Anda di halaman 1dari 17

Pengertian Pers menurut para ahli

Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar,
serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Menurut Oemar Seno Adji

Pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita
dengan kata tertulis

Pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications
yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis
maupun dengan lisan.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

Pers berarti:

alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar

alat untuk menjepit atau memadatkan

surat kabar dan majalah yang berisi berita

orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.

Menurut Kustadi Suhandang

Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan
menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka
memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.[1]

Menurut Wilbur Schramm

Dalam bukunya Four Theories of the Press yang ditulis oleh Wilbur Schramm dkk
mengemukakan 4 teori terbesar pers, yaitu the authotarian, the libertarian, the social
responsibility dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada
satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan
pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat.[1]
Menurut McLuhan

Dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the
extended man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa
satu dengan peristiwa lain pada moment yang bersamaan.[1]

Menurut Raden Mas Djokomono

Menurut Bapak Pers Nasional, pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui
tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang mampu membakar semangat para
pejuang dalam memperjuangkan hak hak Bangsa Indonesia masa penjajahan Belanda.[1]

[sunting]Sejarah Pers Di Indonesia

[sunting]Masa Penjajahan Belanda

Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619
menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis
dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di
Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak
pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat
kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan
perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama
kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di
beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan.

[sunting]Masa Pendudukan Jepang

Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri
sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan
rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang
mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di
zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-
karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

[sunting]Masa Revolusi Fisik

Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan
dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak
sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi.
Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para
wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi
fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini
pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan
diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan
kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut
bergerilya.

[sunting]Masa Demokrasi Liberal

Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar.
Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar
dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum,
pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan,
menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang
melampaui batas-batas kesopanan.

[sunting]Masa Demokrasi Terpimpin

Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde
Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga
meletusnya Gerakan 30 September 1965.

[sunting]Masa Orde Baru

Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang,
kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers
mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak.
Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam
proses pembangunan. Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers
mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya
pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk
menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

[sunting]Masa Reformasi

Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah
pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam
melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan
posisinya sebagai presiden.
[sunting]Perkembangan Pers Di Indonesia

Perkembangan pers di Indonesia berawal pada penerbitan surat kabar pertama, yaitu
Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan yang terbit 7 Agustus 1774.

Kemudian muncul beberapa surat kabar berbahasa Melayu, antara lain Slompet Melajoe,
Bintang Soerabaja (1861), dan Medan Prijaji (1907).

Majalah tertua ialah Panji Islam (1912-an)

Surat kabar terbitan peranakan Tionghoa pertama kali muncul adalah Li Po (1901),
kemudian Sin Po (1910).

Surat kabar pertama di Indonesia yang menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan 17


Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah surat kabar Soeara Asia.

Sesudah itu, surat kabar nasional yang memuat teks proklamasi adalah surat kabar
Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta), dan Asia Baroe (Semarang).

Corak kehidupan politik, ideologi, kebudayaan, tingkat kemajuan suatu bangsa sangat
mempengaruhi sistem pers di suatu negara.

Secara umum, di seluruh dunia terdapat pola kebijakan pemerintah terhadap pers yang
otoriter dan demokratis. Diantara keduanya terdapat variasi dan kombinasi, bergantung
tingkat perkembangan masing-masing negara. Ada yang quasi otoriter, ada yang quasi
demokratis, dan sebagainya.

[sunting]Jenis-jenis media massa

[sunting]Media massa tradisional

Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi
yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa digolongkan sebagai
berikut: surat kabar, majalah, radio, televisi, film (layar lebar). Dalam jenis media ini
terdapat ciri-ciri seperti:

Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan

Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.

Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi
informasi yang mereka terima.
Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.

hai hai

[sunting]Media massa modern

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah
berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa
seperti internet dan telepon selular. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:

Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau
internet misalnya)

Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual

Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu

Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam

Penerima yang menentukan waktu interaksi

[sunting]Fungsi Pers

Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers adalah
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara itu Pasal 6
UU Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut ;

Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan
mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers juga
harus menghormati kebinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat dan benr melakukan pengawasan. [2]

Sebagai pelaku Media Informasi

Pers itu memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada
masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena memerlukan informasi.

Fungsi Pendidikan

Pers itu sebagi sarana pendidikan massa (mass Education), pers memuat tulisan-tulisan
yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan
wawasannya.

Fungsi Hiburan
Pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat
(hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Berbentuk cerita pendek, cerita
bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, dan karikatur.

Fungsi Kontrol Sosial

Fungsi ini terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:

Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan)

Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat)

Social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah)

Social control (kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah)

Sebagai Lembaga Ekonomi

Pers adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat memamfaatkan
keadaan di sekiktarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat
memperoleh keuntungan maksimal dari hasil prodduksinya untuk kelangsungan hidup
lembaga pers itu sendiri.

[sunting]Pengaruh media massa pada budaya

Menurut Karl Erik Rosengren pengaruh media cukup kompleks, dampak bisa dilihat dari:

skala kecil (individu) dan luas (masyarakat)

kecepatannya, yaitu cepat (dalam hitungan jam dan hari) dan lambat (puluhan tahun/
abad) dampak itu terjadi.

Pengaruh media bisa ditelusuri dari fungsi komunikasi massa, Harold Laswell pada artikel
klasiknya tahun 1948 mengemukakan model sederhana yang sering dikutip untuk model
komunikasi hingga sekarang, yaitu :

Siapa (who)

Pesannya apa (says what)

Saluran yang digunakan (in what channel)

Kepada siapa (to whom)


Apa dampaknya (with what effect)

Model ini adalah garis besar dari elemen-elemen dasar komunikasi. Dari model tersebut,
Laswell mengidentifikasi tiga dari keempat fungsi media.

[sunting]Fungsi-fungsi media massa pada budaya

Fungsi pengawasan (surveillance), penyediaan informasi tentang lingkungan.

Fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu
masalah.

Fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan.

Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang


mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan
daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga
membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).

[sunting]Pengaruh media massa pada pribadi

Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya


terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya
berhubungan dengan dunia sehari-hari [3]

Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi
seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau
apakah ia telah memenuhi standar itu - dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa
yang pemirsa lihat dari media.

Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi memengaruhi apa yang
pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal,
dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut,
dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan
mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai
menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh
tersebut.

Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih
baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat
mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja
seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaaan ini terjadi dengan lebih
halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka
berpakaian. Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang
mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus.
Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip
"gaya rambut lupus", atau menggunakan kacamata a'la "Catatan si Boy".

Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton
atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", dimana mereka menentukan arah media
populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.

Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung pemirsanya menjadi lebih baik
atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang
akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain.

[sunting]Kebebasan Pers di Indonesia

Dengan adanya kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke arah
liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang terdiri
dari dua jenis : Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.

Kebebasan negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat dimana


media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari interfensi pihak
luar organisasi media massa yang berusaha mengendalikan, membatasi atau mengarahkan
media massa tersebut.

Kebebasan positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara organisasi
dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang dijalankan oleh
pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting serta kontrol yang
dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya. [4]

Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini
pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang kebebasan
yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media massa
memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-kadang tinggi
atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol sedikitpun.

[sunting]Hubungan antara Pers dan Jurnalistik

Pers dan jurnalistik merupakan suatu kesatuan yang bergerak dalam bidang penyiaran
informasi, hiburan, keterangan, dan penerangan. Artinya adalah bahwa antara pers dan
jurnalistik mempunyai hubungan yang erat. Pers sebagai media komunikasi massa tidak
akan berguna apabila sajiannya jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya karya
jurnalistik tidak akan bermanfaat tanpa disampaikan oleh pers sebagai medianya, bahkan
boleh dikatakan bahwa pers adalah media khusus untuk digunakan dalam mewujudkan dan
menyampaikan karya jurnalistik kepada khalayak.

A. ARTI PENTING PERS DALAM SISTEM KOMUNIKASI

Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Unsur yang paling penting dalam
sistem pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi
sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau
menolak kebijakan pemerintah. Bahkan , dengan adanya media pula berbagai inovasi atau
pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.

Marshall Mc Luhan menyebutkannya sebagai the extension of man (media adalah


ekstensi manusia). Media adalah perpanjangan dan perluasan dari kemampuan jasmani
dan rohani manusia (F. Rachmadi, 1990). Keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan
manusia bisa disebarluaskan melalui pers.

Wilbur Schramm (1973), tak bisa dipungkiri pula bagi masyarakat, pers bisa dianggap
sebagai pengamat, forum, dan guru (watcher, forum dan teacher). Maksudnya adalah
setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat
untuk masyarakat mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-
nilai ke masyarakat dari generasi ke generasi.

Pers memiliki dua sisi kedudukan, yaitu :

• Sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain.

• Pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi sosial merupakan bagian integral
dari masyarakat dan bukan merupakan unsur asing atau terpisah.

Arti penting pers di Indonesia adalah :

1. menjadi salah satu unsur sistem komunikasi.

Tidak bekerjanya unsur ini maka akan mempengaruhi kinerja sistem komunikasi. Pers
menjadi perangkai bagian unsur sistem komunikasi dalam satu kebulatan utuh dan padu
(wholism).

2. tujuan pers juga menjadi tujuan sistem komunikasi itu sendiri.


Jika sistem komunikasi mempunyai tujuan mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan
keputusan, maka melalui pers semua itu bisa diatasi.

3. pers adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi
sebuah keluaran atau output ke dalam sistem komunikasi.

Berbagai informasi yang diolah lewat media menjadi hasil yang berguna bagi proses
keluaran atau output sistem komunikasi.

B. SISTEM PERS INDONESIA

Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories
of The Press (1963) ada empat kelompok besar teori (sistem) pers, yaitu :

a) Sistem Pers Otoriter (authoritarian)

Sistem ini adalah sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa pemerintahan
absolut. Pers pada sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara atau kerajaan untuk
memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kegiatan
yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak.

b) Sistem Pers Liberal (libertarian)

Sistem ini berkembang pada abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan
adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung
(pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia akan bisa mengembangkan
pemikirannya secara bak jika diberi kebebasan.

Kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol
pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosan” kebebasan berpikir. Oleh
karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu mencari
kebenaran.

c) Sistem Pers Komunis (marxist)

Berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada awal abad
ke-20. Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang
diawali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau
partai dan menjadi bagian integral dari negara.
d) Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial

Muncul di Amerika Serikat pada abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak
dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran ini
adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat
tentang apa yang diaktualisasikan.

Dari uraian yang diatas, jika diamati Indonesia termasuk sistem pers tanggung jawab
sosial. Aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas
masyarakat.

Kritikan terhadap empat teori diatas :

1. Lowenstein, dalam bukunya "Media, Messages, and Men" mengatakan bahwa empat
teori pers itu tidak fleksibel dan tidak dapat diaplikasikan pada semua sistem pers.
Kemudian ia menyarankan "pendekatan dua deretan bertingkat" (two tiered approach)
yang mengidentifikasikan tipe kepemimpinan dan filsafat.

2. William Hachten, dalam karyanya "The World News Prism" mengajukan "five concept
typology" yg berpegan pada ideologi authoritarian dan komunis serta kombinasi
libertarian dan tanggung jawab sosial ke dalam konsep barat, dan menambah dua teori
baru: "revolutionary dan developmental" (Merril, 1991:16-17).

Peranan Pers Daerah dalam Dinamika Pers Nasional

Masa pemerintahan Soeharto yang merupakan masa kediktatoran dalam segala aspek
kehidupan bangsa Indonesia dan termasuk pers didalamnya. Pada saat itu, pers
Indonesia tidak mempunyai kemerdekaan dalam pemberian informasi khususnya
pemberitaan mengenai pemerintahan. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, pada rezim
Soeharto tersebut di buat Departemen Penerangan yang menjadi momok media cetak
Indonesia karena sering mengintimidasi dengan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Hal tersebut merupakan praktek umum di bawah rezim Orde
Baru Soeharto, yang tertutup terhadap kritik dan tidak toleran terhadap perbedaan
pandangan.
Namun akhirnya pasca tumbangnya Soeharto dan sistem pemerintahannya, pers di
Indonesia mengalami masa liberalisasi. Pers tidak lagi mengalami kesulitan dalam
pemberian informasi kepada khalayak Indonesia. Hanya saja saat ini meski pers
Indonesia sudah tidak di jajah oleh pemerintah, namun di jajah oleh pihak-pihak
pemegang saham atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi media itu sendiri. Adanya
politik media yang terjadi di dalam lingkup pers baik nasional ataupun daerah, dapat
menjadikan krisis pers seperti pada masa orde lama meski tidak serupa dan tidak
kentara. Dengan era reformasi yang di pelopori oleh mahasiswa, terjaminlah kebebasan
pers. Fungsi pers di Indonesia menjadi lebih optimal, meski terkadang tidak obyektif.
Terjaminnya kebebasan pers, dewasa ini cenderung di salah gunakan oleh para praktisi
media. Banyak kasus terjadi dengan mengatasnamakan kebebasan pers. Buntutnya, media
yang tidak terlibat terkena damapaknya karena budaya Indonesia yang menganut asas
’stereotype’.

Peran pers dalam pembuatan opini publik juga sangat besar. Terlebih lagi bagi
masyarakat dari kalangan yang kurang berpendidikan. Bagi kalangan ini, mereka
menerima mentah-mentah apa yang mereka dengar atau yang mereka baca. Unsur ini
terkadang di manfaatkan oleh para pelaku media. Menjadi suatu praktek umum di mana
media massa di berbagai wilayah tak bisa beroperasi sebagai perusahaan yang sehat,
tidak profesional, dan menunjukkan ketergantungan yang sangat besar pada dinamika
yang terjadi dalam politik lokal (mulai dari soal langganan koran oleh kantor-kantor
pemerintah, iklan ucapan selamat kepada pejabat, hingga berbagai bentuk suap lainnya).
Dengan sedang ’in’ nya media massa dalam sistem kehidupan di Indonesia di tambah lagi
dengan perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sentralisasi menjadi
desentralisasi, berpengaruh juga pada perkembangan media di daerah. Banyak orang
mendirikan pers di berbagai tempat, namun tak sedikit pula yang akhirnya menutup
penerbitannya karena berbagai persoalan.

Media daerah ini terpaksa terlibat permasalahan politik ekonomi media agar tetap hidup
dan berkembang. Padahal khalayak yang berada di daerah sangat bergantung atau
berpanutan pada media-media yang ada di daerahnya masing-masing. Untuk itulah di
perlukan independensi media daerah untuk bisa memberikan keobjektifan berita pada
khalayaknya.

Namun bukan hanya pada kasus itu saja yang dapat di lihat dari perkembangan media di
daerah. Peran pers daerah juga sangat berpengaruh pada segala sistem kehidupan,
terutama pada sistem politik dan sistem pemerintahan daerah. Salah satu faktor
keberhasilan PILKADA adalah karena keterlibatan besar pers daerah.

Pers daerah yang mayoritas merupakan anak dari media nasional atau pun mempunyai
kerjasama dengan media nasional, tak dapat di pungkiri sudah dapat berdiri sendiri
tanpa bergantung pada pers nasional. Meski pers daerah tetap masih terkait dan tidak
terlepas dari dinamika arus pers nasional, kemampuan pers daerah dalam memfungsikan
peranannya sudah layak mendapatkan pengakuan. Pers daerah mampu berdiri sejalan
dengan pers daerah untuk mengontrol sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia.
Seyogyanya media daerah dan nasional mampu berperan dan menjalankan tugasnya
dengan baik dan sesuai ciri mereka yang menganut keobjektifitasan dalam proses
pemberitaan. Selain pers daerah di berikan hak dalam adanya kebebasan pers, pers
daerah juga mempunyai tugas untuk mengontrol pemerintah daerah.

