PENDAHULUAN
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat,
Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis
Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di
lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara
keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga
menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok
pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia
pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan
di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan
dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan.
Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar
kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-
masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan
mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan
parlementer antara tahun 1950 – 1959.
Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai
masih bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya,
PWI (didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar
negara Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan
kemabali UUD 1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin
menciptakan undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi,
karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama
akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam
rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-
konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin
yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila,
termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui
4
jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal
’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis
dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11
tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan
UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan
kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang
bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers
otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik,
pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem
politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan
hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan
ekonomi, budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers
yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan
pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca
baru.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru.
Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan
sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia
mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers
tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21
tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers,
UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu
terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi
perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini
kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya
penghargaan insan pers terhadap profesinya.Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan
5
profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers.
Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan
rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih
rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang
nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat
dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena
masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.
Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti
press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara
tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy,1994). Dalam perkembangannya pers
mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian
sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers
elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya
terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita. Meskipun
pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas, pada umumnya orang
menganggap pers itu pers cetak: suart kabar dam majalah. Anggapan umum seperti itu
disebabkan oleh ciri khas yang terdapat pada media itu, dan tidak dijumpai pada media
lain.
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers
merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem
lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh
lembagalembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama
negara, karenanya pers dipengaruhi bahkab ditentukan oleh falsafah dan sistem politik
negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama
mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat
dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu
beroperasi.
6
Bagaimana dengan pers di Indonesia? Pengertian pers di Indonesia sudah jelas
sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomer 40 tahun 1999, seperti tersurat
sebagai berikut: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara
dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas
merupakan lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet
pemerintah. Dengan kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai
hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan
keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan
pers) UU no 40 tahun 1999. Ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh
apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling
menopang (Haris Sumadiria, 2004). Ketiga pilar itu adalah:
Idealisme: Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional
melaksanakan peranan sebagai:
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
- Menegakkan nilainilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia
serta menghormati kebhinekaan.
- Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi yang tepat,
akurat, dan benar.
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum.
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Maknanya, bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme.
Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau
dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi
yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai-nilai
demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran,
adalah contoh idealisme yang harus diperjuangkan pers. Dasarnya, sebagaimana
7
dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU no 40 tahun 1999, pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial.
Komersialisme: Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan
untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-
nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus
berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2)
UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada
pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial
perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari
kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan
nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya
dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-
citanya yang ideal.
Profesionalisme: Paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya,
atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai
keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri
berikut:
- Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan
pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya.
- Mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai
dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang
diperolehnya.
- Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan
dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika
terhadap kode etik profesi.
- Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi
profesi yang sesuai dengan keahliannya.
- Memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap bidang
pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya.
8
- Tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesi tersebut
karena untuk menyelaminya mensyaratkan penguasaan ketrampilan
atau keahlian tertentu.
Dengan merujuk kepada enam syarat di 5 atas, maka jelas pers termasuk
bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan profesionalisme.
9
Aktualitas masalah berhubungan dengan peristiwa yang dilihat dari
topiknya, sifatnya, dimensi dan dampaknya, kharakteristiknya,
mencerminkan fenomena yang senantiasa mengandung unsur kebaruan.
Universalitas: Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumbernya
dan dari keanekaragaman materi isinya.
Objektivitas: Merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh
oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita
yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan menarik perhatian
pembaca.
Ciri-ciri tersebut dipenuhi, baik oleh pers cetak surat kabar dan majalah maupun
oleh pers elektrolit radio dan televisi. Kendati demikian, antara pers cetak dan pers
elektrolit itu terdapat perbedaan yang khas, yakni pesan-pesan yang disiarkan oleh pers
elektrolit hanya diterima sekilas dan khalayak harus selalu berada di depan pesawat,
sedangkan pesan-pesan yang disiarkan pers cetak dapat diulangkaji dan dipelajari serta
disimpan untuk dibaca pada tiap kesempatan.
10
Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat
tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca
bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam
bentuk artikel atau tajuk rencana, maupun berita.
3. Fungsi menghibur (to entertain).
Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar dan majalah
untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot.
Isi surat kabar dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek,
cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak
jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interest), dan
kadang-kadang tajuk rencana.
4. Fungsi mempengaruhi (to influence).
Fungsi mempengaruhi menyebabkan pers memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah
surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, bebas
melakukan social control. Fungsi mempengaruhi dari surat kabar, secara
implisit terdapat pada tajuk rencana, opini, dan berita
11
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1) Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial.
2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai
lembaga ekonomi.
Pasal 4
1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelanggaran penyiaran.
3) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.
2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.
12
Peran pers diperlukan sesuai dengan fungsinya. Pada hakikatnya pers adalah alat
untuk berkomunikasi dan berkonfirmasi dalam upaya penyebarluasan informasi. Begitu
besarnya peran pers bagi suatu negara sehingga membuat pers tidak hanya sebagai sarana
untuk memperoleh informasi, tetapi lebih dari itu karena pers dapat berperan sebagai
pembentuk opini masyarakat.
13
Hal lainnya yang tidak boleh dilakukan adalah menghina Kepala Negara dan
menghina aparatur pemerintah yang sedang bertugas. Apabila media massa melakukan
pelanggaran, maka pemimpin redaksi tersebut akan dapat diajukan ke pengadilan.
Disamping sebagai sarana untuk memberi informasi, memberi pendidikan dan
hiburan, pers Indonesia juga memunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat
korektif dan konstruktif (UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1982 Pasal 3). Pers setelah
reformasi mengacu kepada Undang- Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Indonesia merupakan negara demokrasi, namun kenyataannya selama rezim orde
baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan.
Media yang dinilai suka mengkritik penguasa bisa dikenakan pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
Pasca reformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap
mengekang kebebasan pers, antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun
1984 tentang Ketentuan- Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP),
Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat
Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk
Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI
dan Serikat Pekerja Surat Kabar sebagai satu- satunya Organisasi Wartawan dan
Organisasi Penerbit Pers Indonesia. Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Adapun kebebasan atau
kemerdekaan pers diatur dalam pasal 4 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999.
Meskipun sudah ada Undang-Undang yang menjamin kebebasan pers, tetapi
bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tertinggi dibanding
negara lain karena masih perlu perbaikan dari kebijakan yang ada dan diperlukan adanya
revisi terhadap peraturan yang dianggap masih mengekang kebebasan pers di Indonesia.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
15
hiburan, dan konntrol sosial. Fungsi pers yang melekat dengan idealismenya itu sendiri
adalah fungsi menyiarkan informasi, medidik, menghibur, dan mempengaruhi.
16
DAFTAR PUSTAKA
17