Anda di halaman 1dari 20

Budaya dan Etika Politik yang

Berwawasan Kebangsaan
Februari 15, 2008 3 Komentar
Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat multicultural, dimana dapat
dilihat keberagaman yang terjadi di wilayah kita. Majemuk biasanya melahirkan dua peluang
yakni sebagai sarana konflik dan keindahan dalam perbedaan. Kita juga dapat melihat, konflik
yang terjadi diberbagai daerah merupakan suatu bentuk kurang bisa memahami suatu
kebudayaan pada suatu tempat. Hal ini dikarenakan sikap dari pendatang kurang dapat
menginternalisasi nilai-nilai yang selama ini berjalan dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut,
lahir dari kebiasaan dan norma yang berjalan dalam masyarakat.
Kebudayaan merupakan pengekteralisasian suatu gagasan atau ide didalam masyarakat
yang dilakukan secara kontinyu dan membentuk system social pada masyarakat. Borobudur
sebagaimana yang kita kenal merupakan suatu kebudayaan tetapi kalau mau dilihat lebih jauh
lagi borobur merupakan suatu hasil dari kebudayaan, begitupula dengan tari, drama, dan yang
lain. Para ahli antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai kerangka berfikir yang berlaku di
dalam masyarakat, dengan mengikuti pendapat dari ahli antropologi maka kebudayaan bukan
lagi berbicara tentang cipta, rasa dan karsa tetapi lebih dari kerangka atau nilai-nilai yang
berjalan (berlaku) dalam masyarakat.
Etika merupakan suatu cabang filsafat dan sekaligus merupakan suatu cabang tentang
ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang filsafat etika membahas system yang mendasar
tentang ajaran dan pandangan tentang moral. Sedangkan bila sebagai ilmu dalam etika mengapa
kita mengikuti moral tertentu. Etika sebagai ilmu terbagi menjadi dua yakni yang umum dan
khusus. Etika dalam artian yang umum membahas prinsip-prinsip yang umum tentang tindakan
manusia. Sedangkan etika dalam artian yang khusus terbagi menjadi dua macam yang bersifat
individual dan yang bersifat social. Etika yang bersifat individual membahas tentang diri,
kewajibannya, suara hati nurani, serta kepercayaan terhadap Tuhan. Sedangkan etika yang
bersifat social meliputi cabang yang lebih khusus seperti etika dalam bisnis, profesi, lingkungan
kedokteran, seksual dan politik. (Abdul Hadi WM, Pancasila Sebagai Etika Politik dan Dasar
Ideologi Negara)
Etika politik dalam pengertian yang luas bukan hanya yang sempit berbicara tentang
bagaimana cara memperoleh kekuasaan, tetapi lebih jauh lagi yakni bagaimana cara memperoleh
kekuasaan dan kekuasaan itu digunakan. Jadi yang dibahas dalam etika politik ini bukan hanya
person tetapi lebih dari itu. Pembahasan yang dilakukan oleh etika politik meyangkut institusi
atau lembaga Negara dan sasarannya. Hal yang perlu dibahas dalam etika politik paling tidak ada
tiga macam yakni yang berkaitan dengan individu, ruang lingkup kebebasan, dan institusi yang
lebih adil kebijakanya. Etika politik yang berkaitan dengan individu merupakan tugas dari etika
ini untuk membentuk seorang politikus yang memiliki moral yang berorientasi pada keadilan.
Moralitas politikus merupkan ukuran dalam etika politik yang berkitan dengan individu bila
berkomunikasi dengan orang atapun lembaga yang lain.
Etika politik yang berkaitan dengan kebebasan ini merupakan suatu bentuk ekspresi
individu dalam megapreasiasikan kepentingan politiknya. Kebebasan ini menjadikan landasan
untuk lebih progresif dalam aktualisasi politik tanpa menggangu hak politik dari yang lain.
Sedangkan aplikasi dari individu dan kebebasan maka institusi yang menjadi tujuan dalam
kebijakan yang diambilnya pun harus sesuai sehingga tercipta keadilan dan mensejahterakan
masyarakat. Sebenarnya kalau mau melihat dasar Negara merupakan suatu etika politik modern
dikarenakan dalam Pancasila memuat hal-hal yang mendasar dalam seperti pluralisme, HAM,
demokrasi, solideritas bangsa dan keadilan social. (Franz Magnis Susesno, Kuliah Umum di
Fakultas Filsafat UGM).
Budaya sebagai system nilai yang berlaku dalam masyarakat sedangakan etika politik
merupakan suatu proses menuju kekuasaan dan bagaimana mengaplikasikan untuk kepentingan
rakyat. Kebudayaan dan etika politik merupakan suatu pengaplikasian dari kondisi
masyarakatnya. Seiring dengan kemajuan tingkat pendidikan dan kebudayaan maka dalam
perpolitikan yang terjadi dalam masyarakat akan membaik, sebagaimana hal ini terjadi di USA.
Yang menjadi tugas kita bersama adalah bagaimana cara membuat kebudayaan yang didasarkan
pada nilai-nilai kebangsaan. untuk menanggapi hal tersebut paling tidak ada kerja tiga kerja
intelaktual yang harus dilakukan. Pertama, dengan mengenalkan pendidikan pada masyarakat
sehingga dapat berfikir rasional dan ilmiah. Kedua, dengan melaksanakan pelatihan dan
pendidikan politik kepada masyarakat guna menggunakan haknya agar dapat mencapai yang
dicita-citakan bersama. Ketiga, menciptakan system yang demokratis dengan menjaga pluralitas,
HAM dan keadilan social yang terselama ini terbungkam.

Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan
politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan
dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta
selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah sisi ular
ketimbang watak merpati-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah
menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak politisi
pun diasosiasikan dengan watak binatang.



Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar
pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk
mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan
bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik mutlak diperlukan bagi
perkembangan kehidupan politik. Etika politik merupakan prinsip pedoman dasar yang dijadikan
sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan dalam
konstitusi negara (Dharma Setywan Salam: 2006).
Di Indonesia Eika Politik dan Pemerintahan diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI Tahun
2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika
kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber
dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku
dalam kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu
memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian,
sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai
warga bangsa.
Dalam TAP MPR tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan
untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana
politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan
aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima
pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak
dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.

Budaya politik yang baik harus didasarkan pada etika politik yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Etika politik merupakan tata nilai, sopan santun, atau ukuran baik buruknya tingkah
laku / perilaku politik baik dalam suprastruktur maupun infrastuktur politik. Budaya politik
merupakan kunci untuk memahami sistem politik.

Etika politik bersumber pada tata nilai sosial dan budaya dan sistem politik negara yang
bersangkutan. Oleh karena itu etika politik yang berlaku di negara liberal seperti AS dan negara-
negara Eropa akan berbeda dengan negara Komunis, ataupun Pancasila. Etika politik dalam
sistem negara demokrasi akan menjunjung harkat dan martabat manusia baik secara sosial
maupun individual, dan menumbuhkan dialog, diskusi, serta konsultasi.

Etika politik dalam sistem demokrasi yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menegakan konstitusi sehingga tercipta supremasi konstitusi.
2. Menegakan rule of law sehingga tercapai negara hukum.
3. Menegakan open management sehingga tercapai partisipasi masyarakat secara efektif.
4. Penyelenggaraan pemilu yang luber, jujur, dan adil.
5. Menghormati adanya organisasi politik sehingga terwujud mekanisme demokrasi yang sehat.
6. Mewujudkan pers yang bebas dan bertanggung jawab.



Sri Sultan HB X
Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan
amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara
legal formal. Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat
luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan
mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih
jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah
bisa dengan mudah diabaikan.

Akibatnya ada dua hal: pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan tidak berkembangnya nilai-
nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu
berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa
atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya
upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah (Sri Sultan Hamengku Buwono. Etika
Politik dan Penerapannya: 2013)

Oleh: Prof Dr. Soedijarto, MA*
(Guru Besar UNJ ,Ketua Dewan Pembina I SPI )

A. Pendahuluan
Politik, kata filosof Hannah Arendt, merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia.
Dengan mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang sesama warga negara dan dicatat
sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan bersama.
Lukisan tentang politik yang begitu indah tersebut sebenarnya sudah dilukiskan para
filosof klasik Yunani, seperti Aristoteles dan Plato. Dalam buku Nichomachean Ethics, misalnya,
Aristoteles melukiskan politik itu indah dan terhormat. Indah karena politik merupakan jembatan
emas bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Terhormat karena semua
cabang ilmu lainnya mengabdi kepada ilmu politik. Demikian juga dalam karya Aristoteles
lainnya Politics dan karya filosof Plato Republic. Dua karya klasik yang telah menjadi magnum
opus itu menjelaskan, sejatinya politik itu agung dan mulia, yaitu sebagai wahana membangun
masyarakat utama.
Namun, apakah politik seindah itu? Berbicara politik pada tataran normative memberi
kesan naif. Sebab, politik dalam praksisnya adalah pertarungan kekuatan sehingga
kecenderungannya tujuan menghalalkan cara ala Machiavelli, selalu terbuka bagi para
politikus. Artinya, karena yang mesti dimenangkan dalam pertarungan politik itu adalah
kepentingan dan keuntungan diri, yang mencuat adalah konflik kepentingan, dan apabila tidak
dikelola dengan baik, anarkisme politiklah yang terjadi. Lalu, bagaimanakah jika konflik dan
friksi itu selalu mencuat di setiap pertarungan politik? Pertanyaan itulah yang mesti dijawab
dengan menghadirkan etika politik sebagai sosok adab yang dibutuhkan untuk memedomani arah
jalannya politik.
Slamet Raharjo Jarot dalam dalam diskusi budaya politik di Hotel Bumi Karsa Jakarta,
berpendapat para politikus saat ini tidak menjalankan etika moral dalam berpolitik, sehingga
menurunkan harkat dan martabat bangsa.
Carut-marut politik di tanah air, kata Slamet, akibat budaya pemaksaan yang dilakukan
elite politik. Terlebih lagi dalam mencapai kekuasaan, para politikus tidak segan-segan
melakukan trik dan intrik politik tanpa memikirkan kepentingan rakyat.
Slamet Rahardjo menambahkan, untuk memilih pemimpin sejati Indonesia dibutuhkan
waktu yang cukup lama. Sedangkan untuk memilih presiden hanya cukup sekali dalam lima
tahun. Karena itu, dia menyeru masyarakat untuk keluar dari permainan politik yang kotor.
Paskah jatuhnya Soeharto, Indonesia masuk dalam zaman reformasi yang mengagung-
agungkan kebebasan. Setelah memasuki zaman reformasi kebebasan tadi bukannya membawa
bangsa ini ke tahap kemakmuran, tapi pada tahap penderitaaan (suffering). Padahal kita telah
mencapai cita-cita kita yaitu kebebasan. Mungkin ini menjadi pertanyaan mendasar bagi kita
sekarang ini. Mengapa yang terjadi adalah kemiskinan dan penderitaan.
Para politikus yang sebelumnya berjanji membawa bangsa ini terlepas dari belenggu
kemiskinan malahan masuk dalam jurang kemiskinan dan penderitaan. Penduduk miskin
semakin bertambah. Para pengemis semakin hari semakin banyak jumlahnya. Apakah ini yang
dinamakan kebebasan dan kemerdekaan. Anggota DPR yang terhormat berlomba-lomba
menaikkan gajin mereka. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyat.
Sementara di sudut-sudut kota besar tempat menjulangnya bangunan tinggi dan megah
berceceran anak-anak miskin dan tak dapat mengecap pendidikan seperti selayaknya yang
menjadi hak mereka. Jangankan mengecap pendidikan untuk bertahan hidup saja mereka harus
mengemis dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya tidak mereka lakukan untuk
tetap hidup.
Hilangnya etika perpolitikan adalah awal dari kesewenang-wenangan para penguasa
untuk merampas apa yang menjadi hak rakyat. Hal yang sangat ditonjolkan adalah politik aturan
yang berlaku. Dalam etika, aturan-aturan yang sudah menjadi hukum itu perlu ditinjau ulang.
Aturan bukanlah hukum yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Jika seandainya terbukti
bahwa aturan-aturan tersebut menuai kritikan yang keras dari masyarakat berarti aturan yang
berlaku itu perlu diubah karena melanggar hak-hak orang lain.
Maka pemerintah dan badan kehormatan yang ada di lembaga dewan perwakilan rakyat,
tidak dapat menggunakan hukum yang berlaku sebagai senjata ampuh untuk membenarkan diri.
Perlu kita ketahui bahwa hukum yang berlaku sekarang ini adalah hukum yang dibuat oleh
pemerintah dan DPR yang sarat dengan kepentingan. Etika merupakan hukum terakhir yang
mampu memberi keadilan bagi setiap warga negara.
Etika mempertanyakan semua hukum yang sudah berjalan selama ini demi kebahagiaan
dan kesejahteraan masyarakat. Maka Aristoteles tidak pernah melapaskan politik dari etika.
Baginya politik harus berjalan di atas etika.
B. Proses Perubahan Budaya dan Etika Politik
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap
individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung
terciptanya sistem politik yang demokratis. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan
sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi
(Almond dan Verba dalam Siti Zuhro, 2010). Budaya politik yang beretika merupakan budaya
politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena
itu, proses perubahan budaya dalam segala hal termasuk dalam perubahan budaya politik
berhubungan dengan etika politik yang berkembang. Jika politik yang sedang berkembang tidak
berlandaskan pada etika poltik yang baik, maka jelas berimplikasi terhadap lahirnya perubahan
budaya yang tidak beradab sehingga harapan perubahan budaya yang kondusif dan produktif
hanya akan menjadi harapan dan impian semata.
Fenomena budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat, tidak hanya dapat
dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam
konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata
lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur
politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan
etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah "sub-budaya etnik dan daerah" yang
majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik
bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik kemungkinan terjadinya jarak, tidak
hanya antar budaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antar budaya politik tingkat nasional dan
daerah. Apabila pada tingkat Nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap
di antara sub-sub budaya politik yang berinteraksi. Namun pada tingkat daerah yang masih
berkembang adalah "'sub-budaya politik" yang lebih kuat dalam arti primordial.
Dari uraian di atas bisa dibedakan kiranya antara budaya politik (political culture) dan
perilaku politik (political behaviour). Yang tersebut terakhir kadang-kadang bisa dipengaruhi
oleh budaya politik. Namun, budaya politik tidak selalu tergantung pada perilaku politik. Apakah
sistem budaya yang ada cenderung bersifat komunal/kolektif atau individual ? Masalahnya
adalah apakah nilai-nilai demokrasi kompatibel dengan nilai-nilai budaya politik lokal dan
sebaliknya.
C. Pentingnya Etika Budaya dan Etika Politi
Dahl dalam Nurwahid (2007) berpendapat bahwa konsolidasi demokrasi menuntut etika
politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk
menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan pentingnya etika politik dengan
asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan
menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-
negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik
yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan
ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi
atau kepemimpinan yang terpecah.
Dengan kata lain, Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan
suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok
kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan
mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap
jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap
untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral
kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan
dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toteran, tidak berpura-pura,
tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak
manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi
pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas
kepentingan partai dan golongan.
Majlis Permusyawarat Rakyat (MPR) memandang bahwa etika politik mutlak diperlukan
bagi perkembangan kehidupan politik. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya Ketetapan MPR
RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan
bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan
yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Rumusan tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini disusun dengan maksud untuk
membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam
kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran,
amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu,
tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Etika kehidupan berbangsa ini diuraikan menjadi 6 (enam) etika yaitu, 1) etika sosial dan
budaya, 2) etika politik dan pemerintahan, 3) etika ekonomi dan bisnis, 4) etika penegakan
hukum yang berkeadilan, 5) etika keilmuan, dan 6) etika lingkungan.
Dalam Ketetapan tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan
dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta
menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa
bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan,
kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan
mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan
pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem
nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan
secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama
dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang
manusiawi dan alamiah.
Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis
antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk
mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan
bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik
untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan,
rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan
secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang
toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan
kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Tap ini
mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa.
Berbicara mengenai etika berpolitik, kita harus mengakui bahwa banyak kalangan elite
kita cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan
bahwa berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan
kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan
karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan
isu penyerangan pribadi, namun politik kekerasan pun dapat terjadi.
Elite nasional yang seperti ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik
masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka pun
sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial
sehingga elite cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Elite serta
massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika. Bahkan elite seperti ini merasa
halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah
politiknya. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini
cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.
Kebutuhan akan etika politik- menurut Paul Budi Kleden dalam Teologi Terlibat: Politik
dan Budaya dalam Terang Teologi (2003), muncul ketika ada penyelesaian konflik yang dirasa
tidak mencerminkan cita rasa etis yang dapat diterima publik. Etika politik membutuhkan rambu
untuk mempertemukan jalan-jalan yang berseberangan demi sebuah convivium, sebuah
kehidupan bersama dalam perbedaan. Sebuah rambu adalah symbol ciptaan untuk tujuan praktis.
Namun, dalam memerankan etika politik demi kehidupan praktis atau praksis politik
yang lebih baik-lebih membahagiakan kehidupan bersama, terlalu naif juga jika diandaikan
bahwa etika tidak boleh mengandung unsur pemikiran pencapaian keuntungan dan peningkatan
profit. Etika politik bertalian dengan pengaturan kehidupan praksis, menjawab pertanyaan apa
yang mesti dilakukan demi mencapai sebuah kehidupan bersama yang bahagia sejahtera
Oleh karena itu, kita perlu dapat mengulangi kedua rumusan Emmanuel Kant tentang
imperatif kategoris bagi setiap tindakan praktis etis, Bertindaklah sedemikian, supaya maksim
keinginanmu di mana pun dan kapan pun dapat dijadikan prinsip sebuah peraturan umum untuk
semua orang, dan Jangan sekali-kali menggemakan manusia sebagai alat, melainkan harus
selalu sebagai tujuan dari tindakanm'. Karena itu menyangkut tindakan, jelas dibutuhkan
pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban etis, dalam penentuan tujuan dan dalam
penilaian metode guna mencapai tujuan itu sehingga semua itu tidak terlepas dari pribadi, atau
oknum yang bertindak. Oknum dalam ulasan perihal etika politik tentu tidak lain adalah sang
politikus.
D. Peranan Pendidikan dalam Perkembangan Budaya dan Etika Politik
Pendidikan bagi kehiduapan manusia memiliki arti sangat penting, sebab martabat
manusia sangat ditentukan oleh kualifikasi dan kompetensi pendidikan yang dimikikinya. Yang
demikian itu, berlaku bagi eksistensi manusia secara umum, baik sebagai praktisi pendidikan,
politikus, negarawan atau apalah predikat yang disandanganya. Akan tetapi perlu diingat bahwa
domain lain dalam kehidupan manusia yang berkembangan di sekitarnya, selain pendidikan turut
serta membentuk atau setidaknya mempengaruhi sikap, perilaku manusia dalam menentukan
pilihan dan keputusan yang diambilnya
Dalam dunia yang berubah dengan cepat di era globalisasi ini diperlukan pengembangan
dan pemahaman paradigma baru untuk membangun sumber daya manusia yang unggul.
Pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu bukan merupakan suatu produk
manufaktur, tetapi seperti layaknya pengembangan tanaman yang harus dipilih bibitnya dengan
tekun, dipilih tanahnya yang subur, atau kalau perlu dikerjakan tanahnya lebih dulu agar
tanamannya bisa tumbuh subur, dan secara telaten harus disiram, dipupuk, dan dijauhkan dari
tanaman liar yang bisa mengganggunya. Karena itu, sumber daya manusia harus dikembangkan
dengan pemeliharaan sejak dini dengan sebaik-baiknya, dibangkitkan motivasi dan kemauannya
untuk maju, dipompa kemampuannya, dan diberikan dorongan yang positif untuk sanggup
membangun dan bekerja keras. Mereka harus sadar bahwa hanya dengan bekerja keras mereka
berhak mendapatkan tingkatan kesejahteraan untuk masa depan pribadi, anak cucu, dan
bangsanya.
Menurut Nurwahid (2007) banyak studi empiris dilakukan untuk melihat kaitan antara
kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan. Denison (1962), misalnya, menemukan adanya
sumbangan yang besar dari peningkatan years of schooling terhadap pertumbuhan Amerika
Serikat. Barro (1991) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menyatakan bahwa partisipasi
pendidikan dan investasi yang cukup besar untuk pendidikan pada tahun 1960-an merupakan
faktor yang penting dalam menjelaskan variasi pertumbuhan negara-negara di dunia selama 40
tahun terakhir ini. Mereka memperlihatkan bahwa kualitas sumber daya manusia menyumbang
secara cukup berarti bagi pertumbuhan. Sumbangan itu kira-kira sama dengan sumbangan
physical capital. Becker (1995) bahkan menunjukkan adanya estimasi bahwa sekitar 80 persen
aset dan kekayaan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terdiri atas modal manusia.
Dengan pendekatan ini, dapat diterangkan secara jelas apa yang menjadi kunci
keberhasilan negara-negara di Asia yang berkembang cepat, dimulai dari Jepang, kemudian
Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, yang memberikan penekanan besar pada penguatan
kualitas sumber daya manusia. Dengan sumber daya alam yang terbatas dan hambatan yang
mereka hadapi dalam ekspornya ke Barat, mereka dapat tetap memelihara daya saing dan tingkat
pertumbuhan yang menakjubkan.
Pengembangan kualitas sumber daya manusia ini yang paling utama dihasilkan oleh
pendidikan. Melalui pendidikan akan menghasilkan insan-insan yang tidak hanya menyandang
gelar sarjana, tetapi insan-insan yang bersemangat ilmiah, yang kreatif, yang selalu mencari
kesempurnaan (unending search for excellence) dan menghindarkan sikap mediocre. Manusia-
manusia yang demikian inilah yang akan menjadi modal pembangunan yang utama, yang akan
menjadi andalan masa depan.
Thomas Koten (2008) berpenadapat, sulit mengharapkan seseorang menjadi politikus
yang beretika jika, pertama, dalam proses pendidikan selalu mengandalkan pengulangan secara
sempurna, bahan oleh murid sebagai sarana untuk menguji intelektualitasnya telah menghasilkan
mental cash value. Pada murid bertumbuh mental - belajar hanya untuk ujian. Waktu kuliah
seorang mahasiswa sekadar datang, duduk, dengar, dan mencatat-minus berpikir-apa yang
disampaikan dosen. Seusai kuliah seorang mahasiswa akan meminta salinan kuliah yang biasa
disusun dalam presentasi power point. Kedua, dalam pendidikan yang berkembang adalah
sekularisasi pendidikan, misalnya, dari sistem dan orientasi belajar siswa yang sepenuhnya
diarahkan untuk mengejar kesuksesan secara fisikal, material, dan jalan pintas untuk segera
mendapatkan karier, jabatan, kekuasaan, dan uang. Ketiga, dalam pendidikan yang dikejar
hanyalah pencapaian kecerdasan secara IQ dengan mengabaikan kecerdasan spiritualitas dan
budi pekerti, seperti nilai kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan. Ingat bahwa nilai-nilai
itulah sebenarnya menjadi level tertinggi kecerdasan manusia yang sesungguhnya. Semakin
terserapnya nilai-nilai itu dalam pendidikan, kecerdasan seorang manusia memiliki kualitasnya.
Namun, semua itu sulit dicapai dalam dunia pendidikan kita selama ini karena memang
sejak awal mahasiswa untuk meraih kursi perguruan tinggi kadang harus mengorbankan harta,
menyogok yayasan agar dapat diterima tanpa memahami mengapa harus memasuki perguruan
tinggi dan nilai-nilai apa yang mesti diperjuangkan di bangku kuliah. Maka selanjutnya tidak
akan pernah lahir pembelajar sejati (true leader) dengan sifat kecendekiaan yang mumpuni. Atau
sulit mengharapkan lahir tokoh-tokoh intelektual yang berkearifan jika pendidikan itu sangat
pragmatis, ketika di dalamnya ketiadaan kemungkinan untuk memikirkan dan
mempertanggungjawabkan tujuan dan mempertimbangkan relasi antara tujuan pendidikan dan
cara pencapaiannya. Sebab, tujuan pendidikan pertama-tama untuk membantu anak didik untuk
memikirkan tujuan perbuatannya sendiri.
Dengan demikianlah seseorang pelajar yang menjadi politikus nantinya dapat belajar
bertanggung jawab atas pilihan tindakannya. Etika politik bermula dari kesanggupan berpikir
analitis dan kritis, memilah motivasi dan mempertanyakan kepentingan yang melatari sebuah
gagasan dan tindakan. Tidak ada kesanggupan dalam bingkai relatif ini, seorang politikus dapat
saja berkungkung dalam budaya pendewaan kekuasaan dan harta.
Jadi, pendidikan untuk etika politik menjadi sangat penting untuk memahami dan
merefleksikan kehormatan dan keindahan politik termasuk keluhuran demokrasi. Di sini
pendidikan politik menjadi sesuatu yang urgen dan harus benar-benar dijadikan sebagai salah
satu program utama pendidikan kita.
E. Prinsip Dasar Etika Politik
Dasar Etika Politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan memiliki logika internal
yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern. Ada 5 prinsip dasar dalam
etika politik secara kontemporer sebagai berikut.
1. Pluralisme
Pluralisme dimaksudkan adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk
hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda
pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap
kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme
memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah
intoleransi (segenap paksaan dalam hal agama), kepicikan ideologis yang mau memaksakan
pandangannya kepada orang lain. Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa
yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karena
keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif
bangsa.
2. Ham
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab.
Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan
dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan
martabatnya sebagai manusia. Hak-hak asasi terbagai dua, yaitu mutlak dan maupun kontekstual
:
a. Mutlak; karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan
karena ia manusia (dari Sang Pencipta).
b. Kontekstual ; karena baru mempunyai fungsi, dan karena itu mulai disadari, diambang
modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh
Negara modern.
Hak asasi manusia dapat dibedakan dengan tiga generasi :
1) Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan
hukum.
2) Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
3) Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas
etnik).
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan
ras. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas ; dapat dikatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan
juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup
menurut harkatnya, dan kehidupannya harus menyumbangkan sesuatu pada kehidupan manusia-
manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar: keluarga, kampung, kelompok
etnis, kelompok agama, kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran
kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar
dengan kasar oleh penyakit rakus manusia yang bernama korupsi. Korupsi mengerogoti
kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok. Korupsi membuat
mustahil orang mencapai sesuatu yang bermutu.
4. Demokrasi
Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau
sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan
memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup.
Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang
memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat
plus prinsip keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak
masyarakat ke dalam tindakan politik. Demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik, atas dua
dasar:
1) Pengakuan dan jaminan terhadap HAM dan perlindungan terhadap HAM, menjadi prinsip
mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
2) Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum Negara hukum
demokratis. Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi.
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud
baik apa pun akan kandas, apabila melanggar keadilan. Keadilan sosial mencegah masyarakat
pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling
bisa survive di hari berikut. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis,
sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan sosial tidak sama
dengan sosialisme.
Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Keadilan sosial harus mampu
membongkar praktek ketidakadilan yang ada dalam masyarakat, bersifat struktural, bukan
semata-mata individual. Artinya, ketidakadilan tidak terletak dalam sikap kurang adil orang-
orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur
politik/ekonomi/social/budaya. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari
bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling seperti
halnya dialami dialami oleh bangsa kita contohnya bentuk kemiskinan. Ketidakadilan struktur
lain adalah diskriminasi di semua bidang seperti terhadap perempuan, ras, suku dan budaya.
Menurut Franz Magnis Suseno (2007) tantangan etika politik paling serius di Indonesia
sekarang adalah:
1) Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
2) Ekstremisme ideologis yang anti pluralism. Ekstremisme agama di mana mereka yang merasa
tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3) Korupsi.
F. Pancasila sebagai Dasar Etika Politik
Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai
dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah
salah satu tugas filsafat politik: mencerahi makna berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis
dalam politik yang didasarkan atas Pencasila.
Menurut David Held (1988), ada anggapan negatif dan sikap skeptik serta sinis terhadap
politik. Ada kecenderungan untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicatat beberapa hal:
pertama, mau tidak mau kita tidak dapat lepas dari politik. Segala kegiatan kita mengandaikan
kerangka Negara dan masyarakat. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern,
seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan
politik, tetapi mengadakan transformasi politik sedemikian rupa, sehingga memungkin kita
membentuk dan mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik
terhadap politik, bukan hal yang tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas dan kelayakan
suatu model alternatif dan imaginatif institusi politik, ketidakpercayaan akan politik bisa diatasi.
David Held (1998) mengartikan politik sebagai berikut: Politik adalah mengenai
kekuasaan, yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk mempertahankan
atau mentransformir lingkungannya, sosial dan fisik. Politik menyangkut sumber-sumber yang
mendasari kapasitas ini dan mengenai kekuatan-kekuatan yang membentuk dan mempengaruhi
operasi dari kekuatan itu. Oleh karena itu, politik adalah suatu fenomena yang diketemukan di
dalam dan di antara institusi dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik
terungkap di dalam semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan perjuangan dalam penggunaan dan
distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam semua relasi, institusi dan struktur yang melekat
dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam kehidupan masyarakat. Politik menciptakan dan
mengkondisikan semua aspek kehidupan kita. Politik berada pada inti perkembangan
permasalahan dalam masyarakat dan cara kolektif penyelesaian masalah tersebut.
Bagi Aristoteles manusia akan menjadi sempurna dan mencapai tujuan kodratinya, kalau
ia hidup dalam polis (negara-kota). Suatu Negara ada, demi hidup baik dan bukan hanya untuk
hidup saja. Seperti dikatakan H. Arend, Polis sebenarnya bukanlah Negara-kota (city-state)
dalam lokasi fiknya; polis adalah organisasi masyarakat yang muncul dari perbuatan dan
pembicaraan bersama dan ruang yang sebenarnya terletak di antara orang yang hidup bersama
untuk tujuan itu, tak peduli dimanapun terjadi.8) Maka istilah politik menunjuk kepada
aktivitas dari polis, dimana kesejahteraan bersama dideliberasikan dan keputusan yang secara
kolektif mengikat dibuat. Jadi politik muncul dari tindakan bersama, sharing of words and
deeds. Ada hal-hal yang dapat kita petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani itu,
meskipun harus diakui bahwa ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu, misalnya
wanita dan budak tidak termasuk dalam warganegara. Ada anggapan pada waktu itu bahwa
mereka yang berhasil dalam kehidupan politik, yaitu hal-ihwal kehidupan dalam Negara, akan
mencapai kebaikan tertinggi. Kehidupan bersama dalam Negara (polis) akan mencapai kebaikan
yang lebih besar, karena dilakukan bersama. Maka kehidupan bersama dalam Negara tidak
hanya akan melindungi individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang dituntut oleh
liberalisme), tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arte). Kodrat manusia
mendorong, agar Negara berperan dalam mengembangkan potensi manusia, mengajarkan kita
untuk mencintai yang baik dan membuat warganegara menjadi lebih baik dengan menciptakan
kebiasaan yang baik (inilah arti utama dari pendidikan politik). Maka dapat dikatakan bahwa
bagi Aristoteles, Negara atau polis adalah perkumpulan teman-teman yang saling
memprovokasi untuk berbuat kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis, yaitu bersangkut paut
dengan masalah bagaimana kita harus hidup dalam suatu masyarakat politik.
M. Sastrapratedja mengutip Michel Foucault (1998) mengatakan bahwa politik pada
masa ini ditandai oleh pendisiplinan dan penundukan yaitu pemaksaan agar manusia
berperilaku tertentu. Ini disebut biopower. Politik adalah pengaturan dan penguasaan hidup
dan biopower ini secara fundamental modern, yaitu manakala kehidupan manusia dipertaruhkan
oleh strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan manusia menjadi objek politik
itu sendiri. Ini yang menjadi ciri dari politik modern, berbeda dari politik di masa lalu.
(Berbeda dari Foucault, Giorgio Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign Power and
Bare Life (1998) sebagaimana dikutip Sastrapratedja, berpendapat bahwa tidak benar kehidupan
manusia selalu menjadi objek dari politik. Ia mengingatkan bahwa dalam Buku Pertama Politics
Aristoteles membedakan antara kehidupan yang begitu saja atau kehidupan biologis
semata(bare life, nuda vita, kehidupan telanjang, kehidupan biologis (to zen) dan hidup yang
baik (eu zen). Kehidupan politik mengatasi kehidupan yang biologis melulu menjadi
sesuatu yang lebih, yaitu lebih manusiawi. Yang menjadi ciri politik adalah perwujudan
kemampuan manusia untuk menstrukturkan suatu kehidupan bersama dalam komunitas yang
tidak memaksa, yang mampu melakukan refleksi deliberatif atas pertanyaan apakah keadilan itu
dan sarana konkrit apa untuk mencapainya? Keadilan melekat dalam polis; karena keadilan
adalah penentuan apa yang adil, adalah pengaturan persekutuan politik. Agamben menarik
perhatian kita pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles mengenai bahasa dalam Politics: Agar
menjadi benar-benar manusiawi orang harus menjadi anggota polis, karena hanya dengan
begitu, ia dapat berbicara. Mengeluarkan suara berfungsi untuk menunjukkan kesenangan atau
kesakitan, dan ini suatu kemampuan yang dimiliki hewan pada umumnya. Tetapi bahasa
berfungsi untuk menyatakan apa yang adil dan tidak adil. Di sini kehidupan di lihat tidak hanya
sebagai suatu fakta, tetapi suatu capaian. Capaian itu adalah kebudayaan. Agamben menyebut
kehidupan biologis semata sebagai inklusif eksklusif (un esclusione inclusive).
Maksud dari pernyataan itu menurut Sastrapratedja ialah bahwa kehidupan yang baik (eu
zen) bukan kehidupan biologis semata, namun kehidupan yang baik juga merupakan
perkembangan dari kehidupan biologis semata. Politik seolah-olah merupakan tempat di mana
kehidupan harus mengalami transformasi menjadi kehidupan yang baik. Tetapi ini bukan suatu
capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis semata. Aufhebung politik tidak pernah tercapai,
identitas tak pernah selesai.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik memiliki
dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mendorong
warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.
Apabila nilai-nilai Pancasila itu dapat ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat,
maka akan menjadi pandangan hidup atau Weltanschauung. Pandangan hidup dapat dilihat
sebagai suatu cultural software, suatu perangkat lunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu
cara memahami dunia dan kehidupan sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat
lunak budaya pandangan hidup berperan dalam mengkonstruksikan dunia sosial dan politik.
Tetapi pandangan hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan pandangan
hidup lainnya. Cultural software dikopi dalam setiap individu melalui sosialisasi, interaksi dan
komunikasi. Fungsi cultural software mirip dengan apa yang disebut Gadamer tradisi: tradisi
melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang memungkinkan kita membuat penilaian mengenai
dunia sosial Sejauh masyarakat memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman
budaya mereka adalah pemahaman budaya bersama.
G. Penutup
Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia,
antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik,
dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari
bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini.
Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan
elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan
merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat
diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.
Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang
lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air
kita. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut
suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai
rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam
wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai.
Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara
tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan
yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan
untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita
hadapi kedepan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang
dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para
pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan
keterbelakangan.
Tantangan ini harus kita hadapi dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang
menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme.
Usaha ini sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.
Partai politik hendaknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan
partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut
memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan
seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal
dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai. Partai politik sebagai pilar demokrasi
haruslah selalu berinteraksi dengan masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan
merupakan agenda wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan
bencana.
Para elit politik partai pun sudah seharusnya sering terjun menemui konstituen,
mendengar aspirasi mereka, dan memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan
rakyat. Di sinilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai
politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan
terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi penyambung lidah
rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingan
kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik
melalui respon terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan
cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem
multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada
diri satu orang atau satu golongan saja. Dengan etika berpolitik yang demikian itulah kita
berharap masyarakat madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.***

KUTIPAN

Budaya, Etika dan Kepemimpinan Politik

Budaya merupakan hasil karya, cipta, karsa yang dihasilkan oleh pemikiran dan tingkah laku
manusia yang diterima secara luas.Budaya Politik dapat diartikan sebagaibudaya atau kebiasaan
yang dilakukan oleh para elite politik yang memiliki kekuasaan untuk turut mengatur jalannya
pemerintahan.

Secara Umum budaya politik dapat diartikan sebagai sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki
bersama oleh sebuah masyarakat dalam suatu lingkup. Menurut Rusadi Sumintapura budaya
politik merupakan pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang
dihayati oleh para anggota suatu sistem politik

Sidney Verba menyebutkan budaya politik sebagai suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-
simbol ekspresif dan nilai nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik
dilakukan sedangkan menurut Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jrberisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan
pola pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi disisi lain, Almond
dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara
terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara
yang ada di dalam sistem itu

Budaya politik adalah sebuah konsep yang lebih menekankan pada masalah perilaku nonaktual
seperti pandangan hidup, sikap, serta nilai dan kepercayaan.Hal ini lebih dominan daripada
aspek tindakan.Inilah sebab yang membuat Gabriel A. Almond menyimpulkan bahwa budaya
politik merupakan sisi psikologis dalam sistem politik. Di mana budaya politik perannya sangat
penting dalam proses perjalanan sebuah sistem politik.

Budaya politik identik dengan sistem politik. Hal ini ditunjukkan dengan bukti bahwa pada saat
budaya politik dibahas, maka tidak akan bisa lepas dari pembicaraan mengenai sistem politik.
Dalam sistem politik itu sendiri berorientasi pada setiap komponen yang berasal dari komponen
struktur, sekaligus juga fungsi yang dijalankan dalam sistem politik itu sendiri. Setiap orang akan
memiliki orientasi yang berbeda dalam sebuah sistem politik. Mereka akan memilih suatu fokus
orientasi dalam sistem tersebut. Misalnya, seseorang akan memiliki orientasi politik tersendiri
jika mereka berbicara tentang lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Budaya politik adalah sebuah gambaran konsep yang mempresentasikan mengenai komponen
budaya politik dalam batasan besar.Bisa juga menggambarkan mengenai kehidupan masyarakat
pada sebuah negara atau kawasan dan tidak melihatnya secara parsial atau individu. Batasan ini
terkait dengan pengertian budaya politik sebagai sebuah cermin perilaku masyarakat secara
massal yang berperan dalam proses penciptaan sistem politik yang ideal.

Komponen dan Tipe-tipe Budaya Politik

Kebudayaan politik pada dasarnya terbentuk oleh tiga komponen, Orientasi kognitif, orientasi
afektif, dana orientasi evaluatif. Orientasi Kognitif merupakan pengetahuan tentang dan
kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.Orientasi
Afektif adalah perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan
penampilannya.Orientasi Evaluatif ialah keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan

Berdasarkan sikap yang ditunjukan, budaya politik dibagi menjadi dua.1) Budaya Politik
MilitanBudaya politik di mana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif
yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang.Bila terjadi kriris, maka yang
disalahkan adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan. 2) Budaya Politik
ToleransiBudaya politik di mana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai,
berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama.
Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Berdasarkan dari tradisi dan perubahan budayanya tradisi politik pun dibagi menjadi dua.1)
Budaya politik yang memiliki sikap mental absolut.Budaya politik yang mempunyai sikap mental
yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang.dianggap selalu sempurna dan tak dapat
diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola
pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan
menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan.2) Budaya politik yang memiliki
sikap mental akomodatif . Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia
menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap
diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Sedangkan berdasarkan orientasi politiknya Gabriel Almond memilah budaya politik menjadi
tiga.Pertama, budaya politik parokial (parochial political culture) Tingkat partisipasi politiknya
sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif
rendah).Kedua budaya politik kawula (subyek political culture) Masyarakat bersangkutan sudah
relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.Ketiga budaya politik
partisipan (participant political culture) Budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik
sangat tinggi.

Etika Politik

Secara sederhana etika politik merupakan sikap yang ditunjukkan oleh individu maupun
lembaga dalam berbicara atau berpolitisi di depan khalayak luas.Pada abad ke-17, filsafat
mengembangkan pokok etika menjadi 7 bagian, yaitu: Perpisahan antara kekuasaan gereja dan
kekuasaan Negara (John Locke), Kebebasan berpikir dan beragama (Locke), Pembagian
kekuasaan (Locke, Montesquie), Kedaulatan rakyat (Rousseau), Negara hukum
demokratis/republican (Kant), Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb) dan Keadilan sosial.

Etika politik juga mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia
dan bukan hanya sebagai warga negara pada negarannya, selain itu juga tanggung jawab pada
hukum yang berlaku dan sebagainya (Magnis,et al, 2001: 14).

Fungsi Etika Politik Penyediaan alat-alat teoretis untuk mempertanyakan dan menjelaskan
legitimasi politik secara tanggung jawab.Artinya, emosi dan prasangka tidak akan digunakan,
hanya pikiran yang rasional, objektif, dan argumentative.

Kepemimpinan Politik

Kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perihal memimpin atau cara memimpin.
Menurut Windlesham, Politik merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan terhadap
warga masyarakat (Windlesham, 1966). Jadi secara sederhana kepemimpinan politik diartikan
sebagaicaramemimpin suatu kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan terhadap warga
masyarakat.

Menurut Max Weber, kepemimpinan politik dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan cara
memimpin. Kepemimpinan tradisonal adalah kepemimpinan di mana kekuasaan dalam
organisasi atau rezim berkuasa sepenuhnya berhubungan dengan tradisi atau adat-istiadat.Tipe
tradisional bisa dibilang adalah yang paling buruk karena mengacu pada kekuasaan absolut atau
bisa juga kekuasaan secara turun temurun.

Sedangkan kepemimpinan rasional merupakan kepemimpinan yang bersumber pada kekuasaan
legal. Dalam artian sebuah kekuasaan baru bisa dikatakan sah ketika didapatkan melalui cara-
cara konstitusional.

Yang terakhir adalah kepemimpinan karismatis. Berbeda dengan kepemimpinan rasional,
kepemimpinan karismatis mendapatkan kekuasaan bisa berdasarkan karakter personal yang
berbentuk kekaguman masyarakat terhadap suatu pemimpin yang memiliki kelebihan yang luar
biasa. Hal ini menciptakan loyalitas dan ketaatan pada masyarakat. Contohnya seperti kyai atau
tokoh agama lain yang ditaati dan dihormati karena karakter personal dan ilmu yang dimilikinya.
Begitu juga dengan pemimpin partai dengan pengikut yang memiliki loyalitas tinggi karena
karakter personal seperti wibawa dan kemampuan mempengaruhi orang.

Sebagai sebuah bentukan konstitusional, sumber kepemimpinan politik dapat dikatagorikan
tujuh.Legitimate power, merupakan perolehan kekuasaan melalui pengangkatan.Coersive
Power, perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau
perampasan senjata, yang sudah tentu berada di luar jalur konstitusional.Expert Power,
perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang. Reward Power, perolehan kekuasaan melalui
suatu pemberian atau karena berbagai pemberian. Reverent Power, perolehan kekuasaan
melalui daya tarik seseorang, baik secara fisik maupun pembawaan.Information Power, berarti
siapa yang menguasai jaringan komunikasi maka dialah yang berkuasa.Connection Power,
mereka yang mempunyai hubungan luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang besar
pula, baik lapangan politik maupun perekonomian.

Di Indonesia sendiri kepemimpinan politik dapat dikategorikan menjadi tipe solidarity marker
dan tipe administrator.Tipe Solidarity makerlebih mengedepankan strategi retorik guna
mengumbar gelora dan penyatuan solidaritas dengan memainkan simbol-simbol
identitas.Sedangkan tipe administrator lebih mengedepankan kecakapan administratif guna
kelancaran implimentasi visi dalam jejaring aparatus Negara.

Dwi tunggal Soekarno-Hatta pada masa kepemimpinannya menyatukan dua tipologi ini dalam
menjalankan roda pemerintahan Indonesia. Soekarno yang merupakan tipe solidarity maker
dan Hatta yang mewakili tipe administrator. Mungkin itulah salah satu yang menjadi kunci
sukses dwi tunggal ini dalam menjalankan roda pemerintahan.

Jika melihat pada masa Orde Baru, maka tipe kepemimpinan yang terlihat dominan adalah tipe
administrator. Dalam tipe itu, kepemimpinan didefinisikan lebih sebagai kemampuan untuk
menciptakan negara modern dengan segala perangkat teknis-administratifnya.

Pemimpin dalam tipe administrator, bukanlah seseorang yang menguasai retorika dan teknik-
teknik persuasi. Walaupun memiliki kekuasaan politik yang amat besar, ia sesungguhnya adalah
seorang non-politisi par excellence, teknokrat, birokrat, jenderal. Keahliannya bukanlah dalam
membujuk dan merayu masyarakat, tetapi dalam memecahkan masalah teknisdengan duduk
di belakang mejaserta merealisasi wewenang birokratisnya. Kalau toh ia ingin memobilisasi
dukungan masyarakat luas, biasanya ia melakukannya tidak dengan bujukan dan rayuan tetapi
lebih bersandar pada kekuasaan politis-birokratis yang dimilikinya.

Anda mungkin juga menyukai