Anda di halaman 1dari 13

PENGACARA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN ETIKA DALAM

HUKUM DI INDONESIA

ISTI ANJELINA MOHAMAD


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Email : isti.mohama02@gmail.com

Abstrak
Sebagai profesi mulia, pengacara seharusnya memliki
kesadaran moral yang tinggi bahwa merusak konsep hukum demi
memenangkan suatu perkara merupakan tindakan bagian dari
ironi pendidikan hukum. Dalam keadaan seperti ini,
permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang
berkaitan dengan perlindungan atas etika keprofesianalitas dari
profesi seorang pengacara melainkan permasalahan yang bersifat
rill dan urgen. Tindakan pengacara yang seolah hanya tergiur
pada materi seperti itu sebenarnya tergolong dalam kejahatan
(malapraktik hukum). Hal seperti ini juga sudah menjadi rahasia
umum bagi masyarakat dan tidak banyak pula masyarakat
mempertanyakan etika dan moral seorang pengacara yang sudah
bersumpah dihadapan Tuhan-Nya. Situasi ini yang menjadi cikal
bakal rusaknya hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap
hukum di Indonesia. Penelitian dalam artikel ini menggunakan
metode kualitatif dan metode komparatif, dimana metode ini
mengumpulkan data secara kualitatif dan juga mengambil studi
komparasi antar Negara.
Kata Kunci : Pengacara, Moral, Etika, Hukum, Masyarakat
Pendahuluan
Penegak hukum yang terdiri dari polisi, panitera, jaksa.
Hakim, dan pengacara sering “bermain” dengan hukum demi
kepentingan pribadi saat menangani perkara. Terutama profesi
pengacara. Peristiwa ini menyebabkan stigma dan paradigma yang
buruk yang hadir di kalangan masyarkat bahwa para aparat
penegak hukum hanya bisa bekerja dengan uang, semakin banyak
uang yag diberikan maka akan semakin lancer kasus yang sedang
ditangani tersebut. Pengacara di Indonesia banyak yang sering
menerima suap saat menangani kasus perkara, bahkan sangat
jarang para pengacara mau jadi pendamping hukum bagi
masyarakat dikalangan bawah. Hal ini semakin menguatkan suatu
paradigm bahwa hukum hanya memihak kepada yang berduit.
Sejalan dengan konsep negara hukum, salah satu prinsip
penting adalah jaminan kesederajatan bagi setiap orang di
hadapan hukum (equality before the law). Hal ini tercermin dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
“segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 1 Pasal tersebut
dapat dimaknai bahwa setiap warga negara berhak atas
pengakuan, perlindungan, jaminan dan kepastian hukum yang
adil, serta perlakuan yang setara di hadapan hukum. Dalam
usaha memperkuat prinsip tersebut maka salah satu substansi
penting amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah membawa
perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan
khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. Badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya
adalah Pengacara.
Profesi pengacara yang dalam memberi jasa hukum dan
bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara
litigasi maupun nonlitigasi, Menurut Frans Hendra Winata, tugas
advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga
dia dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan Hak Asasi
Manusia, dan dalam menjalankan profesinya ia bebas untuk
membela siapapun, tidak terikat pada perintah klien dan tidak
pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah dia dari golongan
kuat, penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun. 2
Dalam mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai
penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran
Organisasi Advokat. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan aturan tentang
pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan
pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh
Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat misalnya menentukan bahwa
advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan: 1) mengabaikan
atau menelantarkan kepentingan kliennya; 2) berbuat atau

1
Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Hendra Winata, Frans, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme dan Kepribadian,
Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 14
bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan
seprofesinya; 3) bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau
mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat
terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau
pengadilan; 4) berbuat hal-hal yang bertentangan dengan
kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; 5)
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
dan atau perbuatan tercela; dan 6) melanggar sumpah/janji
Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat. Penerapan kode etik
dalam profesi hukum sangat penting karena dipakai sebagai salah
satu bentuk ketahanan moral profesi Advokat dengan menjelaskan
tentang fungsi kode etik tersebut di dalam masyarakat tentang
penegakan dan penerapan kode etik tersebut.
Kode etik profesi Pengacara ini adalah kode etik yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak
membedakan dalam perkara pidana maupun perkara di luar
pidana. Penerapan kode etik dalam profesi hukum sangat penting
karena dipakai sebagai salah satu bentuk ketahanan moral profesi
Pengacara dengan menjelaskan tentang fungsi kode etik tersebut
dalam masyarakat tentang penegakan dan penerapan kode etik
tersebut.
Etika dan moral dalam keprofesian pengacara sangat
berkaitan erat. Etika dalam pengertian umum menunjuk pada
suatu perilaku atau tindakan dan pada refleksi atas tindakan
tersebut. Tindakan manusia dengan prinsip-prinsip yang
mendasari itu seringkali disebut moralitas. Etika sebagai refleksi
filsafat adalah elaborasi metodis dan sistematik tentang norma
dan nilai yang mendasari tindakan manusia. Sedangkan moral
secara umum yaitu perilaku seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain yang mengacu pada seperangkat peraturan,
kebiasaan dan prinsip-prinsip tertentu yang berdampak pada
kesejahteraan manusia.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan kali ini adalah metode
kualitatif dan metode studi komparatif. Kedua metode penelitian di
atas menggunakan metode pendekatan, yakni pendekatan
kualitatif dengan cara melihat survei yang di berikan masyarakat
dan mengambil kesimpulannya. Untuk metode studi komparatif
yaitu melihat dan membandingkan etika dan moral dalam profesi
hukum antar Negara. Sumber dari data penelitian ini adalah
bersumber dari jurnal, kata-kata dan tindakan selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Data dikumpulkan
dengan metode interaktif dan non interaktif. Data yang diperoleh
dianalisis dengan metode analisis interaktif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Etika Profesi Pengacara
Etika berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti
kebiasaan atau watak, yang menunjuk pada sebuah disposisi
istimewa, watak atau sikap orang, kebudayaan atau kelompok
orang yang bersifat istimewa.Dalam arti ini, menurut Solomon,
etika mempunyai dua basic concern, yakni watak individual,
termasuk apa artinynya menjadi “person yang baik” dan peraturan
atau norma-norma sosial yang mengatur dan membatasi perilaku
kita, khususnya peraturan-peraturan ultimo berkaitan dengan
“yang baik” dan “yang buruk” atau “yang salah” dan “yang benar”
secara moral. Etika memberi orientasi normatif (yakni tentang apa
yang seharusnya) bagi keputusan dan tindakan seseorang supaya
keputusan dan tindakan orang itu disebut baik secara moral
(Ujan, 2007: 140).
Profesi berasal dari bahasa Latin professio yang memiliki
dua arti, pertama, pekerjaan yang dijalankan berdasarkan
keahlian tertentu; dan kedua, janji atau ikrar (komitmen). Secara
umum profesi dimengerti sebagai kegiatan berdasarkan keahlian
yang dilaksanakan untuk mendapatkan nafkah. Profesi dalam arti
umum ini, sekurang-kurangnya dari segi prinsip, tidak memiliki
tujuan di dalam dirinya sendiri; tujuannya terletak di luar
tindakan professional itu sendiri, yakni untuk mendapatkan
imbalan materiil. Dalam arti ini, kegiatan apa saja yang dijalankan
berdasarkan keahlian boleh disebut profesi (Ujan, 2007: 141).
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) menyatakan
bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile).
Kata “mobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang
mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan
mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka
seorang sarjana hukum yang memenuhi persyaratan dapat
diangkat sebagai Advokat dan akan menjadi anggota organisasi
Advokat (admission to the bar). Seseorang yang telah diangkat
menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia
melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium), dengan hak
eksklusif (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia pedoman
merumuskan dan mengklarifikasi tugas dan kewajiban advokat
dapat dilihat empat sumber (a) Undang-undang, (b) putusan
pengadilan, (c) asas-asas, dan (d) kebiasaan dan praktek
organisasi advokat.
Pedoman perilaku bagi pemegang profesi terangkum dalam
Kode Etik yang di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika
deskriptif, normatif dan metaetika. Jadi kode etik berkaitan
dengan profesi tertentu sehingga setiap profesi memiliki kode
etiknya sendiri-sendiri. Kode etik dapat mengimbangi segi negatif
profesi dan dengan adanya kode etik kepercaya-an masyarakat
akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap kliem
mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode
etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu
profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di
mata masyarakat. Supaya kode etik berfungsi dengan baik, kode
etik harus menjadi self-regulation (pengaturan diri) dari profesi.
Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan
hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang
dianggapnya hakiki, yang tidak pernah dipaksakan dari luar.
Syarat lain adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus menerus
(Bertens, 2005: 280-282).
Berdasarkan pernyataan dari Alkotsar (2010:51) bahwa
pengacara bertugas untuk menegakkan keadilan dan
meningkatkan martabat kemanusiaan sehingga profesi pengacara
disebut dengan officium nobile, profesi yang luhur.
Etika profesi dimaknai sebagai pedoman perilaku bagi
pengemban atau pelaksana dari profesi tersebut. Etika itu sendiri
secara umum pengertiannya adalah suatu tatanan akhlak atau
moral. Sebagai tatanan moral, tentunya beranjak dari segi-segi
yang sifatnya abstrak dan umum. Sebagai ciri khas tatanan moral
maka sebenarnya sanksi yang akan dijatuhkan itu nantinya
bukan berbentuk nestapa secara fisik sebagaimana sanksi yang
dijatuhkan oleh ketentuan hukum. Namun sanksi yang diterima
lebih dekat kepada dimensi nestapa secara psikis atau nestapa
secara moral.
Hal di atas tentunya dimaksudkan sebagai sebuah
pemahaman bahwa etika lebih dekat kepada keinginan atau
idealisme untuk sebuah tuntutan agar dipenuhinya pedoman
perilaku tertentu jika dibandingkan dengan tuntutan untuk
dijatuhkan sanksi akibat pelanggaran hukum formal dalam suatu
peraturan perundangan.
Etika profesi dicermati dari sisi falsafah adalah sebagai satu
keterkaitan dan keberadaannya setara dengan estetika.
Aplikasinya, etika profesi erat berhubungan dengan perilaku
anggotanya yang tergabung di dalam profesi tersebut mengenai
apa yang menjadi hak dan kewajiban secara moral.
Juga perilaku apa yang layak dan tidak layak dilakukan
beserta konsekuensi apa yang harus diterima di dalam
pelaksanaan profesinya. Dua sisi yang menonjol dari
permasalahan yang berhubungan dengan profesi pertama adalah
mekanisme pembebanan sanksi yang secara langsung dijatuhkan
tanpa melalui institusi peradilan sebagaimana layaknya pedoman
perilaku formal. Kedua penonjolan aspek moral sebagai basis
terdepan dari perilaku yang diharapkan. Artinya perilaku konkret
yang kemudian menimbulkan sanksi, dilandasi oleh kepentingan
moral yang secara umum sulit untuk diuraikan elemen-
elemennya.
Sebagai suatu norma etis yang berlaku untuk golongan atau
kalangan terbatas, eksistensinya tidak boleh bertentangan dengan
aturan hukum secara umum. Anggota yang terikat dengan
masyarakat yang secara umum mempunyai etika dan tatanan
tersendiri yang telah dipatok sebagai kesepakatan bersama. Jadi
etika profesi mengkhususkan keberlakuannya pada sekelompok
orang yang hidup pada suatu masyarakat yang menerapkan seni
ketrampilan khusus yang dari padanya tidak jarang dijadikan
sebagai mata pencaharian. Secara teoretik, perilaku atau suatu
keadaan dipandang tentang etis dan tidaknya akan tetap menjadi
perdebatan abstrak. Etika bersifat relatif, acuan praktisnya
senantiasa menyesuaikan dengan tempat dan waktu.
B. Etika Kepribadian Advokat sebagai Pejabat Penasihat
Hukum
Etika kepribadian Advokat sebagai pejabat penasihat
hukum, maka advokat:
a. Berjiwa Pancasila;
b. Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Menjunjung tinggi hukum dan sumpah jabatan;
d. Bersedia memberi nasihat dan bantuan hukum tanpa
membedakan agama, suku, keturunan, kedudukan sosial,
dan keyakinan politik;
e. Tidak semata-mata mencari imbalan material, tetapi
terutama untuk turut menegakkan hukum, keadilan, dan
kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung
jawab;
f. Bekerja dengan bebas dan mandiri serta tidak
dipengaruhi oleh siapapun dan wajib menjunjung tinggi
hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia;
g. Memegang teguh rasa solidaritas sesama advokat dan
wajib membela secara cuma-cuma teman sejawat yang
diajukan sebagai tersangka dalam perkara pidana;
h. Tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang dapat
merugikan kebebasan, derajat, dan martabat advokat,
senantiasa menjunjung tinggi profesi advokat sebagai
profesi terhormat;
i. Bersikap benar dan sopan terhadap pejabat penegak
hukum, sesama advokat, dan masyarakat, serta
mempertahankan hak dan martabat advokat di forum
manapun juga.3
C. Etika Advokat dalam Menjalankan Profesinya terhadap
Klien
Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 menyatakan
bahwa seorang advokat memberi jasa hukum berupa konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum klien. Jasa hukum itu tentunya
diberikan secara profesional, dalam arti kerangka hukum harus
sesuai kode etik dan standar profesi. Dalam sebuah tulisan tiga
tahun yang lalu untuk Acara Peringatan Ulang Tahun Asosiasi
Advokat Indonesia ke-15, dikatakan bahwa dalam membicarakan
kode etik dan standar profesi advokat harus dikaji melalui
pendekatan kewajiban advokat kepada Masyarakat, Pengadilan,
Sejawat Profesi dan kepada Klien. Selanjutnya dikatakan bahwa
dalam membagi jasa hukum yang diberikan seorang advokat itu ke
dalam beberapa kategori:
a. Berupa nasihat lisan ataupun tulisan terhadap
permasalahan hukum yang dipunyai klien, termasuk disini
membantu merumuskan berbagai jenis dokumen hukum. Dalam
kategori ini, advokat secara teliti antara lain memberi penafsiran
terhadap dokumendokumen hukum yang bersangkutan dalam
kaitannya dengan peraturan perundang-undangan Indonesia
(ataupun mungkin internasional).
b. Jasa hukum membantu dalam melakukan negosiasi
(proses tawar menawar dalam perundingan) atau mediasi

3
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Cet. 2. PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hlm. 95-99
(menyelesaikan suatu perselisihan). Advokat harus memahami
keinginan klien maupun pihak lawan, dan tugas utamanya
memperoleh penyelesaian secara memuaskan para pihak. Kadang
kala advokat harus pula diminta menilai bukti-bukti yang
diajukan pihak-pihak, tapi tujuan utama jasa hukum disini
adalah memperoleh penyelesaian di luar pengadilan.
c. Dalam kategori ini jasa hukum adalah membantu klien di
Pengadilan, baik di bidang hukum perdata, hukum pidana,
hukum tata usaha (administrasi) negara, ataupun (mungkin) di
Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus-kasus (hukum) pidana, maka
bantuan jasa hukum didahului pula oleh bantuan ketika klien
diperiksa di Kepolisian dan Kejaksaan.
D. Etika Melakukan Tugas Jabatan sebagai Penasihat
Hukum Advokat
Sebagai pejabat penasihat hukum dalam melakukan tugas
jabatannya:
a. Tidak memasang iklan untuk menarik perhatian, dan tidak
memasang papan nama dengan ukuran dan bentuk
istimewa,
b. Tidak menawarkan jasa kepada klien secara langsung atau
tidak langsung melalui perantara, melainkan harus
menunggu permintaan
c. Tidak mengadakan kantor cabang di tempat yang merugikan
kedudukan advokat, misalnya di rumah atau di kantor
seorang bukan advokat
d. Menerima perkara sedapat mungkin berhubungan langsung
dengan klien dan menerima semua keterangan dari klien
sendiri
e. Tidak mengizinkan pencantuman namanya di papan nama,
iklan, atau cara lain oleh orang bukan advokat tetapi
memperkenalkan diri sebagai wakil advokat
f. Tidak mengizinkan karyawan yang tidak berkualifikasi
untuk mengurus sendiri perkara, memberi nasihat kepada
klien secara lisan atau tertulis
g. Tidak mempublikasikan diri melalui media massa untuk
menarik perhatian masyarakat mengenai perkara yang
sedang ditanganinya, kecuali untuk menegakkan prinsip
hukum yang wajib diperjuangkan oleh semua advokat
h. Tidak mengizinkan pencantuman nama advokat yang
diangkat untuk suatu jabatan negara pada kantor yang
memperkerjakannya dahulu
i. Tidak mengizinkan advokat mantan hakim/panitera
menangani perkara di pengadilan yang bersangkutan selama
tiga tahun sejak dia berhenti dari pengadilan tersebut.
E. Perilaku Pengacara dalam Menjalankan Tugas Sebagai
Pengacara
Penegakan hukum yang berproses di persidangan dan di
pengadilan ‘meja hijau’ melibatkan banyak institusi di bidang
hukum diantaranya adalah pengacara. Dalam persidangan
pengcara bertugas untuk memberikan jasa hukum, pendampingan
hukum, pemberi pendapat hukum, menjadi kuasa hukum untuk
dan atas nama kliennya dalam rangka menegakkan hukum,
keadilan, dan kebenaran. Pengacara harus mampu untuk
mengidentifikasi suatu peristiwa dengan mempergunakan ilmu
pengetahuan hukum materiil dan hukum formilnya; begitu pula
dengan pengacara harus bisa mengetahui batas kewenangannya.
Pengaturan semacam ini untuk menjamin hak-hak klien dalam
penyidikan.
Undang-Undang No.18 Tahun 2003 ini hanya memberikan
kekebalan terhadap Advokat dalam menjalankan profesinya
dengan “itikad baik”. Dalam hal ini dibuktikan bahwa Advokat
tersebut dalam menjalankan profesinya tidak dengan itikad baik,
yang bersangkutan dapat dituntut baik secara perdata maupun
pidana. Advokat dalam berperkara membela kliennya dilarang
untuk membocorkan rahasia kliennya. Advokat pun tidak boleh
menggunakan rahasia kliennya untuk merugikan kepentingan
klien tersebut. Advokat tidak boleh menggunakan rahasia kliennya
untuk kepentingan pribadi Advokat atau untuk kepentingan pihak
ketiga. Sesuai Pasal 19 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, dan
Kode Etik Profesi Advokat Pasal 4 huruf (h): “Advokat wajib
memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan
oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga
rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan
klien itu.” Advokat berhak memperoleh informasi dalam
menjalankan profesinya, informasi tersebut bisa berupa data, dan
dokumen lainnya yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan
kliennya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang
berkaitan dengan kepentingan tersebut. Meminta keterangan yang
diperlukan, dalam menjalankan tugas kewajibannya memerlukan
data keterangan dari instansi pemerintah atau organisasi
pemerintah ataupun swasta. Sesuai dengan Pasal 17 Undang-
Undang Advokat.
Hak menerima uang jasa, Advokat yang membela klien baik
di dalam maupun di luar sidang pengadilan berhak menerima
uang jasa sebagai imbalannya, dari klien yang dibelanya. 4
Fungsi pengacara bukan hanya berperkara di pengadilan,
namun sangat penting, mewakili kepentingan warga negara dalam
hubungannya dengan pemerintah. Justru karena profesi advokat
mengerti akan bentuk, lembaga dan aturan negara dan bertugas
untuk mewakili warga negara kalau bertentangan dengan negara
atau warga negara yang lainnya.
Peran pengacara sesungguhnya memperbaiki sistem dan
kinerja peradilan di Indonesia yang sering dikatakan sudah sangat
rusak. Sebagaimana Penegak hukum seperti Hakim, Jaksa dan
Polisi hampir-hampir tidak lagi dapat dipercaya masyarakat untuk
menjalankan roda keadilah sesuai dengan perannya dalam
penegakkan hukum dan keadilan.
Kesimpulan
Advokat atau pengacara sebagai profesi mulia harus
menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan dan kode etik,
sehingga apabila melakukan pelanggaran yang merugikan profesi
atau klien harus mendapat tindakan berupa sanksi-sanksi yang
dijatuhkan juga tidak menghilangkan haknya untuk tetap
jalankan profesi. Di sinilah martabat sebagai pengacara tetap
dihormati sedang sanksi adalah bentuk penindakan atas
pelanggaran yang dilakukan. Selain itu, rasiologis sanksi adalah
dalam rangka memberikan perlindungan hukum, khususnya
terhadap pihak yang dirugikan. Sesuai pendapat Pilipus M. Hadjon
mengenai perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam, yaitu:
pertama perlindungan hukum preventif, adanya peraturan
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Advokat dan Kode
etik harus ditaati oleh setiap advokat. Kedua perlindungan hukum
represif, adanya pemberian sanksi terhadap pelanggaran Undang-
Undang Advokat maupun Kode Etik Advokat.

Lasdin Wlas, Wlas, Lasdin, Cakrawala Advokat Indonesia, Liberty Yogyakarta


4

1989, hlm. 19
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 2004.Hukum dan Penelitian Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Frans Hendra Winata, 1995. Advokat Indonesia, Citra,
Idealisme dan Kepribadian. Sinar Harapan, Jakarta.
Jazim Hamidi, 2005, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah
Proklamasi 17 Agustus l945 dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung.
John Rawls, 1971, A. Theory of Justice, Belknap, Harvard.
Lasdin Wlas, Wlas, Lasdin, 1989, Cakrawala Advokat
Indonesia, Liberty Yogyakarta.
Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi
Hakim, Jaksa, advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai