Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Akidah Akhlak di Madrasah
Dosen Pengampu:
Drs. H. Achmad Gholib M.A
KELOMPOK 12
Disusun oleh:
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian usaha perekonomian dan akhlak usaha perekonomian
2. Bagaimana Pandangan Islam tentang harta
3. Bagaimana Pandangan Islam tentang kerja atau usaha ?
4. Bagaimana Akhlak dalam kegiatan ekonomi ?
5. Bagaimana Akhlak dalam menggunakan harta ?
6. Bagaimana pengertian usaha perekonomian dan akhlak usaha perekonomian?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian usaha perekonomian dan akhlak usaha
perekonomian
2. Untuk mengetahui Pandangan Islam tentang harta
3. Untuk mengetahui Pandangan Islam tentang kerja atau usaha
4. Untuk mengetahui Akhlak dalam kegiatan ekonomi
5. Untuk mengetahui Akhlak dalam menggunakan harta
6. Untuk mengetahui Kewajiban mengatur pembelanjaan harta
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian usaha perekonomian dan akhlak dalam usaha perekonomian
Pengertian Ekonomi Islam
Berbagai definisi telah diberikan mengenai ekonomi Islam yang satu dan lainnya pada
prinsipnya tidak berbeda. Salah satu di antaranya yang dikemukakan oleh Dr.
Muhammad Abdullah Al-Arabi, yaitu: “Ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-
dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan
merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar
tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”.1
Dari definisi tersebut terlihat bahwa Ekonomi Islam terdiri dari 2 (dua) bagian:
a. Pertama adalah yang diistilahkan dengan “sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi
yang disimpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah”, yang ada hubungannya dengan
urusan-urusan ekonomi. Dasar-dasar umum ekonomi tersebut antara lain tercemin
dalam prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Bahwa segala cara usaha, pokok asalnya adalah boleh (mubah), Prinsip ini terlihat
misalnya dalam QS. 2: 29; 31: 20.
2. Bahwa hasil perkerjaan kembali kepada yang mengerjakaanya, tidak ada perbedaan
dalam hal ini (Ekonomi) antara laki-laki dan wanita. Terdapat pada QS. 4: 32.
3. Bahwa pemimpin harus dapat mengembalikan distribusi kekayaan dalam
masyarakat manakala tidak ada keseimbangaan di antara mereka yang
dipimpinnya. Hal ini terdapat pada QS. 59 : 7.
4. Dan bahwa haram menganiaya dengan menerjang hak atas orang Islam lainnya.
Tercemin dalam Hadits Riwayat At-Tarmizi, dikatakan olehnya Hadits ini hasan,
yaitu : “Semua muslim atas muslim lainnya, haram darahnya, kehormatannya, dan
hartanya”.
5. Serta prinsip-prinsip lainnya dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang
bersifat membatasi motif-motif ekonomi pelaku ekonomi, seperti:2
a. Larangan menghasilkan harta dengan jalan batil, seperti: penipuan (QS. 6: 152),
Melanggar janji (QS. 5: 1), Riba (QS. 30 : 39;4: 6-61; 3: 130; 2: 275, 278-279),
1
Mohammad Nauval Omar, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 33.
2
Ibid., hal. 34.
Pencurian (QS. 5 : 38), spekulasi ( QS. 5 : 99 ), da1 mengusahakan barang-barang
berbahaya bagi pribadi dan masyarakat (QS. 2 : 219);
b. Larangan menimbun harta tanpa ada manfaat bagi manusia QS. 9 : 34-35, dan
melaksanakan amanat QS. 4 : 58;
c. Larangan melampaui batas QS. 25: 67, dan tidak kikir QS. 2: 29.
b. Kedua yaitu yang diistilahkan dengan “Bangunan perekonomian yang didirikan di
atas landasan dasar-dasar terserbut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”. Maksud
dari istilah tersebut adalah cara-cara penyesuaian atau pemecahan masalah ekonomi yang
dapat dicapai oleh para ahli dalam negara Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip
Al-Quran dan As-Sunnah diatas.
Ciri asasi dari cara pemecahan dan penyesuaian ini dapat berubah atau berbeda dari satu
ke lain lingkungan menurut situasi tiap lingkungan, dan berubah menurut perubahan-
perubahan pada lingkungan tersebut dari waktu ke waktu.
A. Asas-asas Hukum Kegiatan Ekonomi
a. Kebebasan Berusaha
Firman Allah SWT dalam Al-Quran menyebutkan “Dialah Zat yang menjadikan bumi
ini mudah buat kamu. Oleh karena itu, berjalanlah di permukaanya dan makanlah dari
rezekinya”. (QS. 26: 15). Dari ayat ini tampak prinsip Islam bahwa ini telah diserahkan
oleh Allah SWT kepada manusia dan dimudahkannya. Oleh karena itu, manusia harus
memanfaatkan nikmat ini serta berusaha di seluruh seginya untuk mencari anugrah Allah
itu.
b. Pengharaman Riba
Riba menurut pengertian bahasa berarti Az-Ziadah (tambahan), yang dimaksud dalam
fiqih ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak. Riba
diharamkan oleh seluruh agama samawi, yaitu baik oleh agama Yahudi, Nasrani dan
Islam. Hal ini dapat dilihat dalam Perjanjian Lama ayat 25 pasal 22 Kitab keluaran dan
dan dalam ayat 35 pasal 25 Kitab Amanat, akan tetapi peraturan tersebut kemudian di
ubah. Hal ini dapat dilihat dalam ayat 20 pasal 23 Kitab Ulangan yang berbunyi: “Maka
daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi dari pada saudaramu
tidak boleh kamu mengambil dia..”.3 Yang kemudian dijawab dalam Al-Quran pada ayat
161 surah an-Nisa yang berbunyi : “... Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
mereka sesungguhnya telah dilarang daripadanya”.
3
Ibid., hal. 43.
Riba dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
1) Riba Nasi’ah;
Riba Nasi’ah ialah penambahan bersyarat yang diperoleh orang yang
mengutangkan (pemakan riba) dari orang yang berutang lantaran (dikarenakan)
adanya penangguhan.4 Jenis ini diharamkan dengan berlandasan kepada Al-Quran,
As-Sunnah, dan Ijma’ para iman.
2) Riba Fadhal.
Riba Fadhal ialah jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan
barang pangan dengan tambahan.5 Jenis ini diharamkan berlandasan kepada As-
Sunnah, karena dikhawatirkan menjadi penyebab kepada Riba Nasi’ah. Dalam
kaitan dengan riba ini Hadits Nabi SAW menyebutkan pengharamnya untuk enam
jenis barang yaitu: Emas, Perak, Gandum, Jewawut, Kurma, dan Garam.
c. Pengharaman Jual beli Samar/Mengandung Sifat Penipuan (Bai’u Al-Gharar)
Yang dimaksud dengan Al-Gharar ialah suatu yang tidak diketahui pasti, benar atau
tidaknya. Jadi Bai’u Al-Gharar ialah: jual beli yang tidak pasti hasil-hasilnya, karena
tergantung pada hal yang akan datang atau kepada sesuatu yang belum diketahui yang
kadang terjadi, kadang-kadang tidak.
Jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah SAW sebagai usaha menutup pintu
perbuatan maksiat, karena ini merupakan lubang yang membawa pertentangan apabila
barang yang dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan, yang mungkinkan
salah satu pihak baik penjual atau pembeli untuk menipu. Contoh jual beli ini seperti:
menjual bibit binatang yang masih ada dalam tulang rusuk binatang jantan, atau menjual
burung yang sedang terbang ataupun menjual yang masih didalam air (dalam Hadits
Riwayat Muslim) atau menjual buah-buahan yang masih hijau/belum masak kecuali jika
buah tersebut dipetik seketika itu juga (Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Larangan menjual buah-buahan atau biji-bijian yang masih dalam tangkai adalah untuk
menghindari sengketa apabila terjadi musibah yang tidak terduga sebelumnya terhadap
barang yang dijual, sehinga masing-masing pihak tidak dirugikan.
d. Pengharaman Penyalahgunaan Pengaruh Untuk Mencuri Harta
Islam mengharamkan usaha seseorang untuk mendapatkan harta dengan jalan
menyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh. Dalam hal ini, Islam menghapuskan usaha
yang tersembunyi di balik apa yang dapat diperoleh dengan cara ini, dan mengarahkan
4
Ibid., hal. 45.
5
Ibid., hal. 45.
(harta yang diperboleh tersebut) kepada perbendaharaan kaum muslimin. Dalam kitab
shahihnya, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa pada suatu hari Ibnu Al-Lataibah
menghadap Rasulullah SAW, sehubungan dengan hasil kerjanya yang oleh Rasulullah
SAW ia telah diperkerjakan untuk memungut zakat dari Bani Salam. Maka dibagilah
olehnya hasil zakat ini menjadi dua dan ia berkata kepada Nabi “Yang ini untuk Anda
sekalian, adapun ini adalah hadiah-hadiah yang diberikan orang-orang padaku”.
e. Pengharaman Pemborosan dan Kemewahan
Sebagaimana Islam telah mengatur mengenai cara-cara berusaha untuk mendapatkan
harta, Islam juga mengatur cara-cara pengeluaran dan pengunaan harta. Dalam Al-Quran
dapat kita jumpai firman Allah SWT antara lain berbunyi: “ Sesungguhnya orang-orang
pemboros adalah saudara-saudara setan, dan setan adalah kafir terhadap Tuhannya” (QS.
17:27), dan “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negri itu sehancur-
hancurnya.
Islam mengharamkan sikap pemboros dan bermewah-mewah oleh karena kedua sikap
ini membawa orang kepada kemalasan dan medorong orang berbuat keji (maksiat), serta
melemahkan perjuangan dan pengorbanan yang diperlukan untuk kepentingan orang
banyak. Dari sikap kemewahan inilah penyebab semakin dalamnya jurang antara si kaya
dan si miskin yang membuka pintu ke arah perpecahan, dengki dan dendam yang
mendatangkan bahaya besar atas umat.
f. Pengharaman Penimbunan Harta
Yang dimaksud penimbunan harta ialah membekukannya, menahannya dan
menjauhkan dari peredaran, yakni dari andilnya ikut menjadi produktif. Perbuatan ini
diharamkan dalam Islam dengan ancaman siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran menyebutkan: “Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka bahwa (mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan
emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengan dahi mereka, lambung
dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang
kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu.(QS. 9: 34-35)
Dari ayat di atas tampak peringatan Allah SWT kepada kita agar menjauhi perbuatan
tersebut. Penimbunan harta berbahaya terhadap perekonomian, karena hal ini berarti
membekukan harta dari usaha-usaha produktif yang apabila harta itu dimanfaatkan untuk
ikut andil dalam rencana-rencana produksi maka akan tercipta kesempatan kerja baru
yang membawa hasil pendapatan dan mengurangi penganguran, serta juga dapat
menutupi kebutuhan permintaan masyarakat akan produksi barang hasil usaha tersebut.
Demikian pula diharamkan terhadap penimbunan barang-barang dagangan yang
merupakan kebutuhan pokok masyarakat oleh si pedagang agar barang tersebut
berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat dan banyak menderita kesulitan.
Beberapa Hadits Nabi SAW bersabda: “Siapa yang melakukan penimbunan, maka ia
bersalah (berdosa) “.6
Dan juga pada hadits yang diiriwayat kan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dari Maqal
bin Yasar, bahwa Nabi SAW, bersabda: “Siapa yang ikut campur dalam urusan harga
kaum muslimin, dengan tujuan menghalalkan atas mereka, adalah hak Allah SWT
mendudukkannya digolangan api pada hari kiamat”.7
Memang berbagai perangkat keduniaan semisal surat-surat resmi bisa menjadi bukti
bahwa keluarga, pekerjaan, tanah, dan sebagainya itu adalah milik kita, namun status
kepemilikan kita adalah pemilik nisbi. Pemilik mutlak dari segala sesuatu hanyalah
Allah SWT. Bahkan, diri kita yang lemah inipun adalah milik-nya.
Hal ini sering dilupakan oleh kita. Kita sering lupa bahwa kita bukanlah pemilik
mutlak,sampai-sampai kita bersikap seolah-olah kitalah pemilik sepenuhnya segala
hal yang kita anggap milik kita. Sehingga, kita memperlakukannya sesuai dengan
selera dan nafsu duniawi kita, bukan disesuaikan dengan keinginan sang pemilik
mutlak,yaitu Allah SWT.
Ketika pertama kali menyebarkan islam di makkah, salah satu misi Nabi
Muhammad SAW adalah memberantas sikap ketergantungan kepada materi yang
6
Ahmad Muhammad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan
Tujuan-Tujuannya, (Surabaya: PT BINA ILMU, 1980), hal. 11.
7
Ibid., hal. 49.
menjangkiti masyarakat arab pada waktu itu. Mereka begitu terlena dalam pusaran
materialism hingga sikap dan pandangan hidup mereka senantiasa diwarnai cara
pandang materialistis.
Itu menjadi salah satu sebab mengapa dakwah Rasulullah tidak mendapatkan
perhatian sebagaimana mestinya. Mereka tidak peduli kepada dakwah Rasulullah
bukan karena apa yang Rasulullah sampaikan tidak masuk akal atau karena
Rasulullah adalah orang yang tidak bisa dipercaya, tetapi karena Rasulullah bukan
dari golongan kaya di mana kala itu klan hasyim, keluarga Rasulullah, sedang
menurun pamornya. Kaum kafir makkah hanya ingin mendengarkan kata-kata dari
mereka yang berharta. Jadi, begitu kuat pesona harta benda hingga ia mampu menutup
cahaya illahi (hidayah).
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi
pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini,termasuk harta
benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif,
sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuan-nya.
2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut.
Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah
pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari
tiada. Dalam bahasa Einstein , manusia tidak mampu menciptakan energi;
yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke
bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki
kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta.
Firman-nya,
14. dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga).
Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangku soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya,apakah sesuai dengan ajaran islam
ataukah tidak. Sebagaimana firman Allah:
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.8
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan
fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh
kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa
aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang
terhadap pekerjaan juga diperoleh melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat
dinikmati diluar kerja, misalnya kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan,
dan yang lebih mendasar lagi dapat menghidupi diri dan keluarga.
8
Ahmad Gholib, Pendidikan Akhlak Dalam Tatanan Masyarakat Islami, ( Ciputat: Berkah FC, 2017), Hal.
86
Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu
itu sendiri. Dukungan sosial itu dapat berupa penghargaan masyarakat terhadap
aktivitas kerja yang ditekuni. Sedangkan dukungan individu dapat berupa
kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi aktivitas kerja. Seperti kebutuhan
untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh pengakuan dari
orang lain,memperoleh prestise serta kebutuhan-kebutuhan lainnya9
Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan
jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak,
karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan
Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.
Orang yang melakukan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada
imbalan kerja (upah) yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu
baik dan halal. Pada umumnya orang hanya berorientasi pada sabda Rasulullah
SAW “berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang
berbunyi ”sebelum kering keringatnya”, ini berarti bahwa yang dimaksud
pekerjaan yang mendapatkan upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau
tenaga. Sedangakn pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menimbulkan
suatu tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu harus
berusaha payah, maka tidak halal anda menerima upah dan imbalan.
(prof.Dr,Muhammad Mutawalli asy-sya’rawi, jiwa dan semangat islam,1992 :
36-38)
Bekerja bagi umat islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan yang
bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah untuk beribadah.
Bekerja akan memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita dapat
makan, berpakaian, tinggal disebuah rumah, memberi nafkah keluarga, dan
menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara baik. sebagaimana hadist
yang artinya sebagai berikut:
“bahwa allah sangat mencintai orang-orang mukmin yang suka bekerja
keras dalam usaha mencari mata pencaharian”. (HR.Tabrani dan Bukhari)
Selanjutnya hadist berikut:
“ dari aisyah (istri Rasulullah), Rasulullah SAW bersabda:
“ seseorang bekerja keras ia akan diampuni allah”. (HR.tabrani dan Bukhari).
Berikut beberapa tujuan dan manfaat bekerja dalam islam sebagai berikut:
a. Memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga Bekerja menurut
islam adalah memenuhi kebutuhan sendiri,keluarga termasuk
istri, anak-anak dan orang tua. Islam menghargai semua itu
sebagai sedekah,ibadah,dan amal saleh.
9
Ahmad Gholib, Op.Chit. Hal. 87
b. Memenuhi ibadah dan kepentingan sosial
Bila bekerja dianggap sebagai ibadah yang suci, maka
demikian pula harta benda yang dihasilkannya. Alat-alat
pemuas kebutuhan dan sumber daya manusia, melalui proses
kerja adalah hak orang-orang yang memperolehnya dengan
kerja tersebut, dan harta benda itu dianggap sebagai sesuatu
yang suci. Jaminan atas hak milik perorangan, dengan fungsi
sosial, melalui institusi zakat, shadaqah, dan infaq, merupakan
dorongan yang kuat untuk bekerja. Dasarnya adalah
penghargaan islam terhadap upaya manusia.(Ali–sumanto
Alkindi, 1997 : 43-47)
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan
fisik, psikologis,maupun sosial. Selain itu,kerja adalah aktivitas yang mendapat
dukungan sosial dan individu itu sendiri. Manusia diwajibkan untuk berusaha, bukan
menunggu karena allah tidak menurunkankan harta benda, iptek dan kekuasaan dari
langit melainkan manusia harus mengusahakannnya sendiri. Manusia harus
menyadari betapa pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim. Kemandirian
atau ketidak ketergantungan kepada belas kasihan orang lain ini mengandung resiko,
bahwa umat islam wajib bekerja keras. Dan syarat itu adalah memahami konsep dasar
bahwa bekerja merupakan ibadah. Dengan pemahaman ini, maka akan terbangun etos
kerja yang tinggi.
Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-
prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini
dapat dibagi menjadi beberapa hal, Pertama dari sisi dzat atau substansi dari
pekerjaannya, seperti memproduksi barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan
(seperti pornografi dan permusuhan), riba, riswah dsb. Kedua dari sisi penunjang yang
tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti tidak menutup aurat, ikhtilat anatara laki-
laki dan prempuan, membuat fitnah dalam persaingan dsb. Pelanggaran-pelanggaran
terhadap prinsip syariah, selain mengakibatkan dosa dan menjadi tidak berkahnya harta,
juga dapat menghilangkan pahala amal sholeh kita dalam bekerja. Allah SWT berfirman,
33. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan
(pahala) amal-amalmu.
6. Menghindari subhat
Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya subhat atau sesuaatu
yang meragukan dan samar anatara kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur
pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan tertentu. Atau
seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzoliman atau
pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari Internal
maupun Eksternal. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Halal itu jelas dan Haram itu jelas, dan
diantara keduanya ada perkara perkara yang syubhat. Maka barang siapa yang
terjerumus dalam perkara yang syubhat. Maka ia terjerumus pada yang diharamkan..”
(HR. Muslim)
Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah
islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha
melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah SAW sendiri
mengemukakakn tentang hal yang bersifat prefentif agar tidak merusak ukhuwah
Islamiyah dikalangan kaum muslimin. Beliau mengemukakan, “Dan jangalah kalian
menjual barang yang sudah dijual kepada saudara kalian” (HR. Muslim). Karena
jika terjadi kontradiktif dari hadits di atas, tentu akan merenggangkan juga ukhuwah
Islamiyah di antara mereka; saling curiga, su’udzhan dsb. Karena masalah pekerjaan
atau bisnis yang menghasilkan uang, akan sangat sensitif bagi pelakunya. Kaum
Anshar dan Muhajirin yang secara sifat, karakter,background dan pola pandangannya
sangat berbeda telah memberikan contoh sangat positif bagi kita; yaitu Ukhuwah
Islamiyah. Salah seorang sahabat Anshar bahkan mengatakan kepada Muhajiri, jika
kamu mau, saya akan bagi dua seluruh kekayaan saya; rumah, harta, kendaraan,
bahkan ( yang sangat pribadipun di relakan), yaitu Istri. Hal ini terjadi lantaran
ukhuwah antara mereka yang demikian kokohnya.
Dunia kerja adalah dunia yang terkadang dikotori oleh ambisi-ambisi negatif
manusia,ketamakan,keserakahan,keinginan menang sendiri,dsb. karena dalam dunia
kerja,umumnya manusia memiliki tujuan utama hanya untuk mencari materi. Dan
tidak jarang untuk mencapai tujuan tersebut, segala cara digunakan. Sehingga sering
kita mendengar istilah, injak bawah, jilat atas dan sikut kiri kanan. (Na’udzu billah
min dzalik). Oleh karenanya, disamping kita perlu untuk menghiasi diri dengan sifat-
sifat yang baik dalam bekerja, kitapun harus mewaspadai ranjau-ranjau berbahaya
dalam dunia kerja serta berusaha untuk menghindarinya semaksimal mungkin. Karena
dampak megatif dari ranjau-ranjau itu sangat besar, diantaranya dapat memusnahkan
seluruh pahala amal shaleh kita. Berikut adalah diantara beberapa sifat-sifat buruk
dalam dunia kerja yang perlu dihindari dan diwaspadai:
1. Hasad (Dengki)
Hasad atau dengki adalah suatau sifat, yang sering digambarkan oleh para
ulama dengan ungkapan “ senang melihat orang susah, dan susah melihat orang
senang.” Sifat ini sangat berbahaya, karena akan “menghilangkan” pahala amal sholeh
kita dalam bekerja. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
2. Saling bermusuhan
3. Berprasangka Buruk
Sifat inipun tidak kalah negatifnya. Karena ambisi tertentu atau hal
tertentu, kemudian menjadikan kita bersu’udzhan atau berprasangka buruk
kepada saudara kita sesama muslim, yang bekerja dalam satu atap bersama
kita, khususnya ketika ia mendapatkan reward yang lebih baik dari kita. Sifat
ini perlu dihindari karena merupakan sifat yang dilarang oleh Allah SWT dan
Rasulullah SAW, disamping juga bahwa sifat ini merupakan pintu gerbang ke
sifat negatif lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
4. Sombong
Di sisi lain, terkadang kita yang mendapatkan presetasi sering terjebak pada
satu bentuk kearogansian yang mengakibatkan pada sifat kesombongan.
Merasa paling pintar, paling profesional, paling penting kedudukan dan
posisinya dikantor, dsb.
Kita harus mewaspadai sifat ini, karena ini merupakan sifatnya syaithon yang
kemudian menjadikan mereka dilaknat oleh Allah SWT serta dijadikan
makhluk paling hina diseluruh jagad raya ini. Sifat ini pun sangat berbahaya,
karena dapat menjadikan pelakunya diharamkan masuk ke dalam surga
(na’udzubillah min dzalik)
Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda “Tidak akan pernah
masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat satu biji
sawi sifat kesombongan” (HR. Muslim).
Agama islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam
hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun
agama.
Dan ketika sahabat yang mulia, Salman Al-Farisy ditanya oleh seorang
musyrik : Sungguhkah nabi kalian (Nabi Muhammad SAW) telah mengajarkan
kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman
menjawab: “Benar, beliau Rasulullah SAW melarang kami menghadap ke kiblat
ketika buang air besar atau ketika buang air kecil.
Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur
dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam Al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Shahih.
Artinya : “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari
kiamat sampai dia di tanya (diminta pertanggung jawaban) tentang umurnya kemana
ia habiskan, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya :
darimana ia peroleh dan kemna dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa
digunakannya”
Nauval Omar Mohammad, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)
Fathi Ahmad Abdul Karim dan Ahmad Muhammad Al-‘Assal, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip
dan Tujuan-Tujuannya, (Surabaya: PT BINA ILMU, 1980)
Gholib Ahmad, Pendidikan Akhlak Dalam Tatanan Masyarakat Islami, ( Ciputat: Berkah FC, 2017)