Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH MANAJEMEN PERBANKAN SYARIAH

“Hukum dan Implementasi Perjanjian Islam dalam Produk Perbankan Syariah”

Dosen Pengampu :
Muhlis, S.E., M.E

Disusun Oleh:

Kelompok 2
St. Fatima Azzahrah (90500119042)
Juliana (90500119043)
Sitti Amani Yazid (90500119047)
Muh. Aqsal Sahib (90500119057)
Azmi Yusriyah Naurah (90500119060)

KELAS B

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
Kata Pengantar

Puji dan syukur senantiasa kita panatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat juga karunia-Nya, sehingga pemakalah mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum dan Implementasi Perjanjian
Islam dalam Produk Perbankan Syariah”. Adapaun tujuan dari pembuatan
makalah ini untuk memenuhi MID Manajemen Perbankan Syariah.
Untuk itu dalam kesempatan ini pemakalah menyampaikan rasa
terimakasih kepada Bapak Muhlis, S.E., M.E selaku dosen yang telah
membimbing kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Dalam proses pembuatan makalah kami menyadari sepenuhnya masih
banyak kekurangan dan kesalahan yang tentu saja hal ini dikarenalan terbatasnya
pengalaman serta pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran maupun kritik guna membangun serta bertujuan agar hasil
makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua khalayak.

Makassar, 13 November 2021

Kelo
mpok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................3

A. Landasan Teori...............................................................................................3
1. Perbankan Syariah....................................................................................3
2. Prinsip Operasional Perbankan Syariah...................................................4
3. Legalitas Hukum Perjanjian dalam Islam................................................5

BAB III PEMBAHASAN........................................................................................9

A. Produk-Produk Perbankan Syariah................................................................9


B. Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian dalam Islam.............................................10
C. Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Islam......................................12

BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................16

A. Kesimpulan....................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam dengan indah mengaungkan hakikat “the comprehensive way of life”
pada setiap penganutnya. Mengajarkan prinsip hidup secara universal dengan
2 hal, yaitu Hablum Minallah Dan Hablum Minnas. Hablum Minallah
(hubungan dengan Allah Subhanallahu wa ta ala) diartakan sebagai hubungan
langsung antara aktivitas manusia dan penciptanya, bisa terjadi dalam
berbagai bentuk seperti halnya amalan rutin, ibadah shalat, zakat, sedekah,
puasa dimana pelaksanaan ibadah tersebut sebagai bentuk taat dan
kepatuahan seorang hamba kepada Allah Subhannalahu wa taala. Sementara
Hablum Minannas (Hubungan antar manusia) yang merupakan konsep di
mana manusia melakukan ibadah social atau sikap manusia dalam
berinteraksi terhadap sesamanya. Salah satunya terwujud dalam Transaksi
jual-beli di kehidupan sehari-hari.1
Pada hakikatnya, prinsip perjanjian didalam ajaran Islam ini lebih banyak
berkembang seiring dengan arus zaman seperti keperluan pelaksanaan
transaksi yang menghindari system bunga seperti anjuran sebelumnya yang
menghkendaki manusia menjauhi riba dalam bentuk apapun. Hal ini
dipraktikan dalam system operasional Bank Syariah, yang memberikan solusi
pemindahan konsep bunga menjadi produk alternatif yaitu system bagi hasil.
Sisttem ini didasari dengan konsep perjanjian dalam islam atau akad, yang
berarti adanya ikatan ijab dan qabul. Ijab merupakan pernyataan dari pihak
pertama berkenaan dengan isi pokok perjanjian sesuai yang telah disepakati,
sedangkan kabul merupakan pernyataan dari pihak kedua sebagai bentuk
penerimaan atau menyetujui kehendak yang telah ditetapkan oleh pihak
pertama.2

1
Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika Perkembangan di Indonesia
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), h. 12
2
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia,
2000), h. 65.

