Anda di halaman 1dari 3

Filsafat Hukum, Etika Jabatan dan Profesi Hukum

Dosen : Dr. Zen Zanibar MZ, S.H., M.H.

NAMA : A. MUADZIN HAFIZULLAH


NIM : 02012682024054
KELAS : B (Weekend)

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2020
ETIKA DAN PELANGGARAN ETIKA

Advokat adalah salah satu penegak hukum yang termasuk dalam Catur Wangsa
Penegak Hukum selain Polisi, Jaksa dan Hakim. Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat disebutkan bahwa Advokat adalah orang yang
berprofesi memberi bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Ini. Advokat merupakan salah satu
penegak hukum yang bertugas memberikan bantuan hukum atau jasa hukum kepada
masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Advokat mengandung tugas, kewajiban, dan tanggung jawab
yang luhur, baik terhadap diri sendiri, klien, pengadilan, dan Tuhan, serta demi tegaknya
keadilan dan kebenaran. Dalam sumpahnya, advokat bersumpah tidak akan berbuat palsu atau
membuat kepalsuan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebagai pekerjaan bermartabat
Advokat karenanya harus mampu melibatkan diri leih tinggi dengan aparat penegak hukum,
dasar filosofis, asas-asas, teori-teori da tentunya norma-norma hukum dan hampir semua aspek
harus dikuasai.
Kode Etik Profesi Advokat Indonesia merupakan hukum tertinggi bagi advokat dalam
menjalankan profesi. Tidak hanya menjamin dan melindungi advokat, kode etik juga
membebankan setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya, baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat. Oleh karena itu, setiap
advokat dalam menjalankan tugas profesinya wajib tunduk, taat dan patuh pada Pancasila,
UUD 1945, UU Advokat, Kode Etik Advokat dan nilai-nilai tukar publik. Dengan demikian,
setiap advokat tidak dapat digunakan untuk melakukan dan mencoba yang dimaksudkan
dengan moralitas dan mencederai rasa keadilan publik. Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Advokat ditegaskan untuk menjamin keamanan kehakiman yang independen, maka diperlukan
profesi advokat yang bebas, mandiri, bertanggung jawab.
Fungsi dari kode etik adalah menjunjung martabat profesi serta mempertahankan
kesejahteraan para anggotanya dengan membelanjakan perbuatan-perbuatan yang akan
merugikan kesejahteraan anggotanya. Sementara peran dari kode etik yaitu kode etik yang
ditujukan untuk melindungi anggota-anggotanya dalam menentang tindakan-tindakan yang
tidak jujur, membahas hubungan antar anggota, sebagai pelindung dari campuran tangan pihak
luar atau pengelola yang tidak adil, meningkatkan pengembangan kualitas dalam praktik, yang
sesuai dengan cita-cita masyarakat, dan kode etik yang sesuai antara profesi dengan yang
memang dibutuhkan oleh masyarakat umum. Ada 3 maksud yang terkandung dalam
pembentukan kode etik, yaitu Menjaga dan meningkatkan kualitas moral, Menjaga dan
meningkatkan kualitas keterampilan teknis, serta Melindungi kesejahteraan materiil untuk
pengemban profesi.

Contoh Kasus Pelanggaran Etika Profesi :


Kejaksaan Agung telah menetapkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka
kasus penyuapan. Ia diduga menerima suap dari terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie
Bank Bali, Joko Tjandra. Penetapan tersangka itu dilakukan setelah memeriksa empat orang
saksi dan mendapatkan bukti. Pinangki dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf B Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi tentang pemberian hadiah berupa uang atau suap. Jika terbukti bersalah,
Jaksa Pinangki itu dapat terkena hukuman lima tahun penjara atau denda paling banyak Rp 250
juta.
Kejaksaan menduga Pinangki menerima sejumlah uang saat bertemu dengan Joko
Tjandra bersama dengan pengacaranya, Anita Kolopaking, di Kuala Lumpur, Malaysia pada
tahun lau. Ketika itu, Joko masih berstatus buron dan foto ketiganya beredar di media sosial.
Dalam pertemuan tersebut kemudian muncul dugaan adanya penyuapan. Jaksa Pinangki
disangka menerima uang sebesar US$ 500 ribu atau sekitar Rp 7,4 miliar dari Joko Tjandra.
Sebelum menetapkan sebagai tersangka, Kejaksaan Agung telah menjatuhkan sanksi kepada
Pinangki karena melanggar disiplin dan kode etik perilaku jaksa. Sanksi tersebut berdasarkan
Surat Keputusan No. KEP-IV 041/B/WJA/07/2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin
(PHD) Tingkat Berat berupa Pembebasan dari Jabatan Struktural.
Tindakan tersangka Pinangki yang bertemu dengan buronan Kejaksaan seharusnya
dimaknai telah mencoreng Korps Adhyaksa. Pelanggaran etika karena tersangka Pinangki
berpergian tanpa sepengetahuan atasan. Lalu pelanggaran hukum karena tersangka Pinangki
disangka telah menerima sejumlah uang dari Djoko Tjandra untuk turut mengurusi perkara di
Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai