Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SYSTEM KEUANGAN SYARIAH

DOSEN PENGAMPU

Dr. Noer Sasongko, SE., M.Si

DISUSUN OLEH:

Diovanni Kharisma P (B200160060)

Atalia Dezy Amalla (B200160061)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
2019/2020
KATA PENGANTAR
assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “Sistem Keuangan Syariah” ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW., kepada keluarganya, para sahabatnya, serta kepada kita sebagai umat
akhir zaman, amin. Dan juga kami ucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Noer Sasongko, SE.,
M.Si yang telah memberikan tugas ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan atau
kesalahan yang mungkin harus diperbaiki. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas kekurangan
dan kesalahan tersebut. Kritik dan saran kepada kami sangat diharapkan untuk membangun dan
menunjang kesempurnaan makalah. Dan semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kab.Sukoharjo, 19 Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ii


DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................1
A. Latar Belakang .........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 3
A. Pengertian Sistem Keuangan Islami ........................................................... 3
B. Konsep Memelihara Harta ........................................................................ 3
C. Akad/Kontrak/Transaksi ........................................................................... 9
D. Transaksi yang Dilarang dalam Islam ……………………........................11
E. Prinsip Sistem Keuangan Islami …………………………………… …...18
F. Instrumen Keuangan Islami ....................................................................... 19
BAB III PENUTUP ....................................................................................21
A. Simpulan ......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................22
BAB I

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang
Sistem keuangan Islami merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi
Islam, yang tujuannya adalah memperkenalkan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan
ekonomi. Karena dasar etika ini, maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim
adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu
dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga
keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan
lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara
sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam. Seiring
dengan terjadinya krisis global dalam sistem keuangan kapitalis, kini para ekonom barat mulai
mengadopsi sistem keuangan Islami. Banyak dari mereka yang melakukan kajian mendalam
terhadap perekonomian yang berlandaskan prinsip-prinsip Syariat Islam. Sistem yang bersumber
dari ajaran Allah SWT, ini terbukti tetap tangguh menghadapi permasalahan tersebut baik yang
terjadi tahun 1998 maupun 2008 dan hingga kini.
Sistem keuangan Islami terkait erat dengan harta kekayaan, akad transaksi serta transaksi yang
diperbolehkan dan dilarang syariah, sebagaimana hal ini akan dibahas pada bab berikutnya.

B. Rumusan Masalah
Ditinjau dari latar belakang diatas maka terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1. Bagaimana pengertian sistem keuangan Islami?
2. Bagaimana konsep memelihara harta ?
3. Bagaimana pengertian akad/kontrak/transaksi ?
4. Apa saja yang termasuk dalam transaksi yang dilarang dalam Islam ?
5. Apa saja prinsip sistem keuangan Islami ?
6. bagaimana instrumen keuangan Islami ?
7. bagaimana ciri-ciri sistem keuangan Islami ?
8. Bagaimana peran dan tujuan sistem keuangan Islami ?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu diantaranya:
1. Untuk mengetahui sistem keuangan Islami.
2. Untuk mengetahui konsep memelihara harta.
3. Untuk mengetahui akad/kontrak/transaksi.
4. Untuk mengetahui transaksi yang dilarang dalam Islam.
5. Untuk mengetahui prinsip sistem keuangan Islami.
6. Untuk mengetahui instrumen keuangan Islami.
7. Untuk mengetahui ciri-ciri sistem keuangan Islami.
8. Untuk mengetahui peran dan tujuan sistem keuangan Islami.
BAB II
PEMBAHASAN

Istilah "Keuangan Islami" menunjukkan dua kekuatan kata yang bersaing. Kata benda
"keuangan" menunjukkan bahwa pasar keuangan Islam dan lembaga yang berurusan dengan
alokasi keuangan dan risiko kredit. Dengan demikian, keuangan Islam harus didasari dengan
prinsisp yang setidaknya mirip dengan bentuk dari pembiayaan lainnya. Di sisi lain, kata sifat
"Islami" menunjukkan beberapa perbedaan mendasar antara keuangan Islam dan lembaga
keuangan konvensional.
Sistem keuangan Islam adalah sistem keuangan yang berdasarkan prinsip prinsip Islam,
bagaimana cara memproduksinya, mendapatkannya dan mendistribusikannya sesuai dengan
jalan yang telah di atur oleh Al-Qur’an, Sunnah dan juga Ijma Ulama serta memberikan
kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Sistem keuangan merupakan tatanan perekonomian dalam suatu negara yang berperan
melakukan aktifitas jasa keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga keuangan. Tugas utama
sistem keuangan adalah sebagai mediator antara pemilik dana dengan pengguna dana yang
digunakan untuk membeli barang atau jasa serta investasi.

KONSEP MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN


Anjuran Bekerja atau Berniaga
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan meminta-
minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk
memenuhi hidup sehari hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah seperti infak,
zakat, perang (jihad) dll.

“Apabila telah diamalkan shalat, maka berteberanlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S 62:10)

Konsep Kepemilikan
Harta yang baik harus memiliki dua kriteria, yaitu diperoleh denganc ara yang sah dan benar,
serta dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik dijalan Allah SWT.
Allah SWT adalah pemilik mutlak segala sesuatu yang ada didunia ini (QS 57:2), sedangkan
manusia adalah wakil (khalifah) Allah dimuka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk
mengelolanya.

Sudah serahusnya, sebagai pihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta titipan tersebut
disesuaikan dengan keinginan dari pemilik mutlak atas harta kekayaan yaitu Allah SWT.

Jadi, menurut islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan
kemanfaatannya selama masih hidup diduni, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia
meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli waris, sesuai
ketentuan syariah.

Perolehan Harta
Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang termasuk dalam kategori ibadah muamalah
(mengatur hubungan manusia dengan manusia). Kaidah fikih dari muamalah adalah semua halal
dan boleh dilakukan kecuali yang diharamkan/dilarang dalam Antara lain-Quran dan As-Sunnah.

Kaidah fikih ini berlandaskan pada firman Allah dan Hadis berikut

“Dialah (Allah) yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu...” (QS 2:29)

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi untukmu
semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir” (QS 45:13)

“Yang halal ialah apa yang dihalalkan Allah didalam kitab-Nya, dan yang haram ialah apa yang
diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedang apa yang didiamkan oleh-Nya berarti dimaafkan
(diperkenankan) untukmu.” (HR. At-Tirmidzi & Ibnu Majah)

Dari pernyataan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dasar muamalah adalah boleh
karena tidak mungkin Allah menciptakan segala sesuatu dan menunduknya bagi manusia kalau
akhirnya semua itu diharamkan atau dilarang.

Harta dikatakan halal dan baik apabila niatnya benar, tujuannya benar dan cara atau saran untuk
memperolehnya juga benar, sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Al-Quran
dan as-sunnah.

Misalnya uang untuk mendirikan rumah yatim piatu yang diperoleh dari mencuri adalah harta
haram. Walaupun tujuannya benar, yaitu untuk membantu yatim piatu, namun cara
memperolehnya salah (haram), sehingga tidak diperbolehkan syariah.

“Barang siapa mengumpulkan harta dari jalan haram, lalu dia menyedekahkannya, maka ia tidak
mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan dosa.” (HR. Huzaimah dan Ibnu Hiban disahkan oleh
Imam Hakim)
Penggunaan dan Pendistribusian Harta
Islam mengatur setiap aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral,
sebagaimana firman Allah

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu,
tetapi janganlah kamu lupakan bagaianmu didunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka
bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS 28:77)

Dari ayat diatas dapat disimpulkan, dalam penggunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan
kebutuhan didunia, namun disisi lain juga harus cerdas dalam menggunakan harta untuk mencari
pahala akhirat.

Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain:

1. Tidak boros dan kikir


“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan.” (QS 7:31)
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pria)
engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan
menyesal .” (QS 17:29)

2. Memberi infak dan shadaqah


Membelanjakan harta dengan tujuan untuk mencari ridha Allah dengan berbuat
kebajikan. Misalnya, untuk mendirikan tempat peribadatan, rumah yatim piatu, menolong
kaum kerabat, memberi pinjaman tanpa imbalan, atau memberikan bantuan dalam bentuk
apapun yang diperlukan oleh mereka yang membutuhkan.
“Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menginfakkan (hartamu) dijalan
Allah, Lalu diantara kamu ada orang yang kikir kepada dirinya sendiri. Dan Allah-lah
yang Maha Kaya, dan kamulah yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu
berpaling (dari jalan yang benar), Dia akan menggantikan (kamu) dengan kamu yang
lain, dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu.” (QS 47:38)
“Perumpaan orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan
barang siapa yang Dia kehendaki, Dan Allah berjanji barang siapa melakukan kebajikan
akan dilipatgandakan pahalanya dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Sesungguhnya, uang yang diinfakkan adalah rezeki yang nyata bagi manusia karena ada
imbalan yang dilipatgandakan Allah (didunia dan akhirat), serta akn menjadi penolong
pada akhir nanti pada saat dimana tidak ada sesuatupun yang dapat menolong kita,
sebagaimana bunyi hadist.
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali 3
perkara: shadaqah jariyah (infak dan shadaqah), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh
yang mendoakan.” (HR. Muslim)
3. Membayar zakat sesuai ketentuan
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sessungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketentraman
jiwaa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 9:103)
4. Memberi pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan)
Memberi pinjaman sesama muslim yang membutuhkan, dengan tidak menambah jumlah
yang harus dikembalikan (bunga/riba). Bentuk pinjaman seperti ini, bertujuan untuk
mempermudah pihak yang menerima pinjaman, tidak memberatkan sehingga dapat
menggunakanmodal pinjaman tersebut untuk hal-hal yang produktif dan halal.
5. Meringankan kesulitan orang yang berhutang
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia
memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika
mengetahui.” (QS 2:280)

AKAD/KONTRAK/TRANSAKSI
Akad dalam bahasa Arab “al-‘aqd”, jamaknya “al-‘uqud” , berarti ikatan atau mengikat.
Menurut terminologi hukum islam akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qabul) yang dibenarkan syariah, yang menimbulkan akibat hukum terhadap
obyeknya. (Ghufron Mas’adi, 2002). Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri dalam Nadhariyatul
‘aqdi, akad adalah kesepakatan belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum
yaitu konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun
tidak langsung dalam kesepakatan tersebut. (Ghufron Mas’adi,2002)

Akad yang sudah terjadi (disepakati) harus dipenuhi dan tidak boleh diingkari. “Wahai orang-
orang yang beriman penuhilah janji (akad)mu...” (QS 5:1)

Jenis Akad
1) Akad Tabarru adalah perjanjian yang merupakan transaksi yang tidak ditujukkan untuk
memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuann transaksi ini adalah tolong menolong dalam
berbuat kebaikan.

Ada 3 bentuk akad tabarru’ sebagai berikut:

a. Meminjamkan uang
Meminjamkan uang termasuk akad tabarru’ karena tidak boleh melebihkan pembayaran
atas pinjaman yang kita berikan, karena setiap kelebihan tanpa ‘iwad adalah riba. Ada 3
jenis pinjaman sebagai berikut:
1) Qardh, merupakan pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain
mengembalikan pinjaman tersebut stelah jangka waktu tertentu.
2) Rahn, merupakan pinjaman yang mensyratkan suatu jaminan dalam bentuk atau
jumlah tertentu.
3) Hiwalah adalah bentuk pinjaman dengan cara mengambil alih piutabg dari pihak
lain.
b. Meminjamkan jasa
Meminjamkan jasa berupa keahlian atau keterampilan termasuk akad tabarra’. Ada 3
jenis pinjaman, yaitu sebagai berikut:
1) Wakalah, memberikan pinjaman berupa kemampuan untuk melakukan sesuatu
atas nama orang lain.
2) Wad’iah, merupakan bentuk turunan akad wakalah, dimana pada akad ini telah
dirinci didetailkan tentang jenis pemeliharaan dan penitipan.
3) Kafalah, juga merupakan brntuk turunan akad wakalah, dimana pada akad ini
terjadi atas wakalah bersyarat.
c. Memberikan sesuatu
Dalam akad ini, pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain, dalam 3 bentuk:
1) Waqaf, merupakan pemberian dan penggunaan pemberian yang dilakukan
tersebut untuk kepentingan umum dan agama, serta pemberian itu tidak dapat
dipindah tangankan.
2) Hibah/shadaqah, merupakan pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain

2. Akad Tijarah merupakan akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Akad ini
dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Natural Uncertainly, merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pencampuran
dimana pihak yang bertransaksi saling mencampurkan aset yang mereka miliki
menjadi satu, kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan
keuntungan.
b. Natural Certainly, merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pertukaran,
dimana kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya,
sehingga objek pertukarannya (baik barang atau jasa) pun harus ditetapkan diawal
akad dengan pasti tentang jumlah, mutu, harga, dan waktu penyerahan.

Rukun dan Syarat Akad


Rukun dan syarat suatu akad ada 3, sebagai berikut:

1. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual & pembeli, penyewa & yang
menyewakan, karyawan & majikan dsb)
2. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu
transaksi tertentu. (objek jual beli adalah barang dagangan, mudharabah dan musyarakah
adalah modal dan kerja dll)
3. Ijab kabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukan mereka saling rida.
Tidak sah apabila salah satu pihak yang terpaksa melakukannya.

Transaksi yang Dilarang


Sebagaimana telah dijelaskan tadi hukum asal dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan
kecuali ada ketentuan syariah yang melarangnya. Larangan ini dikarenakan beberapa sebab yang
melakukan maksiat. Dasar hukum yang dipakai dalam melakukan transaksi bisnis (QS 4:29)

“Hai orang-orang yang beriman, jaanganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu. Sungguh Allah
Maha Penyayang kepadamu.”

Hal yang termasuk transaksi yang dilarang adalah sebagai berikut:

1. Semua aktivitas bisnis yang terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
2. Riba
3. Penipuan
4. Perjudian
5. Gharar
6. Ikhtikar
7. Monopoli
8. Bai’an Najsy
9. Taalluq
10. Bai antara lain inah
11. Talaqqi al-rukban.

Aktivitas Bisnis Terkait Barang dan Jasa yang Diharamkan Allah


Aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barng dan jasa yang
diharamkan Allah seperti babi, khamr aatu minuman yang memabukkan, narkoba dll.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, dagingbagi, dan


(hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang siapa
terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas, maka sungguh Allag Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS 16:115)

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya, telah mengharamkan memperdagangkan khamar/


minuman keras, bangkai, dan patung.” (HR. Muslim)
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan harganya.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Riba
Riba berasal dari bahasa arab yang berati tambahan (Al-Ziyadah), berkembang (An-Nuwuw),
meningkat (Al-Irtifa’), dan membesar (Al-‘uluw).

Imam Zarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis
tanpa adanya padanan (‘iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

Setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti (‘iwad) yang
dibenarkan syariah adalah riba. Hal yang dimaksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersil yang melegetimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual
beli.

Larangan riba sebenarnya tidak berlaku hanya untuk agama Islam, melainkan juga diharamkan
oleh seluruh agama samawi selain Islam (Yahudi dan Nasrani). Larangan riba dalam kitab
Yahudi, Perjanjian Lama, danPerjanjian Baru.

“Janganlah engkau membungakan kepada Saudaramu, baik uang maupun bahan


makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.” (Kitab Deuteronomy,Pasal 23 ayat 19)

“Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu
bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kau meminta keuntungan untuk
hartamu.” (Perjanjian Lama, Kitab Keluaran Pasal 22 ayat 55)

Larangan riba dalam Al-Quran dilakukan melalui 4 tahap (Qardhawi, 2000) sebagai berikut:

1. Tahap 1 (QS 30:39)


“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka
tidak menambahkan dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa Zakat
yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).”
2. Tahap (QS 4:16)
“Dan karena mereka menjelaskan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya
dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (bathil). Dan kami
sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih.”
3. Tahap (QS 3:10)
“Wahai orang-orangorang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
gandakan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
4. Tahap (QS 2:278-280)
“Hai orang-orang beriman, bertawakalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang
belum dipugut) jika kamu orang-orang yang beriman.
“Maka jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.
Tetapi jika bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim
(merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan)

“Dan jika (orang yang berutang utu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia
memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkannya, itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”

Jenis Riba

1. Riba Nasi’ah

Riba Nasi’ah adalah riba yang muncul karena utang – piutang. Riba Nasi’ah dapat terjadi dalam
segala jenis transaksi kredit atau utang – piutang dimana salah satu pihak harus membayar lebih
besar dari pokok pinjamannya. Kelebihan dari pokok pinjamannya dengan nama apapun (bunga,
interest, bagi hasil), dihitung dengan cara apapun (fix rate atau floating rate), besar atau kecil
semuanya ini tergolong riba.

Kelebihan tersebut dapat berupa suatu tambahan atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berutang. Misalnya : bank sebagai kreditur memberikan pinjaman dan
mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi
(sebagai kelebihan dari pokok pinjamannya), bunga inilah yang termasuk dalam jenis riba nasi’ah.
Demikian juga bunga yang dibayarkan bank atas deposito atau tabungan nasabahnya adalah riba.

Contoh :
Seseorang meminjam uang dari bank sebesar Rp 30.000.000. sebagai modal usaha namun pihak
bank mensyaratkan penambahan pembayaran sebesar 10 persen dari total pinjaman. Sehingga ia
harus membayar sebesar Rp 33.000.000. pada waktu jatuh tempo. Selisih pembayaran Rp
3.000.000. adalah riba.

Selain itu, kelebihan tersebut dapat berupa suatu tambahan yang melebihi pokok pinjamannya
karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah
ditentukan. Atas kelebihannya ada yang menyebutnya riba jahiliyyah. Misalnya : pengenaan
bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya atau tidak dibayar pada
waktu yang ditetapkan atau denda atas utang yang tidak dibayar tepat waktu.

2. Riba Fadhl

Riba Fadhl adalah riba yang muncul karena transaksi pertukaran atau barter. Riba fadhl dapat
terjadi apabila ada kelebihan atau penambahan pada salah satu dari barang ribawi atau barang
sejenis yang dipertukarkan. Baik pertukaran dilakukan tunai (dari tangan ke tangan) atau kredit.
Contoh : menukar perhiasan perak seberat 80 gram dengan uang perak (dirham) senilai 6 gram.
Selain itu riba fadhl juga dapat terjadi dari pertukaran barang tidak sejenis yang dilakukan tidak
tunai. Contoh : transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).
Yang dimaksud dengan barang ribawi atau barang sejenis adalah barang yang secara kasat mata
tidak dapat dibedakan satu sama lainnya. Sebagaimana yang tertuang dalam teks hadits terdapat 7
(tujuh) macam barang ribawi yaitu : emas, perak, jenis gandum, kurma, zabib atau tepung, anggur
kering dan garam.

Namun para ahli fikih berbeda pendapat atas barang sejenis. Mahzab hanafi dan hambali
memperluas konsep benda ribawi pada benda yang dapat dihitung melalui satuan timbangan atau
takaran; Mahzab syafi’i memperluas pada mata uang (al-naqd) dan makanan (al-ma’thum).
Mahzab maliki memperluas konsep benda ribawi pada mata uang dan sifat al-iqtiyat (jenis
makanan yang menguatkan badan) dan al-iddihar (jenis makanan yang dapat disimpan lama).

Pertukaran barang sejenis dapat mengandung ketidakjelasan (gharar) bagi kedua belah pihak yang
bertransaksi atas nilai masing – masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat
merugikan salah satu pihak sehingga ketentuan syariah mengatur kalaupun barang tersebut akan
dipertukarkan, maka harus dalam jumlah yang sama. Namun jika salah satu pihak tetap tidak mau
menerima pertukaran dalam jumlah yang sama karena menganggap mutunya berbeda maka jalan
keluarnya adalah barang yang dimilikinya dijual terlebih dahulu kemudian uang yang didapat
digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan.

Pengaruh riba pada kehidupan manusia

Imam Razi menjelaskan mengapa bunga dilarang dalam Islam (Qardhawi, 2000). Yaitu sebagai
berikut :

1. riba merupakan transaksi yang tidak adil dan mengakibatkan peminjam jatuh miskin karena
dieksploitasi, karena riba mengambil harta orang lain tanpa imbalan. Hal ini seperti seseorang yang
menjual senilai satu rupiah tetapi mendapat bayaran dua rupiah. Berarti dia mendapat tambahan
satu rupiah tanpa pengorbanan. Sedangkan harta seseorang merupakan hak miliknya yang sudah
seharusnya dihormati atau dihargai.

2. riba akan menghalangi orang untuk melakukan usaha karena pemilik dana dapat menambah
hartanya dengan transaksi riba baik secara tunai maupun berjangka. Sehingga pemilik harta riba
akan meremehkan persoalan mencari penghidupan dia tidak mau menanggung risiko berusaha,
berdagang dan pekerjaan – pekerjaan yang berat. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya manfaat
bagi masyarakat. Padahal telah diketahui bersama bahwa kemaslahatan dunia tidak akan dapat
terwujud tanpa adanya perdagangan, keterampilan, perusahaan dan pembangunan.

3. riba akan menyebabkan terputusnya hubungan baik antar masyarakat dalam bidang pinjam –
meminjam. Jika riba diharamkan, setiap orang akan merasa rela meminjamkan uang satu rupiah
dan mendapat pengembalian sebesar satu rupiah. Sedangkan jika riba dihalalkan, orang yang
memiliki kebutuhan mendesak akan mendapatkan uang satu rupiah dan mengembalikan sebesar
dua rupiah. Hal ini akan menyebabkan hilangnya perasaan belah kasihan dan kebajikan.
4. pada umumnya orang yang memberi pinjaman adalah orang kaya sedangkan yang meminjam
adalah orang miskin. Pendapat yang membolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya
untuk menerima tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Sehingga orang kaya bertambah
kaya dan orang miskin bertambah miskin. Padahal tindakan demikian tidak diperbolehkan menurut
nilai kasih sayang dari Allah yang maha penyayang.

Perbedaan Riba dan Jual Beli

Dan jika kita perhatikan, ada banyak hal yang menjadi titik perbedaan antara jual beli dengan
riba. Kita akan sebutkan beberapa perbedaan dengan asumsi telah memiliki modal dan dalam
kondisi normal,

[1] Orang yang melakukan transaksi jual beli, dia melakukan kerja fisik yang riil. Mulai dari
mencari barang, memindahkan barang, menyimpan barang, menawarkan kepada konsumen,
menjualnya, dan mengantarkan ke konsumen. Baik dikerjakan sendiri, maupun mempekerjakan
orang lain.

Berbeda dengan riba, semua orang butuh uang. Sehingga ketika ada orang yang membutuhkan
utang, semacam ini tidak perlu ditawarkan. Mereka akan datang dengan sendirinya. Jika semua
dilakukan dengan tertib, hampir tidak ada usaha riil di sana.

[2] Orang yang melakukan jual beli, mereka menanggung semua potensi resiko kerugian dalam
setiap tahapan usahanya. Dari mencari barang, hingga jaminan selama di konsumen, seperti
garansi. Di sana ada keseimbangan, sebagaimana dia mendapat peluang untung, juga
menanggung resiko rugi.

Berbeda dengan riba, hampir tidak ada resiko di sana. Jika semua dilakukan dengan tertib, dia
selalu di posisi aman, bisa mendapat keuntungan, tanpa menanggung resiko kerugian.

[3] Jual beli berbasis pada penyediaan barang atau jasa. Sehingga ada manfaat riil yang diputar di
masyarakat. sehingga keuntungan yang didapatkan penjual, sebanding dengan nilai manfaat riil
yang diterima konsumen.

Sementara riba berbasis pada permainan uang. Tidak ada barang atau jasa yang ditransaksikan.
Uang ditransaksikan dengan uang, menghasilkan uang.

Al-Alusi mengatakan dalam tafsirnya,

‫الفرق بينهما أن أحد األلفين في الثاني ضائع حتما وفي األول منجبر بمسيس الحاجة إلى السلعة أو بتوقع رواجهم‬
Perbedaan keduanya, nilai riba di transaksi pertama (utang) hilang sama sekali. Sementara untuk
keuntungan yang pertama (jual beli), menggantikan pemenuhan kebutuhan terhadap barang atau
terpenuhi kebutuhan primer mereka. (Ruhul Ma’ani, Tafsir al-Alusi, 2/375)

[4] Jual beli membangun kegiatan perekonomian di masyarakat. karena mereka berlomba untuk
menghasilkan manfaat riil, barang atau jasa. Jika barang dan jasa semakin melimpah, kebutuhan
masyarakat akan lebih mudah terpenuhi.

Sementara riba mengajarkan masyarakat untuk menjadi pemalas, karena uang yang bekerja. Dia
bisa diam, karena merasa sudah berpenghasilan. Ketika ketersediaan uang lebih banyak
dibandingkan barang dan jasa, lebih mudah terjadi inflasi. (Simak Tafsir ar-Razi, 7/97)

10 Transaksi yang tidak diperbolehkan Islam

1. Peninipuan
Definisi Tadlis :Adanya upaya untuk menipu pembeli hingga menyebabkan pembeli rugi
Contoh Tadlis : Menjual Barang KW tapi ngakunya Ori.

2. Perjudian
Definisi Maysir : Transaksi yang ada unsur spekulasinya sampai-sampai merugikan salah satu
pihak. Contoh Maysir : Taruhan bola, Taruhan Forex, dan taruhan-taruhan lainnya.

3. Transaksi yang megandung ketidakpastian /Gharar


Definisi Gharar : Transaksi yang memiliki unsur ketidakjelasan dan ketidakpastian bagi kedua
belah pihak.
Contoh Gharar : Asuransi. Dalam asuransi ada ketidakpastian. Misalkan asuransi mobil, jikalau
pemegang polis mobilnya kecelakaan sebelum selesai kontrak, maka dia untung. Tetapi jika
mobilnya tidak rusak sampai selesai kontrak maka perusahaan asuransi yang untung.

4. Penimbunan Barang /Iktikar


Definisi Ihtikar: Adanya manipulasi penawaran untuk menaikan harga karena kelangkaan.
Contoh Ihtikar: Menimbun BBM supaya langka, sehingga harga naik.

5. Monopoli
Adalah tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur barang yang berkualitas baik
dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan
mendapat keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang hari ini banyak dilakukan
termasuk kedalam kategori tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan ‘inspeksi
mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan kejujuran para pelaku pasar dan menghindari
konsumen dari kerugian.

6. Rekayasa Permintaan (Bai’an Nasjsy)


Definisi Tanajusy: Adanya rekasaya permintaan untuk menaikan harga karena persepsi
tingginya permintaan.
Contoh Tanajusy: Mengundang banyak teman untuk pura-pura ingin membeli di tokonya
supaya keliahatan ramai. Sehingga pembeli tertipu dan dirugikan.

7. Suap
Definisi Risywah: Pemberian sesuatu kepada suatu pihak untuk mendapatkan sesuatu yang
bukan haknya.
Contoh Risywah: Suap atau gratifikasi pemerintah supaya bisa membakar hutan.

8. Pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli (Bai’al Inah )


Bai’al-‘inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan
menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil seacra tunai. Bai’ al-
‘inah bisa didefinisikan dari aspek pembeli dan dari aspek penjual. Dari aspek pembeli, Bai’
al-‘inah adalah seseorang membeli barang seara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan
menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.Namun
antara tafsiran yang populer mengenai Bai’ al-‘Inah adalah suatu keadaan dimana seseorang
yang ingin meminjam uang tunai datang kepada seseorang yang lain untuk bertransaksi
pinjaman. Pihak pemberi hutang tidak akan memberikan pinjaman kecuali dia akan mendapat
keuntungan dari pinjaman tersebut dan dalam waktu yang sama dia menyedari bahwasanya
keuntungan itu akan menyebabkan kepada berlakunya riba yang jelas diharamkan oleh Islam.

9. Penjualan Bersyarat/Ta’alluq
Penjualan bersyarat (ta’alluq) terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan dimana
berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak
terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.

10. Jual beli dengan cara Talaqqi Al-Rukban


Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang
membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta
dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya.
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa: Rasulullah Saw
melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar (talaqqi
rukban)(H.R.Bukhari). Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak
memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian
bagi para pedagang. Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab
An-Nahyu ‘an Talaqqy ar-Rukban, hadits 2162
Prinsip-prinsip Sistem Keuangan Syariah
Praktik sistem keuangan syariah telah dilakukan sejak zaman kejayaan Islalm. Namun seiring
melemahnya sistem khalifah, pada akhir abad ke -19, Dinasti Ottotoman memperkenalkan sistem
perbankan barat kepada dunia Islam. Hal ini mendapatkan kritikan dari para ahli fikih bahwa
sistem tersebut menyalahi aturan syariah mengenai riba, dan berujung pada keruntuhan
kekhalifahan Islam 1924.

Sistem keuangan syariah bukan hanya mengenai larangan riba yang juga telah dilarang pada
agama samawi seperti di agama Yahudi dan Kristen. Sistem ini juga mengatur mengenai
larangan tindakan penipuan, pelarangan tindakan spekulasi, larangan suap, larangan transaksi
yang melibatakan barang haram, larangan menimbun barang ( ihtikar ), dan larangan monopoli.

Filosofi sistem keuangan syariah "bebas bunga" (larangan riba) tidak hanya melihat interaksi
antara faktor produksik dan perilaku ekonomi seperti yang dikenal pada sistem keuangan
konvensional, melainkan juga harus menyeimbangkan berbagai unsur etika, moral, sosial,
moraldan dimensi keagamaan untuk meniingkatkan pemerataan keadilan menuju masyarakat
yang sejahtera secara menyeluruh.

Melalui sistem kerja bagi hasil maka akan ada pembagian resiko. Resiko yang timbul dalam
aktivitas keuangan tidak hanya ditanggung penerima modal atau pengusaha saja, namun juga
akan diterima oleh pemberi modal. Pemberi modal maupun penerima modal harus saling berbagi
risiko secara adil dan proposional sesuai dengan kesepakatan bersama.

Dalam sistem keuangan syariah pemberi dana lebih dikenal sebagai investor dari pada kreditor,
oleh karena itu pemberi modal juga harus menanggung risiko yang biasanya sesuai dengan
modal yang ditanamkan.

Berikut ini adalah prinsip sistem keuangan Islam sebagaimana diatur melalui Al -- Qur'an dan As
-- Sunah :

 Pelarangan Riba. Riba (dalam bahasa Arab) didefinisikan sebagai "kelebihan" atas
sesuatu akibat penjualan ataupun pinjaman. Riba/Ribit (bahasa Yahudi) telah dilarang
tanpa adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fikih. Riba merupakan pelanggaran
atas sistem keadilan sosial, persamaan dan hak atas barang.
 Pembagian Risiko. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pelanggaran riba yang
menetapkan hasil bagi pemberi modal di muka. Sedangkan melalui pembagian risiko
maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarannya tergantung dari hasil
yang diperoleh.
 Menganggap uang sebagai Modal Potensial. Dalam masyarakat industri dan perdagangan
yang sedang berkembang saat ini (konvensional), fungsi uang tidak hanya sebagai alat
tukar saja, tetapi juga sebaagai komoditas (hajat hidup yang sifatnya terbatas) dan sebagai
modal potensial. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan
yang sama dengan barang yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk mendapatkan
keuntungan (laba).
 Larangan melakukan kegiatan Spekulatif. Hal ini sama dengan pelarangan untuk
transaksi yang memilliki tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi
yang memiliki risiko yang sangat besar.
 Kesucian Kontrak. Oleh karena islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi
nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak
harus dilakukan. Hal ini akan mengurangi risiko dan informasi atas informasi yang
asimetri dan timbulnya moral hazard.
 Aktivitas usaha harus sesuai syariah. Seluruh kegiatan tersebut haruslah merupakan
kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah. Dengan demikian, usaha seperti minuman
keras, judi, peternakan babi yang haram juga tidak boleh dilakukan.

Instrumen Keuangan Syariah

a. Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract.
Kelompok akad ini adalah sebagai berikut :
 Mudharabah, yaitu bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih, dimana pemilik modal
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola untuk melakukan kegiatan usaha dengan
nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut kesepakatan di muka.
 Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi antara para pemilik modal untuk
menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan
nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional
sesuai dengan kontribusi modal.
 Sukuk adalah surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah.
 Saham syariah produknya harus sesuai syariah.
b. Akad jual beli / sewa menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty
contract. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut :
 Murahabah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan dan
keuntungan yang disepakati antara penjual dan pembeli.
 Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada.
 Istishna memiliki system yang mirip dengan salam, namun dalam istishna pembayaran dapat
dilakukan di muka, cicilan dalam beberapa kali atau ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu.
 Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan
manfaat atas objek sewa yang disewakan.
c. Akad lainnya
Jenis – jenis akad lainnya adalah ;
 Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
 Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang / barang kepada pihak yang
menerima titipan dengan catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib
menyerahkan kembali uang / barang titipan tersebut.
 Qardhul Hasan adalah pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbalan.
 Al-Wakalah adalah jasa pemberian kuasa dari satu pihak ke pihak lain.
 Kafalah adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggugan atas pembayaran utang satu
pihak pada pihak lain.
 Hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas dasar
saling mempercayai.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Sistem keuangan Islam adalah sistem keuangan yang berdasarkan prinsip prinsip Islam,
bagaimana cara memproduksinya, mendapatkannya dan mendistribusikannya sesuai dengan jalan
yang telah di atur oleh Al-Qur’an, Sunnah dan juga Ijma Ulama serta memberikan kontribusi yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Sistem keuangan Islami dilakukan untuk memenuhi maqashidus syariah bagian memelihara
harta. Dalam menjalankan sistem keuangan Islam, faktor yang paling utama adalah adanya akad/
kontrak/ transaksi yang sesuai dengan syariah Islam. Agar akad tersebut sesuai syariah maka harus
memenuhi prinsip keuangan syariah, yang berarti tidak mengandung hal-hal yang dilarang syariah.
Prinsip keuangan syariah sendiri secara ringkas harus mengacu pada prinsip rela sama rela, tidak
ada pihak yang mendzalimi dan didzalimi, hasil usaha muncul bersama biaya, dan untung muncul
bersama resiko. Dari prinsip ini berkembanglah berbagai instrumen keuangan syariah.
DAFTAR PUSTAKA

Sri nurhayati – Wasilah


Buku Akuntasi Syariah Di Indonesia edisi 4 (Salemba Empat)

Anda mungkin juga menyukai