Anda di halaman 1dari 18

Urgensi Sinergitas Penal dan Non Penal dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

A. Prolog
Pada tahun 2004 lembaga  Transparency Coruption mengeluarkan
sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah
satu Negara terkorup di dunia. Menaggapi hasil penelitian tersebut, Negara
Indonesia hanya menikmati alias tidak melakukan gregat politik, tidak ada
gerakan massif kebudayaan, tidak juga ada langkah hukum yang gegap gempita
tekad dan aksi yang tertata langkahnya, sebab korupsi telah menjadi gerakan
sistematik  merata vertikal dan horizontal yang berujung kehancuran karena
telah menjadi gerakan sistemik. Banyak orang begitu bangga, gagah berani dan
enjoy menjarah uang rakyat dan mereka sangat menikmati hasil korupsinya.
Koruptor ini terutama adalah orang yang menduduki jabatan strategis
dalam berbagai institusi Negara dan pemerintahan, mulai dari bawahan sampai
atasan/pimpinan. Korupsi telah menjadi virus ganas di tanah air yang menyebar
begitu cepat dan sangat menakjubkan. Di negeri ini, korupsi telah di lakukan
secara terbuka dan terang-terangan. Kemampuan mereka dalam ilmu
pengetahuan dan tekhnologi menjadi modal untuk memuluskan perbuatan dan
keinginannya menjarah uang rakyat. Para koruptor telah mengidap krisis moral
yang sangat kronis dan matinya hati Nurani dari mereka, sehingga faktor agama
tidak punya ruang dalam basis kesadaran mereka. Justru agama dijadikan kedok
untuk melakukan korupsi. Terbukti kementrian Agama adalah salah satu
institusi pemerintah yang tingkat korupsinya sangat tinggi, karena himbauan
moral dan gerakan sosial tidak mampu membendung laju korupsi, maka
penegakan hukum secara tegas adalah salah satu cara yang paling mungkin
untuk dilakukan. Hukum harus mampu memberikan efek jera pada para
koruptor. Namun Kebijakan Hukum pidana (baik penal maupun non-penal
policy) yang diambil dalam pembentukan dan dalam usaha melahirkan
perundangan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diyakini oleh sebagian
besar kalangan masyrakat bangsa ini benar-benar belum menyentuh hakikat dari
pembentukan hukum itu sendiri. Salah satu masalahnya adalah ketidak jelasan
dan ketidak tegasan mengenai pembuktian dan sanksi hukuman yang kurang

1
berat dan setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan koruptor
tersebut.
Dibuatnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor)  dengan berbagai ancaman sanksi yang sangat berat bagi pelakunya,
tidak memberikan efek jera bagi segelintir orang untuk tetap melakukan praktek
korupsi. Walaupun, pembenahan bidang hukum terus dilakukan untuk
memberantas korupsi, namun hasilnya korupsi sampai saat ini tetap berlangsung.
Oleh karena itu, perlu dilakukan sinergitas antara pendekatan  penal dan non
penal.

B. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dan Tindak Pidana


Korupsi
a) Pengertian Kebijakan Hukum pidana (Penal Policy)
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”
(Belanda) Menurut Marc Ancel, pengertian kebijakan hukum pidana (penal
policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan
juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan
hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan
yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik dogmatik.
Disamping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan
komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral
dengan kebijakan social dan pembangunan nasional pada umumnya.
Barda Nawawi mengemukakan pola hubungan antar kebijakan
hukum pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau
mengatakan bahwa pencegahan  dan penanggulangan kejahatan harus
dilakukan denga pendekatan integral dan ada keseimbanga antara 
penal dan non penal. Pencegahan  dan pendekatan kejahatan dengan sarana
penal merupaka penal policy atau Penal law Enforcement policy, yang

2
fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan
legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan  Eksekusi (kebijakan
Administratif).

b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi


Istilah tindak pidana atau Starfbaarfeit berasal dari bahasa belanda dan
bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai tindak
pidana. Pada dasarnya istilah Starfbaarfeit  secara harfiah terdiri dari tiga
kata. Straf  yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum.
Kata Baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Kata Feit diterjemahkan
dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi
istilah Starfbaarfeit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh
dihukum. Dalam bahasa Indonesia istilah tindak pidana memiliki ragam
pengertian antara lain, perbuatan yang dapat dihukum, peristiwa pidana,
perbuatan pidana, pelanggaran pidana. Perumusan tindak pidana ialah
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam oleh hukuman.
Memuat unsur-unsur, perbuatan manusia, perbuatan itu dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang, dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus  yang artinya
kerusakan. Secara harfiah korupsi berarti jahat atau busuk.[4]oleh karena itu
tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan jahat, buruk, busuk
atau rusak. Menurut Andi Hamzah secara harfiah kata korupsi berarti
kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak beremoral
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
menfitnah. Sedangkan dalam kamus hukum korupsi adalah suatu bentuk tindak
pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan melakukan penggelapan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keungan perekonomian
Negara, perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang
lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain
atau Negara. Dari beberapa pengertian diatas, dapat diartikan bahwa korupsi

3
adalah perbuatan yang menyimpang dari tugas dan wewenang pejabat
Negara/pemerintah yang merugikan keuangan atau perekonomian Negara dan
merugikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Untuk lebih jelasnya berikut
ini dapat dilihat ciri khas dan unsur dari perbuatan korupsi:
1) Dalam proyek pengadaan barang dan jasa.
2) Pada umumnya Pelaku tindak pidana korupsi memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi.
3) Pada umumnya dilakukan oleh beberapa orang baik secara bersama-sama
maupun melalui perantara bawahannya.
4) Perkara tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan jabatn atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara.
5) Perkara korupsi umumnya terungkap setelah berselang waktu yang relatif
lama akibatnya sulit untuk mendapatkan alat dan barang bukti.
Selanjutnya unsur-unsur korupsi sebagaimana termaktub dalam pasal
2-13 Undang-undang No. 31 tahun 1999. Namun pada umunya unsur
korupsi seperti Pada pasal 2 ayat (1) meliputi: memperkaya diri sendiri,
memperkaya orang lain dan korporasi dengan cara melawan hukum dan
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Adapun
bentuk  atau jenis Tindak pidana Korupsi menurut J. Soewartojo yaitu
sebagai berikut:
1) Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara,
menghindari pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.
2) Pungutan liar, jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam
kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin,
kenaikan pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-
pos pencegatan di jalan, pelabuhan dan sebagainya.
3) Pungutan liar, jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh pemda.
4) Penyuapan dan Nepotisme
5) Pemerasan dan Pencurian
Sedangkan menurut Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) ada 4
macam tipe tindak pidana korupsi yaitu:
1) Tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat public nasional

4
( Bribery of National Publik Officials)
2) Tindak pidana Korupsi penyuapan di Sektor Swasta ( Bribery in the
Private Sector)
3) Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan memperkaya secara tidak sah (
Illicit Enrichment )
4) Tindak Pidana Korupsi terhadap Memperdagangkan pengaruh ( Trading in
Influence)

c) Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi


Mengingat ciri khas tindak pidana korupsi  yang multidimensional maka
sebab atau kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi juga
sangat luas , baik dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun
kesenjangan sosial ekonomi dan kelemahan  birokrasi. secara singkat faktor
penyebab korupsi meliputi 5 aspek yaitu:
1) Aspek individu Pelaku
 Sifat tamak dan keserakahan
Dalam hal ini yang menyebabkan seseorang melakukan tindak
pidana korupsi adalah sifat tamak, serakah dan rakus yang ada pada diri
manusia tersebut. Berapa pun kekayaan dan penghasilan yang sudah
diperoleh seseorang tersebut apabila ada kesempatan untuk melakukan
korupsi maka akan tetap dilakukan juga.
 Moral yang lemah dan ajaran agama yang kurang diterapkan
secara benar
Seseorang yang  moralnya lemah cenderung lebih mudah untuk
terdorong melakukan tindak pidana korupsi. Godaan itu baik dari godaan
dari dalam diri seseorang maupun godaan dari orang lain yaitu,
pimpinan, teman setingkat, dan bawahan. Selain itu pemahaman terhadap
ajaran-ajaran agama yang dianutnya tidak sesuai kenyataan hidup yang
dihadapi oleh para pelaku korupsi, mereka memahami ajaran Agama
yang dianutnya melarang korupsi namun di terapkan hanya sekedar
seremonial saja.
 Penghasilan yang tidak memadai

5
Dalam hal ini adalah suatu keterpaksaan untuk mencari tambahan
penghasilan. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut sudah
merupakan bentuk korupsi misalnya, menggelapkan peralatan kantor,
perjalanan dinas fiktif, dan mengadakan kegiatan yang tidak perlu
dengan biaya yang tidak wajar. Dan akan lebih parah lagi apabila orang
tersebut mendapat kesempatan untuk melakukan korupsi terhadap
sumber daya yang lebih besar yang dimiliki instansi atau lembaganya.
 Gaya hidup konsumtif
Gaya hidup yang konsumtif terutama di kota-kota besar
menjadikan penghasilan yang rendah semakin tidak mencukupi seingga
ini akan mendorong seseorang untuk melakukan segala hal termasuk
melakukan korupsi agar kebutuhannya dapat terpenuhi.

2) Aspek Organisasi/Institusi
 Kurang adanya keteladanan dari pimpinan
Pimpinan yang baik akan menjadai panutan dari setiap anggotanya,
apabila pimpinan mencontohkan gaya hidup kesederhanaan, kedisiplinan,
kejujuran, dan berlaku adil terhadap anggotanya , maka para anggotanya
pun akan cenderung bergaya hidup yang sama. Namun teladan yang baik
dari pimpinan juga tidak menjamin seutuhnya bahwa korupsi tidak akan
muncul di dalam suatu institusi karena masih banyak sebab lainnya.
 Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar
Kultur organisasi mempunyai pengaruh terhadap anggota institusi
tersebut terutama pada kebiasaan, cara pandang dan sikapnya dalam
menghadapi suatu keadaan. Misalnya di suatu bagian dari institusi
seringkali muncul budaya uang pelican, “amplop” , hadiah, jual beli
temuan, dan lain-lain yang mengarah ke akibat yang tidak baik bagi
institusi. Oleh nya itu perlu membentuk dan menjaga kultur yang benar
dengan membangun kultur institusi/organisasi yang resmi dan kode etik
atau aturan perilaku yang secara resmi diberlakukan pada organisasi.
 Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai

6
Akuntabilitas yang kurang memadai akan mengakibatkan
kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang
dimiliki. Bahkan tingkat kehilangan sumber daya yang dimilikinya juga
kurang diperhatikan. Akibatnya, tingkat perhatian atau tingkat
ketertarikan dari manajemen di jajaran pemerintahan secara perlahan
namun pasti memberikan dorongan untuk terjadinya kebocoran sumber
daya yang dimiliki instansi pemerintah. Keadaan ini memunculkan
situasi organisasi yang kondusif untuk terjadi korupsi.
 Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Lemahnya sistem Pengendalian manajemen membuat banyak
pegawai yang melakukan korupsi. Dalam lingkungan APBN Sistem
pengendalian manajemen ini dikenal Waskat (Pengawasan Melekat).
Adanya kolusi antara beberapa orang pejabat yang terkait dalam suatu
pelaksanaan kegiatan menyebabkan runtuhnya pengendalian manajemen
yang ada. Sehingga pegawai yang mengetahui sistem pengendalian
menejmennya lemah akan memberi peluang dan kesempatan baginya
untuk melakukan korupsi.
 Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam
institusi/organisasinya
Pada umumnya manajemen institusi/orgnisasi dimana terjadi
korupsi enggan membantu mengungkap korupsi tersebut walaupun
korupsi tersebut tidak melibatkan dirinya. Akibatnya jajaran manajemen
cenderung untuk menutupi korupsi yang ada, dan berusaha
menyelesaikannya dengan cara-caranya sendiri yang kemudian
menimbulkan praktik korupsi yang lain.

3) Aspek Masyarakat
Nilai-nilai yang berlaku di masyarkat ternyata sangat kondusif untuk
terjadinya korupsi. Misalnya banyak anggota masyarakat yang dalam
pergaulan sehari-harinya ternyata menghargai seseorang karena didasarkan
pada kekayaan yang dimilki orang yang bersangkutan. Sehingga hal inilah
yang membuat seseorang begitu berambisi untuk memperkaya diri meskipun

7
dengan jalan korupsi. Selaian itu masyarakat kurang menyadari bahwa yang
paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat itu sendiri.
Karena bila negara mengalami kerugian maka masyarakat juga akan
merasakan dampak dari hal tersebut. Oleh karena itu masyarakat juga
harusnya berperan aktif mambantu memberantas dan mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi.

4) Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan


 Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
korupsi mencakup beberapa aspek, pertama, tidak adanya tindakan
hukum terhadap pelaku dikarenakan pelaku tersebut adalah atasan atau
bawahan pelaku, si penegak hukum telah menerima bagian dari hasil
korupsi si pelaku, atau pelaku adalah kolega dari pimpinan instansi
penegak hukum. Kedua, jika ada tindakan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum maka penanganannya akan di ulur-ulur dan sanksinya
diperingan. Ketiga, tidak dilakukan pemidanaan sama sekali, karena
sipelaku mendapat beking (dorongan) dari jajaran tertentu atau
korupsinya bermotifkan kepentingan tertentu.
 Kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai
Untuk dapat melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan
yang baik, maka di dalam peraturan perundang-undangan perlu
dirumusakan dengan jelas latar belakang dan tujuan diberlakukannya
peraturan tersebut. Dengan rumusan yang jelas maka penjabaran aturan-
aturan di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan akan lebih
mudah, disamping itu evaluasi untuk menilai tingkat efektivitasnya jelas
lebih mudah.
 Penerapan sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang
bulu
Seseorang akan mudah melakukan tindak pidana korupsi
karena  sanksi yang diberikan terlalu ringan, sehingga efek jerah yang
ditimbulkan dari sanksi tersebut tidak ada bahkan tidak setimpal dengan

8
dampak yang ditimbulkan dari korupsi tersebut, selain itu penerapan
sanksi juga tidak kosisten dan pandang bulu karena adanya pengaruh
kedudukan atau pangkat  orang yang melakukan korupsi tersebut,
sehingga ini akan mengurangi efektivitas peraturan tersebut.
 Aspek politik
Terjadinya korupsi di bangsa ini bisa di sebabkan oleh faktor politk
atau yang berkaitan dengan kekuasaan. Rumusan penyelewengan
penggunaan uang negara telah di populerkan oleh Lord Acton yang hidup
pada tahun 1834-1902 di Inggris. Beliau menyatakan bahwa “ Power tent
to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”, yang berarti
kekeuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan
mengakibatkan korupsi berlebihan pula.
Secara umum, penyebab terjadinya korupsi adalah kesempatan
dan jabatan/kekuasaan. Selain itu lemahnya integritas moral juga turut
menjadi factor penyebab terjadinya korupsi, karena hanya orang yang tak
bermorallah yang menginginkan kehancuran suatu bangsa disamping itu
aktor korupsi itu umumnya dilakukan oleh sekelompok orang dari
kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga pemberantasannya sering
mendapat hambatan.

C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dengan Sarana Penal dan


Non- Penal
a) Sarana Penal
Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui
sarana penal dan non penal, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui
sarana (penal) dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada
hakikatnya merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy). Upaya
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik
beratkan pada sifat “Represive” (Penindasan/pemberantasan/penumpasan),
setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya
sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak

9
hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi dapat
dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi
kepada pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk
diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau
sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan
efek jera kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan. Walaupun
penggunaan sarana hukum pidana penal dalam suatu kebijakan kriminal bukan
merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi,
namun bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan
mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana penal.
Karena permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi pada
masalah kebijakan penggunaannya.

b) Sarana Non penal


Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi tindak
pidana korupsi adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), tetapi dapat juga denga menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.  Upaya
preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya
tindak pidana korupsi dengan cara menangani  faktor-faktor pendorong
terjadinya korupsi, yang dapat di laksanakan dalam beberapa cara:
1) Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan
mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di
bidang keagamaan, etika dan hukum.
2) Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan
yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya
dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan
sebab-sebab tersebut. Kemudian mengkaji permasalahan  yang tengah
dihadapi masyarakat serta dorongan individual yang mengarah  pada
tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat

10
serta meknghukum orang-orang yang telah melakukan korupsi
berdasarkan hukum yang berlaku.
Dengan demikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal,
keseluruhan kegiatan preventif  yang non penal mempunyai kedudukan
yang sangat strategis  dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Oleh
karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan seluruh
kegiatan preventif kedalam sistem kegiatan Negara yang teratur. Upaya
penaggulangan kejahatan non- penal dapat berupa:

 Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)


 Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime
and punishment mass media).
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat  jalur non-
penal lebih bersifat tindakan pencegahan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan korupsi
dimana faktor  tersebut berpusat pada masalah-masalah atau kondisi
sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuh suburkan
kejahatan. Melihat tindak pidana korupsi yang tengah membudaya di
Indonesia saat ini, maka sebenarnya perlu ketegasan dan kejelasan
mengenai praktis operasional. Praktis operasional yang di maksud adalah
tindakan preventif dan represif harus ada di dalamnya. Sebab kedua
langkah dan tindakan tersebut akan menghasilkan penyelenggaraan
Negara yang bebas dan bersih dari korupsi.

D. Contoh Kasus
Kasus pengadaan e-KTP Setya Novanto. Mantan ketua DPR, Setya Novanto,
melalui perjalanan Panjang pada tahun 2017 hingga akhirnya disidang sebagai
terdakwa kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Pada awalnya mantan Direktur
pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat jendral
Kependudukan dan Pencatatam Sipil Kemendagri, Sugiaharto dan mantan
Direktur Jendral Kependudukan dan Pencacatan Sipil, Irmal menjadi terdawa.

11
Dalam dakwaan yang di bacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, pada tanggal
9/3/2017, Setya Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran
anggaran e-KTP yang mencapai nilai yang cukup besar yaitu Rp 5,9 triliun. Dan
pada akhirnya Setya Novanto menjalani sidang perdananya sebagai terdakwa
dalam kasus korupsi e-KTP pada 13 Desember 2017. KPK mengumumkan Setya
Novanto sebagai tersangka pada tanggal 17 Juli 2017 ia diduga megatur agar
anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui anggota DPR. Selain itu
Setnov juga diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP,
Bersama Andi Agustinus, Setnov diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp
2,3 tirilun.

E. Analisis Kasus

Masalah korupsi E-KTP belum juga terselesaikan sampai sekarang. Sangat


banyak orang yang terlibat dalam kasus korupsi E-KTP ini. Salah satu yang ikut
terjerat adalah Ketua DPR RI Setya Novanto. Setya Novanto sendiri telah
ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi E-KTP setelah sebelumnya
penetapan yang pertama dibatalkan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar. Setya
Novanto sendiri telah diminta untuk hadir dalam sidang tetapi ia kerap tidak
dapat hadir sehingga akhirnya KPK pun mengeluarkan surat penangkapan yang
ditujukan kepada Setya Novanto pada hari Rabu, 15 November 2017. KPK
mendatangi rumah Setya Novanto di Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan untuk dijemput secara paksa namun ternyata Setya Novanto
tidak ditemui dilokasi. Berbagai argument pun bermunculan. Ada yang
mengatakan bahwa ia selalu mencari alasan agar tidak hadir dalam sidang,ada
yang mengatakan bahwa dirinya melarikan diri, dan ada juga beberapa pihak
yang mengatakan Setya Novanto mendapat tugas di luar kota. Lalu jika memang
benar Setya Novanto melarikan diri, apa yang akan terjadi ?

Jika Setya Novanto memang melarikan diri langkah pertama yang bisa
diambil oleh KPK adalah dengan menetapkannya kedalam Daftar Pencarian
Orang sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang No 8 Tahun 1981.
Sesuai dengan prosedur Daftar Pencarian Orang yang tercantum dalam Perkap

12
14 Tahun 2012 dan Perkaba No 3 Tahun 2004, Langkah-langkah Penerbitan
Daftar Pencarian Orang adalah sebagai berikut :

 Bahwa orang yang dicari benar-benar diyakini terlibat sebagai tersangka


Tindak Pidana
 Telah dilakukan pemanggilan dan penangkapan dan penggeledahan sesuai
undang-undang yang berlaku tetapi tersangka tidak berhasil ditemukan

Berdasarkan prosedur diatas KPK berhak menetapkan Setya Novanto


kedalam Daftar Pencarian Orang sehingga setelahnya pihak kepolisian pun akan
ikut turun tangan dalam mencari Setya Novanto. Selain itu jika memang terbukti
Setya Novanto melarikan diri, ia bisa saja terkena pelangaran hukum terkait
menghalangi penyidikan sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 216 ayat (1):
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan
yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya
mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat yang diberi kuasa untuk mengusut
atau memeriksa tindak pidana, demikian pula barang siapa dengan sengaja
mencegha, mengalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang
pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu.”

Selain itu jika Setya Novanto memang melarikan diri hal ini bisa menjadi
faktor yang akan memberatkan dirinya di penuntutan sesuai dengan yang telah
dikatakan oleh Mahfud ” Melarikan diri bisa jadi tindak pidana sendiri
menghalangi penyidikan, tapi bisa menjadi faktor memberatkan di penuntutan.”
Kasus korupsi e-KTP yang sampai saat ini masih berjalan merupakan salah satu
kasuskorupsi terbesar di Indonesia. Negara menanggung kerugian 2,3 triliyun
rupiah akibat adanyakorupsi berjamaah yang dilakukan oleh oknum-oknum
pejabat yang tidak bertanggungjawab.Sebelumnya KPK telah menetapkan Irman
dan Sugiharto sebagai tersangka. Seperti ditayangkan Liputan6 Pagi
SCTV Minggu (23/7/2017), Setnov dan sejumlah anggota DPR periode 2009-
2014 dianggap menyalahgunakan wewenang, memainkan pengaruhnya,

13
sehingga proyek E-KTP menjadi berantakan. Dananya menguap ke mana-
mana.Setyo Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Nomor31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal 3

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang
adapadanyakarena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuan
gan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling
sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar”.

Pasal 2 ayat 1

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya


diri sendiriatau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomiannegara dipidana dengan pidana penjara minimal 4
tahun dan maksimal 20 tahun dan denda palingsedikit 200 juta rupiah dan
paling banyak 1 miliar rupiah”.

Pasal 3 memiliki ancaman maksimal penjara seumur hidup dan denda paling
banyak Rp 1miliar. Sedangkan Pasal 2 ayat 1 ancaman maksimal 20 tahun
penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Menurut jaksa, berdasarkan fakta
dan teori hukum dapat disimpulkan bahwa pertemuan antara para terdakwa
dengan Setya Novanto, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini,dan
Andi Narogong di Hotel Gran Melia Jakarta, menunjukan telah terjadi
pertemuankepentingan. Andi selaku pengusaha menginginkan mengerjakan pro

14
yek.Diah dan para terdakwa selaku birokrat yang melaksanakan kegiatan
pengadaan barang dan jasa. Setya Novanto saat itu menjabat Ketua Fraksi
Partai Golkar. Setya Novanto telah menerima uang dari Anang Sugiana
Sudiharjo, Direktur PT QuadraSolution. Uang itu diserahkan melalui Andi
Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha yang berafiliasi dengan konsorsium
pemenang tender e-KTP. Keterlibatan Setya Novanto tercium
saat Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha yang berafiliasi dengan k
onsorsim pemenang tender e-KTP, menemui mantan Dirjen Dukcapil
Kementerian Dalam Negeri Irman. Di kalangan anggota Dewan, Andi
Narogong dikenal dekat dengan Novanto. Saat bertemu Irman, Andi
mengatakan bahwa kunci dari pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR
bukan pada anggota Komisi II, melainkan ada pada Novanto. Untuk itu, Andi
merancang pertemuan dengan Novanto di Hotel Gran Melia. Beberapa hari
kemudian, Andi bersama Irman kembali menemui Novanto di ruang
kerjaNovanto di lantai 12 Gedung DPR untuk memastikan dukungan terhadap
penganggaran proyekpenerapan e-KTP. Dalam pertemuan itu, Novanto
mengatakan, “Ini sedang kami koordinasikan,perkembangannya nanti hubungi
Andi. “Selanjutnya, saat proyek sudah berjalan, Andi menyerahkan sebagian
uang pembayaran e-KTP kepada Novanto. Setidaknya ada empat tahap
pembayaran yang sebagian uangnya diserahkan kepada Novanto, yakni
pembayaran tahap I, tahap II, dan tahap III tahun 2011, serta pembayaran tahan
I tahun 2012. Uang itu diberikan secara langsung kepada Novanto
melalui Anang dan Andi.

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi


yang dilakukan oleh Setya Novanto memiliki pola yaitu penyalah gunaan
wewenang (Abuse of Discretion). Ada sebuah pendapat yang mengemukakan
bahwa Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penguasa atau para pejabat
negara terjadi dengan adanya kesalahan kebijakan dan kekuasaan
terhadaprakyatnya. John E.E Dalberg alias Lord Acton (1834–1902),
sejarahwan Inggris mengatakan :

15
“Kekuasaan cenderung korup (jahat) dan kekuasaan mutlak paling jahat”.
(“power tends to corruptand absolute power corrupts absolutely”).

Menurut saya itu bisa dibenerkan karena biasanya penyalah gunaan


kekuasaan (abuse of power) seperti korupsi ini dilakukan oleh para penguasa
atau orang yang memiliki kekuasaan dimana dia cenderung menggunakan
kesempatan untuk menyalah gunakan jabatan atau kekuasaan manakala berada
pada posisi yang memungkinkan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain &
bersifat merugikan perekonomian negara atau keuangan negara. Prinsip anti
korupsi yang tidak dijalankan dalam kasus korupsi ini adalah Transparasi dan
Kewajaran. Transparasi merupakan prinsip yang mengharuskan semua proses
dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat
diketahui oleh publik. Dalam kasus ini tidak menggunkan prinsip transparasi,
dimana dalam proyek lelang tender pengadaan e-KTP setelah dilakukan
kecurangan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang
mengakibatkan kerugian negara. Selain itu prinsip kewajaran juga tidak
diterapkan dalam kasus korupsi ini. Dimana dalam pengaggaran ada ketidak
wajaran. Pada saat proses lelang tender sebenarnya ada perusahaan yang
menawarkan dengan harga yang lebih rendah dari perusahaan terpilih, namun
perusahaan tersebut tidak terpilih.
Solusi agar tidak terjadi kasus serupa adalah dengan memberikan
hukuman yang berat (sarana Penal) kepada para pelaku korupsi sehingga
memberikan efek jera bagi pelakuknya dan sebagai peringatan kepada yang
belum terlibat kasus korupsi untuk tidak melakukan tindakan korupsi.
Hukuman yang berat seperti penjara seumur hidup, hukuman mati, denda,
menyita seluruh asset keluarga yang dimiliki tersangka, dan lain-lain. Status
tersangka yang diemban Setya Novanto dinilai berimbas secara kelembagaan.
Hal itu tak terhindarkan, sebab Novanto menjabat Ketua DPR RI, pimpinan
tertinggi lembaga tersebut. Pada kasus korupsi proyek pengadaan KTP
elektronik atau e-KTP, Novanto sudah ditetapkan sebagai tersangka untuk kali
kedua oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun penetapan

16
tersangkanya yang pertama gugur karena Novanto memenangkan gugatan
praperadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz Syamsuddin, 2011. Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, hal.175

Hamzah, Andi. 1984. Korupsi Di Indonesia Masalah dan


Pemecahannya, PT.Gramedia,
Jakarta

Hartanti. Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika. Jakarta.

Irfan. Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika Offset. Jakarta.

KPK,2006, Memahami untuk Membasmi, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana


Korupsi. KPK. Jakarta

Marwan, Jimmy. 2009. Kamus Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”,Reality


Publisher. Surabaya.

17
Mulyadi, Lilik. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik
dan Masalahnya. Alumni. Bandung.

Nawawi Arief, Barda. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media
Group. Jakarta.
           
Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi & Teknik Korupsi “Mengetahui Untuk
Mencegah”  Sinar Grafika. Jakarta.

Yunara, Edy. 2013. Korupsi dan Pertanggung jawaban Pidana Korupsi Berikut Studi
Kasus. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-
tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-
pidana-korupsi/ Diakses 14 Oktober 2020 pukul 22.15 WIB
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/28/09531001/melihat-perjalanan-setya-
novanto-dalam-kasus-e-ktp-pada-2017 Diakses 14 Oktober 2020 pukul 20.00 WIB
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/14/09035951/setya-novanto-kasus-e-ktp-dan
citra-dpr-yang-tercoreng?page=all Diakses 14 Oktober 2020 pukul 20.00 WIB

http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/11/07/kronologis-terbongkarnya-kasus-e-
ktp-413203 Diakses 14 Oktober 2020 pukul 20.00 WIB

https://www.kompasiana.com/ingepratiwi/5a0da7dc9346084ba41251f4/analisis-kasus-
setya-novanto Diakses 14 Oktober 2020 pukul 20.00 WIB

18

Anda mungkin juga menyukai