Anda di halaman 1dari 24

TEORI PERS PANCASILA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Teori
Komunikasi Semester III pada Program Studi Ilmu Komunikasi

Dosen: Drs. Alex Sobur, M.Si

Di susun Oleh:

Anastasius Darma (41817211)

Bintang Arbi (41818303)

David Steven (41818283)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Era reformasi telah membuka kebebasan di semua bidang kehidupan,


tak terkecuali di bidang pers. Seiring dengan laju perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, pers di Indonesia mengalami perkembangan yang
demikian pesat. Di awal reformasi, berbagai stasiun televisi baru
bermunculan, demikian juga halnya dengan media cetak, berbagai majalah,
koran serta tabloid hampir setiap hari bermunculan. Kebebasan pers yang
demikian besar menjadikan pers di Indonesia seakan-akan bergerak maju,
tanpa arah. Liberalisasi dan globalisasi pun ikut memberi andil bagi
pergerakan pers di Indonesia, karena berbagai media cetak serta berbagai
stasiun televisi luar negeri bebas masuk dengan leluasa ke Indonesia. Belum
lagi masalah distribusi yang dilakukan dengan bebas menjadikan tontonan
dan majalah dewasa pun bebas di konsumsi oleh anak-anak. Apakah
Indonesia telah menganut Pers Liberal? Pertanyaan tersebut, tidak mudah
untuk dijawab. Berbagai fenomena kehidupan masyarakat, kiranya
mengindikasikan bahwa negara kita (meskipun perlahan-lahan) memang
sedang mengarah menjadi negara liberal. Jika fakta tersebut yang sedang
terjadi, tentu sangat disayangkan. Mengingat, cita-cita sebagai negara
Liberal, tidak pernah ada di benak founding fathers. Apakah Pers Liberal
cocok diterapkan di Indonesia dan sesuai dengan jiwa dan kepribadian
bangsa Indonesia?
Pada masa Orde Baru, telah diperkenalkan apa yang disebut dengan
Pers Pancasila. Seperti yang tercantum dalam buku yang di rujuk oleh
Departemen Penerangan masa itu, Pers Pancasila dijadikan sebagai
pedoman bagi perkembangan pers di Indonesia. Pengertian Pers Pancasila
tersebut adalah adalah pers yang dalam melaksanakan peranan dan fungsi
kemasyarakatannya dalam mendukung sistem nasional memiliki rasa
Ketuhanan Yang Maha Esa, berprikemanusiaan yang adil dan beradab,
menjunjung tinggi rasa persatuan, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan/perwakilan, serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seiring dengan bergulirnya waktu, keberadaan pers di Indonesia masa
Orde Reformasi saat ini, mulai kehilangan arahan dan pedoman. Mengingat
keberadaan Pancasila yang hingga saat ini masih berfungsi sebagai dasar
filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tidak ada salahnya jika
kita menengok kembali kepada Pancasila untuk mendapatkan pedoman serta
arahan bagi perkembangan Pers di Indonesia.
Tulisan ini akan membahas pers Pancasila dengan sudut tinjauan
kefilsafatan yang lebih menekankan pada hakikat hubungan pers dengan
negara yang tentu saja tetap berdasar pada nilai-nilai Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Pers?


2. Bagaimana fungsi dan peranan pers di Indonesia?
3. Apa saja teori pers yang ada di dunia?
4. Apa yang di maksud dengan pancasila?
5. Apa itu teori pers Pancasila?
6. Bagaimana jati diri pers Pancasila?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian pers


2. Untuk mengetahui fungsi dan peranan pers di Indonesia
3. Untuk mengetahui teori pers yang ada di dunia
4. Untuk mengetahui pengertian Pancasila
5. Untuk mengetahui pengertian teori pers Pancasila
6. Untuk mengetahui jati diri pers Pancasila
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pers Pancasila

Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah berlaku empat macam
sistem politik dan sistem ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya,
sehingga dikenal juga dengan tiga macam sistem pers. Ketiga macam sistem
pers itu adalah Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan
(1945-1950) dan Demokrasi Liberal (1950-1959), Sistem Pers Terpimpin
yang terpaut dengan demokrasi Terpimpin (1950-1965), dan Sistem Pers
Pancasila yang bergandengan dengan Demokrasi Pancasila (1980-saat ini).