1
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa saja produk-produk perbankan syariah?
2. Jelaskan prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam Islam?
3. Bagaimana bentuk pengampilikasian prinsip-prinsip hukum perjanjian
Islam didalam produk perbankan syariah

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa Saja Produk dari Perbankan Syariah
2. Untuk Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Dalam Islam
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Pengaplikasian Prinsip-Prinsip Hukum
Perjanjian Islam di dalam Produk Perbankan Syariah

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Landasan Teori
1. Pengertian Perbankan Syariah
Bank sendiri dalam pengertiannya merupakan lembaga penyimpanan uang
yang aman dan dipercaya oleh masyarakat. Selain itu, bank merupakan
lembaga yang memiliki fungsi sebagai penyalur dana ke masarakat. Sama
halnya dengan Ban Syariah, bank ini mampu memberikan pinjaman ke
masyarakat selama subjek mampu memenuhi terms and conditions yang
diberikan oleh Bank terkait.3
Bank syariah mereupakan lembaga perantara keuangan (intermediasi) serta
lembaga yang menyediakan jasa keuangan. Yang menjadi pembeda, jalannya
Bank syariah memegang teguh etika serta prinsip islam, seperti terbebas dari
bunga (Riba), dari perjudian (masyir), dari haril hal yang kurang jelas dan
merugakan (Gharar). Bank syariah juga menerapkan prinsip keadilan, di
mana memiliki aturan untuk tidak asal dalam memberikan biaya dalam
kegiatan usaha, bank syariah hanya membiayai kegiatan yang berjalan sesuai
dengan syariat islam terutama menitik beratkan dalam hal ke “halal”an
kegiatan. Selain mencanangkan prinsip bebas riba, bank syariah juga berperan
aktif dalam pencapaian sasaran ekonomi islam yaitu turut mensejahterahkan
ummat.4
Bank konvensional memiliki perbedaan dengan bank syariah secara
operasional. Salah satu halnya yaitu, bank syariah tidak menjalankan
operasional pelaksanaan bunga pada nasabah atau dalam islam biasa kita
sebut dengan riba, yang diganti dengan mekanisme pembebanan bagi hasil
yang didasari dengan akad akad yang disepakati bersama. Mengedepankan
syariat al quran dan al hadist, tidak satupun konsep yang dijalan kan bank
syariah bertentangan dengan kedua aturan tersebut.
Pelaksanaan operasional bank terkait dengan akomodasi seperti berikut:

3
Kasmir, Pemasaran Bank, (Jakarta: kencana, 2004), Edisi Revisi, cetakan ke-3, h.08
4
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 1.

3
a. Memberi jaminan kredit
b. Membeli dan menjual cek wesel, kertas dagang dan surat wesel
c. Pemindahan uang
d. Jual beli surat surat berharga
e. Mendiskonto surat wesel, juga surat berharga lainnya
f. Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran.5
2. Prinsip Operasional Perbankan Syariah
PP (Peraturan Pemerintah) No.72 tahun 1992 ini menjadi patokan dalam
system operasional bank Syariah pada prinsip bagi hasil yang dijelaskan
sebagai berikut :
a. Upaya dalam meningkatkan jasa didalam perbankan Syariah
kepada konsumen serta masih diperlukannya cara-cara
pengembangan didalam segala aspek kegiatan usaha yang kira-kira
dibutuhkan oleh masyarakat.
b. Sistem pelayanan jasa Bank syariah yang secara umum dibutuhkan
masyarakat yaitu pihak perbankan Syariah bertindak sebagai
penyedia jasa didalam prinsip bagi hasil
c. Sangat penting kiranya untuk mengatur kegiatan usaha bank yang
didasarkan prinsip bagi hasil didalam terbentuknya suatu peraturan
pemerintah.6
Secara umum, dalam menjalankan usahanya, Prinsip operasional yang
dimiliki bank syariah adalah sebagai berikut:
1) Prinsip simpanan bentuk giro. Maksudnya yaitu, pengadaan
fasilitas oleh perbankan syariah dengan membuka peluang bagi
nasabah yang kelebihan dana untuk menginvestasikan dana
tersebut dalam bentuk al-wadiah, yang bertujuan untuk

5
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi dan Ilustrasi), (Yogyakarta:
Ekonisia, 2013), hlm. 29.
6
Nurul Hak, Ekonomi Islam, Hukum Bisnis Syariah (Mengupas Ekonomi Islam, Bank Islam, Bunga
Uang dan Bagi Hasil, Wakaf Uang dan Sengketa Ekonomi Syariah), (Yogyakarta: Teras, 2011),
hlm. 24-25.

4
mengamakankan, bukan untuk memperoleh keuntungan seperti
pada deposito atau tabungan,
2) Prinsip bagi hasil (syirkah) yaitu efektifitas didalam pengelolaan
juga cara pembagian keuntungan diantara pemilik dana dan
pengelola dana.
3) Prinsip bagi hasil dan mark-up yaitu pembiayaan bank yang telah
dialokasikan dalam bentuk nominal berada diatas nilai kredit yang
diperoleh nasabah. Pembiayaan tersebut telah ditetapkan
berdasarkan kesepakatan atau akad diantara bank dan nasabah.
4) Prinsip sewa, yang didalamnya terdapat tiga jenis sewa, yaitu yang
pertama sewa murni (ijarah) dan sewa beli (ba’i)
5) Prinsip jasa (fee), yaitu mencakupi seuruh karyawan non-
pembiayaan yang telah diserahkan oleh bank seperti contoh
transfer dan lain sebagainya.7
Selain ke 6 prinsip di tersebut di atas,di tambahkan 1 prinsip lagi oleh
penulis sebagai prinsip ketujuh yakni prinsip dan peran bank syariah selain
sebagai Baitul Tamwil (Komersial) juga sebagai Baitul Mal (Sosial) yaitu
tujuh prinsip kebijakan.

3. Legalitas Hukum Perjanjian Dalam Islam


Syarat menjadi sahnya suatu akad dalam ajaran islam pada prinsipnya
dipengaruhi oleh apakah sudah terpenuhi atau tidaknya beberapa kondisi serta
rukun asal dari akad tersebut. Bila salah satu rukun tidak mencakup dalam
suatu akad, maka akad tersebut hukumnya haram dan dinilai tidak sah dalam
hukum islam. Penjelasan mengenai syarat lebih merujuk pada unsur yang
harus terdapat dalam suatu akad ialah sesuatu hal, insiden, dan tindakan, akan
tetapi bukan dalam artian sesuatu yang bermakna sebagaimana hal yg
terdapat dalam rukun. Sedangkan rukun merupakan unsur yang absolut
wajib terdapat pada sesuatu hal, peristiwa, serta tindakan.
7
Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah (Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia,
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 27-28.

5
a) Rukun Perjanjian atau Akad
Dalam suatu akad wajib hukumnya untuk memenuhi empat rukun
akad yaitu al-‘aqidain, mahallul ‘aqad, shigat al-aqd, muqawimat
‘aqd pada pembuatan suatu perjanjian. Akan dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut ini :
- Ijab dan Kabul menjadi rukun utama dan paling penting untuk
dilakukan. Adapun subjek dan objek menjadi syarat yang harus
terdapat didalam suatu akad atau perjanjian yang dilakukan.
- Memperkirakan konsisi-kondisi yang terjadi dalam suatu akad,
hal ini bisa menjadi akibat aturan di masing-masing pihak,
antara lain :
1) Dalam pelaksanaan ijab dan kabul, harus dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai kecakapan pada bertindak melakukan perbuatan
aturan dan atau suatu ijab serta kabul tersebut dinyatakan sang
seseorang yg sudah tamyiz di mana mampu mengetahui isi
daripada perjanjian itu sendiri serta an kesadaran diri tanpa
paksaan berasal orang lain.
2) Dalam pelaksanaan Ijab dan kabul terkhusus pada perjanjian
wajib tertuju pada objek , yang artinya objek harus bersumber dari
isi perjanjian itu sendiri.
3) Dalam pelaksanaannya, Ijab serta kabul berdasarkan prinsipn
yang dimana harus dilakukan dalam suatu kelompok, apabila para
pihak hadir dalam daerah sinkron dengan kesepakatan

b) Unsur-Unsur Ijab dan Kabul


Para ulama mengatakan bahwa pada dasarnya dalam unsur-unsur
ijab dan Kabul ialah unsur yang sangat krusial didalam suatu akad
yang sedang berlangsung. Beberapa unsur dari ijab dan Kabul
meliputi :
1) Shigat al-aqd, yaitu pernyataan dalam pengikatan diri,
maksudnya ialah terkait dengan pembuatan perjanjian para

6
pihak yang bersangkutan wajib hukumnya melakukan
perjanjian dalam bentuk tertulis karena dapat berdampak
pada aturan para pihak, karena maksud yang belum sempat
disampaikan kepada pihak maka memungkinkan untuk
tidak memiliki akibat aturan.
2) Al-Ma’qud alaih, ialah unsur yang di mana objek dari
akad in tergantung pada akan yang telah dirancangkan
bersama. Objeknya dapat berupa barang, jasa dan harga.
Kemudian pada bagian sewa-menyewa objeknya dapat
berupa berupa nilai kemanfaatan dari barang tersebut.
Sehubungan dengan penggunaan objek pada akad ini
tentunya wajib memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan, misalnya telah ada di saat akad dilaksanakan,
tidak melakukan larangan menurut syariat atau nash,
dapat diketahui serta barang bisa diserahkan ketika
terjadinya akad.
3) Al-‘Aqidain, ialah unsur dimana pihak-pihak melakukan
perikatan. Dalam konteks ini mewajibkan para pihak yang
bersangkutan memiliki keahlian dalam bertindak atau
melakukan aturan dalam arti telah dewasa serta mempunyai
logika sehat dimana mampu untuk malaksanakan suatu
perjanjian. Jika pihak dalam perjanjian melibatkan anak
anak, maka wajib diwakili sang oleh orang tuanya/walinya.
Kondisi seseorang wali pada Islam itu sendiri misalnya
memiliki kemampuan untuk mengemban tugas sebagai
wali, adil, amanah, menjaga kerahasiaan atau kepentingan
yang diwakilinya, memiliki kesamaaan persepsi antara wali
dan yang diwakilinya;
4) Maudhu’ al-‘aqd, yaitu berkaitan dengan tujuan akad.
Dalam konteks ini, tujuan akad sesungguhnya wajib
sejalan dengan ketentuan syariat. Bila tujuan pembuatan

7
akad (perjanjian) dibuat tak sejalan dengan ketentuan
syariat, maka perjanjian yang dirancang tadi berakibat
ketidakabsahan.
Berdasar penjelasan di atas, Sighat (penyataan) pada suatu akad menjadi
hal yang sangat krusial, mengingat pernyataan dalam mengikatkan diri
menjadi galat satu rukun pada hukum perjanjian islam. Adapun cara dalam
menyatakan bentuk perjanjian bisa dalam bentuk tulisan, lisan yang disertai
pemberian kejelasan dan disertai adanya ijab dan Kabul.
Perjanjian dianggap legal jika memenuhi rukun perjanjian yaitu pengadaan
ijab dan Kabul. Sementara syarat perjanjian diantarai oleh subjek dan objek
yang berkaitan. Pertama, syarat kondisi subjek akad yaitu adanya kecakapan
subjek dalam menjalankan aturan, usia dewasa dan memiliki nalar yang sehat.
Kedua, syarat objek akad terdiri ketentuan yang ditetapkan pada saat
pelaksanaan, diketahui secara komprehensif, memiliki peluang pengadaan
hukum akad, dan dapat diserahkan kembali jika terjadi pelanggaran tersebut.
Sedangkan syarat objek yakni keahlian atau keprofesionalan seseorang untuk
menetapkan hukum.8

8
Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika Perkembangan di Indonesia, h.
49-51.

8
c) suatu akad
d) (perjanjian)
setidaknya harus
memenuhi
e) empat rukun yang
tidak boleh
f) ditinggalkan yiatu
al-‘aqidain, mahallul
g) dalam pembuatan
suatu perjanjian.
h) Adapun penjelasan
sebagai berikut :
i) a. Rukun akad
yang paling utama
ialah

9
j) ijab dan kabul.
Syarat yang harus ada
k) dalam rukun dapat
berupa subyek dan
l) objek dari suatu
perjanjian yang
m) dilakukan.
n) b. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi
agar
o) suatu perjanjian
dapat memiiki akibat
p) hukum pada
masing-masing para
q) pihak, diantaranya:

10
r) 1) Ijab dan kabul
harus dilakukan oleh
s) seseorang yang
memiliki kecakapan
t) dalam bertindak
melakukan
u) perbuatan hukum
dan/atau suatu
v) ijab dan kabul
tersebut dinyatakan
w) oleh seseorang
yang sudah tamyiz
x) di mana mampu
mengetahui isi
y) daripada perjanjian
itu sendiri dan
11
Unsur-Unsur Ijab dan Kabul

BAB III
PEMBAHASAN

A. Produk-Produk Perbankan Syariah


Seiring dengan perkembangan produk perbankan syari’ah juga lembaga
keuangan syariah di Indonesia, yang dimana penduduknya mendominasi
ajaran islam, bahkan menjadi negara dengan penganut ajaran islam terbesar,
bisa juga disumpulkan bahwa Indonesia sangat tertinggal jauh apabila
disandingkan dengan negara Amerika yang berpenduduk minim muslim.
Produk perbankan syariah di Indonesia mulai menaikkan namanya pada awal
tahun1990-an, yaitu saat Bank Muamalat di Indonesia pertama kali didirikan.
Dimana perbankan Syariah ini hanya bermula dari produk perbankan
syari’ah, dan sekarang ini dalam perbankan Syariah konsumen telah bisa
berinvestasi melalui bermacam-macam jenis invetasi yang berlandaskan
Syariah, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 9
a. Pasar Modal
b. Reksadana Syariah
c. Pasar Uang dan Produk Perbankan Syariah
d. Asumsi dan Dana Pensiun Syariah
e. Gadai Syariah
Pembiayaan dalam system perbankan syari’ah bukanlah transaksi yang
berlandaskan pendapatan bunga atas modal yang telah di setorkan, namun
dalam pembagian keuntungan yang telah didapatkan. Dalam perbankan
Syariah, pendekatan ini mirip dengan investment banking, yaitu dimana
produknya ialah mudarabah (pembiayaan amanah) dan musyarakah

9
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 21.

12
(pembiayaan kemitraan), sedangkan dalam investasi dilaksanakan dalam
bentuk murabahan (jual beli). 10
Dalam teorinya, pengembangan produk perbankan syariah dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Produk Penyaluran Dana
a. Prinsip Jual Beli (Ba’i), yaitu akad yang didasarkan pada
adanya pemindahan kepemilikan barang.
b. Prinsip Sewa (Ijarah), yaitu dilakukan atas dasar pengalihan
hak guna barang serta jasa berdasarkan dengan sewa guna
usaha tanpa melibatkan perpindahan kepemilikan atas
barang yang disewakan.
c. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah), bagi hasil didalam prinsip
bagi hasil terbagi atas dua jenis produk yaitu Mudharabah
dan Musyarakah
2. Produk penghimpunan Dana
a. Prinsip Wadiah, yaitu simpanan nasabah yang harus
disimpan dengan baik dan dikembalikan sewaktu-waktu
sesuai dengan keinginan nasabah yang bersangkutan.
b. Prinsip Mudharabah, yaitu suatu bentuk kerja sama antara
dua pihak atau lebih di mana pemilik modal kepada
pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
hasil.
3. Produk jasa
Produk jasa yaitu terciptanya pola konsumsi yang dimana di
ajarkan oleh agama islam dengan memiliki kelebihan pendapatan
sehingga dihasilkan dalam bentuk investasi. Oleh karena itu, bank
Islam menawarkan tabungan atas investasi tersebut dengan
tabungan dan mudarabah (tabungan dengan bagi hasil atas aset
bank).

10
Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah (Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia),
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 28.

13
B. Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Dalam Islam
Agama Islam memang sudah menerapkan prinsip-prinsip ataupun asas-
asas hukum perjanjian islam yang berpengaruh dalam pelaksanaan suatu
akad, sehingga ketika salah satu dari prinsip perjanjian ini dikatakan tidak
memenuhi aturan dalam pelaksanaan perjanjian, hal ini memicu batalnya
suatu akad yang telah dibuat dan disepakati bersama. Adapun beberapa
prinsip-prinsip yang harus dipenuhi didalam penerapan perjanjian yaitu di
antaranya :
a. Al-Hurriyah (Kebebasan dalam berakad)
Prada dasarnya prinsip ini adalah bentuk keleluasaan kepada para
pihak didalam mengatur jalannya suatu akad perjanjian, baik
mengenai pokok permasalahan maupun bebas dalam memilih
pihak mana yang akan membuat suatu perjanjian, termasuk juga
syarat-syarat yang disepakati bersama, dan bebas menentukan
metode penyelesaian sengketa, baik yang timbul di kemudian hari,
baik yang berkaitan dengan atau tidak proses pengadilan.11
b. Al-Musawah (Kesetaraan)
Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah pihak-pihak yang
berwenang dalam pembuatan suatu perjanjian memiliki tingkatan
yang setara satu sama lain.
c. Al-Adalah (Keadilan)
Prinsip ini berarti bahwa setiap kontrak yang dilaksanakan oleh
pihak-pihak yang berwenang pada dasarnya harus berprinsip
keadilan.
d. Al-Ridha (Kerelaan)
Prinsip ini berarti bahwa segala kegiatan didalam perjanjian harus
berdasarkan kehendak semua pihak yang mengadakannya, dan
tidak boleh ada unsur paksaan, penipuan dan tekanan.
e. Ash-Shidq (Kejujuran)

11
Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah Dalam Kompilasi Hukum Perikatan, h. 249

14
Dalam asas ini, setiap individu yang terjalin dalam suatu akad
harus mengedepankan sifat kejujuran, khususnya didalam
pengucapan atau didalam berkomunikasi, dan tidak berkata bohong
serta menyampaikan hal yang bersifat hoaks yang tidak terjamin
kebenarannya karena hal ini dapat mempengaruhi ke absahan suatu
akad.
f. Al-Kitabah (Tertulis)
Prinsip ini berarti bahwa setiap transaksi harus dilakukan secara
tertulis, dengan tujuan untuk membuktikan apakah dikemudian hari
timbul sengketa dari perjanjian yang dibuatnya.

C. Penerapan Prinsip-Prinsip hukum Perjanjian Islam Dalam Produk


Perbankan Syariah
Secara yuridis, saat telah disahkannya Undang-Undang nomor 21 Tahun
2008, yang berisi tentang wacana tentang Perbankan Syariah dan juga
Peraturan Bank Indonesia angka 10/16/PBI/2008 Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia nomor 9/19/PBI/2007 perihal penerapan prinsip syariah dalam
segala bentuk kegiatannya, seperti kegiatan menghimpun dana serta
menyalurkan dana dan pelayanan jasa bank syariah yang dipahami sebagai
bentuk dari pengalihan hukum islam pada menyempurnakan hukum di
Indonesia. Dalam Undang-undang ini juga menjadikan eksistensi bank syariah
di Indonesia semakin menonjol dan tidak hanya berperan sebagai bank yang
bertugas memenuhi kebutuhan nasabahnya.
Perbankan syariah ialah Lembaga yang berperan dalam layanan jasa yang
berlandaskan prinsip syariah, lalu pokok utamanya sesungguhnya telah banyak
diterapkan didalam kegiatan perbankan syariah seperti pada adanya transaksi
yang terlepas dari prinsip bunga atau yang dikenal dengan riba yang
diterapkan didalam perbankan kovensional dan merubahnya menjadi prinsip
bagi hasil yang telah sesuai diajarkan didalam ajaran islam dan sesuai prinsip
islam yang telah ditentukan. Karena, riba ini sendiri didalam islam berarti
penambahan jumlah dana sesuai dengan jangka waktu serta jumlah

15
pinjamannya. Sebelumnya, para ulama berbeda pendapat mengenai riba
apakah ada keterkaitannya dengan bunga, tetapi kalangan ulama telah sepakat
bahwa riba mencakup seluruh bentuk bunga.12
Di dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah, prinsip dalam
perbankan syariah ialah berasal dari ajaran islam yang erat kaitannya dengan
ekonomi. Salah satu prinsip pada ekonomi islam ialah diharamkan adanya riba
dalam semuaa bentuk kegiatannya dan memakai prinsip bagi hasil yang sesuai
dalam ajaran islam. Dengan menggunakan prinsip bagi hasil ini, akan
berpeluang dalam menciptakan system investasi yang sehat dan adil di dalam
perbankan syariah karena pihak-pihak yang bersangkutan akan saling berbagi
keuntungan juga potensi resiko yang juga bisa timbul, sehingga akan terbentuk
Kerjasama yang imbang antara bank dan nasabah.13 Dalam kegiatannya,
perbankan syariah juga menerapkan prinsip demokrasi ekonomi, serta prinsip-
prinsip kehati-hatian didalam segala bentuk aktivitasnya yang sesuai dengan
ajaran islam serta termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2008
mengenai perbankan syariah.
Akibat penerapan prinsip syariah pada pelaksanaan perbankan syariah
merupakan bahwa produk perbankan cenderung lebih majemuk Bila
dibandingkan menggunakan produk perbankan konvensional. Di ranah
perbankan konvensional misalnya berkaitan menggunakan produk
pengumpulan dana serta pendistribusian dana hanya berlandaskan di suatu
sistem bunga menjadi bentuk prestasi serta kontraprestasi atas penggunaan
dana. Sementara itu, perbankan syariah juga lebih berfokus pada akad
tradisional Islam yang dimana keberadaannya sangat bergantung pada
kebutuhan nyata nasabah.14
Terdapat empat jenis akad yang ada di dalam produk bank syariah, setiap
produk yang dijalankan didasarkan pada prinsip simpanan atau wadiah, prinsip
jual-beli atau purchase, prinsip sewa-menyewa, prinsip bagi hasil atau profit
12
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoup, Perbankan Syariah Prinsip, Praktik, dan Prospek
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 11.
13
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
14
Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika Perkembangan di Indonesia,
h. 83

16
sharing, serta prinsip jasa. Apabila keempat jenis perjanjian atau akad ini
diterapkan sesuai ajaran dalama islam, maka nantinya akan terselenggarakan
kegiatan anti riba, maisir, dharar, zali, haram, dan sebaginya.15
Menurut Hasanudin Rahman dikutip oleh Khotibul Umam, mengatakan
bahwa secara garis besar produk perbankan Syariah dapat dikategorikan
berdasarkan dengan tujuan serta pengaplikasiannya, yaitu sebagai berikut:
1. Suatu transaksi yang bertujuan dalam perolehan barang dapat
menggunakan prinsip jual beli.
2. Suatu transaksi pembiayaan yang bertujuan dalam perolehan jasa
dapat menggunakan prinsip sewa-menyewa.
3. Suatu transaksi pembiayaan yang berbentuk Kerjasama yang
bertujuan dalam perolehan barang serta jasa dapat menggunakan
prinsip bagi hasil.16

Jika merujuk pada pasal 19 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 perihal


perbankan syariah, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha pada
perbankan syariah termasuk UUS (unit usaha syariah), BUS (bank umum
syariah), serta bank pembiayaan syariah. Di dalam kegiatan usaha perbankan
syariah juga terdapat kejelasan mengenai setiap kegiatannya, yang dapat
dilihat di Pasal 19 Ayat (1), mengenai usaha bank umum syariah yang
mencakup : 17

- Mengumpulkan dana dalam bentuk simpanan yaitu berupa


Giro, Tabungan, dan sebaginya sesuai dengan akad-akad
yang telah disetujui dan disepakati yang berlandaskan
dengan prinsip Syariah ;
- Menghimpun dana yang berbentuk investasi misalnya
deposto, tabungan, dan sebagainya telah sesuai dalam akad-

15
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 83
16
Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika Perkembangan di
Indonesia, h. 142-143.
17
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

17
akad yang telah disetujui dan disepakati yang berlandaskan
pada prinsip syariah.
- Memakai pembiayaan bagi hasil yang didasarkan pada akad
mudhrabah, musyarakah, dan sebagainya serta akad-akad
lainnya yang juga tidak bertentangan dengan prinsip
Syariah.

Rukun akad yang paling


utama ialah
ijab dan kabul. Syarat
yang harus ada
dalam rukun dapat berupa
subyek dan
objek dari suatu perjanjian
yang
dilakukan.
atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu

18
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
19
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan.
atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
20
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan.
atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
21
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
22
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan.
terpenuhi atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
23
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan
erpenuhi atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
24
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
25
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan.
erpenuhi atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
26
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan.
terpenuhi atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
27
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
28
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakatau
tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
29
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan.
atau tidaknya
beberapa syarat dan rukun
dari suatu
30
akad. Apabila salah satu
rukun tidak ada
dalam akad, maka
perjanjian tersebut
dianggap tidak sah menurut
hukum Islam.
Pengertian syarat lebih
merujuk pada
unsur yang harus ada
untuk sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan,
akan tetapi bukan
merupakan sesuatu yang
substansi
sebagaimana hal yang
terdapat dalam
31
rukun. Sedangkan rukun
adalah unsur
yang mutlak harus ada
dalam sesuatu hal,
peristiwa, dan tindakan.

32
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar
dari hukum perjanjian di dalam islam sesungguhnya telah banyak di
aplikasikan dalam kegiatan usaha perbankan Syariah khususnya pada produk-
produk perbankan syariah, misalnya pada UUS (unit usaha syariah), BUS
(bank umum syariah), dan sebagainya.
Secara sederhana, prinsip-prinsip syariah ini dapat disimpulkan sebagai
prinsip hukum islam yang dalam kegiatannya telah sesuai dengan fatwa yang
telah ditetapkan oleh lembaga syariah yang berwenang.
Setiap produk yang dikeluarkan oleh perbankan syariah, tentunya
didasarkan pada prinsip-prinsip titipan atau wadiah, prinsip-prinsip jual-beli,
prinsip-prinsip sewa-menyewa, prinsip-prinsip jasa, dan prinsip-prinsip bagi
hasil atau biasa dikenal dengan profit sharing. Keempat prinsip ini ialah akad
perjanjian yang dimana bila dilaksakan berlandaskan dengan syarat serta
rukun islam, maka tentunya akan berbuah menjadi suatu kegiatan usaha yang
terlepas dari riba, gharar, haram, dan zalim sesuai dengan ajaran islam yang
melarang adanya riba, gharar, dan sebagainya didalam suatu akad perjanjian.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika


Perkembangan di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016),
h. 12
2. Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2000), h. 65.
3. Kasmir, Pemasaran Bank, (Jakarta: kencana, 2004), Edisi Revisi,
cetakan ke-3, h.08
4. Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 1.
5. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi
dan Ilustrasi), (Yogyakarta: Ekonisia, 2013), hlm. 29.
6. Nurul Hak, Ekonomi Islam, Hukum Bisnis Syariah (Mengupas
Ekonomi Islam, Bank Islam, Bunga Uang dan Bagi Hasil, Wakaf
Uang dan Sengketa Ekonomi Syariah), (Yogyakarta: Teras, 2011),
hlm. 24-25.
7. Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah (Teori, Kebijakan,
dan Studi Empiris di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 27-
28.
8. Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika
Perkembangan di Indonesia, h. 49-51
9. Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 21.
10. Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah (Teori, Kebijakan,
dan Studi Empiris di Indonesia), (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm.
28.
11. Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah Dalam Kompilasi
Hukum Perikatan, h. 249

34
12. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoup, Perbankan Syariah
Prinsip, Praktik, dan Prospek (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2001), h. 11.
13. Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
14. Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan
Dinamika Perkembangan di Indonesia, h. 83
15. M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 83
16. Khotibul Umam, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan
Dinamika Perkembangan di Indonesia, h. 142-143.
17. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

35

Anda mungkin juga menyukai