal Hukum Islam.
Hakiem, Luqmanul Ajuna. 2016. Kupas Tuntas Al-Bai. Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam,
4(2).
Hanum, Aulia & Arif Hoetoro. 2015. Analisis Kesyariahan Akad Murabahah Bil Wakalah (
Studi Kasus Pada Bank Muamalat Indonesia , Bank Bri Syariah , Bank Syariah Mandiri ,
Dan Bank Cimb Niaga Syariah, Cabang Malang), FEB, Universitas Brawijaya, hlm. 1–20
Haryono. Risywah (Suap-Menyuap) dan Perbedaannya dengan Hadiah dalam Pandangan
Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat dan Hadis Tentang Risywah). Jurnal Hukum Islam
dan Pranata Sosial, 4(7).
Kadariah, Siti dkk. 2022. Risiko Ekonomi Pada Praktek Risywah Dan Ihtikâr. Jurnal EMT
KITA, 6(2).
Karim, Adiwarman A. 2014. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan Edisi 5. Depok: PT.
Rajagrafindo Persada.
Kholis, Nur dan Amir Mu’allim. Transaksi dalam Ekonomi Islam.
Muslich, Ahmad Wardih. 2019. Pengertian Jual Beli Dalam Islam. Fiqih Muamalat.
Melani, Deby dkk. 2020. Tinjauan Fikih Muamalah terhadap Jual Beli Najasy pada Marketplace
Lazada. Prosiding Hukum Ekonomi Syariah, 6(2).
Robinson. 2014. Dekonstruksi Makna Transaksi Dalam Akuntansi: Suatu Pendekatan Idealisme
Syariah Islam. Jurnal Bisnis Dan Manajemen Islam, 2(2).

23
Umam, Khotibul. 2018. Pelarangan Riba dan Penerapan Prinsip Syariah dalam Sistem Hukum
Perbankan di Indonesia. Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada, 29(3).
Wibowo, Arif. Dasar-Dasar Ekonomi dan Keuangan Islam. Islamic Finance, 2, hlm. 1-7.
Zulfa, Nabila. 2018. Bentuk Maysir dalam Transaksi Keuangan. Jurnal Hukum Ekonomi Islam,
2(1), hlm. 1-15.

24

Anda mungkin juga menyukai