Alasan rasional yang melahirkan Sistem Pers Pancasila di karenakan


pasca dua dekade (1945-1965), timbul trauma terhadap Sistem Pers
Merdeka yang dianggap terlalu bebas dan Sistem Pers Terpimpin yang
dianggap terlalu mengekang. Hal ini mendorong usaha yang keras untuk
melahirkan suatu sistem baru yang lebih handal sesuai dengan filsafat
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa awal Orde Baru itu,
Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 12 Desember
1966 telah berhasil mewujudkan janji konstitusional Pasal 28 UUD 1945,
dengan disahkannya Undang-Undang No.11 tahun 1966 Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pers (UU Pers, 1966) yang kemudian menjadi dasar Sistem
Pers Pancasila.

Meskipun istilah Pers Pancasila tidak disebut dalam Sistem Pers


Indonesia yang berdasarkan UU Pers 1999, dari Perspektif Ideologi tetap
dapat disebut bahwa Pers Indonesia adalah Pers Pancasila. Istilah Pers
Pancasila merupakan karakteristik Pers Indonesia, untuk membedakan
dengan Pers Libetarian, Pers Otoritarian, dan Pers Komunis. Namun sistem
Pers Pancasila pada era reformasi saat ini menjurus kepada liberalisasi yang
terimbas liberalisasi dalam bidang politik dan ekonomi.

Pers Indonesia sebagai Pers Pancasila perlu dirasionalisasikan dan


diaktualisasikan serta dikembangkan sebagai pedoman dasar dalam kegiatan
pers. Terlebih disaat ini pers mulai kehilangan jatidirinya. Perbedaan entitas
atau kepentingan memang tak bisa dipisahkan. Media massa memiliki entitas
ekonomi, sedangkan kegiatan pers merupakan entitas sosial. Perbedaan
entitas itu jangan sampai mengorbankan kepentingan masyarakat luas.
Kepentingan rakyat harus di utamakan sesuai nilai-nilai pancasila.

2.2 Orde media yang melemahkan Pers Pancasila

Perbedaan itu menjadikan implementasi Pers Pancasila dalam dunia


pers nasional menjadi lemah. Pers dipaksa tunduk pada keadaan yang
mengekang karena kekuatan ekonomi dan politik. Pers harusnya mengontrol
ekonomi dan politik, bukan tunduk pada kedua hal tersebut. Terjadi
konglomerasi media, dimana orang superkaya menggunakan media untuk
membeli pengaruh politik melalui media.

Ideolgi pancasila dan ideologi pembangunan di gunakan rezim orde


baru untuk melenggangkan kekuasaannya. Selama 32 tahun berkuasa,
ideologi pancasila menjadi tameng untuk melawan kelompok yang tidak
setuju dengan sistem dan kebijakan Soeharto. Ia menjadi “mantra suci” yang
tidak boleh di ganggu gugat. Media massa yang melawan rezim berarti media
tersebut siap di berangus atau dicabut SIUP-nya.

Pada masa itu, orde media di kuasai oleh penguasa. Media menjadi
corong pemerintahan Soeharto menggaungkan pembangunan nasional yang
besar-besaran. Dengan alasan stabilitas ekonomi politik dan keamanan,
media dan wartawan yang kritis bisa di penjarakan atau di berangus izin
SIUP-nya. Pers pancasila yang di lahirkan di era Orde Baru hanya sekedar
teori, nyatanya pers Indonesia hidup dalam Sistem Pers Otoritarian. Sistem
Pers Otoritarian itu di kendalikan oleh rezim yang otoriter pula. Bukan saja
media, kebebasan masyarakat untuk mengkritik dan berpendapat pun di
berangus. Banyak orang yang di penjara tanpa pengadilan hanya
karena vokal terhadap pemerintahan Soeharto. Alhasil, rezim itu berhasil
bertahan hingga 32 tahun.

Ketika rezim otoriter runtuh, muncul rezim reformasi yang menjamin


kebebasan pers. Awalnya kebebasan pers itu memberikan angin segar bagi
tegaknya demokrasi. Namun kenyataannya, reformasi memberikan
kebebasan pula bagi orang untuk mendirikan media. Pendirian media
memerlukan modal yang besar. Dan celakanya, para “superkaya” mendirikan
media bukan untuk menegakan pers, namun untuk melenggangkan bisnis
atau hasrat politiknya.

Kalau rezim otoriter menggunakan tentara sebagai aparatnya, para


superkaya ini menggunakan media. Logika media memberi di siplin yang
khas mengenai bagaimana politik harus di jalankan. Media tidak saja hidup
sebagai bagian dari ekosistem, ia justru telah menjadi sistem itu sendiri. Ia
telah menjadi order: memerintah dan berkuasa. Itulah yang disebut orde
media.

Media saat ini hanya memproduksi informasi berdasarkan apa yang di


inginkan pasar, bukan apa yang di butuhkan publik. Karena tujuannya hanya
untuk melenggangkan bisnis dan hasrat politiknya, media terkesan “asal”
dalam membuat suatu konten berita atau hiburan. Tujuannya bukan
mencerdaskan masyarakat, yang terpenting bagi media adalah rating.

Dalam kaitan dengan demokrasi yang membutuhkan pasokan dan


sirkulasi informasi yang cukup dan benar, situasi ini secara terang akan
menghalangi warga untuk bisa berpartisipasi dalam pengeloaan negara.
Konten informasi dan hiburan yang di buat media bukan untuk
memberdayakan, melainkan untuk memperdaya masyarakat agar
terpengaruh pada isu yang di buat oleh media itu. Hal ini jauh dari cita-cita
pers pancasila yang ingin mencerdaskan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Pers

Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris
berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti
penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers


dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian
luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi,
dan film yang berfungsi memancarkan atau menyebarkan informasi, berita,
gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada
orang lain. Maka di kenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi,
jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya di golongkan produk-
produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar
harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang di
kenal sebagai media cetak.

Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu pertama ia merupakan


medium komunikasi yang tertua di dunia dan kedua, pers sebagai lembaga
masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat,
dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah dari padanya. Dan
sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan di pengaruhi oleh
lembaga- lembaga masyarakat lainnya.

Pers adalah kegiatan yang berhubungan dengan media dan


masyarakat luas. Kegiatan tersebut mengacu pada kegiatan jurnalistik yang
sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan
menerbitkanya berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dan valid.
3.2 Fungsi dan Peranan Pers di Indonesia

Fungsi dan peranan pers berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40


tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara Pasal 6 UU Pers
menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.


2. Menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat, dan benar.
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers


sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate) setelah
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta pembentuk opini publik yang
paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers itu baru dapat di jalankan
secara optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah.
Menurut tokoh pers Jakob Oetama, kebebsan pers menjadi syarat mutlak
agar pers secara optimal dapat melakukan perannya. Sulit di bayangkan
bagaiman peranan pers tersebut dapat di jalankan apabila tidak ada jaminan
terhadap kebebasan pers. Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai rezim
pemerintahan yang sangat membatasi kebebasan pers. Hal ini terlihat,
dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No.1 tahun 1984 tentang
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang dalam praktiknya ternyata
menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi redaksional pers dan
pembredelan.
Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan
bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas
yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan
kontrol sosial. Pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segala sesuatu
yang menurutnya tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada
anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang salah dari
pada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan
fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan
jaman. Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan
keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang
meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah
berbagai kesulitan.

Selain fungsi di atas ada juga fungsi-fungsi menurut UU No. 40 tahun


1999 tentang Pers, disebutkan dalam pasal 3 fungsi pers adalah sebagai
berikut :

1. Sebagai Media Informasi, yaitu pers memberi dan menyediakan


informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada masyarakat, dan
masyarakat membeli surat kabar karena memerlukan informasi.
2. Fungsi Pendidikan, yaitu pers sebagai sarana pendidikan massa
(mass Education), pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung
pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan
wawasannya.
3. Fungsi Menghibur, yaitu pers juga memuat hal-hal yang bersifat
hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-
artikel yang berbobot. Berbentuk cerita pendek, cerita bersambung,
cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, dan karikatur.
4. Fungsi Kontrol Sosial, terkandung makna demokratis yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a) Social particiption, yaitu keikutsertaan rakyat dalam
pemerintahan.
b) Social responsibility, yaitu pertanggung jawaban pemerintah
terhadap rakyat.
c) Social support, yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah.
d) Social Control, yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-
tindakan pemerintah.
5. Sebagai Lembaga Ekonomi, yaitu pers adalah suatu perusahaan
yang bergerak di bidang pers dapat memanfaatkan keadaan di
sekitarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial
dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil prodduksinya
untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri.

3.3 Mengenal Teori Pers

Sebelum membahas lebih jauh mengenai Pers Pancasila, terlebih


dahulu perlu diuraikan beberapa teori pers yang ada di dunia dewasa ini.
Hampir setengah abad yang lalu, Siebert Peterson, memperkenalkan sistem
pers yang ada di dunia dan terkenal hingga sekarang yang ditulis dalam buku
Four Theories of The Press. Semua teori tersebut merupakan teori normatif
yang berasal dari pengamatan terhadap sistem pers yang berkembang di
beberapa negara. Tesis yang di kembangkan oleh Siebert dan Peterson
adalah bahwa setiap negara di dunia pasti memiliki kecenderungan untuk
menganut salah satu atau perpaduan antara beberapa teori pers tersebut.
Orientasi teori pers suatu negara tentu saja akan di dasar oleh filsafat hidup
yang dianut oleh negara tersebut. Teori-teori pers yang di sebutkan antara
lain:

1. Teori Pers Otoriter

Teori ini merupakan teori yang muncul paling awal dalam


perkembangan pers di dunia. Teori ini terutama berkembang pada
masyarakat prademokrasi, masyarakat yang ada dalam pemerintahan
kediktatoran, serta pendudukan militer. Dasar filosofis teori ini adalah hakikat
hubungan antara manusia dan negara. Manusia tidak dapat hidup sendiri
sebagai individu, oleh karena itu agar dapat bereksistensi maka manusia
harus hidup sebagai anggota masyarakat, dan dalam kerangka negara.
Dalam hal ini kepentingan kelompok lebih penting dari pada kepentingan
individu. Hakikat negara dalam teori ini adalah sebagai manifestasi tertinggi
kelompok manusia dalam masyarakat tersebut. Tanpa negara, individu tidak
dapat bereksistensi. Teori ini berkaitan dengan sistem otoriter yang di
berlakukan terhadap media, berupa peraturan-peraturan untuk menekan
pers. Teori ini membenarkan adanya sensor dan hukuman atas berbagai
penyimpangan dari aturan yang di tetapkan negara. Tujuan Pers adalah
mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa untuk
mengabdi pada negara. Keberadaan media massa tidak lain adalah sebagai
alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah.

2. Teori Pers Liberal

Teori ini berangkat dari pemahaman terhadap hakikat manusia


sebagai makhluk rasional. Tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai
kebahagiaan individu. Masyarakat bertugas memajukan kepentingan individu
anggotanya. Hakikat hubungan manusia dan negara adalah bahwa negara
sebagai sarana bagi individu untuk mengekspresikan diri mengaktualisasikan
eksistensi diri. Dalam bentuk yang paling dasar teori ini menyatakan bahwa
masyarakat seyogyanya bebas mengungkapkan hal-hal yang di sukainya,
karena merupakan perluasan hak untuk berpendapat, berserikat. Prinsip nilai
yang mendasari teori ini sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai negara
demokrasi liberal, yaitu keyakinan keunggulan individu, akal sehat,
kebenaran, kemajuan dan kedaulatan rakyat. Pers bebas di pandang
sebagai komponen yang penting dari masyarakat bebas dan rasional. Tujuan
pers dalam hal ini adalah menyampaikan informasi, menghibur, membantu
menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah.

3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial

Teori tanggung jawab sosial merupakan teori yang muncul sebagai


respon terhadap pelaksanaan teori liberal. Sesuai dengan teori liberal, pada
prakteknya pers menjadi kekuatan raksasa untuk kepentingan individu
tertentu, yaitu kepentingan pemilik modal. Pers menjadi alat bisnis raksasa
karena membiarkan pemasang iklan mengontrol isi dan praktek pemasangan
iklan. Kritik yang ditujukan untuk teori liberal adalah bahwa asumsi
kebebasan pada teori liberal seharusnya mengimplikasikan adanya
“tanggung jawab” di dalamnya. Arti kebebasan pada teori liberal lebih
bermakna “kebebasan dari berbagai hal yang selama ini dianggap
memasung dan membelenggu manusia (kebebasan bermakna negatif).
Berbeda dengan teori liberal, pada teori tanggung jawab sosial kebebasan
dimaknai sebagai “kebebasan untuk melakukan berbagai tindakan“
(kebebasan bermakna positif). Dasar utama teori ini ada pada pengertian
bahwa kebebasan dan kewajiban hendaknya berlangsung secara beriringan.
Pers selain memberikan tanggapan terhadap keberlangsungan pemerintah
juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan
fungsi-fungsinya terhadap pemerintah. Teori tanggung jawab sosial ini
berusaha mengawinkan tiga prinsip yang agak berbeda yaitu kebebasan
sebagai individu, kebebasan media dan kewajiban media untuk bertanggung
jawab pada masyarakat.

4. Teori Pers Komunis

Teori ini berangkat dari pemahaman bahwa hakikat manusia sebagai


individu tidak mempunyai kebebasan dan hak individual. Manusia
bereksistensi hanya dalam hubungannya dengan manusia yang lain. Dengan
demikian manusia adalah sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah
komunitas. Gagasan mendasar berkaitan dengan teori pers antara lain,
pertama bahwa kelas pekerja memegang kekuasaan dalam masyarakat
sosialis, oleh karena itu agar tetap berkuasa semua media harus tunduk pada
pengendalian kelas pekerja. Kedua, masyarakat sosialis diharapkan menjadi
masyarakat tanpa kelas, sehingga tidak terdapat konflik antar kelas, oleh
karena itu pers hendaknya tidak di struktur sejalan dengan konflik politik.
Pers memainkan peran positif dalam pembentukan masyarakat komunis
(informasi, motivasi, dan mobilisasi). Keempat media harus menyerahkan
pengendalian pada alat negara di padukan dengan instrumen lain dari
kehidupan politik.

