Anda di halaman 1dari 15

Pengertian Etika

Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua


kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahasa tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terntentu
atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaranmoral (Suseno, 1987).
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsipprinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai kehidupan manusia
(Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang
membahas kewajiban manusia terhadap diri sendir dan etika sosial
merupakan kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup
bermasyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Pengertian Politik
Pengertian politik berasal dari kata Politics yang memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu
dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang
menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih.
Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaankebijaksanaan umum, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau
distributions dari sumber-sumber yang ada.
Untuk melakukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan, dan
kewenangan yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara
yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu
pemaksaan. Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya
merupakan perumusan keinginan belaka (statement of intents) yang tidak
akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari
seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang
(privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok
termasuk partai pplitik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
Pengertian Etika Politik
Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk
dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan
praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia. Ada bebagai bidang etika khusus, seperti etika
individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika
pendidikan.dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan
dimensi politis kehidupan manusia.

Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur


betul salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian,
etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia
sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap
Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alatalat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik
secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan
apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik
tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu
agar pembahasan masalah-masalah idiologis dapat dijalankan secara
obyektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika
politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif,
kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif
sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu
dan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsipprinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu
Negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis
masyarakat, jaminan ham menurut kekhasan paham kemanusiaan dan
sturktur kebudayaan masyarakat masing-masing dan keadaan sosial.
Etika Politik
Perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi.
Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara
pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau
tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:
1. Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti
hukum dan Negara (misalnya: bentuk negara seharusnya
demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
2. Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan
politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislative
maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional.
Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas
Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai
unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika
politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka
pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima
tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan
menurut ratio/nalar, secara etis.
Maka sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika
politik seperti:
Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John
Locke)
Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)

Kedaulatan rakyat (Rousseau)


Negara hukum demokratis/republican (Kant)
Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
Keadilan social

Lima Prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer


Kalau lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan
pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi
Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang
sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern (yang belum
ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).
1. Pluralisme
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas,
artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal
bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama,
budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap
kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi,
toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan
sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan
dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan
pandangannya kepada orang lain.
Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang
menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh
didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti
keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
2. HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil
dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan
bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi
bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya
sebagai manusia.
Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:
a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian
Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari
tangan Sang Pencipta.
b. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai
disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi
dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara
modern.
Dibedakan tiga generasi hak-hak asasi manusia:
a. Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal,
demokratis dan perlakuan wajar di depan hukum.
b. Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
c. Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif
(misalnya minoritas-minoritas etnik).

Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan


eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh
dibiarkan (impunity).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri
sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib
sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak
hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup
manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar:
keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,
solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan.
Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu
dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu
dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang
mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi
orang/kelompok orang yang korup. Korupsi membuat mustahil orang
mencapai sesuatu yang mutu.
4. Demokrasi
Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada manusia,
atau sebuah elit, atau sekelompok ideologi, atau sekelompok
pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan
(menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau
boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang
dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana
mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat plus prinsip
keterwakilan. Jadi demokrasi memrlukan sebuah system penerjemah
kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
a. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap
HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran
mayoritas.
b. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap
hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum
merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah
pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan
masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan.
Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan.
Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian;
bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa
survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis,
sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu;
keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah
keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan social diusahakan

dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam


masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilanketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual.
Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang
adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam
struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur
itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya
dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat
sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur
lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua
diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Dalam pendapat penulis, tantangan etika politik paling serius di
Indonesia sekarang adalah:
a. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan social
b. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama
ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak
Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada
masyarakat
c. Korupsi
Dimensi Politik Manusia
1. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat
manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualismeyang
merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai
makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan
masyarakat, bangsa, maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar
moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama
senantiasa diukur berdasarkan kepentingan da tujuan berdasarkan
paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan
kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme
mamandang siafat manusia sebagi manusia sosial sauja. Individu menurut
paham kolekvitisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi amasyarakat.
Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan
kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan
kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat,
bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai
makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan
sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya
senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia
sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya
merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan
secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa
tergantung pada orang lain. Manusia didalam hidupnya mampu
bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang
karena dalam hubunganya dengan orang lain.

Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya


terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat
kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan
sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan
dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara
moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan
kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini
merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta
arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral
kepada dasar-dasar tersebut.
2. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan
negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan
masyarakat secara keseluruhan. Dimensi ini memiliki dua segi
fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga
dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan
manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan
moral manusia, sehingga manusia mengerti dan memahami akan suatu
kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal
ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya
terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas
kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam
menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan
suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat
adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang
memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka
harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif
dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada
norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan
kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk
memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan
efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan
kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami
bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan
sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga
negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai
kehendak untuk hidup bersama.
Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
Sebagai dasar filsafah negara Pancasila tidak hanya merupakan
sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga
merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan
legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
serta sila ke dua kemanusiaan yang adoil dan beradab adalah

merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan


bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik
menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan asas
legalitas (legitimasi hukum), secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral)(Suseno,
1987 :115).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut
kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta
kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral
kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala
kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus
berdasarkan legitimasi moral religius (sila 1) serta moral kemanusiaan
(sila 2).
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan
dalam hidup bersama (keadilan sosial), sebagaimana terkandung dalam
sila 5, merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan,
kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum
yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan
kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila 4). Oleh karena
itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu,
pelaksanaan dan penyelenggraan negara segala kebijaksanaan,
kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai
pendukung pokok Negara.

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus


Banyak pengamat politik berpandangan sinis: Berbicara etika politik
itu seperti berteriak di padang gurun. Etika politik itu nonsens. Realitas
politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun
bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam
politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Urgensi etika politik
Kalau
orang
menuntut
keadilan,
berpihak
pada
korban,
memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun
demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika
politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin
relevan?
Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik,
tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak
mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau
peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa
berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan
tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan
membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes
terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir
politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.
Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang
berlarut-larut
akan
membangkitkan
kesadaran
akan
perlunya
penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak
akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan
perubahan harus konstitusional, menunjukkan etika politik tidak bisa
diabaikan begitu saja.
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan
untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan
membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990).
Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan
individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan
adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang
diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam
bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung
tiga tuntutan: 1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; 2)
upaya memperluas lingkup kebebasan; dan 3) membangun institusiinstitusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait.
Hidup baik bersama dan untuk orang lain tidak mungkin terwujud
kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi
yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan
eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil
memungkinkan
perwujudan
kebebasan
dengan
menghindarkan

warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya,


kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap
institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini
yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi
pelaksanaan kongkret kebebasan atau disebut democratic liberties:
kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan
mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku
individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial).
Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa
langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik,
yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena
menyangkut tindakan kolektif.
Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan
kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi
menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu
bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama,
demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan
sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha
meyakinkan
sebanyak
mungkin
warganegara
agar
menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama.
Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk
meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan,
dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau
penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan
masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang
mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah hidup baik bersama dan untuk
orang lain. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan
sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah
jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima
pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak
mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik
adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai
sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti
sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur
dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal
balik dan hubungan fair di antara para pelaku.
Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena
sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum
mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. Bila setiap politikus
jujur, maka Indonesia akan makmur. Dari sudut koherensi, pernyataan ini
sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan
hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya


dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun
bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan
kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari
individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok
yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik
adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia
ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya.
Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu.
Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu.
Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan
menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada
kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur
kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi
yang lebih adil.
Institusi sosial dan keadilan prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur
dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan
John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa
depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh
sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi
sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, citacitanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusiinstitusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah
merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi
yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya
memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan
seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh
pilihannya.
Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen
untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten
kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah
yang jujur hancur. Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun
institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan
prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur
tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukumhukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan
justifikasi.
Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan
yang menetapkan yang membagi harus mengambil pada giliran yang
terakhir dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila
pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain,
dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi
kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya. Dengan demikian,
meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan.
Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah
pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk

mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang


terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan
semua untuk berebut kekuasaan.
Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena
sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan
semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada
keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang
memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan
distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian
sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus.
Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor
divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup
bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum
positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan,
penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan
yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan
perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak
diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam
posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap
mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa
atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal
balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh
pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

Kuasa dan Moral : Sebuah Telaah Etika Politik Dalam


Membangun Negara
Oleh Galang Taufani
Sejak semula kekuasaan selalu berwajah dua : sekaligus mempesona
dan menakutkan. [Franz Magniz-Suseno]
Sejarah panjang kehidupan bernegara tak pernah lepas dari aspek
kekuasaan. Kekuasaan menjadi sebuah simbol berdaulat dalam
manifestasi perbuatan negara. Maka, tidak mengherankan jika kekuasan
menjadi sebuah perdebatan panjang.
Dalam perjalanannya, kekuasaan berlaku tidak sesuai dengan
kekuasaan semestinya. Hal itu seiring dengan munculnya kritik terhadap
model-model kekuasaan yang lahir. Secara simultan, melahirkan
bagaimanakah konsepsi kekuasaan itu mesti diimplemntasikan dalam
membangun negara.
Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Kuasa dan Moral, mencoba
menyandingkan moral sebagi sebuah landasan dalam berpijak dalam
merealisasikan kekuasaan. Setiap kekuasaan akan stabil kalau sah secara
moral. Ia mengungkapkan bahwa usaha-usaha untuk memisahkan
kekuasaan dan moralitas akan menggerogi kekuasaan itu dari dalam.
Sekilas Kekuasaan
Beberapa abad yang lalu barangkali kita ingat bagaimana sejarah
kekuasaan berjalan. Awalnya kekuasaan dihayati dan diterima sebagai
sesuatu dari alam ghaib. Inilah yang disebut sebagai legitimasi religius.
Raja dipandang sebagai pengejawantahanYang Ilahi, sebagai wadah yang
dipenuhi dengan kekuatan-dikekuatan halus alam semesta yang
daripadanya mengalir ketentraman, kesejahteraan, dan kepada rakyat di
sekeliling.
Pasca legitimasi religius didobrak, roda kekuasaan pun berubah.
Dimana muncul sebuah kritik tentang legitimasi kekuasaan dan segala
ketajamannya. Kemudian yang terjadi adalah, menyintir istilah Franz
Magniz-Suseno, sobeknya selubung gaib yang melindungi raja dari
pertanggungjawaban.
Sejatinya, ada tiga lingkungan masyarakat yang mendobrak hal itu.
Pertama, waktu Abraham dipanggil Jahwe untuk meninggalkan tanah
Ahram dan masuk tanah yang akan ditunjukkan kepadanya. Kedua,
adalah masyarakat Yunani. Dan yang terakhir, adalah masyarakat Roma
dengan negara republiknya.
Dari sisi historis, setidaknya, ada tiga diskursus pemikiran kekuasaan
yang dapat dijadikan dalam kerangka acuan. Pertama, Thomas Aquinnas
yang mencoba menggantungkan legitimasi kekuasaan negara pada
tuntutan-tuntutan normatif fundamental. Kedua, adalah Thomas Hobbes
yang mengambil posisi berlawanan : Melalui hukum yang ditetapkannya,
kekuasaan memastikan apa yang adil dan apa yang tidak. Ketiga, Niccolo
Machiavelli, berada ditengah, memiliki pandangan untuk menisbikan
pertimbangan-pertimbangan legitimasi dan menggantikannya dengan

teknik pargmatis. Jika dilihat, tiga posisi tersebut sekaligus berlawanan


satu sama lain dan berkesinambungan dalam satu medan problematika
etika kekuasaan.
Tuhan dan Manusia
Berbicara mengenai kekuasaan. Tentu, tidak akan lengkap jika kita
tidak berbicara tentang kedudukan manusia. Hal ini lantaran pada awal
pembicaraan sempat kita singgung bagaimana proses mandatarisasi
terjadi dalam bentuk legitimasi kekuasaan manusia terhadap manusia
lainnya.
Penting untuk direnungkan, sejatinya penciptaan manusia adalah
melalui citra Tuhan. Dilihat dari segala sudut pandang apapun manusia
berasal dari Tuhan dan disegala eksistensinya manusia ditunjang oleh
kehendak Tuhan. Implikasinya, yang berhak atas segala tuntutan yang
mutlak dari manusia hanya Tuhan.
Sebagai manusia, Tuhan memberikan sebuah harga diri berupa
martabat. Pada martabat tersebut bersemayam bagian luhur yang harus
dihormati oleh manusia lain. Martabat manusia adalah obyek kasih Tuhan.
Merujuak pada itu kita dapat simpulkan yang berlaku: menghormati
martabat Tuhan berarti menghormati kemahadaulatan Tuhan. Sebaliknya,
memperkosa
martabat
manusia
sama
dengan
memperkosa
kemahadaulatan Tuhan.
Semua itu berkolerasi dengan apik. Maka dari itu, usaha dalam
mempertentangkan hormat terhadap manusia dengan hormat terhadap
Tuhan, humanisme dengan agama, keprihatinan terhadap nasib segenap
orang tanpa membeda-bedakan ras, agama, kebangsaaan, dan jenis
kelamin, disatu pihak dengan kesetiaan terhadap agama dilain pihak
adalah keliru sama sekali. Humanisme yang mau melepaskan dari
pengakuan terhadap Tuhan akan menjadi dangkal, dan agama yang
melepaskan sikap hormat segenap orang menjadi bengis. Agama yang
tidak menjunjung tinggi martabat manusia kehgilangan keluhurannya
sendiri, sedangakan jika Tuhan dikesampiangkan, maka martabat manusia
akan dikesampingkan pula.
Etika Pembangunan
Dalam tradisi klasik filsafat politik, tugas negara adalah
mempertahankan keselarasan sosial, aatau dalam bahasa Thomas
Aquinas, mengusahaakan perdamain dan keadilan. Akan tetapi,
perkembangan umat manusiaterutarma dalam bidang ekonomi
memaksa negara untuk memperluas paham tanggung jawabnya : tidaklah
cukup sekedar mempertahankan atau mengembalikan keadaan selaras
dalam masyarakat, masyarakat harus juga dibangun. Dalam salah satu
bentuk setiap negara zaman sekarang mengusahakan pembangunan. Dan
dengan demikian, negara ikut menentukan prasayarat-prasayarat
kehidupan masyarakat. Pola pembangunan itu mempunyai dampak besar
terhadap kebahagiaan atau kesusahan masyarakat.
Berkaca
dari
itu
semua,
pola
pembangunan
harus
dipertanggungjawabkan.
Dan
itu
berarti,
bahwa
pembangunan
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan etis : Bagaiamana pembangunan

menjadi masalah etis? Bagaiamana tujuan pembangunan? Bagaimana


prinsip-prinspi dasariahnya?
Munculnya liberalisme, kapitalisme, dan indtsrialisasi di panggung
sejarah membawa suatu perubahan besar : Kegiatan ekonomi dibebaskan
dari belenggu tatanan feodalisme. Seperi kita tahu, perekonomian di
zaman feodal masih berjalan secara alamiah. Dimana orang langsung
terjun kedalam pelbagai kegiatan ekonomis sesuai dengan tradisi yang
sudah ada. Pada perubahan ini, kapitalisme mendinamisir perekonomian
karena membuat pertumbuhan modal menjadi prinsip dasar. Lahir pula
hak milik pribadi. Imbasnya, yang tidak memiliki hak milik semakin
tergantung dengan kaum pemilik.
Ketidakadilan itu menimbulkan sosialisme sebagai reaksi lawan.
Sosialis radikal secara konsekuen menuntut penghapusan hak milik
pribadi atas alat produksi.
Konflik antara liberalisme dan sosialisme pada akhirnya melahirkan
negara sosial modern. Maksudnya negara tidak menerima salah satu
pihak sebagai kepercayaan yang bersifat naif. Dimana segalanya tidak
akan menjadi baik asal saja hak milik diberikan pada negara. Begitu juga
sebaliknya, dalam memutlakkan hak milik. Negara sosial modern
berusaha untuk menjamin syara-syarat kerja yang dianggap wajar dan
memasang suatu jaringan jaminan sosial yang mencegah kemlaratan.
Dari realita yang terjadi tersebut, perkembangan peranan negara
dalam bidang ekonomi menghasilkan sesuatu kesadaran : yaitu bahwa
proses perekonomian tidak boleh diserahkan pada kekuatan-kekuatan
pasar saja. Hal itu sebagai jawaban terhadap kritik etis : arah
pertanggungjawaban ekonomi harus dapat dipertanggungjawabkan.
Persolan lain dalam pembangunan etis adalah kedudukan ideologi.
Ideologi pada bagian ini, secara singkat, dapat dijabarkan dengan
bahwasannya masalah pembangunan sebagai bagian yang tak
terlepaskan dari kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yag
bersaing. Seperti diketahui, untuk membenarkan pola pembangunan
tertentu diperlukan legitimasi. Terlecut dengan hal itu, maka usaha-usaha
dilakukan oleh pelbagai ideologi untuk mendapatkan legitimasi dalam
melakukan tindakan ideologisnya. Misalanya, liberlaisme membenarkan
pola pembangunannya dengan nilai-nilai kebebasan dan pertumbuhan,
sosialisme dengan kesamaan, komunisme dengan kepentingan masa
depan, fasisme dengan kepentingan kejayaan bangsa, dan seterusnya.
Ciri khas pembangunan ideologis ialah pola pembangunan ditentukan
berdasarkan suatu teori nilai umum, yang oleh pihak berkuasa digunakan
sebagai alat untuk menentukan pembangunan yang paling benar.
Masalah etis yang muncul dari pembangunan ideologi adalah bahwa
ia selalu menguntungkan pihak yang berkuasa. Dilain itu, secara prinsipil,
tidak dapat diterima karena perlakuan masyarakat ditentukan oleh suatu
teori apripori. Dengan kat lain, sebagian masyarakat yang tidak
terakomodasi kepentingannya di korbankan. Hal ini seolah-olah menjadi
pembenaran dalam mengorbankan kepentingan manusia demi mencapai
tujuan. Oleh karena itu, pembangunan ideolgis tidak sesuai dengan
martabat manusia.

Dengan demikian, sudah semestinya dan sudah sudah sewajarnya


pembangunan dilakukan demi manusia. Namun, penentuan tersebut
memang masih problematis mengingat tujuan pembangunan manusia
masih dalam bahaya penyalahgunaan ideologis.
Pada dasarnya hal yang paling fundamental untuk dipahami adalah
bagaimana pembangunan dapat mengusahakan sebuah masayarakat
dibangun dengan wajar tetapi tidak memperkosa manusia konkret atas
nama cita-cita tentang manusia. Janganlah suatu teori, suatu kebenaran
abstrak, betapa pun indahnya, boleh menjadi dasar politik praktis.
Pasalnya, ideologi-ideologi tersebut cenderung untuk
mengorbankan
manusia demi pikiran sang ideolog.
Pada kondisi ini peran negara dituntut berperan sebagai pencipta
prasarana umum bagi kesejahteraan semua anggota masyarakat. Negara
memang tidak mampu menciptakan kesejahteraan. Kesejahteraan adalah
sesuatu yang hanya dapat terwujud dalam perasaan masing-masing
orang. Setiap orang, dalam dan bersama orang lingkungan sosia, harus
mewujudkan kesejahteraannya. Tetapi, demi terwujudnya itu semua
negara harus menyediakan prasarananya.
Franz Magniz-Susenio mengajukan tiga prinsip dalam operasionalisasi
bagi terciptanya tujuan pembangunan demi manusia tersebut : yaitu
pembangunan harus menghiormati hak-hak asasi manusia, pembangunan
harus demokratis dalam arti bahwa arahnya ditentukan oleh seluruh
masyarakat, dan priporitas pertama pembangunan harus menciptakan
taraf minimum keadilan sosial.

Sindrom Lemming
Didataran tinggi Skotlandia dan Skandinavia Utara hidup semacam
tikus yang bernama lemming (lemnus-lummus). Pada umumnya lemingleming itu nampak hidup dengan tenang dan bahagi dengan iklim dingin
tersebut. Akan tetapi stiap beberapa tahun, entah apa sebabnya,
lemming-lemming itu berkumpul, kemudian mulai bergerak bersamasama turun kelaut. Sekali bergerak tak ada yang mampu menghentikan
ratusan ribu ekor lemming. Kendati seeokr elang menerkam, sapi
menginjak-injak, tembok menghadang, sungai mengalir deras, lemminglemming tetap terus maju. Sesampai di tepi laut mereka tetap maju terus
sampai lemming terakhir pun tenggelam.
Pertanya, apakah kita sudah tertular sindrom lemming?. Perlu
diketahui, yang menarik pada lemming-lemming tersebut adalah mereka,
sambil maju untuk binasa, melanjtkan kehidupan biasa : lari kesanakemari, mecari makan, berkembang biak. Tahu-tahu mereka sampai ke
lautdan binasa. Tentu, bangsa kita harapkan tidak sedang melakukan
pola yang sama. Kita sedang membangun sebuah negara untuk
menciptakan kesejahteraan bagi masayarakat didalamnya. Namun, kita
harus terus berinstrokpeksi, alih-alih sedang membangun, seperti
lemming, jangan-jangan kita sedang menuju pada kebinasaan. []

Anda mungkin juga menyukai