Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama ini tidak saja
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan
biasa, tetapi telah menjadi kejahatan luar biasa.1 Metode konvensional yang selama
ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di
masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa.
Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah adanya unsur kerugian
keuangan negara, unsur tersebut memberi konsekuensi bahwa pemberantasan Tipikor
tidak hanya bertujuan untuk membuat jera para Koruptor melalui penjatuhan pidana
penjara yang berat, melainkan juga memulihkan keuangan negara akibat korupsi
sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum UU Tipikor.3
Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi ‗makna‘ penghukuman
terhadap para koruptor. Pada dasarnya pengembalian aset adalah sistem penegakan
hukum yang dilakukan oleh negara korban Tipikor untuk mencabut, merampas,
menghilangkan hak atas aset hasil Tipikor dari pelaku Tipikor melalui rangkaian
proses dan mekanisme baik secara pidana.

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dari Makalah ini adalah :
1. Tindak Pidana Korupsi
2. Bentuk – bentuk Korupsi berdasarkan Study Kasus Lapangan
3. Konsep dan Upaya Membrantas Korupsi
4. Sistem dalam Upaya Membrantas Korupsi
5. Kerja Sama Internasional dalam pencegahan Korupsi

1
C. Tujuan
Tujuan dari makalah Ini adalah Untuk Mengetahui :
1. Tindak Pidana Korupsi
2. Bentuk – bentuk Korupsi berdasarkan Study Kasus Lapangan
3. Konsep dan Upaya Membrantas Korupsi
4. Sistem dalam Upaya Membrantas Korupsi
5. Kerja Sama Internasional dalam pencegahan Korupsi

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari Bahasa latin yaitu Corruptus dan Corruption, artinya buruk,
bejad, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah. Dalam Black
Law Dictionary di modul Tindak Pidana Korupsi KPK, Korupsi adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa
keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenarankebenaran lainnya
"sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana
dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk
dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan
kebenarankebenaran lainnya.
Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada sembilan tipe korupsi
yaitu:
1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan
pembentuk Undang-Undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap
anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan
mereka.
2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem
kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang
memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang
bersangkutan.
3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan
pemilihan umum.
4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan
fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang
kekuasaan Negara.
5. Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan
dalam menentukan kebijakan.

3
6. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa
hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat
penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.
7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan
illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.
8. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk
kepentingan pribadi.
Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal tersebut
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja yang
dinyatakan sebagai korupsi, kita harus merujuk pada Undang-Undang pemberantasan
korupsi.
Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:
1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang
berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya.
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
4. Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.
5. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
6. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
7. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).
8. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
9. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
b. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 adalah
Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan dengan
Pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan
dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
4
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diwakili orang lain.
5. Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
8. Melawan hukum baik formil maupun materil.
9. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
10. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
11. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

c. Sebab-sebab Korupsi
Sebab-sebab terjadinya korupsi diantaranya adalah:
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri di banding dengan kebutuhan
seharihari yang semakin lama semakin meningkat,
2. Ketidakberesan manajemen,
3. Modernisasi
4. Emosi mental,
5. Gabungan beberapa faktor.
Sedangkan menurut S. H. Alatas korupsi terjadi disebabkan oleh faktor faktor
berikut:

5
1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang
mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan
korupsi,
2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika,
3. Kolonialisme,
4. Kurangnya pendidikan,
5. Kemiskinan,
6. Tiadanya hukuman yang keras,
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
8. Struktur pemerintahan,
9. Perubahan radikal, dan
10. Keadaan masyarakat.
Pendidikan antikorupsi sejak dini adalah salah satu cara untuk memberantas
korupsi. Dengan pendidikan antikorupsi sejak dini, dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang tindakan-tindakan korupsi sehingga masyarakat dapat ikut andil
dalam memberantasnya. Dengan pendidikan antikorupsi pula dapat meningkatkan
pengetahuan mengenai dampak/akibat korupsi sehingga dapat menghindarinya
bahkan ikut serta dalam melawannya.

B. Bentuk – bentuk Korupsi berdasarkan Study Kasus Lapangan


Korupsi diatur di dalam 13 pasal UU 31/1999 dan perubahannya yang kemudian
dirumuskan menjadi 30 jenis-jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis tersebut
disederhanakan ke dalam 7 kelompok tindak pidana korupsi, yaitu korupsi yang
terkait dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan,
pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Bentuk-bentuk korupsi tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan berikut.
1. Merugikan Keuangan Negara
Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh orang, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), dan penyelenggara negara
yang melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan tindak
pidana korupsi. Jenis korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur
di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No.

6
25/PUU-XIV/2016. Adapun unsur-unsur korupsi yang mengakibatkan kerugian
negara dalam kedua pasal tersebut adalah:

Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No.
25/PUU-XIV/2016 25/PUU-XIV/2016
 Setiap orang;  Setiap orang;
 Memperkaya diri sendiri, orang  Dengan
lain atau suatu korporasi; tujuan menguntungkan diri sendiri
 Dengan cara melawan hukum; atau orang lain atau suatu korporasi;
 Merugikan keuangan negara atau  Menyalahgunakan kewenangan,
perekonomian negara. kesempatan atau sarana;
 Yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan;
 Merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara

2. Suap-menyuap
Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara
aktif memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau
melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi atau
kesepakatan antara kedua belah pihak. Suap menyuap dapat terjadi kepada PNS,
hakim maupun advokat, dan dapat dilakukan antar pegawai ataupun pegawai
dengan pihak luar. Suap antar pegawai dilakukan guna memudahkan kenaikan
pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar dilakukan ketika pihak
swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam
proses tender.
Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa pasal UU
31/1999 dan perubahannya, yaitu:
1) Pasal 5 UU 20/2021;
2) Pasal 6 UU 20/2021;
3) Pasal 11 UU 20/2021;
4) Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2021;
5) Pasal 13 UU 31/1999.
Contohnya Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU 20/2001 dan Pasal 13 UU
31/1999 yang unsur-unsur pasalnya adalah sebagai berikut.

7
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pasal 5 ayat (1) huruf Pasal 13 UU 31/1999
20/2001 b UU 20/2001
 Setiap orang;  Setiap orang;  Setiap orang;
 Memberi sesuatu atau  Memberi sesuatu;  Memberi hadiah
menjanjikan sesuatu;  Kepada pegawai atau janji;
 Kepada pegawai negeri atau negeri atau  Kepada pegawai
penyelenggara negara; penyelenggara negeri;
 Dengan maksud supaya berbuat negara;  Dengan mengingat
atau  Karena atau kekuasaan atau
tidak berbuat sesuatu dalam berhubungan wewenang yang
jabatannya sehingga dengan sesuatu melekat pada
bertentangan dengan yang bertentangan jabatan atau
kewajibannya. dengan kewajiban, kedudukannya atau
dilakukan atau oleh pemberi
tidak dilakukan hadiah/janji
dalam jabatannya dianggap, melekat
pada jabatan atau
kedudukan tersebut.

3. Penggelapan dalam Jabatan


Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan
barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain.
Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8
UU 20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.
Contoh penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8 UU
20/2001 memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu;
b. Dengan sengaja;
c. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan
orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu;
d. Uang atau surat berharga;
e. Yang disimpan karena jabatannya.
Menurut R. Soesilo, penggelapan memiliki kemiripan dengan arti pencurian.
Bedanya dalam pencurian, barang yang dimiliki belum ada di tangan pencuri.

8
Sedangkan dalam penggelapan, barang sudah berada di tangan pencuri waktu
dimilikinya barang tersebut.
4. Pemerasan
Pemerasan adalah perbuatan dimana petugas layanan yang secara aktif
menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk
mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur
janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut.
5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat
membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang
yang melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun
dan paling lama tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling
banyak Rp350 juta. Berdasarkan pasal tersebut, berikut adalah contoh perbuatan
curang:
1. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
2. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
3. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia (“TNI”) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
4. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan
atau kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 huruf
(i) UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara
langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

9
Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai pemerintahan
menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender dan
mengupayakan kemenangannya.
7. Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan:
1) Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
2) Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
gratifikasi sebagaimana tersebut di atas, adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan gratifikasi
kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima, maka
sanksi atau ancaman pidana terkait gratifikasi tidak berlaku.

C. Konsep dan Upaya Membrantas Korupsi


dalam Panduan Memberantas Korupsi dengan Mudah dan Menyenangkan oleh
KPK RI, ada tiga strategi yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi, yakni
1. Represif
Strategi represif dilakukan dengan cara KPK menyeret koruptor ke pengadilan,
membacakan tuntutan, serta menghadirkan para saksi beserta alat bukti yang
menguatkan.
2. Perbaikan Sistem
Dalam strategi perbaikan sistem, KPK memberikan rekomendasi kepada
kementerian atau lembaga terkait untuk melakukan langkah-langkah perbaikan.
Selain itu, strategi ini juga dilakukan melalui penataan layanan publik melalui
koordinasi dan supervisi pencegahan, serta mendorong transparansi penyelenggara
negara.Untuk mendorong transparansi penyelenggara negara, KPK menerima
LHKPN dan gratifikasi.
10
3. Edukasi dan Kampanye
Edukasi dan kampanye dilakukan sebagai bagian dari pencegahan dan memiliki
peran strategis dalam pemberantasan korupsi. Melalui edukasi dan kampanye,
KPK meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak
masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta
membangun perilaku dan budaya antikorupsi. Kegiatan edukasi dan kampanye ini
sebaiknya dilakukan tidak hanya kepada mahasiswa dan masyarakat umum, tetapi
dimulai dari anak usia dini, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar.

D. Sistem dalam Upaya Membrantas Korupsi


Adapun Sistem dalam Upaya Membrantas Korupsi ialah:
1. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
2. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.3.
3. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tang-gung jawab yang tinggi.
4. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masatua.
5. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
6. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab
etis tinggidan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
7. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
8. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan
mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
E. Kerja Sama Internasional dalam pencegahan Korupsi
Para pembentuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah
bersepakat menjadikan korupsi sebagai suatu kejahatan yang telah terjadi secara masif
dan sistematik karena telah melewati batas-batas negara sehingga untuk
mengatasinya tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara yang biasa melainkan harus
dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Upaya luar biasa tersebut terlihat dari
adanya pengaturan-pengaturan secara khusus, baik dalam ranah hukum pidana materil
maupun dalam ranah hukum pidana formil (hukum acara pidana).

11
Dalam ranah hukum pidana materil, sebagian besar delik-delik dalam UU Tipikor
merupakan delik-delik jabatan yang diatur dalam KUHP kemudian ditarik dan diatur
tersendiri dalam UU Tipikor dengan ancaman hukuman yang diperberat dari yang
semula diatur dalam KUHP (delik yang dikualifisir).
Dalam ranah formil, diatur ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang berbeda
dengan ketentuan hukum acara yang diatur dalam KUHAP. Pembentukan KPK
berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 dan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi berdasarkan UU Nomor 46 tahun 2009 menunjukkan kekhususan hukum
acara dalam rangka mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Korupsi
juga dikategorikan sebagau suatu kejahatan transnasional karena kejahatan tersebut
sudah melintasi batas-batas negara sehingga upaya pemberantasannya tidak bisa lagi
dilakukan secara lokal atau nasional namun harus dilakukan secara internasional
dengan menjalin kerja sama antar negara di dunia.
Sifat transnasionalnya kejahatan korupsi sudah diIntrodusir dalam pelbagai instrumen
hukum, baik dalam skala nasional maupun internasional, antara lain:
1. United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB tentang Anti
Korupsi) yang dalam pembukaanya menyebutkan:
“Korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena
internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang
menjadikan kerja sama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya
sangat penting.”
2. UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana,
yang pada bagian Menimbang dan Penjelasannnya menyebutkan antara lain:
“Tindak pidana terutama yang bersifat transnasional atau lintas negara
mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum suatu negara dengan negara lain
yang memerlukan penanganan melalui hubungan baik berdasarkan hukum di
masing-masing negara.
Bahwa penanganan tindak pidana transnasional harus dilakukan dengan bekerja sama
antar negara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
Kerjasama antar negara diperlukan untuk mempermudah penanganan proses suatu
perkara pidana, terutama berkaitan dengan yurisdiksi negara lain.”
Salah satu acuan utama dalam melakukan kerja sama internasional dibidang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah United Nationas
Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
12
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption, 2oo3 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Jenis-jenis kerja sama internasional diatur dalam Bab IV UNCAC, antara lain:
1. Ekstradisi,
2. Pemindahan Orang Terhukum,
3. Bantuan Hukum Timbal Balik,
4. Pengalihan Proses Pidana,
5. Kerjasama Penegakan Hukum,
6. Penyidikan Bersama, dan
7. Teknik Penyidikan Khusus.
Beberapa jenis kerja sama tersebut di atas, dapat dijelaskan sebagai berkut:
1. Ekstradisi,
Dasar hukum utama yang mengatur tentang Ekstradisi, antara laini:
A. UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi:
“Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan
seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di
luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah
negara yang meminta penyerahan tersebut, karenaberwenang untuk
mengadili dan memidananya. (Pasal 1 UU 1/1979)
B. Pasal 44 UNCAC
“Pasal ini berlaku bagi kejahatankejahatan menurut Konvensi ini jika orang
yang diminta untuk diekstradisikan berada di wilayah Negara Pihak yang
diminta, dengan ketentuan bahwa kejahatan yang menjadi dasar permintaan
ekstradisi itu dapat dihukum menurut hukum nasional Negara Pihak yang
meminta dan Negara Pihak yang diminta. “.
Ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian ("treaty") antara Indonesia
dengan negara lain yang diratifikasi dgn UU (Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1979).
Apabila perjanjian belum ada maka dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika
kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya (Psl. 2 UU 1/1979). Di
dalam Undang-undang ini diatur azas umum yang dikenal dalam bidang ekstradisi,
antara lain:
1) Azas kejahatan rangkap (double Criminality), yaitu bahwa perbuatan yang
dilakukan baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta

13
dianggap sebagai kejahatan. Azas ini tercantum di dalam daftar kejahatan
yang dapat diekstradisikan sebagai lampiran dari Undang-undang ini. (pasal
4).
2) Azas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai
kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak (pasal 5).
3) Azas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan
warganegaranya sendiri. (Pasal 7).
4) Azas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau sebagian
di wilayah yang termasuk atau tidak dianggap termasuk dalam jurisdiksi
negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi.
(Pasal 8).
5) Azas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang
berwenang dari negara yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan
terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan
penyerahannya. (Pasal 9).
6) Azas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang
telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh Pengadilan yang
berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak (non bis
in idem). (Pasal 10).
7) Azas bahwa seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau hak
untuk melaksanakan putusan pidana telah kedaluwarsa.(Pasal 12).
8) Azas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau
ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan
diekstradisikan selain dari pada untuk kejahatan untuk mana ia diserahkan,
kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu
menyetujuinya. (Pasal 15).

2. Mutual Legal Assistance atau Bantuan Hukum Timbal Balik


Ketentuan utama yang mengatur tentang Mutual Legal Assistance atau Bantuan
Hukum Timbal Balik antara lain:
1) UU No. 1 Tahun 2006 ttg Undang-Undang tentang Bantuan Timbal Balik
dalam Masalah Pidana (selanjutnya disebut “UU No. 1/2006”)
2) Pasal 46 UNCAC yang mengatur:
“Negara Pihak wajib saling memberikan sebesar mungkin bantuan hukum
timbal-balik bagi penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan berkaitan
dengan kejahatan menurut Konvensi ini.”
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa Bantuan timbal balik dalam
masalah pidana merupakan permintaan Bantuan berkenaan dengan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan Negara Diminta.

14
Ruang lingkup Bantuan Timbal Balik dalam masalah pidana berdasarkan UU No.
1/2006 meliputi:
1) Mengidentifikasi dan mencari orang,
2) Mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya,
3) Menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya,
4) Mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau
membantu penyidikan,
5) Menyampaikan surat,
6) Melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan,
7) Perampasan hasil tindak pidana,
8) Memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak
pidana,
9) Melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau
disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang
dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana,
10) Mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan
untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak
pidana; dan/atau
11) Bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang ini.
Ketentuan dalam UU No. 1/2006 tidak memberikan wewenang kepada
Pemerintah atau Lembaga lain di Indonesia untuk mengadakan:
1) Ekstradisi atau penyerahan orang,
2) Penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau
penyerahan orang,
3) Pengalihan narapidana; atau
4) Pengalihan perkara.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan
dampak bagi rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi.
Pemiskinan koruptor dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak
pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan
aset hasil tindak pidana korupsi dan penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat
tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor ini dinilai mampu memberikan
efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak pidana korupsi.

B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya
pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya
dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman
memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khusus pada penulis.
Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Alatas,S.H. , 1987. Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta. Andi Hamzah,
2004. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Raja Grafindo Persada, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2012. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum, Media,
Jakarta.
Kusumah, M., 2001. Tegaknya Supremasi Hukum, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung.
Muhammad Yusuf, Dr., 2013. Merampas Aset Koruptor, PT.Gramedia, Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Bungai Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung. Nurdjana, I.G.M, 2003. Wewenang Polri Dalam Penindakan KKN,
Yogyakarta.
Poerwadarminta, W.J.S, 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.

17
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Anti Korupsi”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sebagai penyusun, kami
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata
bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah
ini. Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat
dan juga inspirasi untuk pembaca.

Gunungtua, Oktober 2023

Penyusun

i
18
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan ...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana Korupsi...................................................................................3
B. Bentuk – bentuk Korupsi berdasarkan Study Kasus Lapangan.....................6
C. Konsep dan Upaya Membrantas Korupsi......................................................10
D. Sistem dalam Upaya Membrantas Korupsi....................................................11
E. Kerja Sama Internasional dalam pencegahan Korupsi...................................11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..................................................................................................16

B. Saran ..............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................17

19ii
Makalah
Anti Korupsi

Disusun Oleh :
Kelompok : II

1. Indah Ronani 7. Mhd. Sahmadi


2. Jian Aprilia 8. Muhammad Doni
3. Kobul 9. Mulki
4. Lufti Nasution 10. Nasaruddin
5. Mahrani Dewi 11. Nurma Sahat
6. Mahrani 12. Padliyadi

Dosen Pengampu : Akhir Abadi Tanjung S.Pd. M.Si

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS PALUTA
TAHUN 2023

20

Anda mungkin juga menyukai