3.4 Pengertian Pancasila

Kedudukan dan fungsi Pancasila jika di kaji secara ilmiah memiliki


pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar negara,
pandangan hidup bangsa, ideologi negara dan sebagai kepribadian bangsa
bahkan dalam proses terjadinya, terdapat berbagai macam terminologi yang
harus kita deskripsikan secara obyektif.

Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India, menurut


Muhammad Yamin dalam bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua
macam arti secara leksikal, yaitu: Panca artinya lima, Syila artinya batu sendi,
alas, dasar. Syiila artinya peraturan tingkah laku yang baik/senonoh.

Secara etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasyila yang


memiliki arti secara harfiah dasar yang memiliki lima unsur. Kata Pancasila
mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India. Dalam ajaran Budha
terdapat ajaran moral untuk mencapai nirwana dengan melalui samadhi dan
setiap golongan mempunyai kewajiban moral yang berbeda. Ajaran moral
tersebut adalah Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyiila.
Pancasyiila menurut Budha merupakan lima aturan (five moral
principle) yang harus ditaati, meliputi larangan membunuh, mencuri, berzina,
berdusta dan larangan minum-minuman keras. Melalui penyebaran agama
Hindu dan Budha, kebudayaan India masuk ke Indonesia sehingga ajaran
Pancasyiila masuk kepustakaan Jawa terutama jaman Majapahit yaitu dalam
buku syair pujian Negara Kertagama karangan Empu Prapanca di sebutkan
raja menjalankan dengan setia ke lima pantangan (Pancasila). Setelah
Majapahit runtuh dan agama Islam tersebar, sisa-sisa pengaruh ajaran moral
Budha (Pancasila) masih di kenal masyarakat Jawa yaitu lima larangan atau
dalam bahasa jawa di sebut (Mo limo/M5): Mateni (membunuh), Maling
(mencuri), Madon (berzina), Mabok (minuman keras/candu), Main (berjudi).

3.5 Teori Pers Pancasila

Teori Pers Pancasila telah di perkenalkan pada tahun 80-an, ketika


berlangsung Sidang Pleno Dewan Pers di Surakarta tanggal 7-8 Desember
1984. Seperti apakah Pers Pancasila yang di maksud? Pers Pancasila yang
dimaksud adalah pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam
rumusan Pers Pancasila tersebut juga menyebut adanya pers pembangunan,
yang tidak lain adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan
UUD 1945 dalam pembangunan aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut hakikat pers Pancasila adalah pers yang


sehat yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur
aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakikat dan fungsi
pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat
terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam mengamalkan pers
Pancasila mekanisme yang di pakai adalah interaksi positif antara
Masyarakat, Pers dan Pemerintah. Dalam hal ini Dewan Pers berperan
sebagai pengembang mekanisme interaksi positif tersebut.

Konsep yang demikian mulia tersebut ternyata di implemetasikan


secara beda pada masa Orde Baru. Dengan mengatasnamakan Pancasila,
pemerintah Orde Baru justru menjalankan sistem pers yang otoriter. Pers
Pancasila hingga saat runtuhnya Orde Baru tidak pernah di implemetasikan
sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila.

Berdasar hal tersebut, perlu kiranya di kaji kembali apakah hakikat


Pers Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila?

Semua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan berangkat dari


hakikat manusia. Mengapa manusia, karena pelaku pers adalah manusia dan
keberadaan pers tidak lain di tujukan untuk manusia. Sistem pers apapun
yang berkembang di sebuah negara, sesungguhnya yang berkuasa dan
mengambil banyak peran adalah manusianya.

Notonagoro memaparkan hakikat manusia sebagai berikut:

 Susunan Kodrat
- Raga (an organik, vegetatif, animal)
- Jiwa (akal, rasa, kehendak)
 Sifat Kodrat
- Individual
- Sosial
 Kedudukan Kodrat
- Pribadi Mandiri
- Makhluk Tuhan

Hubungan antara seluruh aspek-aspek manusia tersebut merupakan


satu kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan, dan dikenal
dengan nama monopluralis. Sementara itu untuk susunan, sifat dan
kedudukan kodrat yang terdiri atas dua unsur disebut monodualis. Tarik
menarik antara dua unsur seperti raga-jiwa, individual-sosial, pribadi mandiri-
makhluk Tuhan, harus selalu diletakkan dalam kerangka keseimbangan,
keadilan dan harmoni. Kecenderungan untuk mementingkan salah satu unsur
seperti keragawian atau individualitas saja akan membawa manusia pada
ketimpangan.

Liberalisme yang terlalu mengagungkan sifat invidual manusia


membawa dampak pada hilangnya semangat kekeluargaan, dan
kebersamaan. Hal inilah yang terjadi di Barat, ketika manusia mempunyai
kewenangan mutlak terhadap kebebasannya, maka yang terjadi adalah sikap
acuh, tidak peduli kepada orang lain, tidak membutuhkan manusia yang lain.
Kodrat manusia adalah ada bersama manusia yang lain. Kerinduan dan
keinginan manusia untuk bersama dengan manusia sementara budaya dan
masyarakat tidak memfasilitasi hal tersebut, akan membawa manusia pada
keterasingan (alienasi). Pers Liberal yang di kembangkan di Barat, terlalu
menekankan pada kepentingan individu, sehingga kepentingan masyarakat
banyak di abaikan. Sebagai contoh adalah kasus majalah Playboy. Bangsa
Indonesia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, nilai-nilai
kebersamaan tentu menolak penerbitan majalah pria dewasa yang menjadi
simbol kebebasan ini. Isi majalah Playboy dapat di katakan sarat dengan
gambar-gambar yang terlalu mengumbar kebebasan individu tersebut. Hal
inilah yang menjadi kekhawatiran, ketika budaya tersebut dianggap baik dan
di tiru oleh sebagian besar remaja di Indonesia, tentu akan berakibat buruk.

Sebagai kebalikan dari Pers Liberal, Pers Komunis berangkat dari


kecenderungan manusia yang justru larut dalam sosialitas, sehingga
kehilangan sifat kodratnya sebagai individu. Hak-hak individu untuk
mengemukakan pikiran di kesampingkan demi kepentingan kelompok.
Dengan demikian pers bukanlah sarana bagi individu untuk
mengaktualisasikan diri, tetapi justru sebagai alat regulasi bagi individu agar
tidak keluar dari rambu-rambu yang sudah di tentukan oleh kelompok. Suara
kelompok (komune) lebih penting dan harus di utamakan dari pada suara
individu.

Pers Pancasila yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila, tentu


saja harus meletakkan hakikat manusia monopluralis sebagai dasar bagi
kehidupan pers. Pers Pancasila harus meletak kan kepentingan individu
maupun masyarakat sebagai sosialitas yang lebih luas, secara seimbang dan
adil. Dengan demikian pemberitaan mengenai sesuatu hal, hendaknya di
lakukan secara seimbang. Misalnya terdapat sebuah kasus mengenai
seorang pejabat yang mempunyai penerbitan surat kabar tertentu, dan
menjadi anggota sebuah parpol tertentu. Ketika parpol tersebut terlibat kasus
money politics, maka hendaknya kasus tersebut di beritakan secara terbuka
dalam surat kabar yang dimiliki pejabat tersebut. Nilai keadilan umum, tetap
harus di utamakan dalam sebuah pemberitaan media massa.

Bagaimanakah dengan prinsip-prinsip dalam Pers Pancasila? Berikut


ini adalah petikan beberapa prinsip interaksi positif antara pemerintah, pers
dan masyarakat yang termuat dalam Pers Pancasila yang sesungguhnya
telah ada sejak masa Orde Baru, namun tidak pernah di laksanakan secara
nyata dalam kehidupan pers di Indonesia. Prinsio-prinsip tersebut antara lain:

 Diterapkan mekanisme kerja yang menjalin hubungan timbal balik


antara pers, pemerintah dan masyarakat.
 Dinamika di kembangkan bukan dari pertentangan menurut paham,
melainkan atas paham hidup menghidupi, saling membantu dan
bukan saling mematikan.
 Perlu di kembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkin
kan berfungsinya sistem kontrol sosial dan kritik yang konstruktif
secara efektif. Namun demikian kontrol sosial itu pun substansinya
serta caranya tetap tidak terlepas dari asas keselarasan dan
keseimbangan serta ketertiban untuk saling hidup menghidupi
bukan saling mematikan dalam kontrol yang dilakukan tetap
berpijak pada nilai-nilai dalam sistem Pers Pancasila, termasuk
bebas dan bertanggung jawab.

Mengamati dengan cermat prinsip-prinsip interaksi positif antara


pemerintah, pers dan masyarakat seperti tertuang dalam rumusan Pers
Pancasila tersebut, dapat di katakan bahwa Pers Pancasila tersebut masih
sangat relevan untuk di kembangkan dan di jadikan tolok ukur bagi
keberadaan pers di Indonesia. Hal ini terutama jika di tilik dari landasan
filosofis yang melatar belakangi keberadaan prinsip-prinsip tersebut.

Kedudukan manusia sebagai unsur terpenting dalam sebuah negara,


manusia sebagai anggota masyarakat serta manusia sebagai pelaku pers
memiliki hubungan yang sejajar. Sikap dan tindakan yang harus di
kembangkan senantiasa harus berdasar pada prinsip kebersamaan dengan
orientasi tindakan yang simpatik dan empatik. Tidak akan pernah ada
pembenaran, manusia di berlakukan sebagai sebuah alat atau sarana yang
dapat di manfaatkan demi kepentingan praktis dan pragmatis. Manusia harus
di berlakukan sebagai manusia, yang mempunyai tujuan dalam dan bagi
dirinya sendiri.

3.6 Jati diri Pers Pancasila

Sistem Pers Pancasila memiliki jati diri dengan adanya prinsip dasar
yaitu, bebas dan bertanggung jawab serta interaksi positif antara pers
dengan pemerintah dan masyarakat. Jati diri inilah yang membedakan
Sistem Pers Pancasila dengan sistem pers yang lain.

Jati diri yang pertama yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Kebabasan pers harus di jamin demi tegaknya demokrasi. Karena pers
menjadi pilar demokrasi ke-empat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pers harus menjadi watch dog atau “anjing penjaga” yang selalu siap sedia
setiap kali ada yang janggal dalam penyelenggaraan negara oleh eksekutif,
legislatif, dan yudikatif tersebut. Pers juga harus menjembatani aspirasi
masyarakat agar cita-cita demokrasi tercapai. Namun pers pancasila
membatasi kebebasan itu dengan tanggung jawab, agar pers tidak semena-
mena dalam menjalankan kebebasannya.

Jati diri adalah adanya interaksi positif antara pers dengan pemerintah
dan masyarakat. Pola interaksi tersebut di kembangkan dengan menjalin
hubungan mitra secara struktural menjadi hubungan mitra secara fungsional
yaitu secara bersama-sama menegakkan keadilan dan kebenaran serta
bersama-sama mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan posisi dan fungsi masing-masing.

Jati diri Sistem Pers Pancasila itulah yang membedakannya dengan


sistem pers di negara liberal yang menganut kebebasan, atau negara
komunis yang otoriter, serta negara-negara lain yang menganut Sistem Pers
Tanggung Jawab Sosial. Hal itu merupakan salah satu aspek negara yang
berasaskan kesejahteraan dan kedaulatan rakyat sebagai landasan Sistem
Komunikasi Indonesia.

A. Lemahnya Jati diri Pers Pancasila Saat Ini

Todd Gitlin menujukan kondisi kriris jurnalisme dengan


mengidentifikasi lima indikator, yaitu:

1. Jatuhnya sirkulasi
2. Jatuhnya pendapatan advertising
3. Difusi perhatian
4. Krisis yang berwenang
5. Ketidakmampuan atau keengganan jurnalisme mempertanyakan
struktur kekuasaan
Dari lima indikasi itu, saat ini pers di Indonesia cukup baik dalam hal
sirkulasi dan pendapatan adversiting. Tiga indikasi lainnya mengarah ke arah
krisis jurnalisme yang mengakibatkan pula krisis pers pancasila.

Difusi perhatian terjadi saat masyarakat di jauhkan dari hal-hal


substansional, dan di dekatkan pada hal-hal bombastis, karena audiens di
pandang sebagai konsumen, bukan warga negara yang punya hak dan akses
atas informasi yang benar dan bermutu.

Krisis yang berwenang dan ketidakmampuan atau keengganan


jurnalisme mempertanyakan struktur kekuasaan terjadi saat pers menjadi
tumpul, tak lagi tajam dalam mengkritisi kekuasaan. Media saat ini terkekang
oleh ideologi dan motivasi pemilik. Bila media itu di miliki oleh orang yang
dekat dengan kekuasaan, media menjadi tak berani mengabarkan berita
yang kritis. Bila pemilik media itu adalah seorang oposisi, maka media itu
menjadi sangat kritis terhadap pemerintah. Kritis yang tak berasal dari hati
nurani, hanya hasrat politik untuk menjatuhkan pemerintahan.

Dalam merekonstruksi realitas sosial, media pers tetap mengusahakan


objektivitas, yaitu objektivitas dalam struktur rekonstruksi. Inilah yang disebut
para ahli sebagai politik jurnalisme. Dalam konteks ini, jurnalisme politik
hendaklah di pahami sebagai jurnalisme yang menjadi bagian dari politik.

Pers hendaknya tidak tergantung pada pemilik media. Siapapun


pemiliknya, pers harus menjadi bagian dari politik. Bila kebijakan yang di buat
pemerintah di anggap salah dan merugikan masyarakat, maka pers wajib
mengkritisi. Namun bila kebijakan yang di buat di anggap benar dan memang
untuk masyarakat, maka media harus mendukungnya dan mensosialisasikan
nya pada masyarakat.
B. Menguatkan Kembali Jati diri Pers Pancasila

Pada dasarnya, pers dapat menentang budaya politik yang tidak


sejiwa dengan falsafah dan ideologi yang tercantum dalam konstitusi.
Walaupun demikian, corak, gaya, isi dan pola penyajian berita tetap akan
mencerminkan budaya politik yang tumbuh dan berkembang di suatu negara.

Penguatan jati diri pers pancasila dapat dilakukan dengan menguatkan


corak, gaya, dan budaya masyarakat. Semua elemen harus kembali pada
identitas bangsa, yakni pancasila. Baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif
harus turun langsung demi mewujudkan masyarakat pancasilais.

Sesuai dengan falsafah kehadiran dan keberadaannya, pers Indonesia


harus dapat berfungsi dan berperan sebagai pembentuk pendapat umum dan
penegakan nilai-nilai dasar demokrasi, keadilan, dan kebenaran. Oleh sebab
itu, kiprah dan orientasi pers nasional harus di arahkan untuk melayani
masyarakat, khususnya untuk memenuhi hak memperoleh informasi yang
benar dan lengkap.

Sejalan dengan itu, maka penyelenggara pers Indonesia harus


kembali ke asas jurnalistik yang benar, yakni jujur tidak memihak atau berat
sebelah, obyektif, berimbang, memisahkan pendapat dan opini, etis dan
memperhatikan hak-hak asasi masyarakat. Itulah pokok-pokok yang
terkandung dalam pers pancasila, yang harus di kuatkan kembali agar pers
pancasila menjadi identitas pers di negara pancasila.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah tersusunnya makalah ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa
pers terjadi menjadi dua pengertian. Pertama, pengertian pers luas. Dalam
pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti
radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan atau menyebarkan
informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau
sekelompok orang kepada orang lain. Maka di kenal adanya istilah jurnalistik
radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Kedua, dalam pengertian sempit,
pers hanya di golongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses
percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah
bulanan dan sebagainya yang di kenal sebagai media cetak. Juga Pers
mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu pertama merupakan medium
komunikasi yang tertua di dunia dan kedua, pers sebagai lembaga
masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat,
dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah dari padanya. Dan
sebagai lembaga masyarakat yang mempengaruhi dan di pengaruhi oleh
lembaga- lembaga masyarakat lainnya. Kemudian Pancasila itu sendiri
Secara etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasyila yang
memiliki arti secara harfiah dasar yang memiliki lima unsur, yang mana unsur
yang terkandung dalam sila-sila pancasila sampai saat ini. Pers Pancasila
bisa kami artikan sebagai media komunikasi secara tertulis maupun secara
elektronik yang berasaskan pancasila.
DAFTAR PUSTAKA

Notonagoro. 1995. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta:Bumi Aksara.

Pitoyo, Djoko. 1997. Pancila Sebagai Orientasi Kegiatan Keilmuan, dalam

Jurnal Filsafat. Yogyakarta:Edisi Khusus Fakultas Filsafat UGM.

Sinaga, Janner. 1989. Sistem Pers Pancasila. Jakarta, Hal 34-35.

J.Severin, Werner. 2005. Teori Komunikasi Massa. Jakarta:Prenada Media,

Hal 373.

Arifin, Anwar. 2011. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta:Simbiosa


Rekatama Media, Hal. 62-65.

Iskandar Sabil Dudi. 2015. Keruntuhan Jurnalisme. Jakarta:Lentera Ilmu


Cendekia, Hal. 67.

Arief, Yovantra, dan Utomo. 2015. Orde Media. Jakarta:INSIST Press, Hal. 9.

Iskandar Sabil Dudi. 2015. Keruntuhan Jurnalisme. Jakarta:Lentera Ilmu


Cendekia, Hal. 85.

Ana Nadhya Abrar. 2014. Mengarungi Hubungan DPR dan Pemerintah


dengan Jurnalisme. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, Hal. 3.

P. Swantoro. 2001. Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta:Penerbit Buku


Kompas. Hal. 97.

Anda mungkin juga menyukai