Anda di halaman 1dari 31

Contoh Makalah Etika Politik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sekarang ini memang sudah tidak rahasia lagi kalau semakin

memudar saja bentuk pemahaman etika sehinggasangat sulit untuk ditemukan watak

kesusilaan yang sesuai dengan sebagaimana mestinya. Tidak terkecuali dikalangan intelektual

dan kaum elit politik bangsa Indonesia tercinta ini. Kehidupan berpolitik, ekonomi, dan

hukum serta hankam(Pertahanan Keamanan) merupakan beberapa ranah kerja etika. Masih

banyak penyimpangan yang dilakukan para elit politik dalam berbagai pengambilan

keputusan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Etika dan keadilan bagi seluruh

warga negara. Sebagai contoh Indonesia, Keadilan yang seharusnya mengacu pada Pancasila

dan UUD 1945 yang mencita-citakan rakyat yang adil dan makmur sebagaimana mana

termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 dan 2 hilanglah sudah ditelan kepentingan

politik pribadi.

Etikayang termasuk dalam kelompok filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai

sehingga merupakan suatu sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma

moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat terkandung didalamnya suatu

pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif

(menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu

pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman

dalam tindakan atau suatu aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.

Sebagai suatu nilai, etika merupakan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal

bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangasa dan bernegara.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1 Apa itu etika politik ?

2 Bagaimana prinsip dasar etika politik kontemporer ?

3 Bagaimana penerapan etika politik di Indonesia ?

4 Apa manfaat etika poitik dalam pelaksanaan system politik di Indonesia ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Mampu menjelaskan dan mendeskripsikan pengertian etika politik.

2. Mampu menjelaskan prinsip dasar etika politik kontemporer.

3. Mampu menjelaskan penerapan etika politik yang ada di Indonesia.

4. Mampu menjelaskan manfaat etika poitik dalam pelaksanaan system politik di Indonesia.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 ETIKA

Bertens dan Keban, menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti salah satu

diantaranya dan biasa dikatakan orang adalah kebiasaan, adat, atau akhlak dan watak.

Burhanudin, etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan

norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku manusia baik

secara pribadi maupun sebagai kelompok.

Poedjawijatna, mengatakan bahwa etika merupakan cabang dari filsafat. Etika

mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari kebenaran yang sedalam-dalamnya.

Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruknya bagi tingkah laku

manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia manakah yang tidak baik atau tidak buruk.

Magnis Suseno, mengatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah

ajaran, yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1988),

disebut (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral, (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai

benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat.

Baratawijaya mengatakan bahwa etika adalah ilmu tentang asas asas akhlak dan

moral yang dibagi dalam ruang lingkup umum dan khusus.

4.1 POLITIK

Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti Negara kota. Secara

etimologi kata politik masih berhubungan erat dengan kata politis yang bearti hal-hal yang

berhubungan dengan politik. Kata politisi berarti orang-orang yang menekuni hal-hal yang

berkaitan dengan politik. Para tokoh memiliki sudut pandang yang beragam mengenai

pengertian dari politik. Berikut ini adalah beberapa definisi mengenai politik menurut para

ahli

Andrew Heywood, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk

membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur

kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama.

Roger F.Soltau, politik adalah ilmu yang mempelajari negara,tujuan-tujuan negara,

dan lembaga-lembaga negara yang akan melaksanakan tujuan tersebut serta hubungan antara

negara dengan warga negaranya serta negara lain.

Ramlan Surbakti, politik adalah proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat

untuk menentukan kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah

tertentu.

F. Isjwara, politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau

sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan.

Ossip K.Flechteim, politik adalah ilmu social yang khusus mempelajari sifat dan

tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan

gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi yang dapat mempengaruhi negara.

Rod Hague, politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-

kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha

untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.


4.2 ETIKA POLITIK

Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, maupun negara

bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu

negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter. Dalam suatu

masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara moral

kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat negara.

Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada

ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987: 15).

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 PENGERTIAN ETIKA POLITIK

Secara substantive pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek

sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang

pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa

menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan

pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia

sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat, bangsa maupun

negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini

lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didsarkan kepada hakekat
manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa

masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam

arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang

memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada

hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seorang

yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta

masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu

masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika harus senantiasa mendasarkan kepada

ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis

untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi,

tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan

argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik

membantu agar pembahasan masalah-masalah idiologis dapat dijalankan secara obyektif.

Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum

sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebagai lembaga penata

masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk

individu dan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan.

Etika politik juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang terlibat

secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintah Negara. Para pejabat eksekutif,

anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat Negara, aparat pelaksana, dan

penegak hukum harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi

demokrasi juga harus berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijakan itu

sesuai dengan hukum belum tentu seuai dengan moral, contohnya gaji para pejabat

Negara sesuai dengan hukum tetapi bila dilihat dari keadaan Negara maka hal

tersebut tidak sesuai secara moral.

Inti permasalahan etika politik adalah masalah Legitimasi etis kekuasaan

yang dapat di rumuskan dalam pertanyaan: atas hak moral apa seseorang atau
sekelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka

miliki? betapapun besarnya kekuasaan, selalu dituntut pertanggung jawaban.

Karena itu, etika politik menuntut agar kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan

hukum yang berlaku (Legalitas), disahkan secara demokratis (Legitimasi

Demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip dasar moral (Legitimasi

Moral). Ketiga tuntutan itu dapat disebut Legitimasi normatif atau etis (Magnis-

suseno:1987). Selanjutnya dijelaskan kriteria-kriteria legitimasi yaitu legitimasi

sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis sebagai berikut :Legitimasi Sosiologis,

Paham sosiologis tentang legitimasi. Mempertanyakan motivasi motivasi apakah

yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau wewenag

seseorang, sekelompok orang atau penguasa.

3.2 PRINSIP DASAR ETIKA POLITIK KONTEMPORER

Kalau lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka

itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila

memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern.

1. Pluralisme

Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup

dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda

pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap

kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme

memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism

adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau

memaksakan pandangannya kepada orang lain.

Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di

Indonesia tidak ada orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap

ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.


2. HAM

Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa?

Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib

tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan

martabatnya sebagai manusia.

Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:

 Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat,

melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.

 Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang

modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam

oleh Negara modern.

Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras.

Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).

3. Solidaritas Bangsa

Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi

orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut

harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada

hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga,

kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka

di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran

kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu

dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran,

tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup. Korupsi

membuat mustahil orang mencapai sesuatu yang mutu.

4. Demokrasi

Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau

sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan

memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh
hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan

siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah

“kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memrlukan sebuah system

penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.Demokrasi hanya dapat berjalan

baik atas dua dasar:

 Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip

mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.

 Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hokum (Negara hukum

demokratis). Maka kepastian hokum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena

mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial

Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik

apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan

terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua

bagian-bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari

berikut.etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:

1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan social.

2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana

mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat

mereka pada masyarakat.

