Anda di halaman 1dari 14

STUDI KASUS

KORUPSI E - KTP

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

Agnes Maharani
Asya Kholil Asyari
Hanifah Dwiana Putri
Mega Lestari

DIKLATSAR CPNS GOLONGAN III


LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perbuatan korupsi merupakan tindakan menyimpang yang tidak sesuai
dengan nilai dasar yang seharusnya tertanam pada diri seorang pegawai negeri sipil
(PNS). Dikatakan demikian karena hal ini tidak hanya membawa dampak ataupun
kerugian terhadap masyarakat luas saja namun juga akan berdampak kepada diri
pribadi dan kerabat dekat pelaku korupsi. Dalam undang-undang Nomor 31 Tahun
1999, korupsi diklasifikasikan ke dalam merugikan keuangan negara, suap
menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan
dalam pengadaan juga gratifikasi.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan dengan berbagai
cara, namun hingga saat ini masih saja kasus korupsi di berbagai lembaga di
Indonesia tidak ada habisnya. Terdapat beberapa hambatan dalam usaha
pemberantasan korupsi di tanah air yaitu hambatan struktural, kultural, instrumental
dan manajemen. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk
mengatasinya dengan cara mendesain dan menata ulang pelayanan publik yang
saat ini terus menunjukkan kemajuan di beberapa lembaga pemerintahan guna
memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi serta meningkatkan
pemberdayaan perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
Dalam rangka pemberantasan korupsi perlu dilakukan penegakan secara
terintegrasi, kerjasama internasional dan regulasi yang harmonis. Ada banyak
contoh kasus korupsi di Indonesia, salah satu yang sempat menarik perhatian pada
tahun 2011 dan 2012 yaitu kasus korupsi terhadap pengadaan e-KTP yang mana
kasus ini sudah terjadi dari tahun 2010. Diawali dengan berbagai kejanggalan yang
terjadi sejak proses lelang tender proyek besar e-KTP sehingga membuat pihak
seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak
kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri dan Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh
kecurigaan akan terjadinya korupsi ini.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kami bermaksud merumuskan permasalahan
yang berhubungan dengan nilai-nilai dasar PNS dalam kasus korupsi e-KTP. Maka
rumusan permasalahan yang akan ditarik dalam tulisan ini adalah :
1. Faktor apa saja yang menjadi penyebab penyimpangan korupsi pada kasus e-
KTP ?
2. Dampak kasus korupsi e-KTP terhadap lingkungan ?
3. Strategi dan Solusi apa yang akan digunakan untuk memecahkan permasalahan
tersebut ?
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil beberapa tujuan penulisan ini
yaitu :
1. Mengetahui faktor penyebab terjadinya penyimpangan pada kasus korupsi e-
KTP.
2. Mengetahui dampak-dampak dari penyimpangan tersebut.
3. Mengetahui strategi dan solusi apa yang dipergunakan untuk dapat memecahkan
masalah korupsi e-KTP.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

Teori Korupsi
Secara etimologis, Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio”
(Fockema Andrea: 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary: 1960). Dari
bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),
“corruption” (Perancis) dan “corruptie/ korruptie” (Belanda). Secara harafiah korupsi
mengandung arti: kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap. Kamus
Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta “korupsi” diartikan sebagai:
“perbuatan yang buruk seperti: penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “korupsi”
diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Menurut World Bank, korupsi adalah setiap transaksi antara pelaku dari
sektor swasta dan sektor publik melalui utilitas bersama yang secara ilegal
ditransformasikan menjadi keuntungan pribadi. Sedangkan menurut Transparency
International, korupsi besar terdiri dari tindakan yang dilakukan pemerintah yang
mendistorsi kebijakan atau fungsi utama negara, yang memungkinkan para
pemimpin untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan para pemimpin
untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kepentingan publik.
Transparency International menggunakan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) untuk
mengukur tingkat korupsi di suatu negara dalam sektor publik. CPI atau Corruption
Perception Index merupakan indikator agregat yang menggabungkan berbagai
sumber informasi tentang korupsi, sehingga memungkinkan untuk membandingkan
tingkat korupsi setiap negara.
Bentuk jenis korupsi menurut Syed Husein Alatas menyebutkan bahwa
terdapat 7 jenis korupsi:
1. Korupsi Transaktif adalah korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal
balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan bersama. Kedua pihak
sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut.
2. Korupsi Ekstroaktif adalah korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi
(tekanan) tertentu di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna
mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orangnya, atau
hal-hal yang dihargai.
3. Korupsi Investif adalah korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau
jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan bagi pemberi.
Keuntungan diharapkan akan diperoleh di masa yang akan datang
4. Korupsi Nepotistik adalah korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada
teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki
jabatan publik -> perlakuan pengutamaan dalam segala bentuk yang
bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku
5. Korupsi Autogenik adalah korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai
kesempatan untuk mendapat keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya
atas sesuatu yang hanya diketahui sendiri
6. Korupsi Suportif adalah korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang
kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi
yang lain
7. Korupsi Defensif adalah korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.
Sedangkan bentuk atau perwujudan utama korupsi menurut Amundsen
menyebutkan bahwa terdapat 6 karakteristik dasar korupsi, yaitu:
1. Suap (Bribery) adalah pembayaran dalam bentuk uang atau barang yang
diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Suap merupakan jumlah yang
tetap, persentase dari sebuah kontrak, atau bantuan dalam bentuk uang apapun.
Biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat perjanjian
atas nama negara dan mendistribusikan keuntungan kepada perusahaan atau
perorangan.
2. Penggelapan (Embezzlement) adalah pencurian sumberdaya oleh pejabat yang
diajukan untuk mengelola sumber daya tersebut. Penggelapan merupakan salah
satu bentuk korupsi ketika pejabat pemerintah yang menyalahgunakan
sumberdaya publik atas nama masyarakat.
3. Penipuan (Fraud) adalah kejahatan ekonomi yang melibatkan jenis tipu daya,
penipuan atau kebohongan. Penipuan melibatkan distorsi maupun manipulasi
informasi oleh pejabat publik. Penipuan terjadi ketika pejabat pemerintah
mendapatkan tanggung jawab untuk melaksanakan perintah dan memanipulasi
aliran informasi untuk keuntungan pribadi.
4. Pemerasan (Extortion) adalah sumberdaya yang diambil dengan menggunakan
paksaan, kekerasan atau ancaman. Pemerasan adalah transaksi korupsi
dimana uang diambil oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk melakukannya.
5. Favoritisme adalah kecenderungan diri dari pejabat negara atau politisi yang
memiliki akses sumberdaya negara dan kekuasaan untuk memutuskan
pendistribusian sumberdaya tersebut. Favoritisme juga memberikan perlakuan
istimewa kepada kelompok tertentu.
6. Nepotisme adalah bentuk khusus dari favoritisme. Mengalokasikan kontrak
berdasarkan kekerabatan atau persahabatan.
Terlepas dari tingkatan sosial dan pembangunan ekonomi yang ada di setiap
negara, korupsi dapat terjadi di mana saja. Korupsi umumnya terjadi di sektor publik
dan sektor swasta, dan khususnya terjadi pada pejabat publik yang memiliki
tanggungjawab langsung atas ketetapan pelayanan publik dan regulasi khusus. Dari
segi politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik,
di mana korupsi dapat menghancurkan proses formal yang sudah dibentuk. Korupsi
pada pemilu dan badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan dalam
pembuatan kebijakan, korupsi pada sistem pengadilan menghentikan ketertiban
hukum dan korupsi pada pemerintahan publik yang menyebabkan ketidakadilan
dalam pelayanan pada masyarakat. Korupsi juga menurunkan legitimasi
pemerintahan dan nilai-nilai demokrasi. (Nawatmi, 2014)
Perilaku korupsi dapat digambarkan sebagai tindakan tunggal yang secara
rasional bisa dikategorikan sebagai korupsi. Euben (1989) menggambarkan korupsi
sebagai tindakan tunggal dengan asumsi setiap orang merupakan individu egois
yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Asumsi tersebut sejalan dengan
karyanya Leviathan bahwa manusia satu berbahaya bagi manusia lainnya, namun
setiap manusia dapat mengamankan keberadaan dan memenuhi kepentingan
dirinya melalui kesepakatan bersama sehingga menjadi legitimasi dari hasil
kesepakatan bersama (standar) demi kepentingan seluruh individu/publik.
Pada dasarnya sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara
lain:
 Faktor Individu
1. Sikap tamak
2. Moral yang lemah menghadapi godaan
3. Gaya hidup konsumtif
 Faktor Lingkungan
1. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
2. Aspek ekonomi
3. Aspek politis
4. Aspek organisasi

KTP Elektronik (e-KTP)


E-KTP atau KTP Elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat
sistem keamanan/pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi
informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Penduduk hanya
diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan
(NIK) sesuai Perpres No.26 Tahun 2009. NIK adalah identitas penduduk dalam
melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung
pelayanan publik di bidang administrasi kependudukan sesuai dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2011 (Kemendagri 2011). NIK bersifat unik
atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk
Indonesia. NIK terdari rangkaian angka yang mengandung makna tertentu.
Dalam e-KTP terdapat data biometrik, yaitu verifikasi dan validasi sistem
melalui pengenalan karakteristik fisik. Ada banyak jenis pengamanan dengan cara
ini, antara lain sidik jari (fingerprint), retina mata, DNA, bentuk wajah, dan bentuk
gigi. Pada e-KTP, yang digunakan adalah sidik jari. Penggunaan sidik jari e-KTP
lebih canggih dari yang selama ini telah diterapkan untuk SIM (Surat Izin
Mengemudi). Fungsi dan tujuan e-KTP, antara lain:
1. Bersifat nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan
izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya.
2. Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP.
3. Terkait Pemilu, menjadi dasar penetapan daftar pemilih tetap.
4. Memudahkan pembuatan paspor.
Pengertian 16 digit NIK, sebagai berikut: NIK = AABBCCDDEEFFGGGG, AA :
kode propinsi NIK diterbitkan, BB : kode kabupaten/kota NIK diterbitkan, CC : kode
kecamatan NIK diterbitkan, DD : tanggal lahir, jika wanita tanggal ditambah 40, EE :
bulan lahir, FF : dua angka terakhir tahun lahir, GGGG :nomor urut 0001-9999.
1. Perekaman e-KTP diambil di kecamatan. Data yang diambil adalah data tekstual
sesuai isian di formulir F1.07 dan non tekstual (biometrik), antara lain: sidik jari,
mata, wajah, tanda tangan.
2. Data tekstual akan disinkronisasi dengan data SIAK. Beberapa item yang
disinkronisasi antara lain: NIK, nama, alamat, nama ayah, nama ibu, pekerjaan,
tanggal lahir, status kawin.
3. Data hasil sinkronisasi akan disimpan secara berkala dan dibuat cadangan data
untuk internal Disdukcapil.
4. Data hasil perekaman pada point 1, akan dikirim ke pusat untuk dilakukan
pembersihan data ganda, duplikasi dan anomali untuk data tekstual. Data
biometrik merupakan bahan untuk penunggalan data berdasarkan NIK.
5. Dilakukan analisa terhadap hasil data ganda dan anomali untiuk dilakukan
verifikasi ke daerah.
6. Data ganda dan anomali dari pusat diverifikasi oleh Disdukcapil dan
diintegrasikan dengan data dari aplikasi Pindah Datang. Aplikasi Pindah Datang
merupakan aplikasi yang mencatat permohonan pindah penduduk antar
kabupaten sehingga didapatkan NIK sesuai domisili. Sehingga integritas data
SIAK baik pusat dan daerah tetap terjaga.
7. Data kependudukan yang sudah bersih siap digunakan oleh instansi lain.

Teknik Analisis Isu: Pendekatan Fishbone Diagram


Pendekatan Fishbone diagram adalah teknik analisis isu yang berupaya untuk
memahami persoalan dengan memetakan isu berdasarkan cabang-cabang terkait.
Diagram tulang ikan ini lebih menekankan hubungan sebab akibat atau yang disebut
dengan cause and effect diagram. Fishbone diagram akan mengidentifikasi berbagai
sebab potensial dari satu efek atau masalah, dan menganalisis masalah tersebut
melalui sesi brainstorming. Masalah akan dipecah menjadi sejumlah kategori yang
berkaitan, mencakup manusia, material, mesin, prosedur, kebijakan, dan
sebagainya. Setiap kategori mempunyai sebab-sebab yang perlu diuraikan melalui
sesi brainstorming.
Langkah-langkah pembuatan fishbone diagram adalah sebagai berikut:
1. Menyepakati pernyataan masalah
2. Mengidentifikasi kategori-kategori
3. Menemukan sebab-sebab potensial dengan cara brainstorming
4. Mengkaji dan menyepakati sebab-sebab yang mungkin
BAB III
ANALISIS DAN SOLUSI

Kronologis Kasus E-KTP


Pada tahun 2006 Kementerian Dalam Negeri telah membuat rencana untuk
membuat e-KTP, dengan anggaran yang disediakan sebesar 6 triliun. Pengadaan e-
KTP mulai dilakukan pada tahun 2011 dengan target 6,7 juta penduduk. Lalu, pada
tahun 2012 dengan target 200 juta penduduk Indonesia. Pada pelaksanaannya,
proyek e-KTP dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan
atau pihak terkait. Untuk memutuskan konsorsium mana yang berhak melakukan
proyek, maka pemerintah kemudian melaksanakan lelang tender pada 21 Februari
hingga 15 Mei 2011. Pemenang lelang dalam pengadaan e-KTP adalah konsorsium
PNRI yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri,
PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra. konsorsium PNRI
kemudian melakukan penandatanganan kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP
tahun anggaran 2011-2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993.
Kontrak tersebut disepakati pada 1 Juli 2011
Kecurigaan bahwa adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP dirasakan oleh
Government Watch (GOWA), yang berbuntut pada laporan kepada KPK. Mereka
berspekulasi bahwa telah terjadi upaya pemenangan terhadap satu konsorsium
perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan investigasi yang telah
dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011. Dari hasil investigasi tersebut mereka
mendapatkan petunjuk berupa dugaan terjadinya kolusi pada proses lelang
oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan menemukan fakta
bahwa telah terjadi 11 penyimpangan, pelanggaran dan kejanggalan kasatmata
dalam pengadaan lelang.
Selanjutnya, Konsorsium Lintas Peruri Solusi menduga bahwa telah
terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga dana untuk e-KTP membesar
hingga Rp4 triliun lebih dalam proses tender. Kenyataannya, penawaran yang
diajukan oleh Konsorsium Lintas Peruri Solusi lebih rendah, yakni sebesar Rp4,75
triliun namun yang memenangkan tender justru konsorsium PNRI yang mengajukan
penawaran lebih tinggi, yakni sebesar Rp5,84 triliun dari anggaran senilai 5,9 triliun.
Mereka juga menuding bahwa panitia lelang telah menerima uang sebesar Rp50
juta pada 5 Juli 2011 dari konsorsium pemenang tender.
Indikasi korupsi juga dipaparkan oleh Muhammad Nazaruddin pada 31 Juli
2013. Saat diperiksa oleh KPK terkait kasus Hambalang, ia menyerahkan bukti-bukti
terkait korupsi e-KTP. Pengacaranya, Elza Syarief menuding bahwa telah terjadi
penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total proyek sebesar Rp5,9 triliun,
45% di antaranya merupakan hasil penggelembungan dana. Ia juga mengatakan
bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini.
Dari laporan – laporan serta kecurigaan pada proyek e-KTP yang telah
diselidiki lebih lanjut, KPK akhirnya menetapkan tersangka proyek megakorupsi e-
KTP yaitu :
1. 22 April 2014, Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan
melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013,
melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.
2. 30 September 2016, Mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman
sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan Sugiharto, yakni
demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan
penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya
senilai 573.000 dollar AS, Rp2,9 miliar dan 6.000 dollar Singapura.
Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan
kasus e-KTP ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret
2017.
3. 23 Maret 2017, Andi Narogong ditetapkan sebagai tersangka karena ia berperan
dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP elektronik dan
agar rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para petinggi dan
anggota komisi II DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam
mengatur tender dengan membentuk tim Fatmawati, sesuai dengan lokasi
rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentukan
spesifikasi teknis hingga melakukan penggelembungan dana dalam pengadaan
KTP elektronik.
4. 19 Juli 2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus
politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai salah satu tersangka berdasarkan
Pasal 3 atau 2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP. Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan
dalam penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang
sebanyak Rp 5 miliar kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran
e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang
sebesar Rp 4 miliar, berupaya menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh KPK
dalam menguak kasus e-KTP dan diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S
Haryani untuk memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
5.  27 September 2017, KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur
utama PT Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi
e-KTP. Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan dua bukti yang ditemukan
oleh penyidik KPK beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh Irman, Sugiharto
dan Andi Narogong dalam persidangan. Anang terbukti terlibat dalam
penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari
Andi Narogong. Hal itu membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3
Undang-Undang tentang pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
6. 17 Juli 2017, Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka karena diduga
melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan
anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan negara
hingga Rp 2,3 triliun. Namun sempat dibatalkan oleh Hakim Cepi pada sidang
praperadilan lanjutan yang diselenggarakan pada 29 September 2017, Menurut
Hakim Cepi, penetapan Novanto sebagai tersangka tidak sah karena diputuskan
di awal penyidikan, bukan di akhir. Selain itu ia juga tidak bisa menerima alat
bukti yang digunakan KPK untuk menangkap Novanto karena telah digunakan
sebelumnya dalam penyidikan Irman dan Sugiharto.  Pada akhirnya Setya
Novanto ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh KPK pada tanggal 10
November 2017.

Penyebab Kasus Korupsi E-KTP – Diagram Fishbone


Kasus korupsi e-KTP di Indonesia sudah merugikan negara sebesar 2.314
Triliun dimana korupsi tersebut sudah menggerus hampir separuh dari anggaran
yang telah dianggarkan untuk proyek tersebut. Terdapat beberapa oknum yang
terlibat dalam kasus e-KTP ini di antaranya, 62 orang anggota DPR periode 2009-
2014, sejumlah pejabat Kemendagri dan pengusaha swasta serta ketua DPR-RI
Setya Novanto. Semenjak terungkapnya kasus ini, KPK terus melakukan berbagai
penyelidikan dan investigasi untuk dapat mengungkap dalang dari kasus korupsi
proyek e-KTP ini.
Selama proses penyelidikan kasus ini, para pihak berwenang harus mampu
menjalankan tugasnya dengan sangat baik untuk menciptakan keadilan atas
tersangka Setya Novanto. Banyak rintangan yang mereka hadapi, dimulai dari
ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka, sidang praperadilan, kemudian
pembatalan status tersangka Novanto oleh hakim, dilanjutkan dengan kecelakaan
yang dialami Novanto bahkan hingga ditetapkannya kembali ia sebagai tersangka.
Belum lagi adanya informasi mengenai kematian Johannes Marliem di Amerika
Serikat yang saat itu dianggap sebagai saksi kunci dari korupsi e-KTP, bahkan untuk
kepentingan pengembangan kasus atas tewasnya saksi kunci, KPK sampai harus
bekerja sama dengan FBI.
Dalam setiap kasus korupsi biasanya terdapat dua faktor yang
melatarbelakangi terjadinya penyimpangan yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berasal dari diri seseorang itu sendiri. Dalam kasus ini faktor internal
yang melatarbelakangi di antaranya sifat serakah, moral yang rendah dan gaya
hidup (lifestyle) sedangkan faktor eksternal yang melatarbelakangi di antaranya
kepentingan politik, ekonomi, kelemahan hukum, dan lemahnya pengawasan. Untuk
lebih memperdalam penyebab terjadinya korupsi e-KTP, kami sepakat untuk
menggunakan metode fishbone untuk menganalisa kasus korupsi e-KTP.
PENYEBAB AKIBAT
Kasus
Mega
Surroundings (Lingkungan) System (Sistem)
Korupsi
Faktor spiritual E-KTP
Keserakahan
Pemimpin Sietem Pengendalian
Manajemen Buruk
Kultur Organisasi
Buruk
Kurangnya
pengawasan
Gaya Hidup Konsumtif
Insentif yang
Kekuasaan kurang

Standar Tindakan Keserakahan


Pemimpin yang Perusahaan
Buruk

Kurangnya Kesempatan
pengawasan yang di berikan
penguasa
Kesempatan

Skill (Keterampilan) Suppliers (Pemasok)

Pada Diagram Fishbone di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 3 penyebab


utama kasus korupsi e-KTP yaitu :
1. Kesempatan korupsi yang diberikan oleh penguasa kepada perusahaan-
perusahaan yang mengikuti tender, Keserakahan pemimpin, serta Kekuasaan
yang disalahgunakan oleh para pemimpin merupakan indikasi bahwa pemimpin
memiliki standar tindakan yang buruk. Tingkah laku seorang pimpinan dapat
memicu perilaku korupsi. Setya Novanto sebagai eks-ketua DPR dan sebagai
tersangka utama dalam kasus e-KTP berandil besar dalam terjadinya korupsi ini.
Dalam kata lain, Setya Novanto sebagai pimpinan tidak memiliki standar tindakan
yang baik sebagai contoh bagi para anggota DPR dengan dilakukannya korupsi
dana e-KTP. Hal ini juga menunjukkan tidak adanya kepedulian dari oknum-
oknum pelaku korupsi e-KTP terhadap kesejahteraan hidup masyarakat
Indonesia dan menghambat terciptanya e-government yang lebih baik.
2. Keserakahan para pemimpin dan perusahaan – perusahaan yang mengikuti
tender / masuk dalam konsorsium merupakan salah satu penyebab terjadinya
korupsi e-KTP. Hal ini sesuai dengan teori GONE - Jack Bologne :
Teori GONE: Greed + Opportunity + Need + Expose
Faktor-faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (Oppor
tunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Expose). Keserakahan berpoten
si dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Organisasi,
instansi, atau masyarakat luas dalam keadaan tertentu membuka faktor kesempa
tan melakukan kecurangan.
3. Kurangnya pengawasan yang terjadi baik dalam sistem manajemen maupun
individu merupakan salah satu penyebab dari korupsi. Baik dari internal
pemerintah yaitu inspektorat DPR maupun lemahnya lembaga – lembaga
pengawas pemerintah.

Dampak Korupsi E-KTP


Beberapa dampak kerugian dari kasus penyelewengan ini yaitu :
 Distribusi e-KTP yang tidak merata dan terhambat dikarenakan stok
blanko/chip yang kurang.
 Menurunnya kepercayaan publik pada partai, parlemen, maupun lembaga –
lembaga pemerintahan.

 Kerugian yang besar terhadap bidang ekonomi Indonesia, Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bahwa kerugian negara akibat
kasus mega korupsi e-KTP adalah sebesar Rp 2,3 triliun. Hal ini akan
menambah tingkat kemiskinan, pengangguran dan juga kesenjangan sosial
karena dana pemerintah yang harusnya untuk rakyat justru masuk ke kantong
para pejabat dan orang - orang yang tidak bertanggung jawab lainnya.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak optimal ini akan menurunkan
kualitas pelayanan pemerintah di berbagai bidang.
 E-KTP merupakan salah satu syarat yang selalu dibutuhkan dalam
kelengkapan administrasi baik itu administrasi untuk mengurus keuangan di
bank, administrasi dalam mendapatkan pelayanan medis, maupun
administrasi dalam keikutsertaan pada pemilihan umum, serta banyak dalam
kepentingan lainnya di masyarakat. Maka dengan adanya korupsi dalam
pengadan e-KTP akan berdampak pada kesulitan masyarakat dalam
melengkapi syarat-syarat administrasi.

Solusi dan Strategi Terbaik dalam Mengatasi Korupsi E-KTP


Korupsi e-KTP merupakan kasus megakorupsi yang sangat terorganisir dan
terencana, maka perlu adanya strategi dan solusi terbaik yang dapat memberantas
korupsi, sehingga tidak ada lagi kasus korupsi kedepannya, berikut adalah strategi
dan solusi yang bisa kami tawarkan:
1. Memberikan pendidikan anti korupsi pada setiap lembaga secara berkala,
sehingga akan muncul nilai – nilai anti korupsi pada setiap individu sejak awal.
Salah satunya memberikan edukasi tentang dampak dan juga hukuman berat
yang akan didapatkan jika melakukan praktik korupsi. Tidak lupa juga setiap
lembaga memberi pengingat di setiap sudut ruangan, khususnya pada tempat –
tempat pelayanan umum berupa tulisan menarik maupun poster terkait bahaya
korupsi dan ajakan melawan korupsi.
2. Perbaikan sistem yang terdapat dalam lembaga. Pada kasus ini perlu diperbaiki
dalam hal Keterbukaan Pengadaan Proyek dan Perbaikan Pembahasan
Anggaran yang lebih teliti.
3. Pengawasan dalam pelaksanaan proyek harus lebih ditingkatkan, dengan cara
bekerjasama dengan berbagai lembaga seperti Komisi Pemberamtasan Korupsi
(KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP).
4. Penegakan hukum yang lebih ditegaskan, dengan memberikan hukuman seberat
– beratnya untuk para pelaku tindak pidana korups

BAB IV
KESIMPULAN

Mega Korupsi e-KTP termasuk dalam Kejahatan Luar Biasa yang berdampak
sangat merugikan bagi negara. Korupsi e-KTP pun merupakan salah satu kasus
korupsi yang sangat terencana dan terorganisir, mulai dari penggelembungan
anggaran yang sudah direncanakan sejak awal proyek hingga dalam proses
pengadaannya yang melibatkan banyak pihak dari perusahaan – perusahaan
pengadaan e-KTP hingga para pimpinan – pimpinan lembaga dan negara. Dampak
ekonomi yang ditimbulkan juga sangat besar, sebanyak 2,3 Triliun anggaran atau
hampir setengah dari anggaran yang digunakan untuk proyek e-KTP digunakan
untuk korupsi, hal ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas mulai dari
distribusi e-KTP yang menjadi tersendat hingga kesulitan masyarakat memenuhi
syarat administrasi di berbagai bidang, karena seperti yang kita ketahui bahwa e-
KTP merupaka salah satu syarat dasar dalam memperoleh layanan dalam
masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya solusi dan strategi terbaik untuk
menanggulangi masalah korupsi seperti ini, mulai dari melakukan edukasi,
pencegahan, hingga penindakan kepada para pelaku korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Andvig JC, Fjeldtad OH, Amundsen I, Sissener T, Søreide T. 2000. Research on


Corruption: A Policy Oriented Survey. [NORAD] Norwegian Agency for
Development Co-operation.
[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2011. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 Tahun 2011. Tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda
Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional
Modul Pelatihan Dasar CPNS Analisis Isu Kontemporer
Modul Pelatihan Dasar CPNS Anti Korupsi
Nawatmi S. 2014. Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Asia
Pasifik. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2014, Hal 73-82, Vol 21.
Waluyo S. 2016. Grand Corruption dan Defisit Demokrasi: Studi Kasus KTP Elektron
ik. Jurnal Informatika Terpadu Vol 2 No 1 (2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_korupsi_e-KTP (diakses 6 Aprill 2021)
https://www.kompasiana.com/nikenrahmitasari1218/5df059a7d541df5ab00cb9c4/me
gakorupsi-e-ktp-faktor-organisasi-menjadi-penyebab-utama?page=all
(diakses 6 April 2021)
https://hot.liputan6.com/read/4436038/faktor-penyebab-korupsi-lengkap-dengan-
teori-dan-jenisnya (diakses 6 April 2021)
https://www.kompasiana.com/yeninov/5a9f9952cf01b470b33ca7c2/dampak-korupsi-
e-ktp-di-berbagai-bidang (diakses 6 April 2021)

Anda mungkin juga menyukai