Anda di halaman 1dari 7

5

PANCASILA SISTEM ETIKA


BANGSA INDONESIA

III.1. Pengertian Etika, Moral dan Norma

Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkahlaku manusia dipandang dari segi
baik dan buruk. Etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam
hubungan dengan tingkahlaku manusia. (Kattsoff, 1986).

Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek
kehidupan manusia. Etika khusus terbagi menjadi etika individual, yaitu membahas kewajiban manusia
terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam
hidup bermasyarakat. (Suseno, 1987).

Etika membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan Nilai, yaitu nilai susila dan tidak
susila, nilai baik dan nilai buruk, nilai baik dan jahat, nilai kesopanan, keberanian dan kerendahan hati.
Kemudian apa perbedaan dan hubungan antara Nilai, Moral, dan Norma kaitannya dengan tindakan
manusia dalam masyarakat.

Nilai pada hakekatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek, namun bukan
obyek itu sendiri. Nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, yang
kemudian nilai dijadikan landasan, alasan dan motivasi dalam bersikap dan berperilaku baik disadari
maupun tidak disadari. Nilai merupakan harga untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya
kejujuran, kemanusiaan (Kamus Bahasa Indonesia, 2000). Nilai agar lebih bermanfaat dalam menuntun
sikap dan tingkahlaku manusia, maka harus lebih dikonkritkan lagi secara obyektif, sehingga
memudahkannya dalam menjabarkannya dalam tingkahlaku , misalnya kepatuhan terhadap norma
hukum, norma agama, norma adat istiadat dll.

Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun tertulis tentang


bagaimana manusia harrus hidup dan bertindak, agar menjadi manusia yang lebih baik. Moral dengan
etika hubunannya sangat erat, sebab etika suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika merupakan ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-
prinsip moralitas (deVos, 1987). Etika merupakan tingkahlaku yang bersifat umum universal, berujud teori
dan bermuara ke moral, sedangkan moral bersifat tindakan lokal, berujud praktek dan berupa hasil buah
dari etika. Dalam etika seseorang dapat memahami dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa
manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu, inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral.
Kekurangan etika adalah tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
seseorang, sebab wewenang ini ada pada ajaran moral.

Norma adalah aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang mengikat warga masyarakat atau
kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, patokan, padanan, dan pengendali sikap dan
tingkahlakunya dalam hidup bermasyarakat. Norma mengikat sikap dan ringkahlaku manusia, agar
manusia mempunyai Nilai (harga). Norma merupakan wujud konkrit dari nilai dan berkaitan dengan
moral. Moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia, sedangkan derajat kepribadian
seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya, maka makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang tercermin dari sikap dan tingkahlakunya. Oleh karena itu, norma sebagai
penuntun, panduan, atau pengendali sikap dan tingkahlaku manusia.

III. 2. Pancasila Sebagai Etika Politik.

Etika didalam filsafat termasuk kelompok filsafat praktis yang didalamnya dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang mendasar tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil
sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan pelbagai aspek kehidupan manusia.

Sedangkan politik yang berkembang dewasa ini, ada 3 definisi, yaitu :

1) Politik di identikan dengan lembaga-lembaga seperti: negara, pemerintahan atau badan-badan


executive, legislative dan judicative. Lembaga-lembaga tersebut berdasarkan dokumen dan
hukum formal yang merupakan pegangan dalam menetapkan kekuasaan dan wewenang serta
fungsi tertentu dari lembaga dalam politik negara.
2) Politik ditinjau sebagai sesuatu yang dinamis yang tak lepas dari pada pengaruh faktor-faktor non-
juridis dan faktor-faktor sosio psikologis dan sosio politik itu sendiri, sebagai faktor sosio-kultural
Politik sebagai pergeseran-pergeseran politik real dari massa yang terpenting adalah apa yang
secara real telah dicapai oleh tujuan negaa itu.
3) Hakikat polotik yaitu kekusaan (power) proses politik adalah serentetan yang antar hubungannya
berdasarkan atas kekuasaan. Politik sebagai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, atau
teknik menjalankan kekuasaan. Terkait dengan pengertian politik diatas, masalah utama yang
muncul dalam filsafat politik adalah masalah legitimasi secara etis.

Etika Politik.

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Karena itu, etika
politik mempertanyakannya tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan manusia dan
sebagai warga negara terhadap negara, hukum, dan sebagainya. Selanjutnya dijelaskan bahwa “Dimensi
politis manusia“ adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi yang menjadi ciri khas suatu
pendekatan yang disebut “politis” adalah pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi
pada masyarakat secara keseluruhan.
Dimensi politis itu sendiri memiliki dua segi fundamental yang saling melengkapi, sesuai
kemampuan fundamental manusia yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Struktur ganda ini
“tahu” dan “mau” dapat diamati dalam semua bidang kehidupan manusia.

Sesuai kemampuan ganda manusia, maka ada dua cara untuk menata masyarakat yaitu penataan
masyarakat yang normatif dan efektif. Lembaga penataan normatif masyarakat adalah hukum. Hukumlah
yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum
terdiri dari norma-norma bagi perilaku yang benar dan salah dalam masyarakat. Tetapi hukum hanya
bersifat normatif dan tidak efektif. Artinya hukum sendiri tidak bisa menjamin agar anggota masyarakat
patuh kepada norma-normanya. Sedangkan penataan yang efektif dalam menentukan perilaku
masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya lembaga itu
adalah negara. Karena itu hukum dan kekuasaan negara menjadi bahasan utama etika poliik. Tetapi perlu
dipahami bahwa baik “hukum” maupun “negara” memerlukan legitimasi.

Legitimasi Kekuasaan:

Inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan
dan pertanyaan: atas hak moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan mempergunakan
kekuasaan yang mereka miliki? Betapapun besarnya kekuasaan, selalu dituntut pertanggungjawaban.
Karena itu, etika politik menuntut agar kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku
(legilitas), disahkan secara demokratis (legitimasi moral). Ketika tuntunan itu dapat disebut legitimasi
normatif atau etis. Selanjutnya dijelaskan kriteria-kriteria legitimasi yaitu legitimasi sosiologis, legilitas,
dan legitimasi etis sebagai berikut:

1) Legitimasi sosiologis :
Paham sosiologis tentang legitimasi, mempertanyakan motivasi-motivasi apakah yang nyata-
nyata membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenang seseorang. Sekelompok orang tau
penguasa. Magnis suseno oleh Max Weber, yaitu: (1). “Legitimasi tradisional” yakni keyakinan dalam
suatu masyarakat tradisoinal, bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang
berhak untuk memerintah, misalnya golongan bangsawan atau keluarga raja dan memang patut untuk
ditaati. (2). “Legitimasi Karismatik” berdasarkan perasaan kagum, hormat dan cinta masyarakat terhadap
bersedia taat kepadanya. (3). “Legitimasi rasional-legal “berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum
rasional yang melandasi kedudukan seseorang atau penguasa.

2) Legalitas :
Suatu tindakan adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku.
Jadi legalitas addalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Legalitas menuntut agar kekuasaan
ataupun wewenang dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku. Jaddi suatu tindakan addalah sah apabila
sesuai tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itu legalitas merupakan salah
satu kriteria keabsahan suatu kekuasaan atau wewenang.
3) Legitimasi Etis :
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun kekuasaan politik dari segi norma-
norma moral. Legitimasi itu muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan pemerintah adalah legislatif,
eksekutif maupun yudikatif dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Pertanyaan yang timbul
merupakan unsur penting untuk mengarahkan “kekuasaan” dalam menggunakan kebijakan-kebijakan
yang semakin sesuai tuntunan kemanusiaan yang adil dan beradab.

III. 3. Nilai-Nilai Yang Terkandung dalam Panacasila

a. Secara Konsepsional :
Nilai-nilai yang dikandung Pancasila ialah Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis.