3. Korupsi.

3.3 PENERAPAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA

Pada jaman sekarang ini keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang di

harapkan, karena banyak rakyat beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu yang

hanya mementingkan dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Pemerintah

Indonesia tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini ditunjukkan

oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup mereka belum dapat disejahterakan oleh

negara. Pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri menjadi buruk, dikarenakan
pemerintah Indonesia yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan

baik, bagi mereka politik hanyalah sesuatu yang buruk dalam mencapai kekuasaan.

Macam-macam etika di indonesia meliputi:

1. Etika sosial dan budaya

2. Etika politik dan pemerintahan

3. Etika ekonomi dan bisnis

4. Etika penegakan hukum yang berkeadilan

5. Etika keilmuan

6. Etika lingkungan

Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan

filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalahetika. Etika

mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada berbagaibidang etika khusus,

seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika pendidikan. Dalam

hal ini termasuk setika politik yang berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia.

Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan

manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab

dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap

Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya. Fungsi etika politik dalam masyarakat

terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan

legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan

apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung

mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah

idiologis dapat dijalankan secara obyektif. Hukum dan kekuasaan Negara merupakan

pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif,

kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur

ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik membahas

hukum dan kekuasaan.


3.4 MANFAAT ETIKA POITIK DALAM PELAKSANAAN SYSTEM POLITIK DI

INDONESIA.

Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik, termasuk dalam lingkungan

filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika

mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia.

Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya

tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan

tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga

negara terhadap negara, hukum yang berlaku dan lainsebagainya. Fungsi etika politik dalam

masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alatteoritis untuk mempertanyakan serta

menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi,

prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik

tidak langsung mencampuripolitik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan

masalah-masalahidiologis dapat dijalankan secara obyektif. Hukum dan kekuasaan Negara

merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat

yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai

dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik

membahas hukum dan kekuasaan.

Ada beberapa manfaat etika politik bagi pelaksanaan system politik di

Indonesia.Pertama, etika diperlukan dalam hubungannya dengan relasi antara politik dan

kekuasaan. Karena kekuasaan cenderung disalahgunakan maka etika sebagai prinsip

normatif/etika normatif (bukan metaetika) sangat diperlukan. Etika di sini ada sebagai sebuah

keharusan ontologis. Dengan memahami etika politik, para pejabat tidak akan

menyalahgunakan kekuasaannya.

Kedua, etika politik bertujuan untuk memberdayakan mekanisme kontrol

masyarakat terhadap pengambilan kebijakan para pejabat agar tidak menyalahi etika.

Masyarakat sebagai yang memiliki negara tidak bisa melepaskan diri dalam mengurus

negara. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan para pejabat, namun
dalam tataran tertentu keduanya berbeda.Dalam negara dengan alam demokrasi peranan

masyarakat sangat besar yang nyata dalam sikap mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

Para pejabat sebagai representan rakyat tentu akan mendengar kritikan tersebut sebelum

sebuah kebijakan diambil. Warga negara yang demokratis mesti berusaha untuk

menghentikan pengambilan keputusan yang dapat merugikan warga walaupunkeputusan

tersebut dianggap benar oleh para pejabat. Mekanisme kontrol tersebut sangat penting agar

para pejabat tidakmengambil kebijakan yang merugikan masyarakat. Masyarakat yang

terancam akanteralienasi dari berbagai aspek kehidupannya memprotes dan menolak rencana

tersebut. Tindakan masyarakat tersebut dilihat sebagai cara masyarakat mengontrol kebijakan

yang diambil pemerintah. Ketiga, para pejabat dapat bertanggung jawab atas berbagai

keputusan yang dibuatnya baik selama ia menduduki posisi tertentu maupun setelah

meninggalkan jabatannya. Para pejabat bekerja dalam lingkup organisasional, oleh karena itu

segala kebijakan yang diambil mesti berdasarkan kesepakatan bersama. Namun,mereka tidak

dapat melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai seorang pribadi atas sebuah keputusan.

Tanggung jawab pribadi tidak hanya berlaku saat iamemegang jabatan publik tertentu, tetapi

juga terus berlanjut ketika ia berada padafree position.Tanggung jawab pribadi juga dapat

mendukung akuntabilitas bagi keputusan yang kurang dapat dianggap berasal dari pejabat-

pejabat yang baru. Karena tanggung jawab pribadi melekat pada pribadi dan bukan pada

kolektivitas, maka tanggung jawab tersebut selalu melekat dan mengikuti pejabat ke mana

pun ia pergi. Kita dapat menelusurinya setiap waktu juga pada saat ia tidak sedang

memegang suatu jabatan publik tertentu.

Etika politik menolak segala kecenderungan yang terus berkembang terutama yang

menyangkal tanggung jawab pribadi dan kecenderungan komplementer yang

mempertalikannya dengan berbagai jenis kolektivitas.


BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Dari pembahasan materi diatas dapat disimpulkan bahwa etika politik tidak dapat

dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Fungsi etika politik dalam

masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta

menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Prinsip dasar etika politik

kontemporer terdiri atas pluralisme, ham, solidaritas bangsa, demokrasi, keadilan social.

Manfaat etika politik bagi pelaksanaan system politik di Indonesia antara lain, Pertama, etika

diperlukan dalam hubungannya dengan relasi antara politik dan kekuasaan. Karena

kekuasaan cenderung disalahgunakan maka etika sebagai prinsip normatif/etika normatif

(bukan metaetika) sangat diperlukan. Etika di sini ada sebagai sebuah keharusan ontologis.

Dengan memahami etika politik, para pejabat tidak akan menyalahgunakan

kekuasaannya.Kedua, etika politik bertujuan untuk memberdayakan mekanisme kontrol

masyarakat terhadap pengambilan kebijakan para pejabat agar tidak menyalahi etika.

Masyarakat sebagai yang memiliki negara tidak bisa melepaskan diri dalam mengurus

negara. Ketiga, para pejabat dapat bertanggung jawab atas berbagai keputusan yang
dibuatnya baik selama ia menduduki posisi tertentu maupun setelah

meninggalkan jabatannya.

Bisa dikatakan, tujuan utama etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik

yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-

institusi politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan

individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya

korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar

etika individual perilaku individu dalam bernegara.

4.2 SARAN

Alangkah baiknya kita sebagai warga Negara Indonesia menjadikan Pancasila

sebagai salah satu acuan dalam memahami makna yang terletak pada nilai-nilai dari masing-

masing sila sebagai satu kesatuan yang tak untuk memahami dan mendalami nilai nilai

Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila. Dan juga

menjadikannya sebagai salah satu filter dalam melakukan suatu perbuatan

DAFTAR PUSTAKA

Suseno, Magnis Franz, 1990, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius

Syafie Kencana Inu, dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta : Reneka Cipta

Pasolong Harbani, 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta

Budiardjo Miriam, 2007. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia

MAKALAH
Partisipasi Politik
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Politik
Dosen Pengampu:Dr. Suharno.

Disusun Oleh:

Haryo Wisnu Murti(13401244010)

JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara
demokrasi , sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.
Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk
terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Sslah
satu kegiatan yang menunjukan adanya partisipasi politik dalam sebuah
negara adalah proses pemilihan umum.

Di negara-negara yang demokratis pemilihan umum merupakan alat untuk


memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi
kebijaksaan pemerintah dan sistem politik yang berlaku.Dengan hal ini pula,
pemilihan umum tetaplah merupakan bentuk partisipasi politik rakyat.Dalam
pelaksanaannya, keputusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi
kehidupan warga negara. Dengan demikian, masyarakat tentu berhak ikut
serta mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan itu.
Bahkan tingkat partisipasi politik memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan
sosial-ekonomi.Artinya dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat.
Partisipasi itu juga berhubungan dengan kepentingan-kepentingan
masyarakat, sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam partisipasi politiknya
menunjukkan derajat kepentingan mereka.

Munculnya orde yang membangun sistem politik dan tatanan kelembagaan


secara konstitusional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, memiliki
pengaruh terhadap partisipasi politik rakyat.Orde itu cenderung untuk
menciptakan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi yang mapan sebagi
sarana dalamb melaksanakan pembangunan.Stabilitas politik dan stabilitas
ekonomi berusaha di ciptakan dan dipelihara sebagai modal bagi terciptanya
kondisi untuk membangun.
Modernisasi dan transformasi sosial tampaknya merupakan karakteristik
pembangunan di Indonesia. Tuntutan–tuntutan ke arah perkembangan cepat
untuk mencapai target-target pembangunan. Banyak orang yang masih
mempertanyakan format partisipasi masyarakat , terutama yang berkaitan
dengan partisipasi politik, ada semacam keraguan bahwa partisipasi yang
dilakukan bukanlah bentuk partisipasi politik yang sesungguhnya, tetapi
hanyalah partispasi semu ( pseudo paricipation ) Anggapan bahwa partisipasi
itu karena mobilitas atau dalam istilah Huntington ialah “partisipasi yang di
mobilisasi” anggapan tersebut seringkali mengambil contoh dalam mekanisme
pemilihan umum lima tahunan, yang dipadang tidak mencerminkan bentuk
partisipasi politik yang sesungguhnya.

Untuk melihat hal itu, tampaknya perlu dipahami bagaimana format partisipasi
politik di beberapa negara berkembang yang menganut model pembangunan
yang berbeda.Maka hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan kajian
lebih mendalam mengenai partisipasi politik.

Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi pada latar belakang diatas, maka penulis memperoleh
permasalahan yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan pembahasan
sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan Partisipasi Politik?


2. Apakah Fungsi Partisipasi Politik?
3. Bagaimana bentuk-bentuk Partisipasi Politik serta faktor apa saja yang
mempengaruhi timbulnya Partisipasi Politik?
4. Bagaimana peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta
hubungannya dengan sosial-ekonomi pada negara berkembang?

Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah yang ada diatas, maka penulisan ini bertujuan untuk
mengetahui:

1. Pengertian Partisipasi Politik,


2. Fungsi Partisipasi Politik,
3. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik serta faktor apa saja yang mempengaruhi
timbulnya Partisipasi Politik,
4. Peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan
sosial-ekonomi pada negara berkembang

Manfaat Penulisan
Manfaat Teoritis

1. Menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Sosiologi Politik


khususnya mengenai materi Partisipasi Politik, baik itu berkaitan dengan
pengertian, bentuk, factor, peran Warga Negara serta hubungan partisipasi
politik dengan sosial-ekonomi dalam negara berkembang.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi penulisan yang sejenis
Manfaat Praktis

1. Bagi masyarakat, penulisan ini dapat dijadikan sebagai koleksi bacaan


dalam menambah wawasan mengenai Sosiologi Politik khususnya
Partisipasi Politik.
2. Bagi kalangan pendidik di Sekolah/Kampus, penulisan ini dapat digunakan
sebagai bahan pembelajaran dalam mata pelajaran/mata kuliah Sosiologi
Politik dengan materi Partisipasi Politik.
3. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta penulisan ini dapat menambah koleksi
bacaan dalam menambah wawasan.

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Partisipasi Politik
Secara etimologi Partisipasi berasal dari bahasa latin, yaitu pars yang berari
bagian dan capere yang berarti mengambil. Bila digabungkan maka dapat kita
artikan “ mengambil “. Dalam bahasa
inggris,participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil
peranan. Jadi partisipasi politik dapat kita artikan dengan mengambil bagian
atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara (
Soeharno: 2004; 102).
Partisipasi merupakan aspek penting dalam demokrasi.Partisipasi politik
adalah usaha terorganisir oleh para warga negara untuk memlih pemimpin-
pemimpin mereka dan memengaruhi bentuk dan jalannya kebijakan umum.
Usaha ini dilakukan akan tanggung jawab dan kesadaran mereka terhadap
kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu Negara. Sementara
itu, Syarbaini mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, seperti
memilih pemimpin Negara, atau upaya untuk memengaruhi kebiijakan
pemerintah.

Dusseldorp (1981) mengartikan partisipasi sebagai kegiatan atau keadaan


mengambil bagian dalam suatu aktivitas untuk mencapai suatu kemanfaatan
secara optimal. Devinisi lebih rinci dikemukakan oleh Cohen Uphoff (1979),
partisipasi sebagai keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan,
pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan, dan mengevaluasi
program. Sementara itu Davis (1977), memberikan definisi partisipasi sebagai
keterlibatan mental dan emosi seseorang di dalam situasi kelompok yang
mendorong dirinya untuk memberi sumbangan bagi tercapainya tujuan dan
membagi tanggung jawab diantara mereka(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko
Susilo, 2012: 65).

Partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson ( dalam Soeharno: 2004;


103) adalah kegiatan politik warga negara preman ( private citizen) yang
bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dari
pengertian partisipasi politok diatas maka Huntington dan Nelson memberikan
batasan mengenai partisipasi politik yaitu;

1. Partisipasi yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.


Hal-hal seperti sikap dn perassaan politik hanya dipandang sebagai
sesuatu yang berkaitan dengan bentuk tindakan politik bukan terpisah dari
tindakan politik.
2. Subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara
preman ( Private Citizen) atau lebih tepatnya orang per orang dlam
peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional
dibidang politik seperti pejabat pemerintah, pejabat partai, calon politikus,
lobbi professional.
3. Kegiatan partisipasi politik dimaksudkan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat
pemerintah yang mempunyai wewenang politik.
4. Mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas
apakah tindakan itu mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.
5. Mencakup partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan, partisipasi
otonom yaitu kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Sedangkan
partisipasi yang dimobilisasikan adalah kegiatan politik yang dilakukan
karena keinginan orang lain.
Miriam budiardjo memberikan batassan yang lebih luas mengenai partisipasi
politik (dalam Soeharno: 2004; 104), ia memandang bahwa partisipasi politik
sebagai kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut secara aktif dalam
kegiatan politik, misalnya dalam pemilihan pemimin negara, mempengaruhi
kebijaksanaan negara dan berbagai kegiatan lainnya.Di pihak lain Budiarjo
secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu
dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy).Partisipasi politik
yang demikian merupakan tindakan-tindakan yang berusaha mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah, terlepas apakah itu legal atau tidak. Dengan itu
protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan
pemberontakan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut
sebagai partisipasi politik (Sudjiono Sastroatmodjo,1995: 67-79).
Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk, kita dapat
membedakan jenis-jenis perilaku perilaku yang berkaitan dengan partisipasi
politik sebagai berikut;
1. Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga menyangkut
sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam sebuah
pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan
yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam
pemungutan suara adalah jauh lebih meluas dibandingkan dengan bentuk-
bentuk partisipasi politik lainnya, dan oleh sebab itu factor-faktor yang
berkaitan dengan kejadian itu seringkali membedakannya dari jenis-jenis
partisipasi lain, termasuk kegiatan kampanye lainnya.
2. Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerinah dan pemimpin-pemimpin politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak.
3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat
dalam sebuah organisasi yang tujuan utama dan eksplisinya adalah
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
4. Mencari koneksi(Contacting) merupakan tindakan perorangan yang
ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan
maksud memperoleh manfaat bagi satu atau segelintir orang ( Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson: 1994; 16-17).
Sifat yang berseberanga dengan partisipasi politik adalah sikap Apatis( masa
bodoh)secara sederhana sekali bisa didefinisikan sebagai tidak punya minat
atau tidak punnya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gajala
pada umumnya atau pada khususnya. Dari sudut pandang sosiologis, dapat
diterapkan pada masyarakat secara umum atau hannya pada aspek-aspek
tertentu dari masyarakat. Karena itu, sejauh mengenai partisipasi politik, sifat
yang paling penting dari seorang yang apatis adalah kepasifanya atau tidak
adanya kegiatan politik.

Morris Rosenberg mengsugestikan tiga alasan pokok untuk menerapkan apati


politik.Kesimpulan didasarkan pada satu seri wawancara yang tidak
berstruktur yang mendalam.Alasan pertama adalah konsekuensi yang di
tanggung dari aktivitas politik. Hal itu dapat mengambil beberapa bentuk:
individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap
berbagai aspek hidupnay. Alasan Rosenberg kedua adalah, bahwa individu
dapatmenganggap aktivitas politik sebagai sia-sia saja. Sebagai individu
tunggal, dia mungkin merasa bahwa dia sama sekali tidak mampu
mempengaruhi jalannya peristiwa, dan bahawa kekuatan politik yang bersifat
bagaimanapun juga ada diluar control individu. Yang ketiga, seperti limbrath,
roenberg beranggapan, bahwa “memacu diri untuk bertindak” atau
perangsang politik adalah faktor penting untuk mendorong aktivitas politik,
dengan tidak adannya perangsang sedemikian itu dapat menambahkan
perasaan apati( dalam Michael Rush dan Philip Althoff, 2008: 144-146).

Fungsi Partispasi Politik


Menurut Robert Lane ( dalam Rush dan Altohof dalm Suharno, 2004: 107)
partisipasi politik memiliki empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu
yaitu;
1. Fungsi pertama sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi,
partisipasi politik seringkali muncul dalam bentuk upaya-upaya menjadikan
arena politik untuk memperlancar usaha ekonominya ataupun sebagai
sarana untuk mencari keuntungan material.
2. Fungsi kedua sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi
penyesuaian sosial, yakni memenuhi kebutuhan akan harga diri,
meningkatnya status sosial, dan merasa terhormat karena dapat bergaul
dengan pejabat-pejabat terkemuka dan penting. Pergaulan yang luas dan
bersama pejabat-pejabat itu pula yang mendorong partisispasi seseorang
untuk terlibat dalam aktivitas politik. Orang-orang yang demikian itu
merasa puas bahwa politik dapat memenuhi kebutuhan terhadap
penyesuaian sosialnya.
3. Fungsi ketiga sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus, orang
berpartisipasi dalam politik karena politik dianggap dapat dijadikan sarana
bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu seperti untuk mendapatkan
pekerjaan, mendapatkan proyek-proyek, tender-tender, dan melicinkan
karier bagi pejabatnya. Nilai-nilai khusus dan kepentingan individu tersebut
apabila tercapai, akan makin mendorong partisispasinya dalam politik.
Terlebih lagi bagi seseorang yang terjun dalam bidang politik, seringkali
politik dijadikan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya.
4. Fungsi keempat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah
sadar dan kebutuhan psikologi tertentu, yakni bahwa keterlibatannya
dalam bidang politik untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan
kebutuuhan psikologi tertentu, seperti kepuasan batin, perasaan terhormat,
merasa menjadi sosok yang penting dan dihargai orang lain dan
kepuasan-kepuasan atas target yang telah ditetapkan.
Menurut Arbit Sanit ( Dalam Sastroatmojo, 1995: 84-87) memandang ada tiga
fungsi partisipasi politik yaitu;

1. Pertama memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang


dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya. Partisipasi politik ini
sering terwujud dalam bentuk pengiriman wakil-wakil atau utusan
pendukung ke pusat pemerintahan, pembuatan pernyataan yang isinya
memberikan dukungan terhadap pemerintah, dan pemilihan calon yang
diusulkan oleh organisasi politik yang telah dibina dan dilembagakan oleh
penguasa tersebut.
2. Kedua partisipasi yang dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan
kelemahan dan kekurangan pemerintah. Langkah itu dilakukan dengan
harapan agar pemerintah meninjau kembali, memperbaiki atau mengubah
kelemahan tersebut. Partisipasi ini dapat terlihat dalam bentuk membuat
petisi, reolusi, aksi pemogokan, demonstrasi, dan aksi protes.
3. Ketiga partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud
menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam
pemerintahan dan dalam sistem politik. Untuk mencapai tujuan seperti itu
seringkali dilakukan pemogokan, pembangkangan politik, huru-hara dan
kudeta bersenjata.
Selain memiliki berbagai fungsi, partisipasi politik juga memiliki beberapa
tugas yaitu;

1. Untuk mendorong program-program pemerintah, hal ini berarti bahwa


peran serta masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan
program pemerintahan.
2. Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk
masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan
pembangunan,
3. Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap
pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program
pembangunan.
Untuk menyampaikan nilai-nilai, sikap-sikap, pandangan-pandangan, dan
keyakinan-keyakinan politik diperlukan sarana-sarana. Untuk itu selanjutnya
Almond menyebutkan adanya enam sarana (agen sosialisasi politik) yaitu
keluarga, sekolah, kelompok bergaul atau bermain, pekerjaan , media massa
dan kontak-kontak politik langsung.

Bentuk-Bentuk Partispasi Politik


Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi
politik, yang oleh Almond dikatakan sebagai kegiatan membentuk dan
bergabung dalam kelompok kepentingan. Mengikuti organisasi biasanya
dimaksudkan untuk turut serta mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam
pengambilan keputusan(sudjiono sastroatmodjo,1995:74).

Apabila dilihat dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan
maka menurut Sastroatmojo (dalam Soeharno: 2004; 104) dapat dibagi
menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup
kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum,
mengajukan alternative kebijakan yang berbeda dengan kebijakan
pemerintah, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan
pemerintah.Sedangkan artisipasi pasif mencakup kegiatan mentaati
peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap
keputusan pemerintah.

Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya maka menurut Milbart
dan Goel (dalam Soeharno: 2004; 104) membagi partisipasi politik dalam
beberapa kategori yaitu;

1. Apatis ( masa bodoh) yaitunorang yang menarik diri dari aktivitas politik.
2. Spektator yaitu orang-orang yang paling tidak, pernah itkut dalam
pemilihan umum.
3. Gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik,
yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak
tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.
4. Pengeritik yaitu orang-orang yang berpartisipsi dalam bentuk yang tidak
konvensional
Partisipasi politik apabila dipandang dari segi stratifikasi sosial maka menurut
Goel dan Oslan (dalam Suharno: 2004;105-106) terbagi atas beberapa hal
yakni;

1. Pemimpin politik
2. Aktivitas politik
3. Komunikator, yaitu orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide,
sikap dan informasi politik kepada orang lain
4. Warga negara marginal yaitu orang yang sedikit melakukan kontak dengan
sistem politik
5. Orang-orang yang terisolasi, yaitu orang-orang yang jarang melakukan
kontak dengan system politik
Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni
individu dan kolektif.Individu adalah perorangan, sedangkan kolektif adalah
kegiatan warga negara secara serentak untuk memengaruhi penguasa.
Partisipasi politik kolektif dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi kolektif
yang konvensional seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum dan
partisipasi kolektif yang tidak konvensional (agresif), seperti pemogokan yang
tak sah, menguasai bangunan umum, dan huru-hara. Selanjutnya, ppartisipasi
politik kolektif secara agresif dibedakan menjadi dua, yaitu aksi yang kuat dan
aksi yang lemah.Aksi yang kuat dan lemah tidak menunjukkan sifat yang baik
dan yang buruk. Dalam hal ini, kegiatan politik dapat dikategorikan kuat
apabila memenuhi tiga kondisi berikut: bersifat antirezim, dalam arti
melanggar peraturan mengenai partisipasi politik yang normal (melanggar
hukum), mampu mengganggu fungsi pemmmerintahan, dan harus merupakan
kegiatan kelompok yang dilakukan oleh nonelit(dalam Basrowi, Sudikin dan
Suko Susilo, 2012: 72).

Aksi protes yang dibenarkan oleh hukum tidak termasuk ke dalam kategori
partisipasi politik agresif, seperti pemboikotan dan pemogokan buruh biasa
tanpa tujuan-tujuan politik.Apabila partisipasi politik yang agresif tidak
mengandung kekerasan, kegiatan ini di sebut pembangkangan warga Negara
(civil disobedience), seperti penolakan wajib militer.Sebaliknya, apabila
kegiatan itu mengandung kekerasan disebut kekerasan politik (politik
violence), seperti pembunuhan politik. Partisipasi politik di negara-negara
yang menerapkkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga Negara,
akan tetapi dalam kenyataan, presentase warga negara yang berpartisipasi
berbeda dari satu Negara kenegara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua
warga Negara ikut serta dalam proses politik(dalam Basrowi, Sudikin dan
Suko Susilo, 2012: 72).
Dilihat dari latar belakang yang memotivasi timbulnya partisipasi politik maka
menurut halington dan nelson( dalam suharno: 2004; 107) terbagi menjadi
dua yaitu;

1. Partisipasi otonom, yaitu partisipasi politik yang didorong oleh keinginan


pelakunya sendiri untuk melakukan tindakan tersebut.
2. Partisipasi mobilisasi, yaitu partisipasi yang digerakkan atau diinginkan
oleh orang lain, bukan karena kesadaran atau keinginan pelakunya sendiri.
Cohen dan Uphoff(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 66-67)
membedakan empat jenis partisipasi, yaitu

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan


Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ini terutama berkaitan
dengan penentuan alternatif tujuan dari suatu rencana pembanguan. Namun
demikian dalam praktik bisa lebih luas daripada sekedar itu. Partisipasi dalam
pengambilan keputusan ini sangat penting, karena masyarakat menuntut
untuk ikut menentukan arah dan orientasi pembangunan.

1. Partisipasi dalam pelaksanaan


Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program merupakan kelanjutan
dari rencana yang telah disepakati sebelumnya, baik yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan, maupun tujuan. Dalam tahap pelakanaan
program, dibutuhkan keterlibatan berbagai unsur, khususnya pemerintah
sebagai fokus atau sumber utama pembangunan.

1. Partisipasi dalam mengambil manfaatan


Partisipasi ini tidak terlepas dari kualitas maupun kuantitas hasil pelaksanaan
program yang bisa dicapai. Dari segi kualitas, keberhasilan suatu program
akan ditandai dengan adanya peningkatan output, sedangkan dari segi
kuantitas dapat dilihat dari seberapa basar presentase keberhasilan suatu
program yang dilaksanakan itu, apakah sudah sesuai dengan target yang
telah ditetapkan.

1. Partisipasi dalam evaluasi


partisipasi masyarakat dalam evaluasi ini berkaitan dengan masalah
pelaksanaan program secara menyeluruh. Partisipasi ini bertujuan untuk
mengetahui apakah pelaksanaan program telah sesuai dengan rencana yang
ditetapkan atau ada penyimpangan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik


Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi
politik seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah
(sistem politik). Yang dimaksud dengan kesadaran politik adalah kesadaran
akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Hal ini menyangkut
pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan
pengetahuan seseorang ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah ialah
penilaian seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik dan
menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat
dan politik tempat ia hidup. Yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan
kepada pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat
dipengaruhi atau tidak.

Berdasarkan tinggi-rendahnya kedua faktor tersebut, Paige membagi


partisipasi menjadi empat tipe.Apabila seseorang memiliki kesadaran politik
dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik
cenderung aktif.Sebaliknya, apabila kesadaran politik dan kepercayaan
kepada pemerintah sangat rendah maka partisipasi politik cenderung pasif-
tertekan (apatis).Tipe partisipasi ketiga berupa militan radikal, yakni apabila
kesadaaran politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat
rendah. Selanjutnya, apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi
kepercayaan kepada pemerintah tinggi, maka partisipasi ini disebut tidak aktif
(pasif) (dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 72-73).

Sebagai sebuah kegiatan tentu partisipasi politik memiliki banyak factor yang
dapat mempengaruhinya, menurut Surbakti( dalam Suharno,2004: 108)
terdapat dua variabel yang dapat memberikan pengaruh terhadap tinggi
rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang, dua variable tersebut yaitu;

1. Aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak


dan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak
ekonomi, hak mendapatkan perlindungan hukum, hak mendapatkan
jaminan sosial, dan kewaiban-kewajiban seperti kewajiban dalam system
politik, kewajiban kehidupan sosial dan kewajiban lainnya.
2. Menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasi terhadap pemerintah,
baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan
pemerintahannya.
Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dann
bentuknya.Hal itu di samping berkaitan dengan sistem politik, juga
berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Meluasnya partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal yang
menurut Weimer(dalam sudjiono sastroadmodjo, 1995: 89-90) disebutkan
paling tidak terdapat lima. Dari kelima hal yang dapat menyebabkan timbulnya
gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik itu yang

1. Faktor yang pertama ialah modernitas. Modernitas di segala bidang


berimplikasi pada komersialisasi pertanian industrilisasi,meningkatnya arus
urbanisas, peningatan kemapuan baca tulis, perbaikan pendidikan, dan
pengembangan media massa/ media komunikasi secara lebih luas.
Kemajuan itu berakibat pada partisipasi warga kota baru seprti kaum buruh
kaum pedangang, dan profesional untuk ikut serta mempengaruhi
kebijakan dan menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai
bentuk kesadaran bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya
sendiri.
2. Faktor yang ke dua adalah terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas
sosial. Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya
kelas menengah dan pekerja baru yang makin meluas dalam era
industriliasi dan modernitas. Dari hal itu muncul persoalan yaitu siapa ang
berhak ikut serta dalam pembuatan keputusan-keputusan politik yang
berakhir membawa perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.
Kelas menengah baru itu secara kritis menyuarakan kepentingan-
kepentingan masyarakat yang terkesan secara demokratis.
3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa
merupakan faktor meluasnya partisipasi masyarakat. Ide-de baru seperti
nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan-
tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi
yang meluas mempermudah penyebaran ide-ide itu dalam seluruh lapisan
masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang belum maju sekalipun
akan dapat menerima ide-ide politik tersebut secara cepat. Hal itu
berimplikasi pada tuntutan-tuntutan rakyat dalam ikut serta menentukan
dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
4. Faktor ke empat ialah adanya konflik antara pemimpin-pemimpin politik.
Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan seringkali
untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan
masa. Dalam konteks ini mereka beranggapan adalah sah apabila yang
mereka lakukan demi kepentingan rakyat dan dalam upaya
memperjuangkan ide-ide partisipasi masa. Implikasinya adalah munculnya
tuntutan terhadap hak-hak rakyat, baik hak asasi manusia, keterbukaan,
demokratisasi, maupun isu-isu kebebasan pers. Dengan demikian
pertentangan dan perjuangan kelas menengah terhadap kaum bangsawan
yang memegang kekuasaan mengakibatkan perluasaan hak pilih rakyat.
5. Sebab kelima, menurut weimer ialah adanya keterlibatan pemerintah yang
semakin mmeluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Meluasanya ruang lingkup aktifitas pemerintah ini seringkali merangsang
tumbuhnya tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam
mempengaruhi pembuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan
konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

Dalam konteks Indonesia Arbi Sanit( dalam Suharno, 2004:110) menyebutkan


terdapat lima factor yang mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia,
yaitu;

1. Adanya kebebasan berkompetisi disegala bidang termasuk dibidang


politik,
2. Adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka,
3. Adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri, sehingga organisasi
masyarakat dan partai politik dapat tumbuh dengan subur,
4. Adanya penyebaran sumber daya politik dalam masyarakat yang berupa
kekayaan dalam masyarakat,
5. Adanya distribusi kekuasaan dikalangan masyarakat sehingga tercipta
suatu perimbangan kekuatan.
Peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan
sosial-ekonomi pada negara berkembang
Peran warga negara dalam negara nama lainnya adalah partisipasi politik.
Karena yang menjadi sasarannya adalah negara/pemerintah. Banyak sekali
definisi partisipasi politik , tetapi jika dianalisis, maka unsur-unsur partisipasi
politik meliputi;

1. Pemeran: individu atau kelompok dari rakyat.


2. Bersifat sukarela: artinya berdasarkan kesadaran dari pemeran. Bukan
karena paksaan/penentu keputusan berasal dari luar dirinya. Yang terakhir
ini dikenal dengan mobilisasi politik.
3. Sasaran adalah penguasa/pemerintah.
4. Cara-cara yang ditempuh dapat berupa;
5. Legal atau illegal.
6. Teroganisir atau spontan.
7. Mantap atau sporadic.
8. Secara damai atau dengan kekerasan.
9. Efektif atau tidak efektif.
10. Pentingnya partisipasi politik, antara lain untuk;
11. Integrasi nasional
12. Pembentukan identitas nasional.
13. Loyalitas nasional.
14. Akselerasi keberhasilan pembangunan nasional.
Salah satu sarana untuk berpatisipasi adalah partai politik.Partai politik dapat
dikatakan sebagai sarana partisipasi politik dapat dikatakan sebagai sarana
partisipasi politik yang terpenting. Sebab partai politik terlibat langsung dalam
proses konversi (pengolahan) kebijakasanaan politik dan dalam menentukan
seleksi terhadap pejabat-pejabat politik lewat pemilu. Sehingga upaya
mempengaruhi kebijaksanaan pembangunan nasional yang dilakukan oleh
warga negara, diharapkan akan lebih efektif dibandingkan sarana partisipasi
politik yang lain ( Drs. Cholisin, M.Si : 2013; 59-60).

Status sosial dan status ekonomi memiliki kontribusi yang penting dalam
mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik.Seseorang yang memiliki
status ekonomi tinggi dipandang lebi cenderung untuk berpartisipasi politik
secara aktif, dibandingkan dengan yang status ekonominya lebih rendah.

Didalam masyarakat-masyarakat yang berlainan, partisipasi politik dapat


berakar dalam landasan-landasan golongan yang berlainan.Terkecuali dalam
hal mencari koneksi kebanyakan partisipasi politik melibatkan sesuatu
kolektifitas. Oleh sebab itu maka mungkin untuk menganalisa partisipasi dari
segi tipe-tipe organisasi politik yang berlainan dan digunakan untuk
menyelenggarakan partisipasi dan yang biasanya merupakan landasan yang
lazim yaitu;

1. Kelas : perorangan denagn status sosial, pendapatan pekerjaan yang


serupa.
2. Kelompok/ komunal : peroranganh dari ras, agama, bahasa atau etnisitas
yang sama.
3. Lingkungan : perorangan yang secara geografis bertempat tinggal
berdekatan satu sama lain.
4. Partai : perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal
yang sama dan berusaha untuk meraih atau mempertahankan control atas
bidang-bidang eksekutuf dan legislative pemerintahan., dan
5. Golongan : perorangan yang disatukan oleh interaksi yang terus menerus
atau intens satu sama lain, dan salah satu manifestasinya adalah
pengelompokan patron-klien, artinya, satu golongan yang melibatkan
pertukaran manfaat-manfaat secara timbal balik diantara perorangan yang
mempunyai system status, kekayaan dan pegaruh yang tidak sederajat(
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson: 1994; 21).

Hubungan antara pembangunan sosial-ekonomi dengan partisipasi politik


adalah sebagai berikut;

1. Pertama : didalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung


bervariasi dengan status sosioekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi,
berpenghasilan lebih besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih
tinggi biasanya lebih partisipatif daripada mereka yang miskin.
2. Kedua : pembangunan ekonomi dan sosial melibatkan ketegangan dan
tekanan antar kelompok sosial; kelompok-kelompok yang baru
bermunculan; kelompok-kelompok yang sudah mapan mulai terancam;
dan kelompok-kelompok yang lebih rendah menggunakan kesempatan
untuk memperbaiki nasib mereka.
3. Ketiga : perekonomian yang semakin kompleks menyebabkan bertambah
banyaknya organisasi dan perkumpulan serta meningkatnya jumlah orang
yang terlibat dalam kelompok-kelompok itu.
4. Keempat ; pembangunan ekonomi untuk sebagai memerlukan dan
sebagian lagi menghasilkan perluasan penting dari fungsi-fungsi
pemerintah.
5. Kelima : modernisasi sosioekonomi biasanya berlangsung dalam bentuk
pembangunan nasional. Negara-negara merupakan wahana bagi
modernisasi. Oleh karena itu, maka bagi perorangan, hubungannya
dengan negara menjadi sangat penting, dan identitasnya sebagai bagian
dari negaracenderung mengabaikan loyalitas lainnya( Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson: 1994; 60-61).
Partisipasi politik antara masyarakat didaerah perkotaan dan pedesaaan tentu
berbeda, tingkat partisipasi politik di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi
dibandingkan daerah pedesaan, maka hal ini merupakan akibat dari
perbedaan status sosial, pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Partisipasi di negara berkembang: ketika kita mengetahui bahwa terdapat


perbedaan yang mencolok pada tingkat partiipasi di negara kaya dan negara
yang miskin( dalam hal ini negar berkembang dan negara tertinggal).
Perbedaan tersebut dsebabkan oleh banyak factor diantaranya bahwa orang-
orang yang tertinggal biasanya tidak begiu berpartisipasi didalam politik
karena partisipasi bagi mereka dipandang tidak relevan dengan urusan
mereka yang pokok( pekerjaan, pangan dan bantuan medis) adanya
beberapa hal yang menyebabkan perasaan mengenai partisipasi tersebut
berbeda adalah.

1. Pertama, orang yang tertinggal tidak memiliki sumber-sumber daya untuk


berpartisipasi secara efektif-informasi yang memadai , kontak-kontak yang
tepat, uang dan seringkali juga waktu.
2. Kedua di lapisan-lapisan berpenghasilan rendah orang sering terbagi-bagi
menurut kas, suku bangsa, agama atau bahasa juga dimana garis-garis
pemisah itu tidak jelas. Orang dapat mengadakan pembedaan-pembedaan
atas dasar sekte, penghasilan, status atau tempat tinggal yang yang
hampir tidak tampak bagi orang luar.
3. Ketiga orang tertinggal cenderung beranggapan bahwa permohonan atau
tekanan-tekanan dari mereka, baik peorangan atau kolektif akan dianggap
sepi atau ditolak oleh pihak berwajib, dan sebagian besar dari anggapan
tersebut seringkali benar ( Samuel P. Huntington dan Joan Nelson: 1994;
160-161).
Sistem demokrasi liberal membuka kemungkinan yang sangat besar dan
bebas bagi terjadinya persaingan bebas dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk dalam bidang politik. Seringkali keputusan-keputusan yang telah
ditetapkan secara spontan ditolak atau disetujui oleh masyarakat. Masa
merupakan elemen yang reaktif terhadap setiap perubahan keadaan sosial –
politik yang terjadi. Di samping itu adanya kebebasan berpolitik yang luas dan
terbuka memungkinkan munculnya banyak partai politik yang menyuarakan
kepentingan – kepentingan kelompok masyarakat dan tidak menutup
kemungkinan menyuarakan kepentingan pribadi.

Sistem multi partai yang ada di satu sisi menampilkan dinamika politik
masyarakat, di sisi lain karena relatif belum dewasanya kesadaran politik
rakyat dan sistem politik menyebabkan instabilitas politik. Selain itu di sadari
pula bahwa masa itu distribusi kekuasaan dan sumber-sumber daya politik
secara relatif ada di kalangan rakyat denagn pemusatan kekuasan yang relatif
kecil dan kekuasaan ekonimi yang tidak terpusat pada satu atau dua orang
saja. Dengan kondisi itu selain tidak terpusat pada perimbangan kekuatan
politik, juga tidak adanya satu sektor kekuatan politik yang disebabkan oleh
sekelompok orang yang memiliki akses-akses ekonomi sehingga sangat
menentukan keputusan-keputusan politik.

Sementara itu, pada masa demokrasi terpimpin faktor-faktor yang ada


sebelumnya hampir tidak dapat diketemukan. Kenyataan itu tampak sekali
dalam praktek-praktek politiknya. Sulit sekali menemukan iklim persaingan
politik, kebebasan, dan keterbukaaan politik dalam masa itu. Hal tersebut di
pengaruhi oleh adanya kepemipinan yang bermaksud mengarahkan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bagi seluruh rakyat.

Partisipasi politik dalam pembangunan secara keseluruhan memiliki arti


penting. Pertama sebagai satu tujuan utama kaum elit politik dan kekuatan-
kekuatan sosial dari perorangan yang terlibat di dalam proses itu. Kedua,
sebagi sarana kaum elit, kelompok-kelompok, dan perorangan untuk
mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka nilai tinggi. Ketiga, sebagi hasil
sampingan atau konsekuensi tercapainya tujua-tujuan lain bak oleh
masyarakat secara keseluruhan ,oleh kaum elit, kelompok-kelompok dan
peseorangan dalam masyarakat.

Artinya partisipasi politik tetap diberi batasan, kerangka, dan arah untuk tetap
menjamin keapanan kekuasaan dan stabilitas nasional. Pembahasn dilakukan
misal dengan melakuakan pengawasan-pengawasan administrasi yyyang
ketat dan tindakan-tindakan otokratif. Pengawasan terhadap media massa
dan komunikasi untuk senantisa bergerak secara vertkal melaui jalan-jalan
yang telah ditentukan. Disisi lain komunikasi horisontal dibatasi agar tidak
berkembang menjadi pendapat umum dalam masyarakat.

Partisispasi politik dalam pembangunan itu sendiri jarang ditetapkan sabagai


tujuan, melainkan dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan lian. Selain itu
patisipasi politik itu juga merupakan efek samping yang berjalan seiringan
denagn tujuan pembangunan yang lain.

Berkaitan dengan pembangunan sosial ekonomi dengan partisipasi politik


menyelaraskan koulsi antara keduanya. Pertama, bahwa tingkat partisipasi
politik masyarakat cenderung berlainan dengan dasar status ekonomi.
Umumnya mereka memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, cenderung lebih
berpartisipasi dari pada yang miskin dan tak berpendidikan ,dan memiliki
kualitas pekerjaan yang rendah.

Logikanya ialah bahwa pembangunan akan menghasilkan banyak orang yang


berpendidika, berpenghasilan relatif tinggi, dan status pekerjaan yang tinggi
sehingga partisipasi politik masyarakat cenderung maningkat.Kedua ialah
bahwa pembangunan ekonomi dan sosial secara tidak langsung telah
meningkatkan keteganggan dan tekanan antara kelompok. Karena banyak
kelompok yang memasuki arena politik.Ketiga ialah berkembangnya ekonomi
yang semakin kompleks menyebabkan banyaknya organisasi dan
perkumpulan sehingga melibatkan banyak orang dan kelompok. Keempat,
ialah pembangunan ekonomi di samping sebagai memerlukan perluasan-
perluasan penting dari fungsi-fungsi pemerintah, sebagaian yang lain bahkan
menghasilkan.

Dalam masyarakat maju perekonomiannya memerlukan lebih banyak promosi


dengan retribusi dengan pemerintah, berbeda dan yang terjadi pada
masyarakat agraris. Artinya merea melihat aliensi di dalamnya.Kelima, ialah
modernisasi ekonomi yang biasanya berlangsung bentuk pembangunan
nasional. Seringkali orang perorang memiliki loyalitas terhadap negara
cenderung mengabaikan loyalitas lain. Ratinya kebudayaan dan pandangan
politik negara mengesankan sehingga memudahkan partisipasi politik.

Partispasi politik dengan tegas mempersoalkan bagaimana rakyat diajak ikut


serta dalam proses pengambillan keputusan politi. Dengan itu, setiap
keputusan politik yang diambil oleh suprastruktur politik, melaui proses
konvensi, dikaitkan kembali dengan rakyat karena melibatkan rakyat. Salah
satu corak pembangunan yang barangakali sering diperhitungkan ialah
meningkatnya aspirasi masyarakat yang oleh Alfian sering disebut “revolusi
Harapan’. Untuk itu diperlukan sistem politik yang represif dan model
pembangunan yang dapat menangkap perkembangan aspirasi tersebut.

Dari sejarah politik Indonesia kritis partisipasi pada prinsipnya disebabkan


beberapa hal.

1. Adanya logika formal yang menyatakan bahwa infrastruktur politik dibentuk


tanpa melibatkan keikutsertaan rakyat, sehingga setiap kebijaksanaan
politik yang diambil oleh suprastruktur politik sedikit banyak dirasakan
sebagai kurang adanya ikatan batin denagn sebagian rajyat.
2. Setiap keputusan suprastruktur harus mengikatkan dan dipaksakan.
3. Ketidakacuhan (apatis) yang tumbuh dan seringkali disusul dengan
manifestasi ekstern berupa separatisme dan demokrasi.
4. Adanya volume tuntutan yang tidak mendapatkan wadah yang cukup
dalam suprastruktur politik, sehingga banyak persoalan pembangunan
yang tujuannya hendak mengembangkan masyarakat menjadi terganggu.
Pola pembangunan cenderung meletakan titik berat pada pertumbuhan
ekonomi, pembangunan sosial ekonomi akan cenderung mempertahankan
stabilitas nasional sebai kondisi dasar guna pencapaian sasaran itu. Pada
model pembangunan tersebut, partisipasi diperlukan untuk memberikan
dukungan bagi terkesannya program-program pembangunan secara
keseluruhan. Partisipasi diarahkan dalam jalur-jalur dan mekanisme yang
ditentukan oleh pemerintahan untuk menjamin tetap berlangsung proses
pembangunan.

Distrubusi partisipasi rakyat, meskipun dalam pemilihan umum sejak 1971


menunjukan partisipasi yang benar, partisipasi dalam betuk lain perlu terus
dikembangkan. Disamping untuk mendukung proses pembangunan, hal itu
juga untuk memberikan peran terhadap masyarakat untuk ikut serta
bertanggung jawab terhadap pembangunan( Sudjiono Sastroadmodjo,1995:
98-107).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Partisipasi politik dapat kita artikan dengan mengambil bagian atau
mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu
negara,partisipasi merupakan aspek penting dalam demokrasi.Partisipasi
politik adalah usaha terorganisir oleh para warga negara untuk memlih
pemimpin-pemimpin mereka dan memengaruhi bentuk dan jalannya kebijakan
umum. Usaha ini dilakukan akan tanggung jawab dan kesadaran mereka
terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu Negara.

Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi


politik,Apabila dilihat dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu
kegiatan maka dapat dibagi menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif,
Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya maka menurut Milbart
dan Goel Apatis ,Spektator ,Gladiator, pengritik. Partisipasi politik juga dapat
dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individu dan kolektif. Dilihat
dari latar belakang yang memotivasi timbulnya partisipasi politik maka
menurut haltington dan nelsonterbagi menjadi dua yaitu; Partisipasi otonom,
Partisipasi mobilisasi,

Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi


politik seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah
(sistem politik). Myron Meiner menjelaskan faktor-faktor penyebab masyarakat
berkenaan berpartisipasi dalam politik, yaitu:

1. Akibat adanya modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang


menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam
kekuasaan politik.
2. Adanya perubahan-perubahan struktur kelas.
3. Adanya pengaruh kaum intelektual dan komunikasi masa modern.
4. Adanya konflik antar kelompok kepentingan politik
5. Adanya keterlibatan pemerintah meluas dalam urusan sosial, ekonomi,
dan kebudayaan.
Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya
tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam
pembuatan keputusan.

Status sosial dan status ekonomi memiliki kontribusi yang penting dalam
mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik.Seseorang yang memiliki
status ekonomi tinggi dipandang lebi cenderung untuk berpartisipasi politik
secara aktif, dibandingkan dengan yang status ekonominya lebih rendah.

Partisipasi politik antara masyarakat didaerah perkotaan dan pedesaaan tentu


berbeda, tingkat partisipasi politik di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi
dibandingkan daerah pedesaan, maka hal ini merupakan akibat dari
perbedaan status sosial, pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Saran
Penulis menyadari jika makalah ini masih jauh dari sempurna.Kesalahan
ejaan, metodologi penulisan dan pemilihan kata serta cakupan masalah yang
masih kurang adalah diantara kekurangan dalam makalah ini.Karena itu saran
dan kritik membangun sangat kami butuhkan dalam penyempurnaan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang


Press.
Samuel. P. Huntington dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik Di Negara
Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. Cetakan ke- 2.
Soeharno, S.Pd.,M.Si. 2004. Diktat Kuliah Sosiologi Politik. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Drs. Cholisin, M.Si. 2013. Ilmu Kewarganegaraan(Civics). Yogyakarta:
Ombak.
Dr. Basrowi, Dr. Sudikin dan Dr. Suko Susilo. 2012. Sosiologi Politik. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Michael Rush dan Philip Althoff. 2008. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai