Anda di halaman 1dari 17

ETIKA HUKUM DAN KEPASTIAN HUKUM

IVANA MICKAEL SITUMORANG


No. Bp : 201000300281

Fakultas Hukum Universitas Ekasakti

A. PENDAHULUAN

Dalam masyarakat modern, etika menentukan bagaimana individu, profesional,


dan perusahaan memilih untuk berinteraksi satu sama lain. Kata etika berasal dari kata
Yunani ethos, yang berarti "karakter", dan dari kata Latin mores , yang berarti "adat
istiadat". Aristoteles adalah salah satu filsuf besar pertama yang mempelajari etika.
Baginya, etika lebih dari sekedar konsep moral, agama, atau hukum. Dia percaya bahwa
elemen terpenting dalam perilaku etis adalah pengetahuan bahwa tindakan dilakukan
demi kebaikan bersama. Dia bertanya apakah tindakan yang dilakukan oleh individu
atau kelompok baik untuk individu atau kelompok dan untuk masyarakat. Untuk
menentukan apa yang baik secara etis bagi individu dan masyarakat, kata Aristoteles,
perlu memiliki tiga kebajikan kebijaksanaan praktis: kesederhanaan, keberanian, dan
keadilan.

Kebutuhan untuk mengontrol, mengatur, dan membuat undang-undang perilaku


etis di tingkat individu, perusahaan, dan pemerintah memiliki akar kuno. Misalnya,
salah satu kode hukum paling awal yang dikembangkan, Kode Hammurabi ,
menjadikan Suap sebagai kejahatan di Babilonia selama abad kedelapan belas.
Kebanyakan masyarakat memiliki ciri-ciri tertentu dalam kode etik mereka, seperti
melarang pembunuhan, cedera tubuh, dan serangan terhadap kehormatan dan reputasi
pribadi. Dalam masyarakat modern, sistem hukum dan peradilan publik terkait erat
dengan etika dalam menentukan dan menegakkan hak dan kewajiban yang pasti.
Mereka juga berusaha untuk menekan dan menghukum penyimpangan dari standar
tersebut.

Hukum juga mengizinkan banyak tindakan yang tidak akan dilakukan


pemeriksaan etis. Dengan kata lain, apa yang diizinkan atau diminta oleh hukum belum
tentu benar secara etis. Misalnya, undang-undang mengizinkan ketidaksetiaan terhadap
teman, pengingkaran janji yang tidak memiliki status kontrak hukum, dan berbagai
penipuan.Hukum terkadang mensyaratkan amoralitas yang besar, seperti halnya yang
mewajibkan warga untuk mengembalikan budak yang melarikan diri kepada majikan
mereka, dan keputusan Mahkamah Agung AS , yang pada tahun 1857 menyatakan
bahwa budak bukanlah warga negara tetapi properti.

Meskipun undang-undang memengaruhi perilaku beberapa profesi, banyak


masalah etika tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan. Etika suatu tindakan tertentu
seringkali ditentukan secara independen dari legalitas tindakan tersebut. Faktanya,
jawaban yang tegas tidak selalu dapat diberikan untuk banyak masalah etika karena
tidak ada standar yang dapat diterapkan atau teori yang dapat diandalkan untuk
menyelesaikan konflik etika. Tanggapan dari banyak profesi terhadap masalah yang
menantang dan menuntut dari pelembagaan etika bisnis adalah dengan menerapkan
kode etik, mengembangkan pernyataan tujuan perusahaan, mensponsori pelatihan dan
program pendidikan di bidang etika, memasang badan peradilan internal yang
menangani kasus ketidakwajaran, dan membuat telepon panas. garis di mana karyawan
dapat secara anonim melaporkan kemungkinan pelanggaran etika. Kode etik memberi
anggota suatu profesi standar perilaku dan prinsip yang harus diperhatikan sehubungan
dengan kewajiban moral dan profesional mereka terhadap satu sama lain, klien mereka,
dan masyarakat secara umum. Fungsi utama kode etik adalah memberikan panduan
kepada pemberi kerja dan karyawan dalam dilema etika, terutama yang bersifat ambigu.

Kode etik seringkali dikembangkan oleh masyarakat profesional dalam suatu


profesi tertentu. Semakin tinggi tingkat profesionalisme yang dibutuhkan dari anggota
masyarakat, semakin kuat dan, oleh karena itu, kode tersebut lebih dapat dilaksanakan.
Misalnya, dalam kedokteran, perilaku yang dituntut lebih spesifik dan konsekuensinya
lebih ketat pada kode etik dokter daripada kode etik perawat. Selain itu, profesi yang
memerlukan lisensi dari dewan resmi negara, yang menjamin kompetensi dan
kemanjuran moral anggotanya, menempatkan tugas pada profesional berlisensi untuk
membantu mencegah Praktik Tidak Sah.oleh penyedia tidak berlisensi sebagai cara
untuk melindungi publik. Keputusan dalam situasi etis dapat dibuat dengan lebih mudah
jika kodenya spesifik, memberikan arahan terperinci tentang tindakan apa yang harus
atau tidak boleh diambil, dan menjabarkan hukuman eksplisit untuk perilaku tidak etis.
Oleh karena itu, beberapa asosiasi profesional yang besar dan berpengaruh telah
mengembangkan kode yang sangat rinci dan dapat diterapkan untuk keanggotaan
mereka.

Secara teoritis maupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan non
positivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, namun berbeda dalam
penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan, dan hukum sendiri
merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. Dalam
filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma,
dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas,
dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran
etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran
hukum

Hukum dan kepastian adalah dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Hukum
ada adalah untuk adanya kepastian, adanya kepastian juga menjadikan hukum itu lebih
ditaati. Untuk mewujudkan adanya kepastian maka hukum itu harus diciptakan terlebih
dahulu sebelum perbuatan-perbuatan yang diatur dalam hukum itu dilakukan, sehingga
masyarakat menjadi tahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan serta
mengetahui konsekuensinya kalau mereka berbuat bertentangan atau melawan hukum.
Kepastian memiliki arti “ketentuan; ketetapan” sedangkan jika kata “kepastian”
digabungkan dengan kata “hukum” maka menjadi kepastian hukum, yang diartikan
sebagai perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara. Hukum mengandung kepastian manakala hukum itu dapat
menyebabkan perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi terikat
dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum itu sendiri. Nilai
kepastian inilah yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat sehingga dapat
memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban.Kepastian merupakan ciri yang
tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama yang merupakan hukum positif atau
peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi
setiap orang. Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak
menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.
Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga
siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu
dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.

Secara normatif, kepastian hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan


perundang-undangan yang dibuat serta diundangkan dengan pasti. Hal ini dikarenakan
kepastian hukum dapat mengatur dengan jelas serta logis sehingga tidak akan
menimbulkan keraguan apabila ada multitafsir. Sehingga tidak akan berbenturan serta
tidak menimbulkan konflik dalam norma yang ada di masyarakat. Sedangkan menurut
Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya peraturan
yang memiliki sifat umum untuk dapat membuat seorang individu mengetahui apa
perbuatan yang boleh serta tidak boleh dilakukan. Sementara pengertian yang kedua
adalah keamanan hukum untuk seorang individu dari kesewenangan pemerintah sebab,
dengan adanya peraturan yang berisfat umum itu, individu dapat mengetahui apa yang
boleh dibebankan serta apa yang boleh dilakukan oleh negara terhadap seorang
individu.Kepastian hukum juga dapat disimpulkan sebagai kepastian aturan hukum serta
bukan kepastian tindakan terhadap tindakan yang sesuai dengan aturan hukum.
B. PEMBAHASAN

1.Peranan Etika Profesi Dalam Upaya Penegakan Hukum.

Manifestasi kontrit dari suatu kode etik adalah terlaksananya pedoman atau
tuntunan tingkah laku yang sudah digariskan suatu kode etik pada profesi. Pelaksanaan
suatu profesi yang merupakan karya pelayanan masyarakat. Ini membawah akibat
pelaksanaan etik profesi dalam kode etik tersebut terkait dengan kebudayaan yang
berkembang di dalam masyaraakat.
Kebudayaan tersebut dalam wujud idiil merupakan keseluruhan ide-ide, nilai-nilai yang
memberikan arah mengindikasikan dan mengatur tata kelakuan manusia dalam
masyarakat. Perwujudannya ini termasuk yang berupa etika pada umumnya, atau itu
etika profesi tidak boleh tentang dengan etika pada umumnya, atau etika pada umumnya
yang menyangkut profesi mengkristalisasikan diri ke dalam etika profesi (kode etik).
Disamping itu kebudayaan mempunyai unsure-unsur, diatas diakaitkan dengan
pelaksanaan suatu yang dikehendaki oleh etika profesi mensyaratkan adanya penerapan
ilmu tertentu untuk menyelesaikan / memecahkan persoalan- persoalan masyarakat,
maka penerapan ilmu Itupun terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Jadi
pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan profesi harus tidak bertentangan
denan nilai-nilai (etika) dalam kerangka kebudayaan masyarakat, agar profesi yang
bersangkutan mendatangkan kemasyarakatan masyarakatnya. Walupun dalam ilmu
dalam profesi tertentu memungkinkan, hal ini tidak harus dilaksanakan apabila etika
membatasinya, misalnya; untuk keperluan ilmu dalam pengobatan baru harus
diujicobakan yang paling tepat dilakukan terhadap manusia, sudah tentu ini tidak etis
bila manusia dijadikan kelinci percotaan. Dibidang hukum misal; penyidikan dilakukan
polisi, dalam ilmu kepolisian dutuntut keberhasilan mengungkap setiap kejahatan,
dikenal berbagai teknik dalam pemeriksaan untuk memperoleh keterangan faktanya,
maka digunakan cara pemaksaan bahkan penyiksaan. Tentu hal ini secara etis tidak
dapat diterima.

Etika profesi pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang memberikan tuntutan


tingka laku, demikian juga hukum. Etika profesi dan hukum sebenarnya sama- sama bisa
dilihat sebagai bagian dari kebudayaan. Lebih lanjut apabila dibandingkan, hukum
menghendaki agar tingkah laku manusia sesuai dengan aturan hukum yang diterapkan.
Sedangkan etika mengejar agar sikap batin manusia berada dalam kehendak batiniah
yang baik. Disini yang dituju bukan terpenuhinya sikap perbuatan lahiriah akan tetapi
sifat batin manusia yang bersumber pada hati nurani, karena itu diharapkan terciptanya
manusia berbudi luhur. Dapat dipertegaskan lagi antara hukum dan etika profesi
mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan dua-duanya memiliki sifat normative
dan mengandung norma-norma etik, barsifat mengikat. Disamping itu mempunyai
tujuan sosial yang sama, yaitu agar manusia berbuat baik sesuai dengan norma
masyarakat, dan berbagai siapa yang melanggar akan dikenai sanksi. Adapun
perbedaannya, mengenai sanksi dalam etika profesi hanya berlaku bagi anggota
golongan fungsional tertentu / anggota suatu profesi. Sanksi hukum berlaku untuk semua
orang dalam suatu wilayah tertentu, semua warga Negara / masyarakat. Apabila terjadi
pelanggaraan dalam etika profesi ditangani oleh perangkat dalam organisasi profesi
yang bersangkutan, misalnya oleh Majelis Kehormatan. Pelanggaran dalam bidang
hukum, hal ini dapat dilihat dengan adanya peraturan-peraturan mengenai profesi pada
umumnya mengundang hak- hak yang fundamental dan mempunyai aturan-aturan
mengenai tingka laku dalam melaksanakan profesinya. Dan ini terwujud dalam Kode
Etik Profesi sebagai keharuan, kewajiban. Dengan demikian ketentuan dalm kode etik
dapat dikualifikasikan sebagai normative etik yang mempunyai kaitanya dengan hukum,
dan mengandung ketenuan-ketentuan mengenai :
- Kewajiban pada diri sendiri,
- Kewajiban pada masyarakat umum,
- Kewajiban kerekanan,
- Kewajiban pada orang ataupun profesi yang dilayanani.

Adanya hubungan antara hukum dan etik, seperti mengenai ketentuan etik
profesi yang mengharuskan profesi tertentu menyimpan rahasia. Kewajiban
menyimpan rahasia ini ada ketentuan dalam hukum (Pasal 170 KUHAP) yang disebut
dengan istilah verschonings ercht,dan membocorkan rahasia tersebut merupakan
tindak pidana (Pasal 322 KUHP). Etika profesi dapat dikatakan sebagai perangkat
hukum khusus dengan mendasarkan pada beberapa kenyataan, seperti 1) pada kasus
Adnan Buyung yang pelanggaran kode etik kedokteran Ikut berperanya Majelis Kode
Etik Kedokteran, dalam kasus Advokad Pemuji, S.H. pertimbangan Keputusan Ma
Reg. No. 02/K/Rup/1987, antara lain dinyatakan : “selama seseorang menyadang
sebutan sebagai penasihat hukum, maka terhadapnya diberlakukan hukum umum, juga
norma-norma hukum khusus yang tidak tertulis termasuk dengan profesinya” dalam
proses peradilan, surat keterangan dokter diakui oleh hakim dalam pemeriksaan karena
mengingat kode etik kedokteran etika profesi yang dapat dikategorikan sebagai tindakan
malpraktik yang dilakukan para pemegang profesi. Ada yang menyebutkan pula bahwa
malpraktik pada hakikatnya merupakan perbuatan seseorang yang memiliki suatu
profesi akan tetapi menjalankan profesinya itu secara salah, yaitu, praktik yang buruk
bahkan praktik jahat dari profesinya yang bertentangan dengan tuntutan tanggung jawab
profesinya.

Dengan adanya tindakan pemegang profesi sebagai malpraktik membawa


konsekuensi penanganan / penindakan berdasarkan disiplin organisasinya maupun
hukum. Dalam hal penindakan menurut hukum meliputi baik dari segi hukum perdata,
hukum pidana, maupun hukum administrasi. Usaha pemberantasan kejahatan telah dan
terus dilakukan oleh semua pihak, baik Pemerintah maupun masyarakat, karena setiap
orang mendambahkan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai. Namun
denegara maupun kejahatan selalu dapat saja terjadi, sepanjang dalam Negara itu hidup
manusia-manusia yang mempunyai kepentingan yang berbeda,bahkan tidak jarang
bentrok satu dengan yang lain. Mencegah kejahatan berarti menghindarkan masyarakat
dari jatuhnya korban, penderitaan serta kerugian lainya. Meskpun dalam hal pencegahan
ini tugas pada penegak hukum (Polisi, Jaksa,Hakim), dalam menjalankan tugas dan
fungsinya tidaklah begitu mudah dalam menangani baik terhadap pelaku maupun
korban dari terjadi kejahatan. Apabila kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan
hukum itu mencapai tingkat kritis, kecenderungan reaksi sosial terhadap kejahatan
mengambil bentuk upaya-upaya perlindungan diri secara kolektif dengan
mengembangkan prasangka-prasangka sampai ke tindakan- tindakan yang sama
kerasnya dengan kejahatan itu sendiri. Keadaan inilah yang dijaga agar diciptakan
keteraturan.

Tertib hukum hendak menciptanya suasana yang aman dan terreram di dalam
masyarakat, oleh karena itu kaidah-kaidah harus ditegakkan dan dilaksanakan dengfan
tegas melalui upaya kepastian hukum. Kepastian hukum adalah suatu kepastian deadaan
oleh karena hukum dan kepstian dalam hukum sendiri.
Logeman telah menggambarkan dengan jelas bahwa kepastian hukum tidaklah berarti
harus bewujud dalam peraturan- peraturan belaka,akan tetapi mungkin juga berwujud di
dalam keputusan-keputusan pejabat yang berwenang. Sebab dalam keadaan nyata
hukum itu berupa suatu keputusan dan abstraknya hukum merupakan peraturan.
Peraturan Hukum dalam penerapannya pada suatu peristiwa tertentu selalu terdapat
penilaian untuk diselesaikan dengan suatu keputusan.

Kejahatan itu bersifat nasbih, tumbuh turun naik jumlahnya sesuai dengan
berubahnya konsisi sosial, dan terbentuk bertingkat-tingkat sesuai denan klasifikasi
(tipologi) yang berkembang dalam keilmuan. Reaksi sosial terhdap kriminalitas di dalam
masyarakat yang kompleks sensntiasa mempunyai berbagai sosial yang dilaksanakan
melalui lembaga formal ataupun yang informal.Proses dinamika reaksi sosial terhadap
kejahatan memang mempunyai kecenderungang didasarkan pada perkembangan
kejahatan yang sesungguhny, terjadi dalam masyarakat. Kebijakan proses reaksi sosial
dipegang oleh lembaga yang diserahi tugas dalam struktur sosial dinamakan politik
criminal. Dalam penegakan hukum, masih saja dilihat berbagai permasalahan yang
menjauhkan hukum dari tujuan mulianya.Politik criminal dalam arti seluas-luasnya
meliputi segala usaha yang dilakukan melalui pembentukan undang-undang dan /atau
melalui tindakan dari bahan-bahan yang deserahi tugas dalam melakukan penilaian dan
pemilihan dari sekian banyak alternatif yang di serahi tugas dalam melakukan penialain
dan pemilihan dari sekian banyak alternative yang dihadapi untuk menanggulangi
kejahatan.Untuk menyelenggarakan politik criminal termasuk di dalamnya ialah politik
hukuman pidana yang menjadi salah satu upaya penangkak dalam penanggulangan
kejahatan. Daya guna dan hasil guna hukum pidana sangant terbatas jangkuannya untuk
mengatasi persoalan kejahatan /penjabat.
Dengan kata lain, sampai sejauh manakah hukum pidana positif berlaku secara efektif di
dalam masyarakat? Jawaban dari para ahli telah sampai pada konsepsi pemikiran
tentang fungsi dan sifat hukum pidana untuk mencegahkan masalah kejahatan
/penjabat tidak secara legislates yang sempit dan juridis dogmatic saja. Melainkan
mencegahkan problema hukum pidana berhubungan dengan faktor- faktor
kemasyarakatan yang meliputi ekonomi, sosial, politik, budaya, keamanan nasional dan
lain-lainnya atas dasar pertimbangan baik secara teoritis maupun secara praktis
operasional.

Transformasi dan makanisme Negara hukum dalam kaitannya dengan tujuan


Negara dan sistem pemerintah ialah Negara mempunyai tujuan yang sangat luas
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dalam tertib hukum yang dilakukan oleh
pemerintah bersama alat perlengkapannya, dan menegakkan hukum itu merupakan
salam satu aspek tujuan Negara. Tujuan Negara tidak hanya menenggakkan hukum saja.
Penyelenggaraan Negara secara positif (bestuur) dan penyelenggaraan Negara secara
negative untuk menangkal bahaya yang mengamcam Negara tidak bisa dipisah-
pisahkan. Kejahatan dalam arti perbuatan yang merugikan, membayakan dan
bertentangan dengan hukum menjadi tanggung jawab tugas penyelenggaraan Negara
secara negatif. Di dalam kenyataannya penyelenggaraan Negara secara negatif untuk
menangkal dan mencegah kejahatan, mengikuti sertakan alat-alat pelengkapan Negara
pada suatu Team Operasi terhadap kejahatan yang modus operandinya telah
mempergunakan teknologi, senjata api, dan gerakan terorganisir. Pola kejahatan dalam
tingkat demikian itu yang dinilai adanya bahaya yang mengancam Negara. Agar operasi
penanggulangan kejahatan mempunyai manfaat diperlukan suatu strategis
penanggulangan kejahatan yang meliputi program pengurangan kejahatan,program
pengendalian sosial, dan program peradilan pidana yang terpadu. Reaksi formal dan
informal diharapkan pula terpadu sesuai dengan perkembangan peningkatan kejabatan,
namun demikian kejahatan itu harus diberantas sampai menunjukan jalan orang yang
tersesat dan cintailah kemanusiaan. Penggunaan tentang orientasi ilmu hukum pidana,
beberapa catatan kelemahan peradialan pidana, dan perubahan dalam masyarakat
haruslah mendapatkan perhatian dari kita semua sehingga pengumpulan kejahatan dan
perenungan mengenai kemampuan hukum (hukum pidana) yang terbatas, sehingga
perlingungan terhadap masyarakat itu harus juga mempergunakan sarana-sarana lain
sesuai dengan tuntutan dari perkembangan dewasa ini.

2. Evektifitas Etika Profesi Dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan di


Lingkungan Profesional.

Pengetahuan tentang perkembangan delik-delik khusus yang terjadi sekarang harus


dilihat dalam rangka politik criminal di Negara kita. Yang dimaksud dengan politik
kriminal ialah segala usaha-usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentukan undang-undang, kepolisian
kejaksaan dan pengadilan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri,
melainkan berkait satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dari segi
masyarakat politik kriminal, ini dapat dikatakan sebagai perlindungan masyarakat
terhadap kejahatan atau dengan istilah lain social defence. Istilah ini mengingatkan kita
kepada lambang dari Departemen Kehakiman yang bergambar pohon beringin dengan
perkataan “Pengayoman” dibawahnya. Dewasa ini sangat sirasakan semakin
perkembangan akan delik-delik khusus di lingkungan profesi yang penjahatnya
dinamakan “professional fringe violator. Profesional ini dapat mencakup berbagai
dimensi lapangan kerja seperti notaries, wartawan, akuntan, dokter, insinyur, pengacara
dan sebagainya. Kategori penjahat ini selaku melibatkan keahllian di dalam aksinya,
baik dalam bentuk internasional, kealpaan, dolus aventulis maupun pelanggaran hokum
disiplin professional. Contoh dalam hal ini dapat digambarkan oleh berita yang dimuat
dalam harian Kompas yang menejah hijaukan para akuntan publik yang berkolusi
(bersekongkol) dengan wajib pajak untuk meringankan beban pajak dan merugikan
Negara. Dinamakan fringe violator karena dikalangan professional sejenis, jumlahnya
relative tidak terlalu banyak dengan karakteristik yang khas.

Jenis kejahatan di atas perlu mendapatkan perhatian yang sungguh- sungguh, sebab
dimensi viktimologisnya sangar besar. Yang dirugikan tidak hanya kliennya saja, tetapi
masyarakat dan Negara dalam kaitannya dengan kebijaksanaan pembangunan (public
policy) serta organisasi profesinya. Disamping itu hal-hal yang dibawah ini memperkuat
motivasi untuk menanganinya secara tidak sambil lalu.

Pertama, seseorang yang membutuhkan bantuan professional, secara umum mempunyai


kedudukan yang lebih lembah dan sifat ketergantungan yang tinggi. Hal ini
dimungkinkan karena ketidaktahuannya terhadap keahlian professional, sehingga tidak
mungkin untuk menilai keahlian tersebut. Kedua, hubunan antara profesional dan
kliennya dalam kondisi confidential nature, sehingga sifatnya sebagai confidentiality
profesional sangat menonjol. Ketiga, sifat kemandirian profesional tersebut, sekalipun
tidak self employed. Keempat, keharusan etik dari profesional untuk to do one best
meningkat sifanya yang altruistik.
Karena karakteristik diatas, maka persoalan-persoalan yang terkait dengan kasus-kasus
profesional yang sering dinamakan “profesional malpractice” ditangani secara ketat baik
dalam bidang hokum disiplin maupun pertanggung- jawaban hokum baik hukum
pidana, perdata maupun administrative. Cerita-cerita tentang hakekat profesional dan
profesionalisme memang tidak didramatisasikan, sebab nilai yang terkandung
didalamnya sangat berarti, baik dilihat dari segi politis, ekonomis dalam kaitannya
dengan efisiensi dan efektivitas, maupun dalam kaitannya dengan persoalan sosial
budaya mengingat sifatnya yang altruistik.

Karakteristik profesional banyak sekali. Namun yang penting antara lain adalah sebagai
berikut :
- Skill based on theorical knowledge.
- Required educational and training.
- Testing of competence.
- Organization (into a professional association).
- Adherence to a code of conduct, and
- Altruistic service.
Apabila hal ini kita kaitkan dengan atribut yang bersifat individual, maka
karakteristiknya akan berkaitan dengan masalah keperilakuan. Dari sekian banyak
karakteristik di atas, sebenarnya terdapat tiga kategori karakteristik yang sangat
menonjol.Pertama, adalah perlu adanya persyaratan extensive training untuk berpraktek
sebagai profesional. Kedua adalah bahwa training tersebut mengandung apa yang
dinamakan a significant intellectual component, tidak sekedar bersifat skill training
semata-mata.Ketiga adalah pentingnya kesadaran untuk mengabdikan segala
kemampuan diatas untuk pelayanan masyarakat yang semakin kompleks karena proses
modernisasi.

Dalam perumusan politik kriminal terhadap kejahatan di lingkungan profesional dapat


dipergunakan sarana non penal maupun sarana penal.
1. Dengan sarana non penal.
Sebenarnya yang pertama–tama sangat diharapkan untuk dapat menangkal kejahatan-
kejahatan di lingkungan profesional adalah apa di namakan profesional Disciplinary
Law dengan peradilan disiplinanya. Sebagai contoh adalah majelis kode etik
kedokteran (MKEK). Yang perlu di kritik adalah hal-hal sebagai berikut :
- Terjadinya apa yang dinamakan class justice yang kadang-kadang tidak dapat
membedakan apakah suatu perkara dibawah yurisdiksi peradilan disiplin
ataukah peradilan umum, misalnya peradilan kriminal.
- Ada kesan bahwa peradilan disiplin profesional cenderung untuk
memanipulasikan fakta dan berusaha untuk membela anggota-anggotanya.
- Komposisi peradillan disiplin biasanya hanya terjadi dari kolega-kolega
profesional sendiri. Hal ini tidak mencerminkan sifat seorang profesionalyang
seharusnya melindungi kepentingan umum. Alangkah baiknya apabila dalam
peradilan tersebut diikutsertakan para sarjana hukum.
- Sidang-sidang peradilan disiplin selalu tertutup, sehingga menimbulkan
kecurigaan terhadap sesuatu yang tidak benar telah terjadi didalanya. Dari segi
kemanfaatan sanksi hal tersebut juga tidak dapat dibenarkan, karena effek
detterrend terhadap calon pelaku potensi jelas tidak ada.
- Jangka waktu persidangannya biasanya terlalu lama.

Melihat kenyataan diatas, profesional selalu berargumentasi bahwa hakekat


profesionalisme, adalah perlu adanya otomatis, bersifat independent, knfidensial atas
dasar ekspertis yang tidak boleh diragukan. Hal ini tidak benar, sebab dengan demikian
penghargaan terhadap kejujuran suatu asosiasi profesional dari para penegak hukum dan
masyarakat dapat berkurang.Sebenarnya bilaman peradilan disiplin profesi dapat
dipercaya, maka akan merupakan sumbangan yang sangat berharga atas dasar asas
komplementer. Dalam hal ini hasil peradilan disiplin profesi sekaligus bermakna
sebagai kesaksian ahli. Terbukti benar atau tidaknya seorang profesional telah
melakukan kejahatan profesional,apakah negligence, international atau recklessness
dalam peradilan pidana atau perdata atau administrative sedikit banyak dapat
menggantungkan diri pada putusan peradilan disiplin profesi tertentu. Dalam peradilan
pidana misalnya, unsur sifat melawan hukum yang harus diartikan secara formil dan
materiil, dalam diperkuat atau diperlemah oleh apakah suatu perbuatan juga melanggar
peraturan disiplin atau etik sekaligus atau tidak.
Usaha lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan usaha menegakkan
norma-norma profesional adalah sebagai berikut :
- Masing-masing organisasi profesional harus mengevaluasi kembali peraturan-
peraturan disiplinnya yang benar-benar diusahakan untuk menjamin
perlindungan kepentingan masyarakat dan profesi. Normanya harus jelas dan
disosialisasikan.
- Disamping peraturan-peraturan disiplin baik yang bersifat moral (kode etik),
perlu dirumuskan secara jelas standar profesi dalam kerangka sebagaiman
disebut diatas.
- Dalam batas-batas tertentu penegak hukum disiplin perlu pula dilakukan oleh
pemerintah.
- Setiap organisasi profesional perlu memperkuat dana dan sifatnya untuk
kepentingan investigasi, apabila terjadi perbuatan yang menyimpang.
- Penyederhanaan prosedur didalam peradilan disiplin. Diberbagai Negara
hambatan-hambatannya antara lian adalah sanksi yang tidak dapat diterangkan
denan cepat, keanggoataan gand diberbagai organisasi profesional dan usaha
untuk menjaga reputasi profesional yang berkelebihan.
- Perlunya peningkatan pendidikan dan kursus etika profesional yang mendidik
profesional serta peningkatan pendidikan klinis profesional.
- Perlunya kajian yang bersifat inter dan multidispliner terhadap hukum profesi.
- Perlu adanya standarisasi kualitas baggi lembaga-lembaga yang mendidik calon-
calon profesional.
- Mendayagunakan sanksi sosial (boykot), sanksi organisasi (pemecatan, anggota
ikatan profesi) dan sanksi administrative (pencabutan ijin praktek).
- Apabila hukum positif sudah memungkinkan, korporasi yang terlibat atau
memperoleh keuntungan dari kejahatan profesional harus dipertangungjawabkan
pula dalam hukum pidana.

Dengan Sarana Penal.

Langkah-langkah yang hendaknya dilakukan adalah :


- Putusan peradilan disiplin profesi hendaknya didayagunakan.
- Untuk menilai adanya duty, breach of duty, causation dan damage hendaknya
memanfaatkan sanksi ahli.
- Dalam pemidanaan hendaknya menggunakan Neo Classiccal Model.
- Unsue Profesional sebagai alas an pemberatan pidana (lihat konsep rancangan
KUHP).
- Acces to justice dari korban kejahatan hendaknya mendapatkan perhatian
sebaiknya-baiknya.
- Mengingat dimensi kerugian kejahatan profesi sangat luas, maka perlu diatur
agar mereka yang menghalangi proses peradilan pidana terhadap kejahatan
profesi dapat dipidana.

Penegakan hukum yang tuntas terhadap kasus malpraktek profesional perlu


diefektifkan mengingat dimensi kepentingan yang sangat luas. Selain berbagai politik
kriminal yang dikemukakan diatas, untuk ini diperlukan peningkatan pegetahuan dan
kualitas penegak hukum untuk memahami huikum profesi, yang semakin lama semakin
berkembang pesat. Dengan demikian akan terdapat standar penegakan hukum yang
mantap dan tidak ditafsrikan secara beraneka ragam dalam hubungan antar disiplin.
Tindakan tegas dengan menggunakan sarana penal cukup beralasan, mengingat segala
sesuatu tidak bertentangan dengan kode etik penggunaan hukum pidana sebagai berikut :
1. Jangan menggunakan hukum pidan dengan secara emosional untuk melakukan
pembalasan semata-mata.
2. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk meidana perbuatan yang
tidak jelas korban atau kerugiannya.
3. Hukum pidana jangan dipakai guna mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya
dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektinya dengan penderitaan atau
kerugian yang lebih sedikit.
4. Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan oleh
pemudaan akan lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan oleh tindak
pidana yang akan dirumuskan.
5. Hukum pidana jangan digunakan apabila hasil sampingan yang ditimbulkan
lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan yang akan
dikriminalisasikan.
6. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila tidak dibandingkan oleh
masyarakat secara kuat.
7. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila penggunaannya diperkirakan tidak
dapat efektif.
8. Hukum pidana harus uniorm dan iniversalistic.
9. Hukum pidana harus rasional.
10. Hukum pidana harus menjaga meserasian antara order legitimation and
competence.
11. Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence, procedural
faorness and substantive justice.
12. Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis
kelembagaan dan moralis sipil.
13. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan.
14. Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus
skala prioritas kepentingan pengaturan.
15. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represid harus didayagunakan secara
serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat non penal.
16. Penggunaan hukum pidana sebaiknya harus diarahkan pula untuk meredam
factor kriminogen yang menjadi kuasa utama tindak pidana.

1. Tinjauan Umum Tentang Kepastian Hukum

1. Defenisi Kepastian Hukum

Dalam menjelaskan kepastian hukum ini maka perlu kiranya penulis


menyampaikan bahwa hal itu didasarkan pada adanya pendapat dari Gustav
Radbruch bahwa hukum memiliki keharusan untuk memuat tiga nilai dasar
dimana dalam bukunya menuliskan bahwasannya dalam hukum terdapat tiga
nilai dasar yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit) dimana dalam kepastian
hukum membahas dari sudut yuridis, keadilan hukum (gerechtigkeit) dimana
dalam keadilan hukum membahas sudut filosofis sebagaimana keadilan adalah
persamaan hak bagi semua orang yang memiliki urusan di ranah pengadilan,
dan kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) dimana dalam kemanfaatan
hukum membahas mengenai utility atau nilai guna. Dalam hal ini dari ketiga
hal yang telah disebutkan tersebut memiliki perannya sendiri-sendiri dimana
dalam hal kepastian hukum harus dipenuhi terlebih dahulu karena dalam
kepastian hukum melihat dari segi yuridis sebelum memberikan keadilan
hukum bagi seseorang dan kemanfaatan hukum yang menciptakan nilai guna,
maka dari itu penulis disini dalam penelitiannya akan condong dan fokus pada
kepastian hukum namun tetap akan menjelaskan keadilan dan kemanfaatan
hukum secara umum.

Kepastian sendiri secara etimologis intinya berasal dari kata pasti dimana
memiliki pengertian tidak dapat dirubah.Selain itu juga memiliki pengertian
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang pada dasarnya
kepastian sendiri adalah dalam hal suatu kondisi yang pasti, seyogyanya
hukum juga begitu harus pasti. Selain itu juga dapat dilihat dengan peraturan
perundangan yang diciptakan secara pasti dengan begitu akan mengakomodir
dengan jelas dan masuk akal. Kepastian sendiri dapat dilihat dengan
peraturan perundang-undangan karena kepastian merupakan suatu bentuk
penelitian normatif. Dalam asas kepastian hukum ketika peraturan perundang-undangan
tersebut diciptakan serta diundangkan dengan memerhatikan dan
mempertimbangkan asas kepastian hukum maka akan terwujud suatu aturan
yang jelas, masuk akal atau logis dan nantinya tidak akan terjadi keraguan
yang menimbulkan multitafsir yang akan berbenturan dengan berbagai norma
atau peraturan yang ada serta sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 yang berisi mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan pasal
6 huruf i yang pada intinya menyatakan bahwa isi daripada muatan dalam
peraturan perundangan harus mencerminkan asas kepastian hukum, maka
dengan adanya asas kepastian hukum peraturan-peraturan itu dapat menjadi
suatu batasan bagii masyarakat dalam melakukan suatu hal tindakan dari satu orang
terhadap orang yang lainnya. Adanya batasan di dalam suatu peraturan
hukum artinya tidak boleh mengandung substansi yang cenderung mengarah
dan memiliki banyak makna atau biasa penulis menyebut multitafsir jika
dikorelasikan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lainnya atau
suatu norma lainnya yang berlaku.
Adapun pendapat para ahli yang digunakan penulis untuk dijadikan dasar
berfikir dan referensi yaitu teori yang dikemukakan Gustav Radbruch yaitu
beliau mengatakan bahwasannya pada intinya dalam asas kepastian hukum
yakni suatu yang sangat mendasar dimana hukum harus positif, dilaksanakan
dan dipatuhi.Maksud dari pernyataan beliau adalah asas kepastian hukum
adalah hal yang mendasar dalam kehidupan masyarakat dimana hukum
tersebut harus mengandung hak-hak individu atau kelompok secara merata
yang akan diberlakukan dalam suatu waktu dan tempat tertentu sehingga
tujuan dari kepastian hukum nantinya dapat tercapai dan dapat diterima serta
menjamin kepastian hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Gustav Radbruch juga mengatakan bahwasannya asas kepastian hukum itu
memiliki empat faktor yakni :
a.Faktor berupa perundangan yang bersifat positif (gesetzliches Recht).
b.Didasarkan pada fakta (tatsachen)
c.Fakta dalam suatu kejadian perlu dijelaskan dan diuraikan secara benar
supaya tidak menimbulkan kesalahan pada saat dipahami dan
dijalankan.
d.Merupakan hukum positif jadi tidak mudah dirubah.

Faktor-faktor diatas tentu tidak bisa terlepas dengan asas kepastian hukum
jika ditinjau dan dipahami secara seksama, dalam empat faktor tersebut
memiliki korelasi yang saling berkaitan, pada poin yang pertama perundang-
undangan memiliki sifat yang positif dimana dimaksudkan setelah melihat
suatu peraturan perundang-undangan juga harus bisa didasarkan pada fakta
suatu kejadian dan tidak hanya berhenti pada poin tersebut namun korelasi
masih berlaku pada poin selanjutnya dimana setelah fakta ditemukan tentu
harus dijelaskan dan diuraikan secara komprehensif sehingga hukum positif
tersebut tidak dapat diubah-ubah.

Tidak hanya Gustav Radbruch namun ada pendapat kedua yang juga
disampaikan oleh Utrecht dimana beliau mengatakan bahwasannya asas
kepastian hukum memiliki 2 definisi yakni :
a. Ada suatu peraturan yang memiliki sifat umum yang membuat
seseorang tahu perbuatan apa dan bagaimana yang boleh/tidak boleh
dilakukan.
b. Ada suatu keamanan hukum bagi seseorang dari tindak kesewenangan
pemerintah.

Dengan adanya penjelasan diatas tersebut maka seseorang dapat tahu apa
saja yang dapat dan tidak dapat dibebankan atau dikenakan oleh negara
kepada individu.Secara tidak langsung kedua definisi Utrecht memiliki
hubungan dimana dengan adanya asas tersebut orang akan mengetahui
perbuatan yang diperbolehkan serta dilarang dan ketika seseorang tahu
klasifikasi perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang dilarang maka
nantinya tujuan kepastian hukum akan tercipta suatu keamanan hukum bagi
suatu individu terhadap siapapun.
Pendapat ketiga diutarakan oleh Van Apeldoorn dimana beliau
menyatakan bahwasannya asas kepastian hukum sendiri diklasifikasikan ke
dalam 2 bagian yang pertama yaitu mengenai proses pembentukannya yang
konkret dan cepat dalam hal ini yang dimaksud adalah para pencari keadilan
atau masyarakat pada umumnya dan yang kedua adalah hukum harus memiliki
batasan secara menyeluruh.16 Penjelasan mengenai pendapat beliau pada poin
pertama dimaksudkan dalam asas kepastian hukum mengenai proses
pembentukanya harus mengutamakan masyarakat pada umumnya dan ketika
masyarakat memerlukan kepastian hukum maka hukum itu telah ada dan dapat
menjamin masyarakat tersebut karena proses pembentukannya yang konkret
dan cepat selanjutnya pada poin kedua menjadi pengingat dalam poin pertama
dimana meskipun proses pembentukannya yang konkret dan cepat namun hukum atau
pengaturan tersebut harus tetap memiliki batasan-batasan secara
jelas, batasan disini dimaksudkan terkait batasan pemahaman dan penerapan
dari pengaturan tersebut.

Maka dari pemaparan dan penjelasan teori dari asas kepastian hukum
diatas adanya asas tersebut maka segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dapat terjamin karena orang akan tahu mana yang dapat dan tidak
dapat dilakukan.17 Dalam hal ini juga dapat digunakan landasan berfikir oleh
penulis untuk membantu penulis dalam menjawab dan menjelaskan dalam
kepastian hukum dalam unsur subyektif dan obyektif.

2. Pengaturan Terkait Kepastian Hukum

Kepastian hukum secara umum telah diatur dalam UUD 1945 pada pasal
28D ayat 1 pada intinya mengatakan tiap warga Negara Republik Indonesia
memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam pengaturan diatas tentu memerlukan perwujudan yang idealnya
perwujudan tersebut berupa rumusan-rumusan norma tidak hanya berupa
uraian-uraian dalam bentuk pernyataan.18 Berbicara mengenai kepastian
hukum sendiri merupakan suatu perwujudan dari penerapan yaitu asas
legalitas, dimana asas legalitas sendiri dijelaskan di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP
menyatakan pada intinya tidak ada tindak pidana yang dapat dipidana kecuali
berdasarkan ketentuan hukum pidana yang telah ada sebelum tindak
pidana itu dilakukan.

Hemat penulis asas legalitas merupakan fundamental atau dasar dalam


hukum pidana karena sangat penting dan vital dalam menentukan peraturan
hukum pidana dapat diterapkan pada kejahatan yang dilakukan. Jika ada
tindak pidana, itu bisa dilihat dalam peraturan apakah suda terdapat aturan
yang mengatur tentang tindak pidana yang terjadi pada saat itu. Hal ini
berhubungan dan berkaitan dengan asas lex certa (asas yang digunakan di
dalam hukum harus jelas), asas lex stricaar (asas yang digunakan di dalam
hukum harus tanpa samar-samar) dan asas lex scripta (asas yang digunakan di
dalam hukum harus tertulis dalam suatu perundang-undangan).

Ahli hukum juga menyampaikan pendapatnya mengenai asas legalitas


salah satunya yaitu Moeljatno dimana beliau mengatakan bahwasannya di
dalam asas legalitas memiliki persamaan seperti yang dijelaskan KUHP.19
Penyataan dari Moeljatno pada poin pertama telah mengacu pada pasal 1
ayat 1 KUHP namun penjelasan kedua dan ketiga beliau lebih menekankan
serta menjelaskan lebih detail mengenai asas legalitas dimana pada poin
pengertian kedua jika terjadi suatu tindak pidana maka untuk menentukan
perbuatan pidana haruslah sesuai fakta dan tidak bisa di analogikan dan
pengertian pada poin ketiga lebih menguatkan pada pengertian kedua dimana
pada poin ketiga beliau mengatakan ketentuan hukum pidana tidak berlaku
surut dimana memiliki pengertian yaitu Jika hukum berubah setelah kejahatan
dilakukan, ketentuan yang paling menguntungkan akan berlaku untuk
terdakwa dalam atau sering disebut asas retroaktif dimana kembali pada poin
adanya larangan keberlakuan surut ini semata-mata hanya bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.
Perwujudan suatu peraturan perundang-undangan tidak hanya sebatas
dalam bentuk pernyataan namun tetap harus terdapat rumusan-rumusan norma
yang digunakan dalam perwujudan suatu peraturan khususnya disini yaitu
pasal 28D ayat 1 yang nantinya hasil dari rumusan norma tersebut dapat
dijadikan pedoman bagi masyarakat secara jelas tanpa mengurangi hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
Jadi hemat penulis jika dilihat penjelasan dan penguraian alur berfikir
pengaturan terkait kepastian hukum ringkasnya harus dilakukan melalui
tahapan rumusan norma yang matang serta mengandung kewajiban hukum
yang bersifat terukur agar kepastian hukum benar-benar tercapai sebagai
wujud penjelawantahan dari pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

3. Bentuk bentuk Kepastian Hukum

Dalam bentuk-bentuk mengenai kepastian hukum sendiri disini penulis


menggunakan pendapat ahli yaitu Apeldoorn dimana beliau menyampaikan
dalam bentuk kepastian hukum dapat dibagi menjadi dua aspek yaitu :
a. Proses pembuatan dalam kepastian hukum harus bersifat jelas atau
detail, pada hal ini ketika dilakukannya pembentukan peraturan hukum
harus disesuaikan dengan kenyataan dan dapat menanggapi isu-isu
dengan cepat.
b. Sebagai keamananan hukum yang harus dipastikan terlindungi, dapat
diartikan bahwasanya dengan adanya peraturan yang jelas dan
memiliki batasan yang jelas maka hukum akan memberikan keamanan
yang akan melindungi masyararakat yang akan tercipta kepastian
hukum.

Jika memilah konsep daripada bentuk positivisme yang dijabarkan


bahwasanya pada aturan hukum haruslah menaruh batasan secara
menyeluruh.20 Artinya dalam rumusan pasal dalam suatu peraturan khususnya
disini pasal 27 ayat 3 UU 19/2016 Atas Perubahan ITE harus memiliki batasan
secara menyeluruh mengenai rumusan pasalnya.

C. PENUTUP
Kesimpulan

1. Etika profesi penegak hukum dalam pemecahan masalahnya adalah penegak


hukum.
2. Evektivitas etika profesi dari segi masyarakat politik kriminal. Ini dapat
dikatakan sebagai perlindungan masyarakat terhadap kejahatan atau denan istilah
lain social defence. Istilah ini mengingatkan kita kepada lambang dari
Departemen Kehakiman yang bergambar pohon beringin dengan perkatan
pengayoman dibabawanya.
Dafar Pustaka

Laurensius Arliman S, Antropologi Hukum, Deepublish, Yogyakarta, 2023.


Laurensius Arliman S, Filsafat Hukum, Deepublish, Yogyakarta, 2023.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan : Tantangan Warga Negara
Milenial Menghadapi Revolusi Industri 4.0, , Deepublish, Yogyakarta, 2019.
Laurensius Arliman S, Pengaturan Kelembagaan Hak Asasi Manusia Terhadap Anak Di
Indonesia, Disertasi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang, 2022.
Laurensius Arliman S, Kajian Naratif Antropologi Dan Pendidikan, Ensiklopedia
Education Review, Nomor 2, Nomor 1, 2020.
Laurensius Arliman S, Participation Non-Governmental Organization In Protecting
Child Rights In The Area Of Social Conflict, Ushuluddin International Conference
(USICON) 1, 2017.
Laurensius Arliman S, Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama (Studi Pada
Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat), Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 2, Nomor 2, 2015.
Laurensius Arliman, Ernita Arif, Pendidikan Karakter Untuk Mengatasi Degradasi
Moral Komunikasi Keluarga, Ensiklopedia of Journal, Volume 4, Nomor 2, 2022.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Karakter Dalam Tinjauan Psikologi, Ensiklopedia of
Journal, Volume 3, Nomor 3, 2021.

Anda mungkin juga menyukai