1. Nilai Dasar (ND)


Merupakan prinsip yang bersifat sangat abstrak, umum-universal dan tidak terikat oleh ruang dan
waktu. Dengan kandungan kebenaran bagaikan aksioma, berkenaan dengan eksistensi, sesuatu
mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya yang pada dasarnya tidak berubah sepanjang
jaman.
Niali Dasar Pancasila bersifat abadi, kekal, yang tak dapat berubah, wujudnya ialah Sila-Sila
Pancasila : Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dan Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Juga dapat ditemukan dalam empat alinia Pembukaan UUD’45 dan Pokok-Pokok Pikiran yaitu :

a. Dalam pembukaan UUD’45 :


- Alinia 1 = mencerminkan keyakinan Kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, perikemanusiaan
dan perikeadilan. Konsekuensi logisnya ialah penghapusan penjajahan di atas muka
bumi.
- Alinia 2 = menegaskan cita-cita nasional / cita-cita kemerdekaan, negara yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil & makmur. Ketegasan tersebut mengandung makna falsafah yang
mendasar (cita-cita negara).
- Alinia 3 = memuat pernyataan Kemerdekaan untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang
bebas (eksistensi/cita-cita). Memuat watak aktif dari masyarakat Indonesia yang
menyatakan kemerdekaan
- Alinia 4 = memberi arahan tentang tujuan negara, susunan negara, sistem pemerintahan negara
dan dasar negara.

Nilai Dasar ini merupakan asas-asas yang kita terima sebagai dalil dan bersifat mutlak.

b. Dalam pokok-pokok pikiran yaitu :


- Persatuan, - Keadilan Sosial, - Kedaulatan Rakyat, - Ketuhanan YME menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
2. Nilai Instrumental
Berupa penjabaran nilai dasar, yaitu arahan kinerja untuk kurun waktu tertentu dan kondisi
tertentu. Sifatnya kontelektual, harus disesuaikan dengan tuntunan jaman. Nilai Instrumentalnya berupa
kebijakan, strategi, sistem, organisasi, rencana, program dan proyek. Perwujudan nilai instrumental ialah
Butir-butir sila-sila Pancasila, yang dulu 36 butir, kini berubah menjadi 45 butir.
Pelaksanaan umum dari nilai dasar, biasanya dalam wujud norma sosial ataupun norma hukum
yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga yang bersifat dinamik, menjabarkan nilai
dasar yang umum ke dalam wujud yang konkrit, sehingga dapat sesuai dengan perkembangan zaman,
merupakan semacam tafsir positif terhadap nilai dasar yang umum tersebut.
Nilai instrumental terpengaruh oleh waktu, keadaan dan tempat, sehingga sifatnya dinamis,
berubah, berkembang, dan enovatif. Kontelektualisasi nilai dasar harus dijabarkan secara kreatif dan
dinamik ke dalam nilai instrumental. Penjabaran nilai dasar terwujud ke dalam :
- GBHN (TAP, MPR), PELITA, UNDANG-UNDANG,
- PERATURAN PELAKSANAAN,
- DOKTRIN, KEBIJAKAN, STRATEGI dll.

3. Nilai Praksis
Nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Istilah “PRAKSIS” tidak seluruhnya
sama maknanya dengan istilah “PRAKTEK”. Praksis harus selalu Pased on Values, sedangkan Praktek bisa
bersifat Value Free, maka secara hierarkhis Praksis berada di bawah Nilai Instrumental dan menjabarkan
Nilai Instrumental tersebut secara taat asas (konsisten).
Merupakan interaksi antara nilai Instrumental dengan situasi konkrit pada tempat dan waktu
tertentu. Juga merupakan gelanggang petarungan antara idealisme dengan realitas yang tidak dapat
sepenuhnya kita kuasai, adda kalanya justru kondisi obyektif itu yang jauh lebih kuat dai nilai praksis Nilai
praksis berupa nilai yang sebenarnya kita laksanakan dalam kehidupan kenyataan sehari-hari, contohnya
= memelihara persahabatan.
Berbagai wujud penerapannya Pancasila dalam kenyataan sehari-hari,baik oleh para
penyelenggara negara maupun oleh masyarakat Indonesia sendiri, misalnya dalam Kerukunan hidup
beragama, praksisnya : silatuhrahmi antar umat beragama, melakukan dialog antar umat beragama,
toleransi dan saling menghormati antar umat beragama.

b. Secara Ilmiah :
Nilai-nilai yang dikandung Pancasila ialah berjenjang, artinya tata urutan nilai-nilai Pancasila
telah sesuai dengan tata nilai yang ada dalam kehidupan manusia, tata urutan terrsebut tidak dibuat-
buat (official).
Nilai-nilai yang dikandung Pancasila dapat dirinci menurut jenjang jenis dan ragam, yaitu
sebagai berikut :
1) Menurut jenjangnya ialah :
a. Nilai religius ialah nilai yang tertinggi dan yang melekat / dimiliki oleh Tuhan YME, yaitu
KeMahaan Tuhan Yang Maha Kuasa, misalnya yang Maha Agung, yang Maha Suci, yang
Maha Kudus, Absolut, Mutlak dll.
b. Nilai spiritual : nilai yang melekat pada manusia, yaitu mengenai budi pekerti, perangai,
kemanusiaan, kerokhanian, kejiwaan.
c. Nilai vitalitas : nilai yang melekat pada semua makhluk hidup, yaitu mengenai daya hidup,
kekuatan hidup, pertahanan hidup semua makhluk.
d. Nilai moral : nilai yang melekat pada perilaku hidup semua manusia, yaitu akhlak, susila,
perangai, budi pekerti, tata adab, santun.
e. Nilai material : milai ini melekat pada semua benda-benda dunia, yang wujudnya ialah
jasmani, badani, lahiriah, konkrit.

2) Menurut jenisnya ialah


a. Nilai illahiah ialah nilai yang dimiliki Tuhan YME , namun melekat pada manusia, yaitu
berujud harapan, janji, keyakinan, kepercayaan, persaudaraan, persahabatan.
b. Nilai Etis ialah milai yang dimiliki dan melekat pada manusia, yaitu berujud, keberanian,
kesabaran, rendah hati, murah hati, suka menolong, kesopanan, keramahan.
c. Nilai Estetis melekat pada semua makhluk duniawi, yaitu berupa keindahan, seni,
ketragisan, kasahduan, keelokan, nuansa, keharmonisan.
d. Nilai Intelek yaitu melekat pada makhluk manusia, berujud ilmiah, rasional, logis, analisis,
akaliah.

3) Menurut ragam-ragamnya, yaitu


a. Nilai Instrinsik, nilai yang melekat pada hal / bendanya, nilai yang dikandung bagi dirinya
sendiri, terlepas dari keman-faatanya.
b. Nilai Instrumental, nilai yang terwujud dalam kegunaan / kemanfaatan, sesuatu hal
berguna bagi yang lain, sesuatu jika dapat dimanfaatkan pelakunya.
c. Nilai Inheren, nilai yang menimbulkan kepuasan bagi pelakunya.
d. Nilai Kontributif, nilai penyerta, artinya nilai ini mendukung keberhasilan nilai-nilai yang
lain, suksesnya suatu nilai didukung nilai ini.

III. 3. Sikap dan Prilaku Sesuai Nilai-Nilai PANCASILA

Operasionalisasi Pancasila dengan pendekatan Nilai Dasar ke dalam Nilai Instrumental dan ke
dalam Nilai Praksis merupakan perwujudan konkrit sikap dan prilaku manusia Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Contoh konkritnya ialah : penterjemahan nilai-nilai
tersebut dalam pengamatan dan pelaksanaan Pancasila :

1. Sila Pertama = Ketuhanan Yang Maha Esa (ND)


Butir 3 = mengembangkan sikap menghormati dan bekerjasama (NI)
Aktualisasinya = hidup berdampingan, perdamaian……. (NP)

2. Sila Kedua = Kemanuisaan yang adil dan beradab (ND)


Butir 4 = sikap tenggang rasa dan tepo seliro (NI)
Butir 5 = sikap tidak semena-mena terhadap orang lain (NI)
Aktualisasinya = penagihan PBB kepada petani yang kurang mampu (NP)

3. Sila Ketiga = Persatuan Indonesia (ND)


Butir 3 = mengembangkan rasa kebanggaan kebangsaan dan bertanah air Indonesia (NI)
Aktualisasinya = bela negara sesuai profesi masing-masing (NP)

4. Sila Keempat = Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan / perwakilan
Butir 3 = mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
umum (NI)
Butir 4 = musyawarah untuk mecapai mufakat diliputi oleh suasana kekeluargaan (NI)
Aktualisasinya = pranata sosial budaya : para petani bermusyawarah untuk menentukan jadwal
tanam (NP)

5. Sila Kelima = Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (ND)


Butir 1 = mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasanya kekeluargaan dll (NI)
Aktualisasinya = gotong royong, menghargai orang tua/yang dituakan (NP)

Anda mungkin juga menyukai