Anda di halaman 1dari 9

PAPER KEPEMIMPINAN KEPAMONGPRAJAAN

Etika Dan Hukum


Dalam Kepemimpinan

Dosen Pengampu :

Drs. James Robert Pualilin, M.Si

Disusun Oleh:

Nama : - Ahmad Wahyudi (32.0814)

- Diana Herce Momot (32.1103)

- I Gede Oka Krisna Pratama (32.0539)

- Muhammad Ilham Husni Zarkasi (32.0385)

- Reinaldy Neolaka (32.0668)

Kelas : F2

PROGRAM STUDI KEUANGAN PUBLIK


FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (kata tunggal) yang berarti: tempat tinggal,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya
adalah ta, etha, yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertianya
dengan moral. Moral berasal dari kata latin: Mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk
jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup.
Menurut Bertens ada dua pengertian etika: sebagai praktis dan sebagai refleksi.
Sebagai praktis, etika berarti nilai- nilai dan normanorma moral yang baik yang
dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika
sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas yaitu apa yang harus dilakukan,
tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebgainya. Etika sebagai refleksi adalah
pemikiran moral.
Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin, yakni
“ethic, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral principle or value
Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan, habit. Jadi, dalam pengertian aslinya, apa yang
disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (pada saat itu).
Lambat laun pengertian etika itu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan manusia. Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya
bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku
manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari etika, yaitu moral,
asusila, budi pekerti, akhlak. Etika merupakan ilmu bukan sebuah ajaran. Etika dalam
bahasa arab disebut akhlak, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat
kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama. Istilah etika diartikan sebagai suatu
perbuatan standar (standard of conduct) yang memimpin individu, etika adalah suatu
studi mengenai perbuatan yang sah dan benar dan moral yan dilakukan seseorang
Menurut Webster Dictionary, secara etimologis, etika adalah suatu disiplin ilmu yang
menjelaskan sesuatu yang baik dan yang buruk, mana tugas atau kewajiban moral, tau
bisa juga mengenai kumpulan prinsip atau nilai moral.
B. Pengertian Hukum
Istilah hukum di Indonesia berasal dari bahasa arab Ahkam (‫ أحكام‬bentuk jama' dari
Hukm/hukum ‫ ) ُح ْكم‬adalah merujuk pada peraturan Islam, berasal dan dipahami dari
sumber-sumber hukum agama. Literatur hukum belanda, hukum disebut ”objektief
recht”, obyektif karena sifatnya umum, mengikat setiap orang.Kata “recht” dalam
bahasa hukum dibagi menjadi dua, yaitu “ objektief rech” yang berarti hukum dan
“subjektief recht” yang berarti hak dan kewajiban. Menurut J.C.T. Simorangkir, dan
Woerjono Sastropranoto hukum adalah peraturan-peranturan yang bersifat memaksa,
yang menetukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu. Menurut Satjipto Raharjo,
pengertian hukum tersebut dibahas dari perspektif filsafati dan bersifat normatif yang
dilahirkan dari kehendak manusia atau masyarakat untuk menciptakan keaadilan. Hukum
adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk tingkah laku. Hukum
juga merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang membina dan mengarahkan
masyarakat.

Kemudian Aristoteles mengatakan bahwa hukum hanya sebagai kumpulan peraturan


yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Sedangkan menurut S.M.
Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi. Dari
uraian di atas bahwa hukum adalah keseluruhan aturan atau norma hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dalam kehidupan bermasyarakat, dan barang siapa yang
melanggar norma hukum dapat dijatuhi sanksi atau dituntut oleh pihak yang berwenang
atau pihak yang hakhaknya merasa dirugikan.

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung
atau dapat memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari manusia (recht person)
dan badan hukum (naturlijk person). Subjek hukum memiliki kedudukan dan peranan
yang sangat penting dalam bidang hukum yang dapat mempunyai wewenang hukum.
Sedangkan objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan
dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum (hak), karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh
subjek hukum. Menurut istilah ilmu hukum, objek hukum disebut pula “benda atau
barang”, sedangkan benda atau barang menurut hukum adalah segala sesuatu dan hak
yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomi.
BAB II
Pembahasan
A. Hubungan Etika dan Hukum
sebagian orang berasumsi bahwa hukum hanya merupakan seperangkat aturan yang
diterapkan dalam aktivitas. Mereka berasumsi, hanyalah hukum yang merupakan
pedoman yang relevan bukan etika.

hukum dan etika merupakan dua wilayah yang berbeda. Hukum berlaku dalam
kehidupan masyarakat, dimana etika merupakan sesuatu yang bersifat pribadi. Hukum
secara jelas didefinisikan seperangkat aturan yang mengikat yang diterapkan kepada
setiap orang, sedangkan etika merupakan opini yang bersifat pribadi yang mengarahkan
kehidupan kita sendiri. Sebagai bentuk dari kontrol sosial, hukum memiliki berbagai
keunggulan jika dibandingkan dengan etika. Hukum menyediakan aturan yang tepat dan
terinci dibandingkan etika dan aparat penegak hukum tidak hanya melaksanakan aturan-
aturan tersebut dengan kekuasaan dari pemerintah tetapi juga menginterpretasikan ketika
kalimatnya tidak jelas.

Di negara dimana sistem hukumnya telah sangat maju, hukum merupakan aturan yang
relatif lengkap untuk kegiatan bisnis. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan etika
(unethical) adalah tidak sah (illegal). Sebaliknya di negara dimana sistem hukumnya
belum begitu maju, etika merupakan sumber utama sebagai pedoman, bukan hukum.
Etika diperlukan tidak hanya karena berbagai situasi yang tidak dicakup oleh hukum
tetapi juga sebagai pedoman untuk menciptakan hukum yang baru.

Jika seorang pemimpin hanya mempertimbangkan dari aspek hukum saja dalam
membuat suatu keputusan. Maka hal ini tidak hanya salah tetapi juga sangat berbahaya.
Pemimpin harus mempertimbangkan baik dari aspek etika maupun hukum dalam
membuat suatu keputusan dikarenakan beberapa alasan, antara lain adalah sebagai
berikut:

Pertama, hukum tidak mengatur tentang segala aspek aktivitas bisnis. Belum tentu
segala sesuatu yang tidak sesuai dengan moral (immoral) adalah tidak sah (illegal).
Menuntut yang berlebihan kepada anak buah dan mencerca secara tidak pantas kepada
seorang pegawai adalah tindakan yang merupakan objek dari etika, namun hal itu bukan
dari objek hukum.

Kedua, hukum kadangkala lambat berkembang terhadap suatu objek/wilayah baru.


Hal ini menimbulkan adanya kekosongan hukum karena belum ada produk hukum yang
mengaturnya. Cristopher D. Stone (Where the Law Ends), menunjukkan bahwa hukum
bersifat reaktif, menjawab permasalahan dimana orang berada dalam dunia bisnis dapat
mengantisipasi dan berhubungan sebelumnya sebelum permasalahan tersebut menjadi
perhatian masyarakat.

Ketiga, hukum itu sendiri sering menggunakan konsep-konsep moral yang tidak
didefinisikan secara jelas, sehingga hal ini tidak memungkinkan dalam berbagai kejadian
dapat mengerti hukum tanpa mempertimbangkan permasalahan yang bersifat moral.

Keempat, hukum itu sendiri kadangkala tidak pasti, sehingga untuk menetapkan
apakah suatu tindakan adalah legal/sah harus diputuskan oleh pengadilan. Dan dalam
membuat suatu keputusan, pengadilan sering berpedoman pada pertimbangan moral.

B. Etika dan kepemimpinan

Sebagian besar para pemimpin berpikir bahwa mereka adalah termasuk orang yang
memiliki etika, namun sebagian dari mereka masih bertanya apakah etika relevan
terhadap peran mereka sebagai seorang pemimpin. Merupakan suatu hal yang penting
bagi mereka yang terlibat dalam bisnis untuk bertindak sesuai dengan etika, tetapi
menjadikan etika sebagai dasar dalam bisnis adalah tidak berbeda dengan menjadikan
etika sebagai dasar dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian seorang
pemimpin hendaknya merupakan seorang yang menjunjung tinggi etika dalam setiap
langkahnya.

Meskipun tidak ada etika secara khusus dalam bisnis, peristiwa-peristiwa yang
muncul dalam bisnis ternyata tidak dengan mudah untuk diatasi dengan menggunakan
aturan-aturan etika. Untuk itu pemimpin tingkat atas memiliki tanggung jawab untuk
menciptakan dan memelihara iklim perusahaan yang sesuai dengan etika sehingga dapat
melindungi organisasi terhadap tindakan yang bertentangan dengan etika dan melawan
hukum yang dilakukan oleh para anggotanya.

C. Etika, Hukum, Dan Kepemimpinan


Secara teoritis maupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan non positivis)
adalah dua entitas yang sangat berkaitan, namun berbeda dalam penegakannya. Etika
adalah ladang tempat hukum ditemukan, dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan
hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. Dalam filsafat hukum, kita mengenal
tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam
konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika
adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis
mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum.

Hampir semua orang di negeri ini sangat geram saat melihat seseorang yang sudah
jelas dan nyata bersalah, namun harus dibebaskan begitu saja karena prosedural formal
hukum yang tidak memadai, atau bahkan karena ketidakmampuan peradilan menyentuh
orang-orang yang memiliki power, dalam bentuk kuasa ataupun uang. Berulang kali kita
harus menyaksikan politikus-politikus korup yang melanggeng bebas dari jeratan hukum,
bahkan semakin kokoh dipuncak karir politiknya, padahal jelas dan nyata sekali
melakukan pelanggaran etik dan hukum yang tidak sepele.

Kepemimpinan di semua lapisan cenderung hanya berorientasi popular (pop-leaders)


sebagai akibat budaya politik yang baru tumbuh dalam  dalam tradisi demokrasi yang
tertatih-tatih, menyebabkan tibulnya gejala keterpisahan: antara kesadaran pusat
kekuasaan yang mengklaim popularitas dukungan rakyat dengan kesadaran kelas
menengah yang mempengaruhi pembentukan wacana publik dan membentuk ‘day-today-
politics’;dan antara retorika politik yang tercermin di media massa yang dijadikan ukuran
popularitas dengan tindakan nyata yang mempengaruhi dinamika kehidupan dalam 
masyarakat. Tokoh-tokoh dalam insfrastruktur masyarakat tanpa disadari didorong pula
oleh keadaan untuk terlibat dan melibatkan diri dalam agenda-agenda politik nasional,
sehingga fungsi pembinaan masyarakat terbengkalai. Masyarakat bebas semakin
berkembang tidak terkendali. Akibatnya, nilai-nilai lama telah ditinggalkan sementara
nilai baru belum terbentuk. Hal ini yang juga kemudian menjadikan prilaku masyarakat
terseret dalam ekspresi ekstrimg uto dalam spektrum yang meluas, mulai dari kutub
konservatisme sampai ke liberalisme yang palinpis dan ekstrim.

Di negara yang demokrasi dan hukumnya telah menyatu dengan kehidupan


berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi
yang setara dengan pelanggaran hukum. Banyak pejabat negara di negeri-negeri itu yang
memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga
melakukan pelanggaran etik. Hal ini harus kita lihat sebagai penghormatan mereka
terhadap martabat kemanusiaannya yang dihargai tidak lebih rendah dari pada jabatan
semata.

Namun, konteks ini belum terjadi di Indonesia, seorang pejabat negara hanya akan
meninggalkan jabatannya hanya apabila menurut undang-undang/peraturan dia harus
diberhentikan. Tidak berpengaruh pada seberat apapun pelanggaran etik yang dia lakukan
atau seberapa banyak ia melakukan pelanggaran etik, jika dalam aturan tidak secara jelas
menyatakan dia harus diberhentikan, selamanya dia tidak akan berhenti. Sekali lagi, kasus
yang paling aktual untuk dijadikan contoh adalah yang menimpa ketua MK, AH.
Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang secara substansial sangat
berat, namun ia tetap memilih mempertahankan jabatannya dibanding derajad
kemanusiaannya.
BAB III
Kesimpulan Dan Saran
A. Kesimpulan

Perilaku yang etis merupakan faktor penting dalam keberhasilan suatu organisasi
secara jangka panjang. Berdasarkan argumen makro menyatakan bahwa pentingnya
etika dalam suatu sistem. Perilaku yang tidak etis akan menyebabkan distorsi sistem,
yang pada akhirnya terjadinya ketidakefisienan dalam pengalokasian sumber daya.
Sedangkan argumen mikro memandang pentingnya sebagai individual.

Perilaku yang tidak etis akan menyebabkan menurunnya kinerja dalam jangka
panjang. Perilaku yang sesuai dengan etika (Ethical Behavior) adalah perilaku yang
sesuai dengan peraturan (rules) atau standar untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang
benar atau sesuai dengan moralitas (morality). Etika dapat diartikan seperangkat
aturan yang menjadi pedoman atau standar bagi setiap orang atau masyarakat apakah
suatu tindakan adalah benar dan salah atau baik dan buruk.

B. Saran

Saran Yang dapat kami sampaikan adalah tiap – tiap pemimpin bisa dengan lebih
memamhami dan mendasari suatu kebijakan dengan fondasi hukum yang berlaku
ditengah – tengah masyarakat tanpa melupakan etika yang ada untuk memastikan
kebijakan tersebut dapat berjalan seperti yang telah direncanakan.
Daftar Pustaka

Abuddin Nata, 2012, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Raja Grafindo.
K. Bertenz, 2007, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad Alfan, 2011, Filsafat Etika Islam, Bandung: CV Pustaka Setia.

Hamzah Ya’kub, 1993, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah, Bandung: CV,
Diponegoro.

Choirul Huda, 1997, Etika Bisnis Islam, Jakarta: Majalah Ulumul Qur’an.

Titik Triwulan Tutik, 2014, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana.

Satjipto Raharjo,1980 Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa.


Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Jakarta: Sinar Grafika.
Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
Kansil, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai