Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pers di Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup berarti.


Masa yang paling terlihat akan perubahan tersebut yaitu pasca runtuhnya rezim orde baru
tahun 1998. Sejak itu pers di Indonesia dapat dengan leluasa mengepakkan sayap
Jurnalismenya. Kebebasan pers sebagai prinsip kini diakui, bahkan dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Kebebasan pers tersebut barulah pangkal tolak
dan kerangka referensi. Selanjutnya pergulatan terjadi antara pers dengan pemerintah,
pemilik modal maupun dengan masyarakat serta beragam kepentingan. Berulang kali
pemerintah dan masyarakat di luar media mengingatkan dan mendesak agar pers dan
media massa pandai-pandai dalam menggunakan hak kebebasannya. Hal ini dimaksudkan
agar jangan sampai terjadi perselisihan atau hal lain yang tidak diinginkan yang
disebabkan oleh jaminan kebebasan pers. Kebebasan pers dikaitkan dengan kemampuan
dan kemauan pers untuk mengembangkan kualitas profesionalismenya. Hal ini
merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pers Indonesia yakni dengan menyertakan
kebebasan dan pengembangannya serta peningkatan profesionalismenya sebagai
penyedia jasa informasi. Akan sejauh mana pers bisa dengan arif dan maksimal dalam
menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagai insan pewarta kepada profesinya,
masyarakat dan pemerintah. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi,
kebutuhan masyarakat akan informasi menjadi sangat penting. Karena informasi dapat
dijadikan sebagai alat untuk membentuk opini publik (public opinion) yang dapat
mempengaruhi dan mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku manusia. Bahkan
peradaban masa kini lazim disebut sebagai “peradaban masyarakat informasi” karena
hanya mereka yang mampu menguasai dan mengolah informasilah yang akan berperan di
garda depan dalam kerangka kehidupan. Salah satu kelemahan dari media pada masa itu
seperti surat kabar, tabloid, radio ataupun televisi adalah terkait dengan ruang dan waktu.
Namun kini dengan munculnya internet masalah tersebut dapat teratasi. Peristiwa yang
terjadi pada saat itu dapat segera diinformasikan hanya membutuhkan beberapa waktu.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:


1) Apa itu pers?
2) Bagaimana sejarah pers di Indonesia?
3) Apa saja ciri-ciri pers?
4) Apa saja fungsi dan peran pers?
5) Apa saja kewajiban pers Indonesia?
6) Bagaimana kebebasan pers Indonesia?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


1) Mengetahui sejarah pers di Indonesia
2) Mengetahui engertian pers
3) Mengetahui ciri-ciri pres
4) Mengetahui fungsi dan peran pers?
5) Mengetahui kewajiban dan kebebasan pers Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH PERS INDONESIA

Pers di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia


diproklamasikan. Pers telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat
perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan
penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers,
meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang
tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana
pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di
dalamnya (Tribuana Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase
Nouvelles (Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817),
Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar
pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang
pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956.
kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe
(Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864),
dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak
pertengahan abad ke 19 ternyata talah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk
menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan
dan menggerakkan kesadaran bangsa.
Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan
masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial,
badanbadan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh
pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi
Utomo pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk
menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada
gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-

3
surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat,
Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis
Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di
lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara
keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga
menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok
pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia
pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan
di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan
dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan.
Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar
kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-
masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan
mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan
parlementer antara tahun 1950 – 1959.
Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai
masih bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya,
PWI (didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar
negara Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan
kemabali UUD 1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin
menciptakan undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi,
karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama
akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam
rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-
konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin
yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila,
termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui

4
jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal
’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis
dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11
tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan
UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan
kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang
bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers
otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik,
pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem
politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan
hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan
ekonomi, budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers
yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan
pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca
baru.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru.
Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan
sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia
mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers
tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21
tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers,
UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu
terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi
perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini
kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya
penghargaan insan pers terhadap profesinya.Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan

5
profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers.
Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan
rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih
rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang
nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat
dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena
masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.

2.2 PENGERTIAN PERS

Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti
press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara
tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy,1994). Dalam perkembangannya pers
mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian
sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers
elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya
terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita. Meskipun
pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas, pada umumnya orang
menganggap pers itu pers cetak: suart kabar dam majalah. Anggapan umum seperti itu
disebabkan oleh ciri khas yang terdapat pada media itu, dan tidak dijumpai pada media
lain.
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers
merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem
lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh
lembagalembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama
negara, karenanya pers dipengaruhi bahkab ditentukan oleh falsafah dan sistem politik
negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama
mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat
dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu
beroperasi.

6
Bagaimana dengan pers di Indonesia? Pengertian pers di Indonesia sudah jelas
sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomer 40 tahun 1999, seperti tersurat
sebagai berikut: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara
dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas
merupakan lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet
pemerintah. Dengan kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai
hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan
keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan
pers) UU no 40 tahun 1999. Ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh
apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling
menopang (Haris Sumadiria, 2004). Ketiga pilar itu adalah:
 Idealisme: Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional
melaksanakan peranan sebagai:
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
- Menegakkan nilainilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia
serta menghormati kebhinekaan.
- Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi yang tepat,
akurat, dan benar.
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum.
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Maknanya, bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme.
Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau
dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi
yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai-nilai
demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran,
adalah contoh idealisme yang harus diperjuangkan pers. Dasarnya, sebagaimana

7
dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU no 40 tahun 1999, pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial.
 Komersialisme: Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan
untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-
nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus
berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2)
UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada
pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial
perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari
kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan
nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya
dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-
citanya yang ideal.
 Profesionalisme: Paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya,
atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai
keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri
berikut:
- Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan
pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya.
- Mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai
dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang
diperolehnya.
- Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan
dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika
terhadap kode etik profesi.
- Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi
profesi yang sesuai dengan keahliannya.
- Memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap bidang
pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya.

8
- Tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesi tersebut
karena untuk menyelaminya mensyaratkan penguasaan ketrampilan
atau keahlian tertentu.
Dengan merujuk kepada enam syarat di 5 atas, maka jelas pers termasuk
bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan profesionalisme.

2.3 CIRI-CIRI PERS

Ciri-ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut: komunikasi dengan


menggunakan pers; proses berlangsung satu arah; komunikatornya melembaga; pesan
bersifat umum; medianya menimbulkan keserempakan; dan komunikannya bersfat
heterogen (Effendy, 1994). Sedangkan Haris Sumadiria (2004) mengatakan ciri-ciri pers
adalah sebagai berikut:
 Periodesitas: Pers harus terbit secara teratur, periodek, misalnya setiap
hari, setiap minggu, setiap bulan, dan sebagainya. Pers harus konsisten
dalam pilihan penerbitannya ini.
 Publisitas: Pers ditujukan (disebarkan) kepada khalayak sasaran yang
sangat heterogen. Apa yang dimaksud heterogen menunjuk dua hal, yaitu
geografis dan psikografis. Geofrafis menunjuk pada data administrasi
kependudukan, seperti jenis kelamin, kelompok usia, suku bangsa, agama,
tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan
psikografis menunjuk pada karakter, sifat kepribadian, kebiasaan, adat
istiadat, dan sebagainya.
 Aktualitas: Informasi apapun yang disuguhkan media pers harus
mengandung unsur kebaruan, menunjuk kepada peristiwa yang benar-
benar baru terjadi atau sedang terjadi. Secara etimologis, aktualitas
(actuality) mengandung arti kini dan keadaan sebenarnya, secara teknis
jurnalistik, aktualitas mengandung tiga dimensi: kalender;waktu; masalah.
Aktualitas kalender berarti merujuk kepada berbagai peristiwa yang sudah
tercantum atau terjadwal dalam kalender. Aktualitas waktu berkaiutan
dengan peristiwa yang baru saja terjadi, atau sesaat lagi akan terjadi.

9
Aktualitas masalah berhubungan dengan peristiwa yang dilihat dari
topiknya, sifatnya, dimensi dan dampaknya, kharakteristiknya,
mencerminkan fenomena yang senantiasa mengandung unsur kebaruan.
 Universalitas: Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumbernya
dan dari keanekaragaman materi isinya.
 Objektivitas: Merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh
oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita
yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan menarik perhatian
pembaca.

Ciri-ciri tersebut dipenuhi, baik oleh pers cetak surat kabar dan majalah maupun
oleh pers elektrolit radio dan televisi. Kendati demikian, antara pers cetak dan pers
elektrolit itu terdapat perbedaan yang khas, yakni pesan-pesan yang disiarkan oleh pers
elektrolit hanya diterima sekilas dan khalayak harus selalu berada di depan pesawat,
sedangkan pesan-pesan yang disiarkan pers cetak dapat diulangkaji dan dipelajari serta
disimpan untuk dibaca pada tiap kesempatan.

2.4 FUNGSI DAN PERAN PERS

Idealisme yang melekat pada pers sebagai lembaga kemasyarakatan ialah


melakukan social control dengan menyatakan pendapatnya secara bebas, tetapi tentu
dengan perasaan tanggung jawab bila pers itu menganut social responsibility. Idealisme
yang melekat pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi
juga mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Fungsi menyiarkan informasi (to inform).
Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang utama. Khalayak
pembaca berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan
informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran
orang lain, apa yang dikatakan orang, dan sebagainya.
2. Fungsi mendidik (to educate).

10
Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat
tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca
bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam
bentuk artikel atau tajuk rencana, maupun berita.
3. Fungsi menghibur (to entertain).
Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar dan majalah
untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot.
Isi surat kabar dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek,
cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak
jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interest), dan
kadang-kadang tajuk rencana.
4. Fungsi mempengaruhi (to influence).
Fungsi mempengaruhi menyebabkan pers memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah
surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, bebas
melakukan social control. Fungsi mempengaruhi dari surat kabar, secara
implisit terdapat pada tajuk rencana, opini, dan berita

Mengelola pers dengan fungsi seperti itu memerlukan keberanian dan


kebijaksanaan. Ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mengelola pers yang ideal-komersial.
Kalau mengutamakan segi ideal, pers tidak akan hidup lama. Sebaliknya jika
mengutamakan segi komersial, lembaga seperti itu tidak layak lagi diberi predikat pers.
Jika pers benar-benar melaksanakan tugas social control-nya, akan banyak tantangan
yang harus dijawab dengan sikap yang bertanggung jawab, berani, dan bijaksana. Dalam
suatu situasi, pers bisa dihadapkan kepada dua alternatif: mati terhormat karena
memegang prinsip atau hidup tidak terhormat karena tidak mempunyai kepribadian.
Mengenai fungsi pers di Indonesia sudah jelas landasan dan pedomannya di
samping fungsi pers secara universal sebagaimana dipaparkan di atas. Hal tersebut dapat
dikaji dalam bab 2 pasal 2 – 6 Undang-undang nomer 40 tahun 1999 yang tersurat
sebagai berikut:
Pasal 2

11
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1) Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial.
2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai
lembaga ekonomi.
Pasal 4
1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelanggaran penyiaran.
3) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.
2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.

Mengenai peran pers, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers


mengaturnya di dalam pasal 6 yang kalau diperinci terdiri dari:

a. Memenuhi hak masyrakat untuk mengetahui;

b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya


supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta meghormati kebhinekaan;

c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,


akurat, dan benar;

d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang


berkaitan dengan kepentingan umum;

e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran

12
Peran pers diperlukan sesuai dengan fungsinya. Pada hakikatnya pers adalah alat
untuk berkomunikasi dan berkonfirmasi dalam upaya penyebarluasan informasi. Begitu
besarnya peran pers bagi suatu negara sehingga membuat pers tidak hanya sebagai sarana
untuk memperoleh informasi, tetapi lebih dari itu karena pers dapat berperan sebagai
pembentuk opini masyarakat.

2.5 KEWAJIBAN DAN KEBEBASAN PERS INDONESIA

Pers Indonesia memunyai kewajiban:


 Mempertahankan, membela mendukung dan melaksanakan Pancasila dan UUD '45
secara murni dan konsekuen;
 Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang berlandaskan Demokrasi
Pancasila
 Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers;
 Membina persatuan dan menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme,
 feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktator;
 Menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif dan progresif-revolusioner
(UUPokok Pers No. 11 Tahun 1982 Pasal 2).

Kebebasan pers Indonesia dijamin oleh Pasal 28 UUD 45 yang intinya


mengemukakan bahwa setiap warga negara Indonesia bebas mengeluarkan pendapat,
baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian setiap warga negara memunyai hak
penerbitan pers asal sesuai dengan hakikat Demokrasi Pancasila (UU Pokok Pers No. 11
Tahun 1982).
Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang
berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Misalnya setiap pemberitaan atau jenis pesan
komunikasi lainnya tidak boleh menyinggung "'SARA" (Suku, Agama, Ras dan Antar
Golongan) yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah
persatuan dan kesatuan bangsa.

13
Hal lainnya yang tidak boleh dilakukan adalah menghina Kepala Negara dan
menghina aparatur pemerintah yang sedang bertugas. Apabila media massa melakukan
pelanggaran, maka pemimpin redaksi tersebut akan dapat diajukan ke pengadilan.
Disamping sebagai sarana untuk memberi informasi, memberi pendidikan dan
hiburan, pers Indonesia juga memunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat
korektif dan konstruktif (UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1982 Pasal 3). Pers setelah
reformasi mengacu kepada Undang- Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Indonesia merupakan negara demokrasi, namun kenyataannya selama rezim orde
baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan.
Media yang dinilai suka mengkritik penguasa bisa dikenakan pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
Pasca reformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap
mengekang kebebasan pers, antara lain: Peraturan Menteri Penerangan  Nomor 1 tahun
1984 tentang Ketentuan- Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP),
Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat
Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk
Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI
dan Serikat Pekerja Surat Kabar sebagai satu- satunya Organisasi Wartawan dan
Organisasi Penerbit Pers Indonesia. Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Adapun kebebasan atau
kemerdekaan pers diatur dalam pasal 4 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999.
Meskipun sudah ada Undang-Undang yang menjamin kebebasan pers, tetapi
bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tertinggi dibanding
negara lain karena masih perlu perbaikan dari kebijakan yang ada dan diperlukan adanya
revisi terhadap peraturan yang dianggap masih mengekang kebebasan pers di Indonesia.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sejarah pers Indonesia bermula sejak pertengahan abad 18 ketika orang-orang


Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Meski pada awalnya
penerbitnya terdiri dari orang-orang itu sendiri, pada abad 19 pers di masa penjajahan
ternyata berkembang dan dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap
budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan
menggerakkan kesadaran bangsa. Sejak lahirnya Budi Utomo pada 1908, pers sebagai
sarana komunikasi utama dalam membangkitkan bangsa Indonesia hingga bisa
melahirkan surat-surat kabar dan majalah sebagai tanda-tanda meningkatnya perjuangan
kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional.
Pers berasal dari Bahasa belanda yang berarti cetak. Pers dapat diartikan sebagai
penyiaran secara tercetak atau blikasi secara dicetak dan dapat meliputi segala penerbitan.
Pers tidak hidup sendiri dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Pers di Indonesia menganut teori tanggung jawab sosial yang sudah secara jelas
dicantumkan pada pasal 15 dan pasal 17 UU no 40 tahun 1999. Ada tiga pilar penyangga
utama yang saling menopang pers untuk berdiri kokoh yaitu Idealisme, Komersialisme,
dan Profesionalisme.
Ciri-ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut: komunikasi dengan
menggunakan pers; proses berlangsung satu arah; komunikatornya melembaga; pesan
bersifat umum; medianya menimbulkan keserempakan; dan komunikannya bersfat
heterogen (Effendy, 1994). Sedangkan Haris Sumadiria (2004) mengatakan ciri-ciri pers
adalah sebagai berikut: Menurut Haris Sumadiria, ciri-ciri pers adalah periodesitas,
publisitas, aktualitas, universalitas, dan objektivitas.
Mengenai fungsi dan peran pers sudah ada landasannya di dalam UU No. 40
tahun 1999. Peran pers diperlukan sesuai dengan fungsinya. Dengan idealisme
menegakkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan
kebenaran, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan,

15
hiburan, dan konntrol sosial. Fungsi pers yang melekat dengan idealismenya itu sendiri
adalah fungsi menyiarkan informasi, medidik, menghibur, dan mempengaruhi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al Amin, Taufik. Sistem Pers Indonesia.


Ardianto, Elvinaro, dkk. 2014. Komunikasi Massa Suatu Penghantar. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Nurudin. 2004. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta. Rajawali Pers.
Said, Tribuana. 1988. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta. CV
Haji Masagung.
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta. LkiS.
Sumadiria, Harris. 2005. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana. Bandung. Simbiosa
Rekatama Media.
Surbakti, Dahlan. 2015. peran dan fungsi pers menurut undang-undang pers tahun 1999
serta perkembangannya. Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 5 No. 1.
Rauf, Maswadi. 199., Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta. Gramedia
Undang-undang nomer 40 tahun 1999
Adeline, Anggie, Firman. 2021. Sejarah Pers di Indonesia. Lembaga Pers Mahasiswa FT
Undip Momentum. Diakses pada 3 Desember 2021 melalui:
https://lpmmomentum.com/2021/05/sejarah-pers-di-indonesia/

17

Anda mungkin juga menyukai