Anda di halaman 1dari 20

Modul ke:

PANCASILA
10 Fakultas
FEB
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Melisa Arisanty. S.I.Kom, M.Si

Program Studi
MANAJEMEN
PANCASILA SEBAGAI ETIKA BERNEGARA

Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem Etika Bernegara


Indikator :
Menguasai pengetahuan tentang pengertian etika, aliran-aliran etika, etika
Pancasila, dan Pancasila sebagai solusi problem moralitas bangsa.
Untuk dapat menguji pengetahuan tersebut mahasiswa akan diberikan tugas
berupa tugas individu dan kelompok untuk melakukan diskusi mengenai
permasalahan moralitas bangsa.
Mampu mengelola perbedaan pendapat dalam sikusi sebagai pembentukan
pemahaman bersama bahwa nilai-nilai Pancasila dapat menjadi solusi terbaik
untuk memperbaiki permasalahan moralitas yang mendera bangsa Indonesia.
Memiliki sikap tanggung jawab pada pekerjaan secara
mandiri dan dapat diberi tanggung jawab atas
pencapaian hasil kerja kelompok, komunikatif, estetis,
etis, apresiatif dan partisipatif.
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan,
antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa,
ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila juga
sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila
secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas
tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif
kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat.
Etika Pancasila Dalam Bernegara
Sebagai salah cabang etika, khususnya etika
politik termasuk dalam lingkungan filsafat.
Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis
manusia adalah etika. Etika mempertanyakan
tanggung jawab dan kewajiban manusia.
Berbagai bidang etika khusus, seperti etika
individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi
dan etika pendidikan. Dalam hal ini termasuk
etika politik yang berkenaan dengan dimensi
politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu
norma untuk mengukur betul – salahnya
tindakan manusia sebagai manusia. Dengan
demikian etika politik mempertanyakan
tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai
manusia dan bukan hanya sebagai warga negara
terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain
sebagainya
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada
penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta
menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab.
Jadi tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori,
melainkan secara rasional, obyektif dan argumentif. Etika
politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas
etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah
ideologis dapat dijalankan secara obyektif, etika politik
dapat memberikan patokan orientasi dan pegangan
normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas
tatanan dan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat
manusia atau mempertanyakan legitimasi moral perlbagai
keputusan politik. Suatu keputusan bersifat politis apabila
diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan.
Hukum dan kekuasan negara merupakan pembahasan
utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata
masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebgai
lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan
struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan
sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan.
Sebetulnya keduanya tidak terpisah, Hukum tanpa kekuasan
negara tidak dapat berbuat apa-apa, sifatnya normatif
belaka, hukum tidak mempunyai kemampuan untuk
bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta.
Negara yang memakai kekuasaannya diluar hukum sama
dengan manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara
semacam itu menjadi negara penindas dan sangat
mengerikan.
• Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik
acuan orientasi moral bagi suatu negara
adalah adanya cita-cita “the rule of law”,
partisipasi demokratis masyarakat, jaminan
hak-hak asasi manusia menurut kekhasan
paham kemanusiaan dan struktur sosial
budaya masyarakat masing-masing dan
keadilan sosial.
Legitimasi Kekuasaan
Pokok permasalahan etika politik adalah
legitimasi etis kekuasaan, yang dapat
dirumuskan dengan suatu pertanyaan: dengan
moral apa seseorang atau sekelompok orang
memegang dan menggunakan yang mereka
miliki? Betapa besarnya kekuasaan yang dimiliki
seseorang, dia harus berhadapat dengan
tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya.
Paham pertanggungjawaban menyatakan bahwa penguasa
memang memiliki kekuasaan dan bahwa masyarakat berhak
untuk menuntut pertanggungjawaban.
Dalam etika politik, kekuatan batin penguasa
berpancaran sebagai wibawa ke dalam masyarakat. Rakyat
dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki
kekuatan-kekuatan tertentu. Wibawa penguasa itu bukan
suatu yang sekedar psikis atau mistik melainkan ditunjang
oleh kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik. Ia
dapat mengatur dan mengorganisir orang banyak dan
memastikan kemampuannya itu dengan ancam,an atau
sanksi nya terhadap mereka yang mau membangkang.
Kewibawan penguasa yang paling menyakinkan adalah
keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi keresahan dalam
masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidak puasan,
tantangan, perlawanan dan kekacauan merupakan
tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya keselarasan
nampak apabila masyarakat merasa tenang, tenteram
dan sejahtera.
Budi luhur penguasa nampak dalam cara ia
menjalankan pemerintahannya. Sesuai dengan sifat dan
hakekat kekuasaan sendiri cara pemakaiannya secara
halus. Kehalusan pemerintahan diharapkan dapat
mencapai keadaan sejahtera, adil dan tenteran dalam
masyarakat tanpa perlu memakai cara-cara kasar..
Legitimasi kekuasaan meliputi:
A) legitimasi etis, yaitu pembenaran atau
pengabsahan wewenang negara (kekuasaan
negara) berdasarkan prinsip-prinsip moral.
B) Legitmimasi legalitas, yaitu keabsahan
kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi-fungsi
kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-
fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Moralitas Kekuasaan
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan
kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa
setiap tindakan negara baik dari legislatif
maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi
norma-norma moral. Tujuannya adalah agar
kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan ke
pemakaian kebijaksanaan dan cara-cara yang
semakin sesuai dengan tuntutan-tuntutan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada zaman sekarang (modern) tuntutan
legitimasi moral merupakan salah satu untuk pokok
dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahawa
negara hanya boleh bertindak dalam batas-batas
hukum, bahawa hukum harus menghormati hak
asasi manusia, begitu pula pelbagai penolakan
terhadap kebijaksanaan politik tertentu, seperti isu
ketidak adilan sosial, semua berwujud tuntutan
agar negara melegitimasikan diri secara moral.
Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan
oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah
masyarakat religius, maka ukuran apakah
penguasan itu memiliki etika politik tidak lepas
dari moral agama yang dianut oleh
masyarakatnya. Oleh sebab itu, pernyataan-
pernyataan yang sering dilontarkan oleh umat
beragama adalah bahawa kekuasaan itu adalah
amanah dari Allah dan harus dipertanggung
jawabkan kepadaNya kelak.
B. Pancasila Sebagai Solusi Persoalan Bangsa dan
Negara (Studi Kasus Korupsi)
Situasi negara Indonesia saat ini begitu
memprihatinkan. Begitu banyak masalah menimpa
bangsa ini dalam bentuk krisis yang multidimensional.
Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam,
pendidikan dan lain-lain, yang sebenarnya berhulu
pada krisis moral. Tragisnya, sumber krisis justru
berasal dari badanbadan yang ada di negara ini, baik
eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang notabene
badan-badan inilah yang seharusnya mengemban
amanat rakyat. Setiap hari kita disuguhi beritaberita
mal-amanah yang dilakukan oleh orang-orang yang
dipercaya rakyat untuk menjalankan mesin
pembangunan ini.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa moralitas
memegang kunci sangat penting dalam mengatasi
krisis. Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua
masalah, maka melalui moralitas pula krisis dapat
diatasi. Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur
hanya dari kepandaian warganegaranya, tidak juga dari
kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih
mendasar adalah sejauh mana bangsa tersebut
memegang teguh moralitas. Moralitas memberi dasar,
warna sekaligus penentu arah tindakan suatu bangsa.
Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu moralitas
individu, moralitas sosial dan moralitas mondial.
Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik
yang bersifat ke dalam, tertanam dalam diri manusia yang akan
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Seorang yang memiliki
moralitas individu yang baik akan muncul dalam sikap dan perilaku
seperti sopan, rendah hati, tidak suka menyakiti orang lain, toleran,
suka menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin ibadah dan lain-lain.
Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari luar.
Bahkan, dalam situasi amoral yang terjadi di luar dirinya, seseorang
yang memiliki moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh.
Moralitas individu ini terakumulasi menjadi moralitas sosial, sehingga
akan tampak perbedaan antara masyarakat yang bermoral tinggi dan
rendah. Adapun moralitas mondial adalah moralitas yang bersifat
universal yang berlaku di manapun dan kapanpun, moralitas yang
terkait dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan, dan sebagainya.
Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam melihat
kenyataan sosial.
Bisa jadi seorang yang moral individunya baik tapi
moral sosialnya kurang, hal ini terutama terlihat pada
bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat
yang majemuk. Sikap toleran, suka membantu
seringkali hanya ditujukan kepada orang lain yang
menjadi bagian kelompoknya, namun tidak toleran
kepada orang di luar kelompoknya. Sehingga bisa
dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai
kumpulan dari moralitas individu, namun
sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat
orang lain sebagai manusia yang memiliki harkat dan
martabat kemanusiaan yang sama.

Anda mungkin juga menyukai