PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak
orang, korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum,
melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian
perbandingan pemberantasan korupsi antar negara, Indonesia selalu
menempati posisi paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong
pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, hingga kini pemberantasan
korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang. Hal ini dikarenakan
banyak kasus korupsi di Indonesia yang belum tuntas diungkap oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, LSM dan alat
perangkat negara lainnya.
Pemerintah mengharapkan masalah korupsi di Indonesia segera
terselesaikan. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan beberapa hal
seperti pembenahan dari aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki
banyak rambu-rambu berupa peraturan-peraturan, antara lain Tap MPR XI
tahun 1980, UU No.31 tahun 1999, UU No.20 tahun 2000 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 tahun 2002, sepuluh
UU anti korupsi lainnya, dua Perpu, lima Inpres, dan tiga Kepres. Namun,
upaya ini masih belum berhasil sepenuhnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian korupsi?
2. Apa saja penyebab korupsi di Indonesia?
3. Bagaimana kondisi korupsi dan politik uang di Indonesia?
4. Institusi apa saja yang berwenang memberantas korupsi?
1
C. Tujuan
1. Memahami pengertian korupsi;
2. Mengetahui penyebab korupsi di Indonesia;
3. Memahami sistem politik uang dan korupsi di Indonesia;
4. Mengetahui institusi yang berwenang memberantas korupsi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Disebutkan adanya niet ambtelijk corruptie (korupsi bukan oleh
pejabat), karena di negeri Belanda telah ada undang-undang yang
mengancam pidana terhadap penyuapan yang diterima bukan oleh
pegawai. Negeri. Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam
pembendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulakan oleh
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “ Korupsi ialah
pembuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya”.1
1
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1984) H.7-8
2
Ermansjah Djaja, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), H.18
4
sungguh-sungguh dan bersifat luar biasa. Berdasarkan pasal 2 dan 3
undang-undang nomor 31 tahun 1999, menjelaskan bahwa pengertian
korupsi adalah:
1. Ketidakjujuran
2. Penipuan
3. Pelanggaran kepercayaan
4. Pencurian
5. Maksud berbuat salah
6. Rencana untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dengan
merugikan pihak lain.3
3
Arifin Rada, Kecurangan Dalam Birokrasi Pemerintahan Pemicu Terjadinya Tindak
Pidana Korupsi, (Malang: Bayumedia,2009), H. 21-22
5
B. Penyebab Korupsi di Indonesia
6
baik dalam bentuk menjadi komesaris maupun sebagai salah
seorang share holder dari perusahaan tersebut.
4. Law Enforcement tidak berjalan
Disebabkan para pejabat serakah dan PNS nya KKN karena gaji
yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakkan hukum tidak
berjalan hampir seluruh linik kehidupan, baik di instansi
pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan karena segala
sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan pelesetan kata-
kata sepert KUHP (kasih uang habis perkara), Tin (Ten Persen),
Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha Kuasa), dan
sebagainya.
5. Hukuman yang rinagn terhadap koruptor
Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegak
hukum bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim dan pengacara,
maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat
ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor.
Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat sehingga
pejabat dan pengusaha melakukan proses KKN.
6. Pengawasan yang tidak efektif
Dalam sistem menejemen yang modern selalu ada instrument yang
disebut internal control yang bersifat in build dalam setiap unit
kerja, sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak
dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control
disetiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait
berKKN. Konon, untuk mengatasinya dibentuk Irjen dan Bawasda
yang bertugas melakukan internal audit. Malangnya, sistem besar
yang disebut di butir 1 di atas tidak mengalami perubahan,
sehingga Irjem dan Bawasda pun turut bergotong royong dalam
menyuburkan KKN.
7. Tidak ada keteladanan pemimpin
7
Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia
sedikit lebih baik dari Thailand. Namun, pemimpin di Thailand
member contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan
satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan
material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu
relative singkat, Thailand telah mengalami recovery ekonominya.
Di Indonesia, tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan,
maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery
bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin
mendekati jurang kehancuran.
8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN
Dalam Negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung
paternalistic. Dengan demikian mereka turut melakukan KKN
dalam urusan sehari-hari mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP,
pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja dan
lain-lain. Karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit
politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat
diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah.4
4
Ermansjah Djaja, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), H.
45-47
8
4. Penyebab korupsi adalah modernisasi.
9
Menyikapi fenomena politik uang tersebut harus ada gerakan
perubahan atau restorasi yang bersifat holistic dan berkesinambungan
dalam hal membangun karakter manusia. Karena sesungguhnya korupsi
manusia Indonesia bukan hanya soal sistem birokrasi yang rapuh, tapi
menyangkut mental dan paradigm, dan salah satunya adalah politik uang.
Yang mana politik uang sudah menjelma menjadi mindset yang
mengintegral dalam segala bentuk interaksi social manusia Indonesia.
Korupsi di Indonesia sudah “membudaya” sejak dahulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membrantas
korupsi, namun hasilnya masih belum memuaskan dan kelihatan korupsi
semakin merajalela. Bahkan dewasa ini, korupsi semakin menjadi
kejahatan yang paling mengancam dan merusak. Keberadaannya sudah
sangat mengkhawatirkan karena sudah menyebar ke berbagai lapisan
masyarakat. Patologi social mengancam sendi-sendi penyelenggaraan
Negara yang bersih.
Maraknya korupsi saat ini, semakin membenamkan bangsa Indonesia.
Korupsi sudah menjelma menjadi penyakit social yang bukan tidak
mungkin bisa meng-collaps-kan negeri ini dalam kebangkrutan. Betapa
tidak, korupsi berjalan dengan begitu massif di semua lini instansi
pemerintahan, bahkan di isntansi penegak hukum. Yang lebih
mengkhawatirkan lagi adalah bahwa kejahatan korupsi sudah berlangsung
dengan sangat sistematik dan masyarakat sudah mulai menganggap
fenomena korupsi sebagai hal yang biasa. Sehingga para pelakunya juga
kehilangan rasa malu dalam melakukannya ataupun berbangga diri dengan
harta hasil korupsinya.
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya/tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif
kekuasaan, kekayaan, dan wanita. Lihatlah bagaiman kehancuran
kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korupsi dari sebagian besar para bangsawannya lebih suka
10
memperkaya pribadi dan keluarga. Dalam aspek ekonomi, raja dan
lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya hidup dalam kemiskinan dan penindasan
serta harus menuruti apa kata, kemauan, atau kehendak “penguasa”.
Demikian juga ketika Indonesia memasuki era kemerdekaan, tercatat
sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantas Korupso dengan nama Paran
(Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Paran akhirnya
bubar karena tugasnya tidak maksimal karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik presiden. Di tambah pada waktu banyak pergolakan di
daerah-daerah sehingga tugas Paran akhirnya di serahkan kembali kepada
pemerintah (Kabinet Juanda). Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan dalam kurun waktu tiga bulan sejak operasi Budhi dijalankan,
keuangan Negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp. 11 miliar,
jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggaap
mengganggu prestise presiden, akhirnya operasi Budhi dihentikan
kemudian berganti menjadi Kontrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat
Revolusi) di mana presiden Soekarno menjadi ketuanya. Namun pada
akhirnya Kontrar pun tidak berjalan sesuai harapan dan pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dikuasai Jaksa
Agung. Namun demikian, perusahaan-perusahaan Negara, seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak di sorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Derasnya protes dari masyarakat dan
mahasiswa, Soeharto kemudian membentuk Komite Empat yang
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa,
seperti Prof. Johannes, IJ Kasimo, Mr. Wilopo, dan A Tjokroaminoto.
Tugas mereka yang utama adalah membersihkan, antara lain Departemen
Agama, Bulog, CV Warigin, PT Mantrust, Telkom dan Pertamina. Namun
komite ini juga tidak berdaya guna, karena hasil temuannya tentang
dugaan korupsi di Pertamina tak direspons pemerintah. Lahirlah kemudian
11
Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas
korupsi. Namun operasi ini juga tak berhasil memberantas korupsi dan
pada akhirnya hilang di tengah jalan.
Memasuki masa orde Reformasi, Presiden BJ. Habibie membentuk
Komisi Pemberantasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) dan Presiden
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK). KPKPN kemudian dilebur ke dalam lembaga
baru KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedang TGPTPK bubar
karena hasil judicial review oleh Mahkamah Agung.
Kini setelah hampir 13 tahun KPK berdiri, korupsi bukannya malah
hilang tetapi semakin mengganas dan semakin merajalela dan hampir
terjadi dalam setiap level pejabat Negara serta semakin luas ke dalam
setiap instansi dan departemen ataupun lembaga-lembaga Negara.
Demikian juga dengan pelaksanaan demokrasi langsung sebagai bagian
dari kehidupan politik di Indonesia saat ini, banyak diwarnai oleh money
politics yan massif dan akut. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk
memberantas dan mencegah korupsi dan politik uang ternyata bukanlah
pekerjaan mudah. Membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dan
berkesinambungan oleh seluruh komponen bangsa yang memiliki
keinginan dan kemauan yang sama untuk melihat bangsa ini terbebas dari
korupsi dan politik uang.5
5
Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi,(Jakarta: Kencana, 2016), H. 113-116
12
Pasal 2 angka 6 huruf a yaitu:
“Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
adalah membentuk undang-undang beserta peraturan
pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas
pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang
muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”.
2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 43 ayat (1) “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 segera
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tenang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2; “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 20022
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”.
13
melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana
termasuk perkara pidana khusus korupsi.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan
dalam instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 10
diinstruksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang
Negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka penegak hukum.
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia,
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, dan Institusi
Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindakan pidana
korupsi.
3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia
Lingkup tupoksi atau tugas dan fungsi Kejaksaan Agung Republik
Indonesia diataur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidanan korupsi bagi
Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan
dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 9
diinstruksikan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, sebagai
berikut:
14
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan
menyelamatkan uang Negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam
rangka penegakan hukum
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara
yang terkait dengan upaya penegakkan hukum dan pengembalian
kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi.6
BAB III
PENUTUP
6
Ermansjah Djaja, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), H.
90-92
15
A. Kesimpulan
Korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. Penyebab korupsi di Indonesia:
1. Sistem penyelenggaraan negaya yang keliru
2. Kompensasi PNS yang rendah
3. Pejabat yang serakah
4. Law Enforcement tidak berjalan
5. Hukuman yang ringan terhadap koruptor
6. Pengawasan yang tidak efektif
7. Tidak ada keteladanan pemimpin
8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN
16