Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

LEGAL ASPEK PERBANKAN SYARIAH


Diajukan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Legal Aspek Perbankan Syariah
Oleh Dosen Pengampu : Dulhadi, S.H., M.H

Disusun Oleh :

Shindy Safira Puteri (1831811036)

PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam senantiasa Allah karuniakan atas
penutup dan Nabi paling mulia, Muhammad SAW juga atas segenap keluarganya, para shahabat,
para Tabi’in dan Tabi’in-tabiin serta para pengikut setia Nya hingga akhir zaman.

Makalah yang berjudul “LEGAL ASPEK PERBANKAN SYARIAH” ini, disusun unuk
memenuhi tugas yang diamanahkan kepada kami pada mata kuliah Legal Aspek Perbankan
Syariah serta sebagai wasilah untuk memperdalam tentang perbankan syariah dan pihak lain
yang berkenan membacanya, makalah ini fokus pada pokok bahasan sehingga mudah dipahami
dan memiliki ruang lingkup yang terbatas pada judul diatas. Oleh karena itu, kami berterima
kasih kepada :

1. Allah SWT, yang telah menyempatkan kami menyelesaikan tugas ini.


2. Bapak Dulhadi, S.H., M.h Selaku dosen pengampu dalam mata kuliah Legal Aspek
Perbankan Syariah
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk perbaikan makalah mendatang.
Untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini. Kami berharap mudah-mudahan makalah ini bermanfaat
bagi para pembaca. Amiin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Samarinda April 2021

Penyusun
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….....2
C. Tujuan ...............................................................................................................2
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perbankan Syariah ………………………………………………..3
B. Sejarah Singkat Perbankan Syariah ………….…………….............................4
C. Pengertian Akad dan Jenis-jenis Akad Bank Syariah ………………………..5
BAB III : PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Perbankan Syariah ……………………………………………7


B. Fatwa-Fatwa Terkait Perbankan Syariah …………………………………….8
C. Prinsip-Prinsip Hukum Perbankan Syariah …………………………………10
D. Aspek Filosofis Undang-undang Perbankan Syariah ……………………….16
E. Aspek Yuridis Perbankan Syariah …………………………………………..18
F. Implementasi Sosiologis Perbankan Syariah ………………………………..20
BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………….........22
B. Saran ………………………………………………………………………...22
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Eksistensi perbankan dan lembaga keuangan syariah yang terbebas dari negative spread
pada saat terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia ternyata menarik perhatian
pengamat dan praktisi lembaga keuangan konvensional, baik level nasional maupun level
internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan perbankan dan lembaga
keuangan syariah di Indonesia setelah keluarnya UU No. 10 Tahun 1998 sebagai
amandemen UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan
landasan yuridis keberadaan sistem perbankan syariah. Apabila tahun 1998 baru terdapat
satu Bank Umum Syariah (BUS) dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), maka
pada bulan Januari 2003 telah tercatat 2 Bank Umum Syariah (BUS), yaitu Bank
Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Disamping itu, terdapat 6 Unit Usaha
Syariah (USS) yang ada pada Bank IFI Syariah, Bank BNI Syariah, Bank BRI, Bank
Jabar, Bank Danamon dan Bank Bukopin serta 85 Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS). Sedangkan di luar sektor perbankan terdapat Baitul Mal wa Tamwil (BMT)
yang bergerak di sektor menengah ke bawah yang jumlahnya mencapai 3000-an yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Eksistensi dan perkembangan perbankan dan lembaga keuangan syariah di masa
mendatang tidak akan lepas dari berbagai macam kendala. Misalnya, dari sisi peraturan
perundang-undangan yang mendukung operasionalisasi perbankan syariah dan sumber
daya manusia yang memahami baik aspek legal maupun ekonomi yang berbasis syariah.
Demi menjaga keamanan dan keberkahan transaksi pada perbankan syariah maka perlu
diketahui mengenai aspek legal dalam perbankan syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dasar Hukum Perbankan di Indonesia?
2. Apa Fatwa-Fatwa Terkait Bank Syariah?
3. Apa Saja Prinsip-Prinsip Hukum Perbankan Syariah?
4. Bagaimana Aspek Filosofis Undang-Undang Perbankan Syariah?

1
5. Bagaimana Aspek Yudiris Perbankan Syariah?
6. Bagaiamana Implementasi Sosiologis Perbankan Syariah?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan Memahami Dasar Hukum Perbankan di Indonesia
2. Mengetahui dan Memahami Fatwa-Fatwa Terkait Bank Syariah
3. Mengetahui dan Memahami Prinsip-Prinsip Hukum Perbankan Syariah
4. Mengetahui dan Memahami Aspek Filosofis Undang-Undang Perbankan Syariah
5. Mengetahui dan MemahamiAspek Yudiris Perbankan Syariah
6. Mengetahui dan Memahami Implementasi Sosiologis Perbankan Syariah

2
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Perbankan Syariah


Syariah lahir karena dilarangnya riba dalam Islam. Kelahiran lembaga keuangan yang
bebas bunga, terutama di negara – negara Muslim telah memberikan dimensi baru dalam
bidang ekonomi. Secara umum bank Syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang
berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang kelebihan dana dan yang kekurangan
dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan prinsip – prinsip Islam.
Prinsip umum hukum Islam, berdasarkan sejumlah surat atau ayat dalam Al-Qur’an
menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar atau
menerima keuntungan tanpa memberikan nilai imbalan secara etika adalah dilarang.
Untuk menjamin kehalalan kegiatan usaha perbankan, maka dalam operasionalnya harus
menggunakan prinsip – prinsip syariah. Dengan demikian lembaga perbankan yang
kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip – prinsip syariah maka dapat dikatakan
sebagai perbankan syariah.
Berdasarkan Undang – undang nomor 21 tahun 2008, Bank Syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri
atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah . Hal yang mengatur
tentang Bank Syariah sebelumnya telah diatur dalam Undang – undang Perbankan nomor
10 tahun 1998 yang diuraikan secara eksplisit dalam pasal 1 ayat 13. Yang dimaksud
dengan prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

3
B. Sejarah Singkat Perbankan Syariah
Tercapainya pembangunan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan
UUD NRI 1945 adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa. Salah satu wujud peran
serta masyarakat dalam menyukseskan pembangunan nasional adalah mengembangkan
sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai Islam (syariah). Sistem ekonomi yang
berdasarkan syariah memiliki prinsip yang jelas dalam setiap aktifitas usahanya yaitu
melarang praktik spekulatif (maisir), ketidakjelasan (gharar) dan melipatgandakan
keuntungan secara tidak halal (riba) apapun bentuknya. Sistem ekonomi syariah selaras
dengan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada upaya pemerataan, kemandirian
dan keadilan bagi rakyat. Sistem ekonomi syariah diterapkan pada kegiatan usaha
perbankan dengan prinsip syariah yang disebut dengan Perbankan Syariah.
Perbankan syariah lahir sebagai tuntutan dari masyarakat Islam yang menginginkan
adanya sebuah sistem perbankan yang benar-benar menerapkan ajaran Islam. Agama
Islam melarang praktik-praktik muamalah yang mengandung unsur-unsur maisir, gharar
dan riba. Selanjutnya didirikanlah bank tanpa bunga yang sesuai dengan prinsip dasar
ajaran Islam. Mayoritas ulama sepakat bahwa bunga bank yang diterapkan pada bank
konvensional termasuk riba yang diharamkan dalam Al-Qur‟an maupun hadits Nabi
Muhammad saw.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dapat dilihat secara historis yaitu dengan
diwujudkannya pemikiran berbagai kalangan seperti para tokoh masyarakat, ulama,
akademisi, praktisi ekonomi, dan dengan dukungan penuh Pemerintah pada saat itu
dengan lahirnya sebuah bank berbasis syariah pertama di Indonesia. Momentum tersebut
adalah sebuah starting point dari terintegrasinya sistem ekonomi syariah ke dalam sistem
perekonomian nasional. Keberadaan perbankan syariah sebagai bagian tak terpisahkan
dari perbankan nasional telah dikembangkan sejak tahun 1992, yang ditandai dengan
berlakunya Undang-undang RI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang
Perbankan ini mengakomodir keberadaan bank syariah, namun belum memberikan
landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah. Undang-undang
Perbankan belum secara tegas mencantumkan “prinsip syariah” dalam usaha kegiatan
bank. Pengertian bank “bagi hasil” yang dimaksud dalam Undang-undang No. 7 Tahun

4
1992 belum mencakup secara tepat pengertian bank syariah yang memiliki cakupan yang
lebih luas.
Sejarah perbankan nasional mencatat bahwa Bank Muamalat Indonesia adalah bank
Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pada saat akte pendiriannya dibuat,
terkumpul dana awal sekitar 84 milyar rupiah. Selanjutnya pada tanggal 3 November
1991 dalam sebuah acara silaturrahmi engan Presiden Soeharto di Istana Bogor,
terkumpul dana awal sebesar Rp. 106.126.382.000 atau hampir mencapai 107 miliar
rupiah. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, Bank Muamalat Indonesia (BMI)
resmi beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992.

C. Pengertian Akad dan Jenis-jenis Akad Bank Syariah


Akad dalam pengertian mendasar, dapat diartikan sebagai sebuah ikatan hukum dalam
bentuk tertentu yang lahir dari kesepakatan tanpa paksaan yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih yang disebut para pihak dan melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-
masing pihak. Sebagai catatan, dalam pandangan fiqh, akad juga dapat diartikan sebagai
sebuah komitmen seseorang untuk melaksanakan suatu hal yang menjadi keinginannya,
sehingga dalam kondisi tertentu akad bisa dilakukan meskipun pembuat akad hanya satu
orang saja sekaligus sebagai pelaksana akad, contohnya seperti sumpah dan talak.
Sebuah akad mengandung unsur-unsur yang merupakan rukun sehingga terwujud sebuah
akad. Menurut Ascarya tentang rukun akad: “Rukun dalam akad ada tiga yaitu: 1) pelaku
akad, 2) objek akad; dan 3) Shighah atau pernyataan dari para pelaku akad yaitu ijab dan
qabul. Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk dirinya dan
memiliki otoritas syariah yang diberikan pada seseorang untuk merealisasikan akad
sebagai perwakilan dari yang lain. Objek akad harus ada ketika terjadi akad, harus
sesuatu yang disyariatkan, harus bisa diterima ketika terjadi akad, dan harus sesuatu yang
jelas antara dua pelaku akad. Sementara itu, ijab dan qabul harus jelas maksudnya sesuai
antara ijab dan qabul dan bersambung antara ijab dan qabul.”
Pengertian akad menurut Undang-undang Perbankan Syariah adalah kesepakatan tertulis
antara bank syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Berbagai jenis akad yang
diterapkan oleh bank syariah dapat dilihat pada gambar berikut:

5
6
BAB III
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia


Sistem perbankan nasional yang bertransformasi dari single banking system menjadi dual
banking system tentunya memerlukan kesiapan dari Pemerintah untuk responsif terhadap
ketersediaan perangkat-perangkat pendukung seperti infrastruktur, Sumber Daya Manusia
dan yang terpenting adalah kelengkapan perangkat hukum berupa regulasi yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan tentang perbankan syariah secara hierarkhis yang
berjenjang sesuai dengan fungsi-fungsi regulasi.
Dasar hukum perbankan syariah nasional dapat dilihat secara umum dan secara khusus.
Dasar hukum secara umum artinya segala bentuk peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan aspek hukum perbankan syariah yang secara hierarkhi antara lain:
1. UUD 1945 dalam ketentuan yang mengatur tentang Perekonomian Negara dan
Prinsip Demokrasi Ekonomi;
2. Undang-undang RI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undangundang RI No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia;
4. Undang-undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroa Terbatas;
5. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
6. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; dan
7. Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (P-OJK)
sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang.
Dasar hukum perbankan syariah secara khusus secara hierarkhi antara lain:
1. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; dan
2. Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (P-OJK)
sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang.

7
B. Fatwa-Fatwa Terkait Perbankan Syariah
DSN-MUI sebagai lembaga yang berperan strategis dalam misi pensyariahan ekonomi
umat Islam menjadi otoritas yang diberi kewenangan mengeluarkan produk-produk untuk
dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator ekonomi syariah serta pihak-pihak yang
terkait dengan penetapan DSN-MUI tersebut. Sesuai dengan kewenangannya, DSN-MUI
dapat memutuskan dan menetapkan 3 (tiga) jenis produk yaitu fatwa sebagai keputusan
ulama atas suatu masalah yang memerlukan ijtihad bagi penerapannya secara
kontekstual, keputusan DSN-MUI sebagai pedoman dalam pelaksanaan atau penerapan
fatwa, dan ta‟limat yaitu surat edaran dari DSN-MUI yang berisi informasiinformasi
terkait dengan penerapan prinsip syariah bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pihak-
pihak yang berhubungan dengan LKS lainnya.
Sejak tahun 2000, DSN-MUI telah menetapkan sebanyak 107 (seratus tujuh) fatwa yang
diperuntukkan bagi pihak atau lembaga yang membutuhkannya seperti perbankan
syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah dan lembaga keuangan non bank lainnya
serta pihak-pihak lain yang membutuhkan fatwa DSN-MUI. Dalam bidang perbankan,
DSN-MUI telah menetapkan sekitar 67 (enam puluh tujuh) fatwa yang menjadi pedoman
dalam kegiatan usaha bank syariah. Fatwa-fatwa DSNMUI dalam bidang perbankan
syariah dapat dilihat pada table berikut:

8
9
Fatwa-fatwa DSN-MUI yang tercantum di atas, ada beberapa di antaranya yang tidak
hanya diperuntukkan bagi perbankan syariah saja, namun ada juga fatwa yang
diperuntukkan bagi LKS non bank. Islam sebagai agama yang rahmatan lil „alamiin
ajarannya mencakup aspek kehidupan manusia secara menyeluruh termasuk dalam bidan
ekonomi. Perkembangan ekonomi nasional berlangsung sangat pesat dengan pengaruh
perekonomian dunia yang begitu besar. Peran ulama khususnya yang berada di DSN-
MUI bersama praktisi dan tokoh lainnya sangat penting untuk membimbing umat agar
aktifitas perekonomian yang dijalankan sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini sejalan
dengan visi DSN-MUI yaitu: Memasyarakatkan Ekonomi Syariah dan Mensyariahkan
Ekonomi Masyarakat.

C. Prinsip-Prinsip Hukum Perbankan Syariah


1. Asas Demokrasi Ekonomi
Demokrasi Ekonomi adalah asas yang fundamental dalam perekonomian negara.
Betapa pentingnya asas demokrasi ekonomi ini sehingga disebutkan secara khusus
dalam UUD 1945 dalam Bab tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan

10
Sosial. Asas demokrasi ekonomi dalam kegiatan perekonomian nasional mengandung
nilai-nilai:
a. Keadilan;
b. Pemerataan;
c. Kebersamaan;
d. Efisiensi Berkeadilan;
e. Berkelanjutan;
f. Berwawasan Lingkungan;
g. Kemandirian, dan
h. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Penerapan asas demokrasi ekonomi dalam sistem perbankan syariah nasional adalah
tindak lanjut dari amanat konstitusi untuk mewujudkan perekonomian nasional sesuai
dengan nilai-nilai demokrasi ekonomi guna mensejahterakan masyarakat. Asas
demokrasi ekonomi sangat diperlukan dalam pengelolaan bank untuk menjaga
eksistensi perbankan sebagai lembaga intermediasi tetap optimal dan
berkesinambungan. Selanjutnya, sesuai amanat konstitusi maka pengaturan tentang
asas demokrasi ekonomi akan diatur lebih lanjut dalam undangundang.
Dasar hukum pengaturan tentang penerapan asas demokrasi dalam sistem perbankan
nasional terdapat dalam UURI No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UURI No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam asas demokrasi ekonomi harus
diimplementasikan dalam sistem perbankan syariah nasional seperti dalam kegiatan
operasional, hubungan hukum dengan nasabah dan lembaga terkait dan pengawasan
bank syariah. Dalam penjelasan Undangundang Perbankan Syariah disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syariah yang
mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan.

2. Prinsip Syariah
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam

11
penetapan fatwa di bidang syariah. Kegiatan usaha yang dijalankan dengan prinsip
syariah adalah segala bentuk kegiatan usaha bank syariah yang tidak mengandung
unsur:
a. Riba, yaitu praktik penambahan pendapatan dengan cari tidak halal (batil) seperti
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan
waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam dengan
persyaratan nasabah wajib mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok
pinjaman dengan alasan berjalannya waktu (nasi‟ah).
b. Maisir, yaitu transaksi yang bersifat untung-untungan karena digantungkan pada
sesuatu kondisi yang tidak pasti.
c. Gharar, yaitu bentuk transaksi yang tidak diketahui atau tidak jelas objeknya,
tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya dan hal-hal lainnya yang
mengandung ketidakjelasan;
d. Zalim, yaitu praktik transaksi yang tidak adil bagi salah satu pihak. Dengan kata
lain, transaksi yang zalim adalah transaksi yang menguntungkan salah satu pihak
dengan merugikan pihak lain;
e. Haram, yaitu transaksi yang dilarang (diharamkan) secara syariah baik
menyangkut objeknya, maupun pihak-pihak yang melakukan transaksi.

Prinsip syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi.
Dengan penerapan prinsip syariah oleh bank syariah, maka akan menimbulkan
dampak positif dalam sistem perekonomian nasional berupa terciptanya iklim
investasi yang adil, sehat melalui sistem bagi hasil dan mengurangi risiko kerugian
yang hanya akan diderita oleh salah satu pihak saja oleh karena hakikatnya prinsip
syariah selain berbagi keuntungan (laba) juga berbagi risiko untuk ditanggung
bersama. Bila prinsip syariah ini diterapkan secara konsekuen, maka akan terjadi
keadilan dan pemerataan antara bank dan nasabah.
3. Prinsip Kehati-hatian Bank
Bank Syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya tak jarang menghadapi berbagai
bentuk risiko usaha. Guna mengurangi risiko-risiko perbankan, maka bank syariah
wajib untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian bank adalah

12
pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang
sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dasar
hukum penerapan prinsip kehati-hatian bank dalam lingkungan perbankan syariah
diatur dalam Pasal 35 – 37 UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Bagi bank syariah, prinsip kehati-hatian ini berguna untuk:
1) Menghindarkan bank dari risiko-risiko yang
2) mengakibatkan kerugian;
3) Melindungi data nasabah;
4) Melindungi dana nasabah yang tersimpan di bank syariah;
5) Melindungi nasabah dari praktik-praktik penipuan.
Penerapan prinsip kehati-hatian bank oleh bank syariah dalam menjalankan kegiatan
usahanya dilakukan dengan cara:
1) Menyampaikan laporan keuangan kepada OJK berupa:
a. Neraca tahunan;
b. Laporan laba rugi.
Laporan keuangan tersebut disertai dengan penjelasan yang disusun
berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum;
2) Laporan berkala lainnya dalam bentuk yang diatur dalam peraturan OJK;
3) Mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu yang
ditentukan oleh OJK;
4) Menyalurkan pembiayaan dan kegiatan usaha lainnya yang tidak merugikan
bank syariah dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya;
5) Mematuhi ketentuan tentang batas maksimum penyaluran dana berdasarkan
prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga
berbasis syariah yang dapat dilakukan oleh bank syariah kepada nasabah atau
kelompok nasabah yang menerima fasilitas terkait. Batas maksimum
penyaluran dana tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal
Bank Syariah.

4. Prinsip Mengenal Nasabah

13
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank syariah sebagai
pedoman untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah dan memantau kegiatan
transaksinasabah termasuk melaporkan transaksi mencurigakan yang terjadi di bank
syariah kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Penerapan prinsip mengenai nasabah ini sesuai dengan rekomendasi dari Basel
Committee on Banking Supervision bahwa prinsip mengenal nasabah adalah faktor
penting dalam melindungi kesehatan bank.
Prinsip mengenal nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001.
Dalam menerapkan prinsip ini, bank syariah wajib unutuk membuat dan menetapkan
kebijakan penerimaan nasabah, kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi calon
nasabah, kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi ketika
calon nasabah telah diterima menjadi nasabah bank syariah, kebijakan dan prosedur
manajemen risiko yang berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah. Bank syariah
wajib membentuk unit kerja khusus dan pejabat bank yang bertanggung jawab atas
penerapan prinsip mengenal nasabah.
Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah bank syariah wajib untuk
meminta informasi tentang identitas calon nasabah, maksud dan tujuan hubungan
usaha yang akan dilakukan oleh calon nasabah dengan bank syariah dan informasi-
informasi lainnya yang memungkinkan bagi bank syariah dapat mengetahui profil
calon nasabah termasuk identitas dari pihak lain dalam hal calon nasabah bertindak
untuk dan atas nama orang lain yang diwakilinya. Bila calon nasabah tidak memenuhi
syarat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka bank syariah dilarang
melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah tersebut.
Pelanggaran atas ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah, akan
dikenai sanksi administrasi sebagaimana yang diatur dalam UURI No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UURI No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Bentuk sanksi
administrasi yang dijatuhkan antara lain berupa kewajiban membayar sebesar Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah) atas keterlambatan pelaporan tentang penerapan prinsip mengenal
nasabah oleh bank. Semakin berkembang pesatnya kegiatan usaha perbankan syariah

14
dengan berbagai bentuk inovasi produk dan layanan jasa perbankan membawa
potensi risiko usaha bagi bank syariah seperti risiko operasional (operational risk),
risiko hukum (legal risk), risiko transaksi (transaction risk) dan risiko reputasi
(reputation risk). Oleh karenanya guna meminimalisir potensi risiko usaha
perbankan, penerapan prinsip mengenal nasabah ini wajib dilaksanakan oleh bank
syariah secara konsisten.

5. Prinsip Kepercayaan
Prinsip kepercayaan adalah suatu prinsip yang melandasi terjalinnya hubungan
hukum antara bank syariah dan para nasabahnya. Di satu sisi bank syariah
mendapatkan kepercayaan (trust) dari nasabahnya yang menyimpan dananya di bank
syariah, di sisi lain bank syariah wajib untuk menjaga dana nasabah dan
mengelolanya sesuai prinsip syariah dan prinsip-prinsip tata kelola bank lainnya.
Demikian pula bagi nasabah peminjam (debitur) di bank syariah. Di satu sisi bank
syariah memercayai nasabah sebagai debitur atas dana yang diberikan dalam bentuk
pembiayaan, namun di sisi lain nasabah juga wajib menjaga kepercayaan dari bank
syariah dan mengelola pembiayaan dengan sebaik mungkin dan tidak melupakan
kewajibannya sebagai debitur yaitu membayar angsuran sesuai waktu yang
disepakati.
Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi sesuai
prinsip syariah, wajib untuk menjalankan prinsip kepercayaan melalui penerapan tata
kelola bank syariah yang baik yang meliputi transparansi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran. Guna memberikan keyakinan pada
masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, maka Undangundang
perbankan syariah mengatur jenis usaha syariah berupa penghimpunan dan
penyaluran dana disertai larangan untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan yang
mengandung unsure riba, gharar, maisir dan zhalim. Terjalinnya hubungan usaha
antara bank syariah dan nasabah yang dilandasi dengan saling mempercayai akan
menciptakan iklim usaha yang baik dan sesuai prinsip syariah.

6. Prinsip Kerahasiaan

15
Hubungan kerja antara bank syariah dan nasabah selain dilandasi dengan prinsip
kepercayaan, juga perlu terjaga berbagai informasi dan data nasabah yang
kerahasiaannya perlu dilindungi oleh bank. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 –Pasal 47 A UURI No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Pasal
41- Pasal 49 UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bank syariah dan
pihak terafiliasi wajib untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya.
Meskipun kerahasiaan atas nasabah dan simpanannya dijamin oleh bank syariah
sesuai amanat undang-undang, namun tidak berarti bahwa rahasia bank dapat
dijadikan alat untuk melindungi pelaku kejahatan. Kerahasiaan data nasabah bank
syariah perlu dijaga dan dilindungi agar bank syariah menjadi bank yang dapat
dipercaya oleh masyarakat khususnya bagi nasabah penyimpan dan nasabah investor.
Meskipun demikian Bank syariah dapat mengecualikan kerahasiaan bank atas data
nasabah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Aspek Filosofis Undang-undang Perbankan Syariah


Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS),
keberadaannya sesungguhnya merupakan tuntutan untuk memenuhi ketentuan Pasal 49
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, khususnya perubahan
lembaga peradilan agama menyangkut (kompetensi) yang harus diemban oleh peradilan
agama dalam memenuhi amanat Undang-undang. Apabila dirunut dari aspek historis
eksistensi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman penjajah sampai kemerdekaan, hingga
sekarang reformasi tidak dipersoalkan hanya saja yang menjadi persoalan mengapa
kewenangan pengadilan agama yang telah mempunyai status sama kedudukannya dengan
peradilan yang lain, namun kompetensi mengadili perkara bagi orang Islam belum semua
dapat dilaksanakan oleh Peradilan Agama, artinya masih terjadi tarik menarik dengan
peradilan yang lain, padahal masing-masing telah mempunyai kompetensi sendiri-sendiri.
Peradilan Agama dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 mempunyai kewenangan
untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam (orang yang beragama Islam) meliputi

16
hukum keluarga (Nikah, Waris, Zakat) dan ekonomi syariah mencakup bank syariah,
lembaga keuangan mikro syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, asuransi syariah,
reasuransi syariah, surat berjangka menengah syariah, Securitas syariah, Pegadaian
syariah, DPLK syariah, dan bisnis syariah. Kewenangan absolut dari Peradilan Agama
yang ada sekarang apabila dilihat aspek filosofis menunjukan bahwa perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat (muslim khususnya) terhadap kesadaran menjalankan
syariat Islam sebagai konsekuensi dari keyakinannya semakin tinggi. Ini berarti bahwa
pluralisme hukum harus diterima sebagai realitas (Real of Entity) yang majemuk (legal
fluraly) dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Cotterral: 1995
”We should think of law as a phenomenon pluralistically, as a regulation of many krud
existing in a veriety of relationships, same of the quit tenuous, with the primary legal
institutions of the centralized state”.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain
terwujud dalam bentuk peraturan perundangundangan (order of law) dan hukum
kebiasaan (costumary law) secara antropologis membentuk mekanisme-mekanisme
pengaturan sendiri (inner order machanism atau self regulation) dalam komunitas-
komunitas masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai
sarana menjaga keteraturan dan ketertiban sosisal. Hukum adalah institusi yang dinamis
dan mengalir, hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, antara hukum
dan manusia direalisasikan dalam masyarakat yang menjadi tempat berinteraksi. Ketiga
ordinat (hukum, manusia dan masyarakat) yang menyebabkan hukum menjadi institusi
yang dinamis. Perubahan/pergeseran hukum secara pelan-pelan terjadi dari “ the law
ways” menuju “the sociological ways” kemudian kepada “the sociological movement in
law (hunt), atau “the sociological era”.
Eksistensi Undang-undang Peradilan Agama UU Nomor 3 Tahun 2006, Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI dan sekarang RUU Perbankan Syariah,
tidak dapat dilepaskan dari historis (sejarah), artinya lahirnya institusi di atas bukan
institusi yang “a historis” melainkan “historisch bepaald”. Artinya munculnya dinamika
hukum itu tidak dapt melepaskan/menyembunyikan dinamika sosial dibelakangnya.
Hukum tumbuh, berkembang dan ambruk disebabkan oleh dinamika dalam masyarakat

17
Polarisasi kewenangan Peradilan Agama mengadili perkara sengketa perbankan
syariah/perbankan Islam, yang dalam Undang-Undang Perbankan Syariah pada Pasal 52
jika dilihat dari aspek filosofis yuridis pada dasarnya menjawab kebutuhan rasa keadilan
Umat Islam sebagai konsekuensi fluralisme hukum yang hidup dan tumbuh. Karenanya
penyerahan Penyelesaian Perkara bisnis Syariah ke Peradilan Umum/ Pengadilan Negeri
dirasa kurang memenuhi rasa keadilan (kontradiktoris value) dan bertentangan dengan
prinsip historycal bepaald yang telah terjadi selama ini, karena itu penyelesaian sengketa
perkara perbankan Islam harus diserahkan kepada Pengadilan Agama.

E. Aspek Yuridis Perbankan Syariah


Peradilan Agama, secara yuridis normative merupakan amanat konstitusi Undang-undang
NKRI 1945 Pasal 24, Pasal 25, yang konkritisasi formalitasnya Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 dan dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang perbankan syariah, jika diteropong dari aspek
yuridis merupakan hukum yang baik, karena hukum yang baik adalah hukum yang
mempunyai kekuatan yuridis yang memberikan kepastian hukum. Dalam rangka
mewujudkan kepastian hukum unsur penegakan hukum dari Friedman (substansi,struktur
dan kultur) penekanan unsur manusia merupakan pelaku utama dalam segala kegiatan
untuk mewujudkan keadilan.
Pendekatan hukum yang bersifat empirikpossitivistik tidak cukup untuk mewujudkan
keadilan, tetapi proses interaksi antara manusia dengan lingkungan yang dilandasi dengan
budaya akan lebih menjadi bermakna. Dalam hal ini maka pemahaman hukum melalui
pengalaman internal para subyek pelaku dan hukum merupakan makna mereka.
Berdasarkan pemahaman (verstehen) dan interpretasi, kita dapat menangkap makna,
nilai-nilai dibalik perilaku mereka. Karenanya kajian yang digunakan bukan lagi semata-
mata yuridis dogmatik melainkan pendekatan sosio legal-antro yang diorientasi pada
fungsionalisasi hukum.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dilihat dari pendekatan yuridis formalistik
dengan payung hukum (UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 4 Tahun 2004) tentu pemahaman
hukum dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang berubah, lalu lintas
kebutuhan yang semakin beragam dan kompleks merupakanrealitas tuntutan kebutuhan

18
hukum dan hukum bukan sekedar untuk menjadi bahan pengkajian secara logis rasional
melainkan hukum dibuat untuk dijalankan. Perwujudan tujuan, nilai-nilai ataupun ide-ide
yang terkandung dalam peraturan hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri
sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat.
Rancang bangun berfikir menyamaratakan penyelesaian sengketa perbankan syariah
dengan non syariah dapat mengakibatkan hukum menjadi disorder of law, karena
kompetensi absolut ekonomi syariah berada di Peradilan Agama beserta perangkat
hukumnya, yang syarat dengan nilai, azas dan ide serta tujuan yang sudah jelas. Jika
kemudian penerapannya tidak pas, artinya tidak berasal atau ditumbuhkan dari
kandungan masyarakat akan merupakan masalah, karena terjadi ketidakcocokan, antara
nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum yang bersangkutan dengan nilai-nilai
yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri. Untuk itu penyelesaian sengketa
perbankan syariah oleh Pengadilan Umum bertentangan dengan pemahaman hukum
“yuridis sosiologis antropologis”. Dengan demikian sangat relevan kalau penyelesaian
sengketa ekonomi syariah adalah di Pengadilan Agama.
Persoalan keadilan merupakan masalah yang tidak pernah akan selesai secara tuntas
dibicarakan orang, bahkan akan makin mencuat seiring dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Keadilan bukan sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui
penalaran atau logika saja melainkan melibatkan perilaku seseorang secara utuh. Hukum
memiliki dimensi nilainilai etika moral yang terwujud dalam azasazas hukum dan
tertuang dalam norma-norma serta terumuskan dalam aturan-aturan. Oleh sebab itu,
seorang hakim dalam menjalankan tugasnya mencari kebenaran untuk menentukan
kesalahan seseorang tidak cukup hanya memakai landasan yuridis semata tetapi juga
landasan filosofis dan sosiologis.
Aturan normatif materiil dalam rangka untuk menyelesaikan perkara dibidang ekonomi
syariah belum ada. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan terjadinya disparitas
putusan dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Belum
adanya aturan hukum materiil dapat mengakibatkan kurangnya kepastian hukum sebagai
akibat dari perbedaan pegangan bagi hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi
syariah. Oleh karena itu, peran dan fungsi hakim diharapkan memiliki kemampuan
menterjemahkan nilainilai keadilan dalam persoalan yang dihadapkan kepadanya melalui

19
keputusan-keputusannya. Hakim dalam mencari dan menegakkan kebenaran atas dasar
landasan yuridis, hendaknya memiliki landasan kebenaran dan keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, mengetahui dan memahami aspirasi serta nilainilai yang
hidup dalam masyarakat. Apa yang diungkapkan di atas mendasari lahirnya Undang-
undang Perbankan Syariah, artinya nilai-nilai hidup dalam masyarakat muslim tereduksi
dalam Undang-undang Perbankan Syariah yang sudah diundangkan.

F. Implementasi Sosiologis Perbankan Syariah


Berdasarkan aspek politik hukum lahirnya Undang-undang Perbankan Syariah Nomor 21
Tahun 2008, masih menyisakan pekerjaan rumah di antaranya tahap yuridis, tahap
kelembagaan dan tahap mekanik. Tahap yuridis, memfokuskan pada bagaimana hukum
yang tertulis (legal formal) dapat berjalan, ditegakan di tengah-tengah masyarakat untuk
mencapai keadilan. Tentu aspek penegak hukum yang oleh Friedman dipengaruhi oleh
sub sistem substansi, struktur dan kultur yang akan menjawab efektif tidaknya suatu
perundang-undangan. Oleh karena itu dalam tahap ini ada kaitan erat dengan asas-asas
hukum yang lazim kita kenal dengan istilah nilai dasar hukum yaitu: kemanfaatan,
keadilan dan kepastian hukum (Gustave Radbruch).
Tahap kelembagaan, mempertanyakan sejauh mana kesiapan lembaga Peradilan Agama
dalam menjalankan ketentuan Undangundang Perbankan Syariah, sebagai aparat penegak
hukum yang memperoleh kepercayaan masyarakat, tentu dalam hal ini harus ada
dukungan dari political will untuk mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008, melalui pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan komunikasi hukum,
pemahaman hukum dan kebijakan pemerintah.
Tahap mekanik, mengupayakan langkahlangkah bagaimana implementasi hukum UU No.
21 Tahun 2008 dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, perlu diupayakan
penyempurnaan perangkat hukum materiil maupun hukum formil, sehingga upaya
penegak hukum tidak berhenti sampai pada pengundangan UU No. 21 Tahun 2008 saja,
namun belum mampu memberikan andil dalam penyelesaian kasus-kasus ekonomi
syariah, yang disebabkan oleh belum berjalannya sistem Pengadilan Agama khusus
mengenai ekonomi syariah.

20
Hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia
harus menjalani sebuah proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan
kualitas yang berbeda-beda. Hukum harus diturunkan dari dimensi abstrak ke dimensi
konkrit, dalam hal ini UU No. 21 Tahun 2008 agar keberadaannya dapat dirasakan oleh
masyarakat (the orientation of political law). Pada tataran proses membutuhkan orientasi
hukum (orientation of the law) yang mengarah pada aspek manusianya sebagai subyek
hukum (pembudayaan personal/personal attitudes) yang akan menentukan berjalan atau
tidaknya ketentuan formal No. 21 Tahun 2008 tersebut. Sehingga diperlukan langkah
yang mencakup “mekanik action plan”, berupa juklak dan juknis serta Human action
planning model berupa daya keahlian dari aparat penegak hukum untuk mengembangkan
hukum menuju hukum yang responsif dan progresif.
Di samping itu juga, penting dan mendesak untuk dibangun konstruksi hukum
(construction of the law) yang menjadi perangkat hukum yang menjadi norma hukum
material yang dijadikan rujukan hakim dalam memutuskan suatu perkara (tentu dalam
bentuk UU atau peraturan pemerintah), maupun hukum formal yang merupakan hukum
acara, menjadi alat bagi hakim dalam mene-gakkan hukum material.

21
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dasar hukum perbankan syariah secara khusus secara hierarkhi antara lain:
1. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; dan
2. Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (P-
OJK) sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang.
Sejak tahun 2000, DSN-MUI telah menetapkan sebanyak 107 (seratus tujuh) fatwa
yang diperuntukkan bagi pihak atau lembaga yang membutuhkannya seperti
perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah dan lembaga keuangan non
bank lainnya serta pihak-pihak lain yang membutuhkan fatwa DSN-MUI. Dalam
bidang perbankan, DSN-MUI telah menetapkan sekitar 67 (enam puluh tujuh) fatwa
yang menjadi pedoman dalam kegiatan usaha bank syariah.
Prinsip-prinsip hukum perbankan syariah
1. Asas demokrasi ekonomi
2. Prinsip syariah
3. Prinsip kehati-hatian bank
4. Prinsip mengenal nasabah
5. Prinsip kepercayaan
6. Prinsip kerahasiaan
Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 secara filosofi yuridis telah
memenuhi tuntutan rasa keadilan dan kepastian hukum pencari keadilan, terutama
menyangkut transaksi bisnis ekonomi syariah. Pada tataran politik hukum eksistensi
UU No. 21 tahun 2008 masih menyisakan pekerjaan rumah diantaranya tahap
yuridis, tahap kelembagaan dan tahap mekanik.
B. Saran
Upaya untuk mewujudkan perundang-undangan perbankan syariah sebagai pranata
hukum, maka perlu dukungan kelembagaan (struktur hukum) dan budaya hukum
masyarakat (culture hukum), sehingga penerimaan norma perbankan syariah secara
filosofis, yuridis dan sosiologis dapat dilakukan, selain itu juga perlu sosialisasi

22
perundang-undangan perbankan syariah agar lebih aplikatif dalam penerapannya di
masyarakat.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mansyur, Aspek Hukum Perbankan Syariah dan Implementasinya di Indonesia, dalam
jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, Edisi Khusus, 2011
Muammar Arafat Yusmad, Aspek Hukum Perbankan Syariah dari Teori ke Praktik,
(Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2018)
Mervyn K. Lewis, Latifa M. Algaoud, Islamic Banking, (USA: Chaltenham, Northenham,
Zool), Sebagaimana dikutip dalam Disertasi Hirsanuddin, Kemitraan dalam Bisnis: Perspektif
Hukum Islam,Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, 2005
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, jilid I dan II (Jakarta:
Gaung Persada Press), 2010

Anda mungkin juga menyukai