Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak
orang, korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum,
melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian
perbandingan pemberantasan korupsi antar negara, Indonesia selalu
menempati posisi paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong
pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, hingga kini pemberantasan
korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang. Hal ini dikarenakan
banyak kasus korupsi di Indonesia yang belum tuntas diungkap oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, LSM dan alat
perangkat negara lainnya.
Pemerintah mengharapkan masalah korupsi di Indonesia segera
terselesaikan. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan beberapa hal
seperti pembenahan dari aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki
banyak rambu-rambu berupa peraturan-peraturan, antara lain Tap MPR XI
tahun 1980, UU No.31 tahun 1999, UU No.20 tahun 2000 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 tahun 2002, sepuluh
UU anti korupsi lainnya, dua Perpu, lima Inpres, dan tiga Kepres. Namun,
upaya ini masih belum berhasil sepenuhnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian korupsi?
2. Apa saja penyebab korupsi di Indonesia?
3. Bagaimana kondisi korupsi dan politik uang di Indonesia?
4. Institusi apa saja yang berwenang memberantas korupsi?

1
C. Tujuan
1. Memahami pengertian korupsi;
2. Mengetahui penyebab korupsi di Indonesia;
3. Memahami sistem politik uang dan korupsi di Indonesia;
4. Mengetahui institusi yang berwenang memberantas korupsi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal Kata Serta Pengertian Harfiah Dari Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus.


Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal
corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun
banyak bahasa Eropa seperti Inggris: Corruption, corrupt; Prancis:
corruption; dan Belanda corruptie (korruptie). Dapat kita memberanikan
diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia:
“korupsi”.

Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,


ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca
dalam The Lexicon Webster Dictionary:

“corruption (L. corruption) The act of corrupting, or the state of being


corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter, moral perversion;
depravity, perversion of intergrity; corrupt or dishonest proceedings,
bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language;
a debased form of a word”

Meskipun kata corruption itu luas sekali artinya, namun sering


corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan seperti disebut di
dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins:

“Corruptio = omkoping, noemt men het verschijnsel dat ambtenaren


of andere porsonen in dienst den openbare zaak (zie echter hieronder voor
zogenaamdniet ambtelijk corruptie) zicht laten omkopen”.

3
Disebutkan adanya niet ambtelijk corruptie (korupsi bukan oleh
pejabat), karena di negeri Belanda telah ada undang-undang yang
mengancam pidana terhadap penyuapan yang diterima bukan oleh
pegawai. Negeri. Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam
pembendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulakan oleh
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “ Korupsi ialah
pembuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya”.1

Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,


bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana
dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyatno, korupsi didefinisikan 4
jenis:

1. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena


adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun
nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat
diterima oleh para anggota organisasi.
2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu.
3. Mercenery corruption, ialah jenis tindakan pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun
discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.2

Meningkatnya tindak pidana korupsi baik dari segi kualitas maupun


kuantitas yang begitu rapi, telah menyebabkan terpuruknya perekonomian
Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya penegakkan hukum secara

1
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1984) H.7-8
2
Ermansjah Djaja, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), H.18

4
sungguh-sungguh dan bersifat luar biasa. Berdasarkan pasal 2 dan 3
undang-undang nomor 31 tahun 1999, menjelaskan bahwa pengertian
korupsi adalah:

a. Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum dengan


melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara… (pasal 2 ayat 1).
b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara… (pasal 3).

Dalam ilmu akutansi, korupsi merupakan bagian dari kecuranga


(fraud), namun secara operasional istilah korupsi lebih terkenal
dibandingkan kecurangan. Kecurangan adalah segala cara yang dapat
dilakukan orang untuk berbohong, menjiplak, mencuri, memeras,
memanipulasi, kolusi dan menipu orang lain dengan tujuan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang atau kelompok lain dengan cara
melawan hukum. Kecurangan dapat terjadi dalam berbagai bentuk
organisasi baik di sector pemerintah maupun swasta dan pelakunya berasal
dari pihak intern ekstren organisasi. Secara umum kecurangan berkaitan
dengan beberapa hal berikut ini:

1. Ketidakjujuran
2. Penipuan
3. Pelanggaran kepercayaan
4. Pencurian
5. Maksud berbuat salah
6. Rencana untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dengan
merugikan pihak lain.3

3
Arifin Rada, Kecurangan Dalam Birokrasi Pemerintahan Pemicu Terjadinya Tindak
Pidana Korupsi, (Malang: Bayumedia,2009), H. 21-22

5
B. Penyebab Korupsi di Indonesia

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua,


berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada 8 penyebab terjadinya
korupsi di Indonesia:

1. Sistem penyelenggaraan Negara yang keliru


Sebagai Negara yang baru merdeka atau Negara yang baru
berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang
pendidika. Tetapi, selama puluhan tahun, mulai dari orde lama,
orde baru, sampai orde revormasi ini, pembangunan difokuskan di
bidang ekonomi. Padahal setiap Negara yang baru merdeka,
terbatas dalam memiliki sdm, uang, menejemen dan teknologi.
Konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada
gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua, yaitu:
2. Konvensasi PNS yang rendah
Wajar Negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup
untuk membayar konvensasi yang tinggi kepada kepegawaian.
Tetapi disebabkan prioritas pembangunan dibidang ekonomi
sehingga secara fisik dan cultural melahirkan pola konsumerisme,
sehingga sekitar 90% PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi
waktu, melakukan kegiatan pungli maupun mark up kecil-kecilan
demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran
pribadi/keluarga.
3. Pejabat yang serakah
Pola hidup konsumerisme yang dilahairkan oleh sistem
pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi
kaya secara instan. Lahirlah sikap serakah dimana pejabat
menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, melakukan mark up
proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis denga pengusaha,

6
baik dalam bentuk menjadi komesaris maupun sebagai salah
seorang share holder dari perusahaan tersebut.
4. Law Enforcement tidak berjalan
Disebabkan para pejabat serakah dan PNS nya KKN karena gaji
yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakkan hukum tidak
berjalan hampir seluruh linik kehidupan, baik di instansi
pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan karena segala
sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan pelesetan kata-
kata sepert KUHP (kasih uang habis perkara), Tin (Ten Persen),
Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha Kuasa), dan
sebagainya.
5. Hukuman yang rinagn terhadap koruptor
Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegak
hukum bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim dan pengacara,
maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat
ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor.
Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat sehingga
pejabat dan pengusaha melakukan proses KKN.
6. Pengawasan yang tidak efektif
Dalam sistem menejemen yang modern selalu ada instrument yang
disebut internal control yang bersifat in build dalam setiap unit
kerja, sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak
dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control
disetiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait
berKKN. Konon, untuk mengatasinya dibentuk Irjen dan Bawasda
yang bertugas melakukan internal audit. Malangnya, sistem besar
yang disebut di butir 1 di atas tidak mengalami perubahan,
sehingga Irjem dan Bawasda pun turut bergotong royong dalam
menyuburkan KKN.
7. Tidak ada keteladanan pemimpin

7
Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia
sedikit lebih baik dari Thailand. Namun, pemimpin di Thailand
member contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan
satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan
material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu
relative singkat, Thailand telah mengalami recovery ekonominya.
Di Indonesia, tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan,
maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery
bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin
mendekati jurang kehancuran.
8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN
Dalam Negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung
paternalistic. Dengan demikian mereka turut melakukan KKN
dalam urusan sehari-hari mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP,
pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja dan
lain-lain. Karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit
politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat
diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah.4

Tentang kuasa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di


Indonesia, berbagai pendapat telah dilontarkan. Ditambah dengan
pengalaman-pengalaman sehingga dapat dibuat asumsi atau hipotesisa.

1. Kurangnya gaji atau pendapat Pegawai Negeri dibandingkan


dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.
2. Latar belakang kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber
atau sebab meluasnya korupsi.
3. Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan
efisien.

4
Ermansjah Djaja, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), H.
45-47

8
4. Penyebab korupsi adalah modernisasi.

C. Korupsi dan Politik Uang di Indonesia


Pada dasarnya, persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia ini tidak
terlepas dari politik uang. Politik uang (money politics) sudah mendarah
daging bagi sebagian besar manusia Indonesia. Sehingga uang menjadi
alat untuk berkuasa, mengubah putusan bahkan untuk memenangkan
persaingan. Lihatlah betapa mudahnya masyarakat di Indonesia
menyelesaikan persoalan hukumnya dengan menyuap aparat penegak
hukum. Betapa mudahnya untuk mengeluarkan uang untuk bisa diterima
menjadi pegawai instansi di pemerintahan. Bahkan untuk menjadi wakil-
wakil rakyat pun uang menjadi modal untuk merebutnya. Begitupun untuk
menjadi penguasa, baik bupati, gubernur, hingga presiden harus
mengeluarkan uang yang sangat besar. Korupsi Pemilu sendiri dalam
waktu-waktu tertentu sering ditukarnamakan dengan politik uang (money
politics), walaupun sebenarnya istilah politik uang memiliki dimensi yang
lebih luas karena praktik ini bisa terjadi di luar momen Pemilu. Dalam
terminology hukum, praktik politik uang disebut sebagai tindak pidana
suap.
Politik uang sebagai bagian dari korupsi, saat ini di Indonesia sudah
menjadi bagian dari korupsi yang lebih besar yakni korupsi politik
(political corruption). Embrio kejahatan korupsi yang menggerus martabat
bangsa ini adalah akibat dari mengguritanya politik uang. Proyek-proyek
infrastruktur yang dibiayai oleh uang rakyat banyak yang bermutu rendah,
pejabat Negara dan aparat penegak hukum yang mudah disuap sehingga
kebijakan dan putusannya hanya berpihak pada pihak tertentu, semuanya
adalah akibat mengguritanya politik uang. Sangat sulit untuk menemukan
penyelenggara Negara yang memiliki integritas, kredibilitas, dan
profesionalitas bila politik uang masih tetap hidup terintegrasi dalam
benak manusia Indonesia.

9
Menyikapi fenomena politik uang tersebut harus ada gerakan
perubahan atau restorasi yang bersifat holistic dan berkesinambungan
dalam hal membangun karakter manusia. Karena sesungguhnya korupsi
manusia Indonesia bukan hanya soal sistem birokrasi yang rapuh, tapi
menyangkut mental dan paradigm, dan salah satunya adalah politik uang.
Yang mana politik uang sudah menjelma menjadi mindset yang
mengintegral dalam segala bentuk interaksi social manusia Indonesia.
Korupsi di Indonesia sudah “membudaya” sejak dahulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membrantas
korupsi, namun hasilnya masih belum memuaskan dan kelihatan korupsi
semakin merajalela. Bahkan dewasa ini, korupsi semakin menjadi
kejahatan yang paling mengancam dan merusak. Keberadaannya sudah
sangat mengkhawatirkan karena sudah menyebar ke berbagai lapisan
masyarakat. Patologi social mengancam sendi-sendi penyelenggaraan
Negara yang bersih.
Maraknya korupsi saat ini, semakin membenamkan bangsa Indonesia.
Korupsi sudah menjelma menjadi penyakit social yang bukan tidak
mungkin bisa meng-collaps-kan negeri ini dalam kebangkrutan. Betapa
tidak, korupsi berjalan dengan begitu massif di semua lini instansi
pemerintahan, bahkan di isntansi penegak hukum. Yang lebih
mengkhawatirkan lagi adalah bahwa kejahatan korupsi sudah berlangsung
dengan sangat sistematik dan masyarakat sudah mulai menganggap
fenomena korupsi sebagai hal yang biasa. Sehingga para pelakunya juga
kehilangan rasa malu dalam melakukannya ataupun berbangga diri dengan
harta hasil korupsinya.
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya/tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif
kekuasaan, kekayaan, dan wanita. Lihatlah bagaiman kehancuran
kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korupsi dari sebagian besar para bangsawannya lebih suka

10
memperkaya pribadi dan keluarga. Dalam aspek ekonomi, raja dan
lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya hidup dalam kemiskinan dan penindasan
serta harus menuruti apa kata, kemauan, atau kehendak “penguasa”.
Demikian juga ketika Indonesia memasuki era kemerdekaan, tercatat
sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantas Korupso dengan nama Paran
(Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Paran akhirnya
bubar karena tugasnya tidak maksimal karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik presiden. Di tambah pada waktu banyak pergolakan di
daerah-daerah sehingga tugas Paran akhirnya di serahkan kembali kepada
pemerintah (Kabinet Juanda). Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan dalam kurun waktu tiga bulan sejak operasi Budhi dijalankan,
keuangan Negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp. 11 miliar,
jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggaap
mengganggu prestise presiden, akhirnya operasi Budhi dihentikan
kemudian berganti menjadi Kontrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat
Revolusi) di mana presiden Soekarno menjadi ketuanya. Namun pada
akhirnya Kontrar pun tidak berjalan sesuai harapan dan pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dikuasai Jaksa
Agung. Namun demikian, perusahaan-perusahaan Negara, seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak di sorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Derasnya protes dari masyarakat dan
mahasiswa, Soeharto kemudian membentuk Komite Empat yang
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa,
seperti Prof. Johannes, IJ Kasimo, Mr. Wilopo, dan A Tjokroaminoto.
Tugas mereka yang utama adalah membersihkan, antara lain Departemen
Agama, Bulog, CV Warigin, PT Mantrust, Telkom dan Pertamina. Namun
komite ini juga tidak berdaya guna, karena hasil temuannya tentang
dugaan korupsi di Pertamina tak direspons pemerintah. Lahirlah kemudian

11
Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas
korupsi. Namun operasi ini juga tak berhasil memberantas korupsi dan
pada akhirnya hilang di tengah jalan.
Memasuki masa orde Reformasi, Presiden BJ. Habibie membentuk
Komisi Pemberantasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) dan Presiden
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK). KPKPN kemudian dilebur ke dalam lembaga
baru KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedang TGPTPK bubar
karena hasil judicial review oleh Mahkamah Agung.
Kini setelah hampir 13 tahun KPK berdiri, korupsi bukannya malah
hilang tetapi semakin mengganas dan semakin merajalela dan hampir
terjadi dalam setiap level pejabat Negara serta semakin luas ke dalam
setiap instansi dan departemen ataupun lembaga-lembaga Negara.
Demikian juga dengan pelaksanaan demokrasi langsung sebagai bagian
dari kehidupan politik di Indonesia saat ini, banyak diwarnai oleh money
politics yan massif dan akut. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk
memberantas dan mencegah korupsi dan politik uang ternyata bukanlah
pekerjaan mudah. Membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dan
berkesinambungan oleh seluruh komponen bangsa yang memiliki
keinginan dan kemauan yang sama untuk melihat bangsa ini terbebas dari
korupsi dan politik uang.5

D. Institusi yang Berwenang Memberantas Korupsi


1. Komisi Pemberantasan Korupsi
Pembentukkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instasi yang
berwenang memberantas tindak pidana korupsi, diatur dalam beberapa
hukum positif, yaitu:
1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

5
Harun al-Rasyid, Fikih Korupsi,(Jakarta: Kencana, 2016), H. 113-116

12
Pasal 2 angka 6 huruf a yaitu:
“Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
adalah membentuk undang-undang beserta peraturan
pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas
pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang
muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”.
2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 43 ayat (1) “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 segera
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tenang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2; “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 20022
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”.

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan melakukan


koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan,
susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan
wewenang serta keanggotaannya diatur dengan undang-undang.

2. Kepolisian Negara Republik Indonesia


Tentang institusi Kepolisian Republik Indonesia diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai institusi penegak
hukum, berdasarakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana), memiliki kewenangan

13
melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana
termasuk perkara pidana khusus korupsi.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan
dalam instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 10
diinstruksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang
Negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka penegak hukum.
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia,
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, dan Institusi
Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindakan pidana
korupsi.
3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia
Lingkup tupoksi atau tugas dan fungsi Kejaksaan Agung Republik
Indonesia diataur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidanan korupsi bagi
Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan
dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 9
diinstruksikan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, sebagai
berikut:

14
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan
menyelamatkan uang Negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam
rangka penegakan hukum
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara
yang terkait dengan upaya penegakkan hukum dan pengembalian
kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi.6

BAB III

PENUTUP

6
Ermansjah Djaja, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), H.
90-92

15
A. Kesimpulan
Korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. Penyebab korupsi di Indonesia:
1. Sistem penyelenggaraan negaya yang keliru
2. Kompensasi PNS yang rendah
3. Pejabat yang serakah
4. Law Enforcement tidak berjalan
5. Hukuman yang ringan terhadap koruptor
6. Pengawasan yang tidak efektif
7. Tidak ada keteladanan pemimpin
8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN

Institusi yang berwenang memberantas korupsi yaitu:

1. Komisi Pemberantasan Korupsi


2. Kepolisian Negara Republik Indonesia
3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia

16

Anda mungkin juga menyukai