Anda di halaman 1dari 15

AKAD-AKAD PERBANKAN SYARI’AH

(Prinsip Titipan atau Wadhi’ah, Prinsip Bagi Hasil atau


mudharabah dan Musyarakah)
Dosen Pengampu :
AHMAD MU’IS, S.Ag, MA

Disusun oleh:
Kelas : Studi Fiqih - E

Zulfatur Rosyidah (19510051)


A’as Nova Aprilia (19510087)
Tri Adi Nugroho (19510151)

PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Warahmatullah Wabarakatuh


Marilah puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yang karena
rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini secara tuntas. Tak
lupa shalawat serta salam dihaturkan kepada junjungan kita Baginda Nabi
Muhammad SAW yang karena perjuangannya menegakkan Islam, kita semua
dapat bebas dari kegelapan zaman Jahiliyah dan merasakan cerahnya zaman kini.
Kami selaku penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak
Dosen Ahmad Mu’is, S.Ag, MA dan berbagai pihak yang telah mendukung
penuntasan makalah kami dalam rangka memenuhi penugasan mata kuliah
manajemen pemasaran. Kami sadar dalam makalah ini masih terdapat berbagai
kekeliruan yang perlu diluruskan dalam upaya pembelajaran, maka dari itu kami
sangat berharap berbagai masukan yang membangun baik dari dosen pengampu
maupun pembaca sekalian.
Sesungguhnya kebenaran dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan
kesalahan milik kami sebagai mahluk-Nya. Atas perhatian dan maklumnya, kami
ucapkan terima kasih.
Wabillahi taufiq wal hidayah
Wassalamu alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Malang, 25 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................2
C. Tujuan makalah ...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perbankan Syari’ah........................................................................3
B. Akad Wadi’ah..................................................................................................4
C. Akad Mudharabah............................................................................................6
D. Akad Musyarakah............................................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bank adalah lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial


intermediary. Artinya, lembaga bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya
berkaitan dengan masalah uang. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu dikaitkan
dengan masalah uang yang merupakan alat pelancar terjadinya perdagangan yang
utama.
Sistem ekonomi Islam merupakan system ekonomi yang bebas, tetapi
kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam
bentuk kompetisi (persaingan). Karena kerjasama meupakan tema umum dalam
organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin
sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling
memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka
mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan kepada para
pemeluknyaagar memperhatikan bahwa perbuatan baik (amal sâlih) bagi
masyarakat merupakanibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk
berbuat sebaik-baiknya demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan
disemua bagian Al-Quran dan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi
Muhammad SAW sendiri.
Kaitan antara bank dengan uang dalam suatu unit bisnis adalah penting,
namun di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya ketidakadilan,
ketidakjujuran dan penghisapan dari satu pihak ke pihak lain (baik dengan
nasabahnya). Kedudukan bank Islam dalam hubungan dengan para kliennya
adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedang dalam hal bank pada
umumnya, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur. Sehubungan dengan
jalinan investor dan pedagang tersebut, maka dalam menjalankan pekerjaannya,
bank Islam menggunakan berbagai teknik dan metode investasi seperti kontrak
mudharabah. Di samping itu, bank Islam juga terlibat dalam kontrak murabahah.
Mekanisme perbankan Islam yang berdasarkan prinsip mitra usaha, adalah bebas
bunga. Oleh karena itu, soal membayarkan bunga kepada para depositor atau
pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Perbankan Syari’ah?
2. Apa pengertian Akad Wadi’ah?
3. Apa pengertian Akad Mudharabah?
4. Apa pengertian Akad Musyarakah?
5. Bagaimana prinsip pada akad Wadi’ah, Mudharabah dan Musyarakah??

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Perbankan Syari’ah
2. Untuk mengetahui pengertian Akad Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah
3. Untuk mengetahui pengertian Akad Mudharabah dalam Perbankan
Syari’ah
4. Untuk mengetahui pengertian Akad Musyarakah dalam Perbankan
Syari’ah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perbankan Syari’ah

Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu


Bank Islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syari’ah Islam. Bank Islam
adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam; (2)
bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-
Qur’an dan Hadits. Sementara bank yang beroperasi sesuai prinsip syari’ah Islam
adalah bank yang mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, khususnya yang
menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Lebih lanjut, dalam tata cara
bermuamalat itu dijauhi praktekpraktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-
unsur riba untuk diisi dengan kegiatankegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan
pembiayaan perdagangan.

Dalam ketentuan UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan atas UU


No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan mengatur masalah perbankan secara umum.
Pasca berlakunya UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah merupakan
cikal bakal landasan operasional bank syari’ah.

Pemikiran dan aktivitas ekonomi syari’ah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
berorientasi pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syari’ah.
Perkembangan sistem perbankan syari’ah dalam kerangka Dual Banking System
memberikan alternatif lain dalam perbankan yang semakin lengkap bagi
masyarakat Indonesia, hal ini dikarenakan perbankan syari’ah merupakan sistem
perbankan yang memberikan konsep saling menguntungkan bagi kedua belah
pihak, didukung dengan keanekaragaman produk-produknya yang dilakukan
secara transparan sehingga adil bagi kedua belah pihak.

Pasal 1 ayat (1) Uundang-Undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2008


Tentang Perbankan Syari’ah, menjelaskan bahwa perbankan syari’ah merupakan
segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan unit Usaha Syari’ah,

3
meliputi kelembagaannya, kegiatan usaha dan cara serta proses dalam
menjalankan kegiatan usahanya.

Bank Syari’ah merupakan lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan


usahanya dengan prinsip syari’ah, yaitu berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,
kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin), adapun
prinsip syari’ah merupakan prinsip berdasarkan hukum Islam yang secara spesifik
berdasarkan pada fatwa dari lembaga yang berwenang yakni Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Lembaga ini sebagaimana tertuang dalam Undangn-Undang
Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah Pasal 1 ayat
(12).

Kata syari’ah dalam versi bank syari’ah di Indonesia adalah aturan perjanjian
berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain yang menyimpan dana
dan pembiayaa kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.
Konsep ekonomi syari’ah di dalamnya terakumulasi nilai-nilai, prinsip-prinsip,
teori-teori serta kaidah-kaidah ekonomi syari’ah yang pada muaranya akan
diterapkan ke dalam pelbagai bentuk lembaga ekonomi berbasis agama Islam.
Mulai dikenalnya sistem syari’ah dalam perbankan syari’ah oleh masyarakat
Indonesia dan karena Bank Syari’ah layaknya bank umum konvensional dapat
juga melayani seluruh aktivitas perbankan sebagaimana umunya, yaitu lembaga
perantara keuangan dimana menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

B. Akad Wadi’ah

Secara Etimologi al-Wadiah berarti titipan murni (amanah).Wadiah bermakna


amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah
dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Quran, sedangkan secara terminologi ada
beberapa pendapat dari para ulama, di antaranya:
a. Hanafiah: al-wadi’ah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk
dipeliharakan kepada orang lain
b. Malikiah: al-wadi’ah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang lain
untuk dipeliharakan

4
c. Syafi’iah: al-wadi’ah adalah sesuatu harta benda yang disimpan ditempat
orang lain untuk dipeliharakan
d. Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk
memeliharanya tanpa adanya ganti rugi
e. Ulama Fiqh Kontemporer: al-Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak
ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Beberapa landasan syariah dalam praktik akad Waqiah :
 QS. An-Nisa: 58

‫ِإَّن ال َّلَه َي ْأ ُم ُر ُك ْم َأْن ُتَؤ ُّد وا ا َأْلَم ا َنا ِت ِإ َل ٰى َأْه ِلَه ا‬


Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya
 QS. Al-Baqarah: 283

‫َف ِإْن َأِم َن َبْعُض ُك ْم َبْعًض ا َفْل ُي َؤ ِّد ا َّل ِذ ي ا ْؤ ُتِم َن َأَم ا َن َت ُه َو ْل َي َّت ِق ال َّل َه‬
‫ۗ َر َّبُه‬
Artinya : Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya

Menurut Hanafiah Rukun wadi’ah menurutnya hanya satu, yaitu adanya


pernyataan kehendak (sighat: ijab (ungkapan kehendak menitipkan barang dari
pemiliknya) dan qabul (ungkapan kesiapan menerima titipan tersebut oleh pihak
yang dititipi). Namun menurut Jumhur ulama Fiqh Rukun wadi’ah ada tiga,
yakni :

1. ada pelaku akad


2. barang titipan; dan
3. pernyataan kehendak (sighat ijab dan qabul) baik dilakukan secara
lafad atau hanya tindakan.
Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang
diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan
wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak

5
boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sementara itu, dalam hal wadi’ah yad
dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta
titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.

C. Akah Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka
bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka
menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, Mudharabah
disebut juga qiraadh, berasal dari kata al–qardhu yang berartial-qath’u (sepotong),
karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan
dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya
Sedangkan menurut istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja
sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi
modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi
antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
Dalam fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara
rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi
sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz
menyebutkan dengan Qiradh. Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti
memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha4 . Secara
terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan :
“Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang)
untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama
dan dibagi menurut kesepakatan”. Mudharib menyumbangkan tenaga dan
waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak.
Salah satu cirri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan
dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati
sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor.
Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling
membantu antara rab al-mal (investor) dengan mudharib. Ibn Rusyd dari

6
madzhab Maliki menyatakan bahwa di perbolehkannya akad mudharabah
merupakan suatu kelonggaran yang khusus. Meskipun mudharabah tidak secara
langsung disebutkan oleh al-Qur’an atau Sunnah, namum ia adalah sebuah
kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk perdagangan
semacam ini terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang
punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan
bentuk kerjasama ini adalah :
Firman Allah dalam Surah al- Muzzammil ayat 20 dan al-Baqarah ayat 198 :

... ‫َو َآَخ ُر وَن َيْض ِرُبوَن ِفي اَأْلْر ِض َيْبَتُغوَن ِم ْن َفْض ِل هَّللا‬
Artinya : “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia
Allah....”.
Dan Al-muzammil ayat 20 :

‫َلْيَس َع َّلْيُك ْم ُج َناٌح َأْن َتْبَتُغوا َفْض اًّل ِم ْن َر ِبُك م‬


Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perdagangan) dari Tuhanmu....”.
Di kedua ayat tersebut, terkandung artian diperbolehkannya akad
mudharabah, yaitu bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di
muka bumi.
Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits
3. Ijma
4. Qiyas
5. Kaidah fiqih
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang,
karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan
disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan
untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja
sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
1. Modal.

7
2. Jenis usaha.
3. Keuntungan.
4. Shighot (pelafalan transaksi)
5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola.
Prinsip mudharabah dalam pengumpulan dana perbankan syariah diplikasikan
dalam bentuk Tabungan mudharabah. Tabungan Mudharabah merupakan
simpanan yang hanya dapat ditarik dengan cara cara tertentu yang disepakati.
Tabungan ini akan dikelola dengan mempergunakan prinsip mudharabah
mutlaqah dimana pengelolaan dana sepenuhnya diserahkan kepada
mudharib.Tabungan Mudharabah ini tidak dapat diambil sewaktu waktu karena
merupakan investasi yang diharapkan akan memberikan keuntungan, oleh karena
itu dana hanya dapat ditarik setelah akad berakhir.

D. Akad Musyarakah

Musyarakah adalah bentuk kerjasama dua orang atau lebih dengan pembagian
keuntungan secara bagi hasil. Menurut Dewan Syariah Nasional MUI
mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, dimana masing – masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan ketentuan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian
berdasarkan kontribusi dana. Para mitra bersama – sama menyediakan dana untuk
mendanai suatu usaha tertentu dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan
maupun yang baru. Investasi musyarakah dapat dalam bentuk kas, setara kas at
au asset non kas.
Syirkah berarti sharing ‘berbagi’, dan didalam terminologi fikih Islam dibagi
dalam dua jenis:
a. Syirkah al-milk atau syirkah amlak atau syirkah kepemilikan, yaitu
kepemilikan bersama dua pihak atau lebih dari suatu properti.
b. Syirkah al-‘aqd atau syirkah ‘ukud atau syirkah akad, yang berarti
kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama atau usaha
komersial bersama. Syirkah al- ‘aqd sendiri ada empat (Madzhab

8
Hambali memasukkan syirkah mudharabah sebagai syirkah al-‘aqd yang
kelima), satu yang disepakati dan tiga yang diperselisihkan, yaitu:
 Syirkah al-amwal atau syirkah al-‘Inan, yaitu usaha komersial bersama
ketika semua mitra usaha ikut andil menyertakan modal dan kerja, yang
tidak harus sama porsinya, kedalam perusahaan. Para ulama sepakat
membolehkan bentuk syirkah ini.
 Syirkah al-mufawwadhah, yaitu usaha komersial bersama dengan syarat
adanya kesamaan pada penyertaan modal, pembagian keuntungan,
pengelolaan modal, dan orang. Madzhab Hanafi dan Maliki
membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara itu madzhab Syafi’i dan
Hambali melarangnya karena secara realita sukar terjadi persamaan
pada semua unsurnya, dan banyak mengandung unsur gharar atau
ketidakjelasan.
 Syirkah al-a’mal atau syirkah Abdan, yaitu usaha komersial bersama
ketika semua mitra usaha ambil bagian dalam memberikan jasa kepada
pelanggan. Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu madzhab Hanafi, Maliki
dan madzhab Hambali, membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara
itu, madzhab Syafi’i melarangnya karena madzhab ini hanya
membolehkan syirkah modal dan tidak boleh syirkah kerja.
 Syirkah al-wujuh adalah usaha komersial bersama ketika mitra tidak
mempunyai investasi sama sekali. Mereka membeli komoditas dengan
pembayaran tangguh dan menjualnya tunai. Madzhab Hanafi dan
Hambali membolehkan bentuk syirkah ini, sedangkan madzhab Maliki

dan Syafi’i melarangnya.


Dasar hukum akad musyarakah :
o Q.S Sad ayat 24

‫َو ِإَّن َك ِث ي ًر ا ِم َن ا ْل ُخ َلَط ا ِء َل َيْب ِغ ي َبْعُض ُه ْم َع َل ٰى َبْع ٍض ِإ اَّل ا َّلِذ ي َن‬


‫ۗ آ َم ُنوا َو َع ِم ُلوا ال َّص ا ِلَح ا ِت َو َقِل ي ٌل َم ا ُه ْم‬
Artinya : “Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain,
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.”

9
o Q.S An Nisa ayat 12
‫َٰذ‬
‫َفِإْن َك ا ُنوا َأْك َثَر ِم ْن ِل َك َفُه ْم ُش َر َك ا ُء ِف ي ال ُّث ُلِث ۚ ِم ْن َبْع ِد‬
ۗ ‫َو ِص َّيٍة ُيو َص ٰى ِب َه ا َأْو َدْي ٍن َغ ْيَر ُم َض ا ٍّر ۚ َو ِص َّيًة ِم َن ال َّلِه‬
‫َو ال َّلُه َع ِل ي ٌم َح ِل ي ٌم‬
Artinya : Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.
o Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al Mughni mengatakan bahwa “Kaum
muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan pendapat dari beberapa elemennya”.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang


diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan
wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak
boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi.
Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah merupakan akad
bermuamalah yang diperbolehkan dalam islam. Mudharabah dan musyarakah
menggunakan prinsip bagi hasil, sedangkan murabahah menggunakan prinsip jual
beli.Pada umumnya akad-akad tersebut diterapkan pada perbankan syariah. Akad
mudharabah diterapkan pada penghimpunan dana maupun pembiayaan. Pada
penghimpunan dana misalnya ada tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah. Sedangkan pembiayaan mudharabah sudah umum dilakukan antara
perbankan syariah dengan para nasabahnya. Akad musyarakah tidak ada
penerapan dalam penghimpunan dana, yang ada hanya pembiayaan musyarakah
antara perbankan syariah dengan para nasabahnya. Demikian juga dengan akad
murabahah, tidak digunakan dalam penghimpunan dana melainkan hanya untuk
pembiayaan.
Namun praktik mudharabah, musyarakah, dan murabahah tidaklah menjadi
monopoli perbankan syariah. Akad-akad tersebut dapat juga digunakan atau
diaplikasikan oleh perorangan. Akad mudharabah dan musyarakah bisa diterapkan
dalam bidang perdagangan, pertanian, peternakan, penangkapan ikan, bahkan
industri kecil.Akad murabahah dapat diterapkan pada pembelian barang dagangan
ataupun barang konsumsi.

11
DAFTAR PUSTAKA

AFiqhus Sunnah, karya Sayid Sabiq III/220, dan Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil „Aziz,karya „Abdul, Azhim bin Badawi al-Khalafi al-Fiqhu al-Islami wa
Adillatuhu, Wahbah Zuhaily

Jurnal : Setia Budhi Wilardjo, Pengertian, Peranan Dan Perkembangan Bank


Syari’ah Di Indonesia, (Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Semarang)

Neni Sri Imaniyati, Aplikasi Sistem Bagi Hasil Dalam Simpanan Nasabah pada
Bank Syari’ah, (Fakultas Hukum Unisba untuk Indonesia, 2012), hal 59

Dhody Ananta Rivandi dan Cucu Sholihah, Akad Pembiayaan Murabahah Di


Bank Syari’ah Dalam Bentuk Akta Otentik Implementasi Rukun, Syarat, dan
Prinsip Syariah, (Malang, 2019), hal 3

Rachmadi Usman, Produk dan Akad Perbankan Syari’ah di Indonesia


Implementasi dan Aspek Hukum, (Bandung, 2009), hal 16

Neni Sri Imaniyati, Aplikasi Sistem Bagi Hasil Dalam Simpanan Nasabah pada
Bank Syari’ah, (Fakultas Hukum Unisba untuk Indonesia, 2012), hal 61

Jurnal : Setia Budhi Wilardjo, Akad-akad dalam Perbankan Syari’ah,(Fakultas


Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia)

Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, Gaya Media Pratama, Jakarta 2000

Saleh, Marhamah, Wadiah, Rahn dan Qardh : materi kuliah, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta

Wiroso, Penghimpunan dana dan Distribusi Hasil Usaha bank Syariah, Penerbit
Garsindo Jakarta, 2005

12

Anda mungkin juga menyukai