A. PENDAHULUAN
Secara teoritis maupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan non
positivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, namun berbeda dalam
penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan, dan hukum sendiri
merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. Dalam
filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma,
dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas,
dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran
etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran
hukum
Hukum dan kepastian adalah dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Hukum
ada adalah untuk adanya kepastian, adanya kepastian juga menjadikan hukum itu lebih
ditaati. Untuk mewujudkan adanya kepastian maka hukum itu harus diciptakan terlebih
dahulu sebelum perbuatan-perbuatan yang diatur dalam hukum itu dilakukan, sehingga
masyarakat menjadi tahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan serta
mengetahui konsekuensinya kalau mereka berbuat bertentangan atau melawan hukum.
Kepastian memiliki arti “ketentuan; ketetapan” sedangkan jika kata “kepastian”
digabungkan dengan kata “hukum” maka menjadi kepastian hukum, yang diartikan
sebagai perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara. Hukum mengandung kepastian manakala hukum itu dapat
menyebabkan perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi terikat
dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum itu sendiri. Nilai
kepastian inilah yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat sehingga dapat
memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban.Kepastian merupakan ciri yang
tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama yang merupakan hukum positif atau
peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi
setiap orang. Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak
menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.
Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga
siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu
dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.
Manifestasi kontrit dari suatu kode etik adalah terlaksananya pedoman atau
tuntunan tingkah laku yang sudah digariskan suatu kode etik pada profesi. Pelaksanaan
suatu profesi yang merupakan karya pelayanan masyarakat. Ini membawah akibat
pelaksanaan etik profesi dalam kode etik tersebut terkait dengan kebudayaan yang
berkembang di dalam masyaraakat.
Kebudayaan tersebut dalam wujud idiil merupakan keseluruhan ide-ide, nilai-nilai yang
memberikan arah mengindikasikan dan mengatur tata kelakuan manusia dalam
masyarakat. Perwujudannya ini termasuk yang berupa etika pada umumnya, atau itu
etika profesi tidak boleh tentang dengan etika pada umumnya, atau etika pada umumnya
yang menyangkut profesi mengkristalisasikan diri ke dalam etika profesi (kode etik).
Disamping itu kebudayaan mempunyai unsure-unsur, diatas diakaitkan dengan
pelaksanaan suatu yang dikehendaki oleh etika profesi mensyaratkan adanya penerapan
ilmu tertentu untuk menyelesaikan / memecahkan persoalan- persoalan masyarakat,
maka penerapan ilmu Itupun terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Jadi
pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan profesi harus tidak bertentangan
denan nilai-nilai (etika) dalam kerangka kebudayaan masyarakat, agar profesi yang
bersangkutan mendatangkan kemasyarakatan masyarakatnya. Walupun dalam ilmu
dalam profesi tertentu memungkinkan, hal ini tidak harus dilaksanakan apabila etika
membatasinya, misalnya; untuk keperluan ilmu dalam pengobatan baru harus
diujicobakan yang paling tepat dilakukan terhadap manusia, sudah tentu ini tidak etis
bila manusia dijadikan kelinci percotaan. Dibidang hukum misal; penyidikan dilakukan
polisi, dalam ilmu kepolisian dutuntut keberhasilan mengungkap setiap kejahatan,
dikenal berbagai teknik dalam pemeriksaan untuk memperoleh keterangan faktanya,
maka digunakan cara pemaksaan bahkan penyiksaan. Tentu hal ini secara etis tidak
dapat diterima.
Adanya hubungan antara hukum dan etik, seperti mengenai ketentuan etik
profesi yang mengharuskan profesi tertentu menyimpan rahasia. Kewajiban
menyimpan rahasia ini ada ketentuan dalam hukum (Pasal 170 KUHAP) yang disebut
dengan istilah verschonings ercht,dan membocorkan rahasia tersebut merupakan
tindak pidana (Pasal 322 KUHP). Etika profesi dapat dikatakan sebagai perangkat
hukum khusus dengan mendasarkan pada beberapa kenyataan, seperti 1) pada kasus
Adnan Buyung yang pelanggaran kode etik kedokteran Ikut berperanya Majelis Kode
Etik Kedokteran, dalam kasus Advokad Pemuji, S.H. pertimbangan Keputusan Ma
Reg. No. 02/K/Rup/1987, antara lain dinyatakan : “selama seseorang menyadang
sebutan sebagai penasihat hukum, maka terhadapnya diberlakukan hukum umum, juga
norma-norma hukum khusus yang tidak tertulis termasuk dengan profesinya” dalam
proses peradilan, surat keterangan dokter diakui oleh hakim dalam pemeriksaan karena
mengingat kode etik kedokteran etika profesi yang dapat dikategorikan sebagai tindakan
malpraktik yang dilakukan para pemegang profesi. Ada yang menyebutkan pula bahwa
malpraktik pada hakikatnya merupakan perbuatan seseorang yang memiliki suatu
profesi akan tetapi menjalankan profesinya itu secara salah, yaitu, praktik yang buruk
bahkan praktik jahat dari profesinya yang bertentangan dengan tuntutan tanggung jawab
profesinya.
Tertib hukum hendak menciptanya suasana yang aman dan terreram di dalam
masyarakat, oleh karena itu kaidah-kaidah harus ditegakkan dan dilaksanakan dengfan
tegas melalui upaya kepastian hukum. Kepastian hukum adalah suatu kepastian deadaan
oleh karena hukum dan kepstian dalam hukum sendiri.
Logeman telah menggambarkan dengan jelas bahwa kepastian hukum tidaklah berarti
harus bewujud dalam peraturan- peraturan belaka,akan tetapi mungkin juga berwujud di
dalam keputusan-keputusan pejabat yang berwenang. Sebab dalam keadaan nyata
hukum itu berupa suatu keputusan dan abstraknya hukum merupakan peraturan.
Peraturan Hukum dalam penerapannya pada suatu peristiwa tertentu selalu terdapat
penilaian untuk diselesaikan dengan suatu keputusan.
Kejahatan itu bersifat nasbih, tumbuh turun naik jumlahnya sesuai dengan
berubahnya konsisi sosial, dan terbentuk bertingkat-tingkat sesuai denan klasifikasi
(tipologi) yang berkembang dalam keilmuan. Reaksi sosial terhdap kriminalitas di dalam
masyarakat yang kompleks sensntiasa mempunyai berbagai sosial yang dilaksanakan
melalui lembaga formal ataupun yang informal.Proses dinamika reaksi sosial terhadap
kejahatan memang mempunyai kecenderungang didasarkan pada perkembangan
kejahatan yang sesungguhny, terjadi dalam masyarakat. Kebijakan proses reaksi sosial
dipegang oleh lembaga yang diserahi tugas dalam struktur sosial dinamakan politik
criminal. Dalam penegakan hukum, masih saja dilihat berbagai permasalahan yang
menjauhkan hukum dari tujuan mulianya.Politik criminal dalam arti seluas-luasnya
meliputi segala usaha yang dilakukan melalui pembentukan undang-undang dan /atau
melalui tindakan dari bahan-bahan yang deserahi tugas dalam melakukan penilaian dan
pemilihan dari sekian banyak alternatif yang di serahi tugas dalam melakukan penialain
dan pemilihan dari sekian banyak alternative yang dihadapi untuk menanggulangi
kejahatan.Untuk menyelenggarakan politik criminal termasuk di dalamnya ialah politik
hukuman pidana yang menjadi salah satu upaya penangkak dalam penanggulangan
kejahatan. Daya guna dan hasil guna hukum pidana sangant terbatas jangkuannya untuk
mengatasi persoalan kejahatan /penjabat.
Dengan kata lain, sampai sejauh manakah hukum pidana positif berlaku secara efektif di
dalam masyarakat? Jawaban dari para ahli telah sampai pada konsepsi pemikiran
tentang fungsi dan sifat hukum pidana untuk mencegahkan masalah kejahatan
/penjabat tidak secara legislates yang sempit dan juridis dogmatic saja. Melainkan
mencegahkan problema hukum pidana berhubungan dengan faktor- faktor
kemasyarakatan yang meliputi ekonomi, sosial, politik, budaya, keamanan nasional dan
lain-lainnya atas dasar pertimbangan baik secara teoritis maupun secara praktis
operasional.
Jenis kejahatan di atas perlu mendapatkan perhatian yang sungguh- sungguh, sebab
dimensi viktimologisnya sangar besar. Yang dirugikan tidak hanya kliennya saja, tetapi
masyarakat dan Negara dalam kaitannya dengan kebijaksanaan pembangunan (public
policy) serta organisasi profesinya. Disamping itu hal-hal yang dibawah ini memperkuat
motivasi untuk menanganinya secara tidak sambil lalu.
Karakteristik profesional banyak sekali. Namun yang penting antara lain adalah sebagai
berikut :
- Skill based on theorical knowledge.
- Required educational and training.
- Testing of competence.
- Organization (into a professional association).
- Adherence to a code of conduct, and
- Altruistic service.
Apabila hal ini kita kaitkan dengan atribut yang bersifat individual, maka
karakteristiknya akan berkaitan dengan masalah keperilakuan. Dari sekian banyak
karakteristik di atas, sebenarnya terdapat tiga kategori karakteristik yang sangat
menonjol.Pertama, adalah perlu adanya persyaratan extensive training untuk berpraktek
sebagai profesional. Kedua adalah bahwa training tersebut mengandung apa yang
dinamakan a significant intellectual component, tidak sekedar bersifat skill training
semata-mata.Ketiga adalah pentingnya kesadaran untuk mengabdikan segala
kemampuan diatas untuk pelayanan masyarakat yang semakin kompleks karena proses
modernisasi.
Kepastian sendiri secara etimologis intinya berasal dari kata pasti dimana
memiliki pengertian tidak dapat dirubah.Selain itu juga memiliki pengertian
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang pada dasarnya
kepastian sendiri adalah dalam hal suatu kondisi yang pasti, seyogyanya
hukum juga begitu harus pasti. Selain itu juga dapat dilihat dengan peraturan
perundangan yang diciptakan secara pasti dengan begitu akan mengakomodir
dengan jelas dan masuk akal. Kepastian sendiri dapat dilihat dengan
peraturan perundang-undangan karena kepastian merupakan suatu bentuk
penelitian normatif. Dalam asas kepastian hukum ketika peraturan perundang-undangan
tersebut diciptakan serta diundangkan dengan memerhatikan dan
mempertimbangkan asas kepastian hukum maka akan terwujud suatu aturan
yang jelas, masuk akal atau logis dan nantinya tidak akan terjadi keraguan
yang menimbulkan multitafsir yang akan berbenturan dengan berbagai norma
atau peraturan yang ada serta sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 yang berisi mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan pasal
6 huruf i yang pada intinya menyatakan bahwa isi daripada muatan dalam
peraturan perundangan harus mencerminkan asas kepastian hukum, maka
dengan adanya asas kepastian hukum peraturan-peraturan itu dapat menjadi
suatu batasan bagii masyarakat dalam melakukan suatu hal tindakan dari satu orang
terhadap orang yang lainnya. Adanya batasan di dalam suatu peraturan
hukum artinya tidak boleh mengandung substansi yang cenderung mengarah
dan memiliki banyak makna atau biasa penulis menyebut multitafsir jika
dikorelasikan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lainnya atau
suatu norma lainnya yang berlaku.
Adapun pendapat para ahli yang digunakan penulis untuk dijadikan dasar
berfikir dan referensi yaitu teori yang dikemukakan Gustav Radbruch yaitu
beliau mengatakan bahwasannya pada intinya dalam asas kepastian hukum
yakni suatu yang sangat mendasar dimana hukum harus positif, dilaksanakan
dan dipatuhi.Maksud dari pernyataan beliau adalah asas kepastian hukum
adalah hal yang mendasar dalam kehidupan masyarakat dimana hukum
tersebut harus mengandung hak-hak individu atau kelompok secara merata
yang akan diberlakukan dalam suatu waktu dan tempat tertentu sehingga
tujuan dari kepastian hukum nantinya dapat tercapai dan dapat diterima serta
menjamin kepastian hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Gustav Radbruch juga mengatakan bahwasannya asas kepastian hukum itu
memiliki empat faktor yakni :
a.Faktor berupa perundangan yang bersifat positif (gesetzliches Recht).
b.Didasarkan pada fakta (tatsachen)
c.Fakta dalam suatu kejadian perlu dijelaskan dan diuraikan secara benar
supaya tidak menimbulkan kesalahan pada saat dipahami dan
dijalankan.
d.Merupakan hukum positif jadi tidak mudah dirubah.
Faktor-faktor diatas tentu tidak bisa terlepas dengan asas kepastian hukum
jika ditinjau dan dipahami secara seksama, dalam empat faktor tersebut
memiliki korelasi yang saling berkaitan, pada poin yang pertama perundang-
undangan memiliki sifat yang positif dimana dimaksudkan setelah melihat
suatu peraturan perundang-undangan juga harus bisa didasarkan pada fakta
suatu kejadian dan tidak hanya berhenti pada poin tersebut namun korelasi
masih berlaku pada poin selanjutnya dimana setelah fakta ditemukan tentu
harus dijelaskan dan diuraikan secara komprehensif sehingga hukum positif
tersebut tidak dapat diubah-ubah.
Tidak hanya Gustav Radbruch namun ada pendapat kedua yang juga
disampaikan oleh Utrecht dimana beliau mengatakan bahwasannya asas
kepastian hukum memiliki 2 definisi yakni :
a. Ada suatu peraturan yang memiliki sifat umum yang membuat
seseorang tahu perbuatan apa dan bagaimana yang boleh/tidak boleh
dilakukan.
b. Ada suatu keamanan hukum bagi seseorang dari tindak kesewenangan
pemerintah.
Dengan adanya penjelasan diatas tersebut maka seseorang dapat tahu apa
saja yang dapat dan tidak dapat dibebankan atau dikenakan oleh negara
kepada individu.Secara tidak langsung kedua definisi Utrecht memiliki
hubungan dimana dengan adanya asas tersebut orang akan mengetahui
perbuatan yang diperbolehkan serta dilarang dan ketika seseorang tahu
klasifikasi perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang dilarang maka
nantinya tujuan kepastian hukum akan tercipta suatu keamanan hukum bagi
suatu individu terhadap siapapun.
Pendapat ketiga diutarakan oleh Van Apeldoorn dimana beliau
menyatakan bahwasannya asas kepastian hukum sendiri diklasifikasikan ke
dalam 2 bagian yang pertama yaitu mengenai proses pembentukannya yang
konkret dan cepat dalam hal ini yang dimaksud adalah para pencari keadilan
atau masyarakat pada umumnya dan yang kedua adalah hukum harus memiliki
batasan secara menyeluruh.16 Penjelasan mengenai pendapat beliau pada poin
pertama dimaksudkan dalam asas kepastian hukum mengenai proses
pembentukanya harus mengutamakan masyarakat pada umumnya dan ketika
masyarakat memerlukan kepastian hukum maka hukum itu telah ada dan dapat
menjamin masyarakat tersebut karena proses pembentukannya yang konkret
dan cepat selanjutnya pada poin kedua menjadi pengingat dalam poin pertama
dimana meskipun proses pembentukannya yang konkret dan cepat namun hukum atau
pengaturan tersebut harus tetap memiliki batasan-batasan secara
jelas, batasan disini dimaksudkan terkait batasan pemahaman dan penerapan
dari pengaturan tersebut.
Maka dari pemaparan dan penjelasan teori dari asas kepastian hukum
diatas adanya asas tersebut maka segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dapat terjamin karena orang akan tahu mana yang dapat dan tidak
dapat dilakukan.17 Dalam hal ini juga dapat digunakan landasan berfikir oleh
penulis untuk membantu penulis dalam menjawab dan menjelaskan dalam
kepastian hukum dalam unsur subyektif dan obyektif.
Kepastian hukum secara umum telah diatur dalam UUD 1945 pada pasal
28D ayat 1 pada intinya mengatakan tiap warga Negara Republik Indonesia
memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam pengaturan diatas tentu memerlukan perwujudan yang idealnya
perwujudan tersebut berupa rumusan-rumusan norma tidak hanya berupa
uraian-uraian dalam bentuk pernyataan.18 Berbicara mengenai kepastian
hukum sendiri merupakan suatu perwujudan dari penerapan yaitu asas
legalitas, dimana asas legalitas sendiri dijelaskan di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP
menyatakan pada intinya tidak ada tindak pidana yang dapat dipidana kecuali
berdasarkan ketentuan hukum pidana yang telah ada sebelum tindak
pidana itu dilakukan.
C. PENUTUP
Kesimpulan