Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM PERBANKAN SYARIAH

KONSEP DASAR HUKUM PERBANKAN SYARIAH

Dosen Pengampu : Dimyati, M.EI.

Disusun Oleh:

Mir’atus Sholehah 05040221120

Moh. Nasiquddin 05040221122

Raisa Nabilatul Milla 05040221131

Silmi Khairunnisa 05040221141

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2022
i
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Dasar
Hukum Perbankan Syariah” telah selesai.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas kelompok mata kuliah hukum
perbankan syariah dan penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada
pembaca tentang konsep dasar hukum perbankan syariah.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Dimyati, M.EI. selaku dosen
mata kuliah hukum perbankan syariah pada bidang hukum ekonomi syariah. Berkat tugas
yang diberikan ini, kami serta pembaca dapat menambah wawasan berkaitan dengan topik
yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu kami memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini. Terima kasih.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN
SAMPUL ...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR
...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................iii
.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................1
C. Tujuan
Penulisan ...................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Perbankan
Syariah...................................................................................3
B. Asas-Asas Hukum Perbankan
Syariah...................................................................................4

C. Fungsi Hukum Perbankan


Syariah.........................................................................................7

D. Tujuan dan Legalitas Hukum Perbankan


Syariah…...............................................................8

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ..............................................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik ekonomi sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw sebelum ia diangkat menjadi
nabi. Kegiatan ekonomi juga telah ada semenjak manusia ada di muka bumi ini. Para manusia
dulunya melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan kondisi ekonomi pada zaman dan
masanya pada saat itu. Kegiatan perekonomian Rasulullah tidak berhenti dengan beliau
diangkat menjadi Nabi, bahkan karena kejujurannya Rasulullah diamanatkan oleh
masyarakat, baik warga sekitar maupun orang-orang dari wilayah lain yang sedang
berdagang di kota Mekkah.

Lembaga perbankan di zaman modern saat ini tidak dapat lagi dipisahkan dari roda
ekonomi manusia. Perbankan merupakan salah satu kegiatan usaha yang sangat dominan dan
dibutuhkan di dunia ekonomi karena fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat
berperan demi menunjangnya pertumbuhan ekonomi. Lembaga perbankan juga menyediakan
dana bagi pengusaha swasta guna untuk memadahi usaha mereka, bahkan perbankan juga
berperan penting dalam perkembangan usaha kecil menengah.

Yang menjadi permasalahan adalah jika usaha perbankan yang telah menjamur ini
dihubungkan dengan ketentuan hukum Islam dalam hal konsep usaha dan teknis operasional.
Dimana syariat Islam telah memberikan aturan-aturan yang jelas dalam setiap
aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi. Diantara aturan-aturan
itu ialah dilarangnya transaksi yang mengandung riba, penipuan, gharar (ketidakpastian).
Bank Syariah tidak bisa dipisahkan dari konsep Syariah yang dimana dijadikan pijakan dalam
pengembangan bank Syariah.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian hukum perbankan syariah?
2. Apa saja asas-asas yang terdapat dalam hukum perbankan syariah?
3. Apa fungsi dari hukum perbankan syariah?
4. Apa tujuan dan juga legalitas dari hukum perbankan syariah?
1
Halil Khusairi, “Hukum Perbankan Syariah,” Al-Qisthu 13 (2015): 34.

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hukum perbankan syariah
2. Untuk mengetahui apa saja asas-asas hukum perbankan syariah.
3. Untuk mengetahui apa fungsi hukum perbankan syariah.
4. Untuk mengetahui tujuan dan juga legalitas hukum perbankan syariah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perbankan Syariah


Perbankan pada umumnya perbankan ialah kegiatan-kegiatan yang menjual-
belikan mata uang, surat efek dan instrumen-instrumen yang dapat diperdagangkan.
Bank juga merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak di
bidang jasa keuangan. Bank juga sebagai lembaga jasa keuangan yang secara
langsung dapat menarik dana dari masyarakat, tetapi perlu pengaturan khusus. Hal itu
sangat dibutuhkan agar bank selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang bank sebagai jasa keuangan.2
Bank syariah adalah bank yang dimana pengoperasiannya sesuai dengan
prinsio syariat Islam yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
saw. Bank syariah juga menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS). Sedangkan Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam
dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.3
Perbankan syariah yang merupakan salah satu pilar ekonomi merupakan
perwujudan dari nilai Islam terutama pada wilayah “muamalah-syariah al
Umumiyyah”, dimana persoalan ekonomi berada pada ranah publik, manusia
diberikan kebebasan untuk menyusun konsep, mengatur dan menjalankan sendiri
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.4
Dalam aktivitas konsumsi, Islam melarang umat manusia untuk berfoya-
foya (boros) seperti yang tercantum dalam Al-Quran 7:31 yang artinya: “makan dan
minumlah kalian dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak mencintai
orang-orang yang berlebih-lebihan”. Doktrin al-Quran ini secara ekonomi dapat
diartikan mendorong terpupuknya surplus konsumen dalam bentuk simpanan agar
dapat dihimpun dan disalurkan dalam pembiayaan investasi.Adanya bank syariah
menjadi begitu penting untuk membantu para nasabah yang memiliki surplus
simpanan dan menyalurkan kepada para investor yang membutuhkan modal dalam
2
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan (Bandung: Mandar Maju, 2012).
3
Khusairi, “Hukum Perbankan Syariah.”
4
Suwandi, “Pembangunan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Hukum Islam El Qisth Vol. 3 No. 2, Maret 2007,
hlm. 211 .Sumber: Choiriyah (2019). Hukum Perbankan dan Perasuransian Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam. Vol 6
no 3.

3
menjalankan aktivitas usahanya dengan sistem bagi hasil atas keuntungan yang
didapatkan. Dengan demikian bank syariah berperan sebagai intermediate antara
unit supply dan unit demand.5

B. Asas-asas Hukum Perbankan Syariah


1. Asas kebebasan berkontrak (mabda’ hurriyah al-ta’aqud)
Asas kebebasan dalam asas-asas perjanjian Islam dianut yang disebut dalam
ilmu hukum sebagai “asas kebebasan berkontrak” (mabda’ hurriyah al-ta’aqud).
Asas ini penting untuk dielaborasi lebih lanjut mengingat suatu pertanyaan,
apakah konsep dan bentuk transaksi atau akad yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqih tanpa ada keleluasaan kaum muslimin untuk mengembangkan bentuk-bentuk
akad baru sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat di masa kini.
Atau apakah kaum muslimin diberi kebebasan untuk membuat transaksi atau akad
baru selama akad baru tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Oleh karena itu kebebasan berakad yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa
setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama
yang telah ditentukan undang-undang syariah dan memasukkan klausul apa saja
ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak
berakibat makan harta sesama dengan jalan batil.6
2. Asas Kerelaaan/ Konsensualisme (al-Rida)
Asas konsensus menyatakan bahwa untuk mencapai kesepakatan, kesepakatan
antara kedua belah pihak cukup dan tidak diperlukan formalitas tertentu. Dalam
hukum Islam, secara umum, perjanjian ini bersifat sukarela. Prinsip ini
menyatakan bahwa semua jenis transaksi harus berdasarkan persetujuan semua
pihak. Kehendak para pihak dalam kontrak adalah jantung dari semua kontrak
Islam dan dianggap sebagai syarat untuk pelaksanaan semua transaksi. Jika suatu
transaksi tidak memenuhi kriteria ini, dianggap telah mengkonsumsi sesuatu
yang tidak semestinya (al-akl bil-bat’il). Transaksi yang dilakukan tidak dapat
dianggap melibatkan segala bentuk upaya berdasarkan kesepakatan bersama di
antara para pelaku jika pernyataan tersebut mengandung unsur pemaksaan,
pemerasan, penipuan atau ketidakjujuran.
3. Asas Persamaan Hukum/ Kesetaraan (Al-Musawah)

5
Khusairi, “Hukum Perbankan Syariah.”
6
Muhammad Aswad, “Asas-Asas Transaksi Keuangan Syariah,” Iqtishadia 6, no. 2 (2016): 347–54.

4
Asas ini memberikan dasar bagi status yang setara atau setara dari kedua belah
pihak dalam kontrak. Oleh karena itu, dalam menentukan hak dan kewajiban
setiap orang didasarkan pada asas persamaan. Prinsip ini tidak menutup
kemungkinan bahwa suatu pihak (seperti pihak bank syariah) lebih proaktif dalam
menyusun atau merumuskan hal-hal yang disepakati dalam akad, namun
pembentukan akad tidak boleh menjadi penetapan akhir yang tidak dapat
dirundingkan. Jika dianggap perlu, pihak lain harus diberikan waktu yang cukup
untuk mempertimbangkan dan bernegosiasi sebelum menyetujui. Dengan kata
lain, bank lebih mampu menyiapkan rancangan akad yang hanya berupa usulan
atau presentasi (`ard al-syurut) daripada akad final (fard al-syurut) yang harus
diikuti oleh nasabah.
4. Asas keadilan (Al-‘Adalah)

Penerapan prinsip ini dalam kontrak memerlukan penerapan yang benar dalam
pengungkapan keinginan dan keadaan, pelaksanaan perjanjian yang disepakati,
dan pelaksanaan semua kewajiban.

Keadilan merupakan hal yang sangat penting, dan para pihak harus berpegang
pada prinsip keadilan dalam mencapai suatu kesepakatan. Pengertian asas
keadilan adalah asas yang menempatkan segala hak dan kewajiban di atas asas
kebenaran hukum Islam, sehingga melalui keadilan, seseorang tidak berbuat zalim
terhadap orang lain. Keadilan adalah pilar fundamental pemerintahan, kata Ibnu
Taimiyah. Begitu pentingnya keadilan, sehingga Ibn Taimiyah percaya bahwa
pemerintahan yang adil, meskipun dipimpin oleh orang-orang kafir, lebih baik
daripada pemerintahan Muslim, tetapi ia mendominasi. Serupa dengan nada
ungkapan di atas, Ibnu Taimiyah seolah ingin mengatakan bahwa pemerintahan
yang adil, sekalipun kafir, jauh lebih baik dari seorang Muslim yang tiran, kalimat
ini menyiratkan bahwa esensi lebih penting daripada bentuk dan nilai daripada
simbol lebih berharga.
5. Asas kejujuran dan kebenaran (asl-sidq)
Kejujuran merupakan prinsip dasar kehidupan manusia, termasuk dalam
pembuatan akad syariah dalam bisnis. Jika tidak jujur dalam penyusunan akad,
maka akan merugikan kebahagiaan, dan selain itu ketidakjujuran dalam
penyusunan akad dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak yang
membuat akad (perjanjian). Islam sangat melarang kebohongan dan penipuan

5
dalam bentuk apapun. Nilai kebenaran ini berdampak tidak berbohong, menipu
dan memalsukan pihak-pihak yang mengadakan akad. Kegagalan untuk mematuhi
prinsip ini akan membahayakan legalitas kontrak yang dibuat. Pihak yang
dirugikan oleh tindakan tidak jujur dari pihak lain dalam kontrak dapat
menghentikan proses kontrak.
6. Asas janji itu mengikat
Dalam hukum adat dikenal asas “perjanjian harus dipatuhi”, yaitu janji yang mengikat,
yang mengacu pada kontrak yang dibuat oleh para pihak sesuai dengan hukum, yang
mengikat sepenuhnya para pihak menurut hukum adat. isi kontrak. Asas ini dapat
diringkas dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang
dibuat secara sah harus diatur menurut undang-undang. Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali kecuali dengan persetujuan bersama atau karena alasan-alasan yang
cukup menurut undang-undang.
7. Asas Tertulis (al-Kitabah)

Asas tertulis dalam kontrak syariah adalah, dimana dalam suatu perjanjian
hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di
kemudian hari terjadi persengketaan. Dalam QS.al-Baqarah (2) 282-283 dapat
dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian
dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu
yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan
pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu
benda sebagai jaminannya.7

Asas hukum al-kitabah juga termaktub dalam Undang Undang No 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Di dalam Pasal 1 Ayat 13: Akad adalah kesepakatan
tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.8

C. Fungsi Hukum Perbankan Syariah

7
Khusairi, “Hukum Perbankan Syariah.”
8
ahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Kontrak Syari’ah,” La_Riba 2, no. 1
(2008): 96–105.

6
Fungsi perbankan Syari’ah adalah Pengembangan perbankan syariah
didasarkan pada prinsip tidak membiarkan urusan sekuler (dunia) dan agama
dipisahkan. Prinsip ini menuntut ketaatan pada hukum Syariah sebagai dasar bagi
semua aspek kehidupan. Ketaatan ini tidak hanya dalam hal ibadah ritual, tetapi
transaksi bisnis juga harus sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, misalnya, aspek
ajaran Islam yang paling menonjol adalah tentang muamalah, larangan riba dan
penggunaan uang sebagai alat tukar dan alat pelepasan kewajiban. Uang bukanlah
komoditas. Oleh karena itu, uang tidak memiliki nilai waktu, selain nilai barang yang
dipertukarkan dengan menggunakan uang menurut hukum Syariah. Karena prinsip
ini, bank syariah beroperasi atas dasar filosofi bagi hasil dan pembagian risiko sesuai
dengan salah satu prinsip Islam, yaitu "Laba pergi ke pengambil risiko".

Bank Islam menolak bunga sebagai biaya untuk menggunakan uang dan
pinjaman sebagai sarana investasi. Ketika melakukan investasi, bank syariah yakin
bahwa dana mereka sendiri (ekuitas), serta dana lain yang tersedia untuk investasi,
akan menghasilkan pendapatan yang sesuai syariah dan bermanfaat bagi masyarakat.
Bank syariah menerima dana di bawah kontrak mudharabah, yang merupakan bentuk
kesepakatan antara penyedia dana (pemegang rekening investasi) dan penyedia bisnis
(bank). Dalam menjalankan bisnis berbasis mudharabah, bank menyatakan
kesediaannya untuk menerima dana yang diinvestasikan atas nama pemiliknya,
mendistribusikan keuntungan sesuai dengan persentase yang telah disepakati
sebelumnya, dan memberi tahu penyedia dana bahwa kerugian akan ditanggung
sepenuhnya (selama kerugian tersebut bukan karena kelalaian atau wanprestasi).
Dalam paradigma akuntansi Islam, bank syariah memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Manajemen investasi Bank syariah dapat melakukan fungsi ini di bawah kontrak
mudharabah atau atas nama kontrak. Menurut akad mudharabah, bank (dalam
kapasitas mudharib yaitu pihak yang menginvestasikan dana dari pihak lain) hanya
menerima persentase tertentu dari keuntungan jika menghasilkan keuntungan. Apabila
terjadi kerugian, risiko sepenuhnya ditanggung oleh pemberi dana (shahibul maal)
dan tidak ditanggung oleh bank.
2. Berinvestasi di Bank Syariah menggunakan kendaraan investasi yang sesuai dengan
Syariah untuk menginvestasikan dana di sektor komersial (dana modal dan dana akun
investasi). Contohnya termasuk kontrak al murabahah, al mudharabah, al musyarakah,
bai’ as salam, bai’ al ishtisna, al ijarah, dll.

7
3. Layanan Keuangan Bank syariah juga dapat menyediakan berbagai layanan keuangan
lainnya dengan biaya tertentu melalui kontrak keagenan atau sewa. Seperti garansi,
wire transfer, letter of credit, dll.
Layanan Sosial Konsep perbankan syariah mewajibkan bank syariah untuk
memberikan layanan sosial melalui qardh (pinjaman amal), zakat atau dana sosial
sesuai dengan ajaran Syariah. Selain itu, konsep perbankan syariah menuntut bank
syariah untuk berperan dalam pengembangan sumber daya manusia dan
menyumbangkan dana untuk pemeliharaan dan pengembangan lingkungan.9

D. Tujuan dan Legalitas Hukum Perbankan Syariah


Tujuan paling utama perbankan syariah adalah mengiringi pelaksanaan
pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan
sosial sesuai dengan syariat islam dengan baik dan benar. Adapun tujuan perbankan
syariah diantara lain:10

a. Untuk menjaga kestabilan ekonomi moneter, dengan tidak mempergunakan sistem


bunga pada bank

b. Menekan laju inflasi serta mencegah negative spread tanpa adanya bunga bank

c. Memfasilitasi masyarakat dengan beberapa layanan dan produk syariah, dengan


demikian terhindar dari riba atau beberapa hal yang dilarang oleh syariat islam.

d. Upaya meminimalisir kesenjangan oleh pihak yang membutuhkan modal dengan


sang pemilik modal dalam konsep keadilan dalam sektor ekonomi

Keberadaan perbankan syariah di Indonesia telah dimulai sejak pengesahan


Paket kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88). Namun secara kelembagaan dimulai
dengan terbentuknya BMI (Bank Muamalah Indonesia) tahun 1991. Pada saat masa
krisis ekonomi di Indonesia BMI merupakan salah satu bank yang dapat menunjukkan
kinerja yang relatif lebih baik dibanding dengan perbankan konvensional. Bank
Muamalah Indonesia memiliki CAR (Capital Adequacy Ratio) dengan kategori A
(4% ke atas) atau dapat dinilai dengan rendahnya penyaluran pembiayaan yang
bermasalah pada bank syariah. Tingkat pengembalian bank syariah tidak berpacu

9
Burhanudin Harahap, “Kedudukan , Fungsi Dan Problematika Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan
Mudharabah Pada Perbankan Syari ’Ah,” Yustisia, no. 69 (2006): 48–50.
10
“Bank Syariah: Pengertian, Fungsi, Dan Tujuannya,” Wakalahmu, 2022,
https://wakalahmu.com/artikel/literasi-keuangan/bank-syariah-pengertian-fungsi-dan-tujuannya.

8
pada suku bunga dan dengan biaya modal yang relatif rendah. Praktik operasional
pada perbankan syariah pun bermacam-macam diantaranya prinsip jual beli, bagi
hasil, sewa menyewa, jasa dan titipan.
Pemerintah mensahkan UU No. 21 Tahun 2008 yang khusus mengatur
perbankan syariah. Istilah “bank berdasarkan prinsip syariah” diubah dengan istilah
“bank syariah”. Dua bentuk bank syariah disebut dengan Bank Umum Syariah (BUS)
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan bank-bank syariah yang
melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 perbankan syariah semakin berkembang pesat.
UU No 7 tahun 1992 memuat tentang perbankan secara implisit diperbolehkan untuk
menjalankan usahanya dengan berdasarkan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil
Kemudian dipertegas pada Peraturan Pemerintahan Nomor 72 tahun 1992.
Beberapa prinsip yang dipergunakan berdasarkan syariat bagi hasil ialah (a)
menetapkan imbalan yang akan diterima oleh pemberi modal kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan baik untuk modal kerja maupun keperluan investasi. (b)
Menetapkan imbalan kepada masyarakat untuk pemanfaatan atau penggunaan dana yg
telah dipercayakan. (c) menetapkan imbalan sehubung dengan segala kegiatan lain
oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 pasal 6 tahun 1992 yang berisi
tentang diperbolehkannya bank konvensional menggunakan prinsip bagi hasil
(syariah) sebagai berikut:

1. Bank umum atau bank pengkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang
tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Bank umum atau bank pengkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan
prinsip bagi hasil.

Seiring berjalannya waktu keluarnya Undang-Undang No 10 tahun 1998


tentang perubahan UU no 7 tahun 1992. Bank berdasarkan operasional usahanya
dibedakan pada pasal 1 ayat (3) dan (4) menjadi bank berprinsip syariah dengan bank
konvensional, meliputi bank umum dan bank pengkreditan rakyat. Ketentuan yang
ada di dalam Undang-Undang No 10 tahun 1998 merupakan mulainya era sistem

9
perbankan ganda yang diharapkan mempercepat perkembangan perbankan syariah di
Indonesia.11

BAB III

KESIMPULAN

11
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, n.d., https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=3eFdDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=perbankan+syariah&ots=tYNe5lPwMh&sig=ho5zMktrXr
WlRUJo-14A2HlXd2s&redir_esc=y#v=onepage&q=perbankan syariah&f=false.

10

Anda mungkin juga menyukai