Pers Pancasila

Sesungguhnya istilah Pers Pancasila sudah dikemukakan oleh M.Wonohito, seorang


wartawan senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers
dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.

Alasan Wonohito untuk menampilkan apa yang ia sebutkan "Pancasila Press Theory",
dapat disimak dari paparannya berikut ini.

"Sesungguhnya pers tidak dapat diangkat dari dan tidak dapat ditinjau lepas daripada
struktur masyaraktnya. Membayangkan seakan-akan pers lepas dari sosiological context
salah besar. Sama kelirunya apabila kita pura-pura tidak melihat adanya sociological
determination, suratan sosiologis yang berlaku terhadap tiap-tiap lembaga
kemasyarakatan. Oleh karena itu struktur sosial politik bersifat menentukan bagi corak,
sepak terjang serta tujuan yang hendak dicapai oleh Pers. Dan karena struktur sospol
dilandasi masyarakat, perspun berlandaskan atas dan mencerminkan falsafah
masyarakat".

Dalam Pembahasannya tiu Wonohito menyinggung pula empat teori pers dari buku
terkenal "Four Theories of the Press" yang ditulis oleh Fred S Siebert, Theodore
Peterson, dan Wilbur Schramm, keempat teori pers itu menurutnya bolehlah kita
tambahkan satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory, sebab falsafah Pancasila
melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam empat teorinya Siber,
Peterson dan Schramm itu.

intisari keputusan sidang pleno xxv dewan pers mengenai pers pancasila itu, adalah
sebagai berikut :

o Pers Indonesia

Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah
lakunya berdasarkan pada nilan-nilai Pancasila dan UUD 1945.
o Pers Pembangunan

Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD
1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.

o Hakikat Pers Pancasila

Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung
jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif,
penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan funsi pers
pancasila mengembangkan suasana sains percaya menuju masyarakat terbuka yang
demokratis dan bertanggung jawab.

C. PERS dan SISTEM HUKUM

Antara pers dan sistem hukum ada keterkaitan yang erat sekali. Sistem hukum memberi
peluang pers bertindak didalam rambu-rambu yang sudah disepakati sehingga pers
berada pada titik ideal. Tanpa hukum, pers akan berkembang menjadi liberal.

Hukum dapat digunakan sebagai alat legitimasi pemerintah untuk mengawasi pers.
Misalnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Bahwa UU pokok Pers pernah
mengatur dan menjamin kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan, namun justru SIUPP
(Permenpen No. 01/ Per/ Menpen 1984) menjadi alat membatasi kebebasan. Padahal,
kedudukan SIUPP lebih rendah daripada undang-undang. Justru SIUPP yang dijadikan
alat legitimasi.

Dalam perkembangannya penilaian atau interpretasi tidak lagi mencerminkan kehidupan


pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab berada di tangan pemerintah.
Maka pasal ini dianggap “arogan” kerena pemerintah bisa secara sepihak membatalkan
SIUPP.

Pada era Habibie, pemerintah menganggap SIUPP bukan zamannya lagi dan sangat
“memperkosa HAM”. Sehingga SIUPP dicabut.

Masa eforia politik juga tidak menyelesaikan masalah itu. Hubungannya dengan
pemberitaan berkembang menjadi trial by the press (pengadilan oleh pers). Trial by the
press merupakan sebagai berita atau tulisan dengan gambar tertuduh dalam suatu
perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Hal ini melanggar asas praduga tak
bersalah dan menyulitkan tertuduh untuk memperoleh pemeriksaan pengadilan yang
bebas dan tidak berpihak.

Pada saat yang sama, muncul minimnya self censhorsip media. Dengan kata lain, media
lemah dalam mempertimbangkan pakah pemberitaan itu layak dimunculkan dan sesuai
dengan keinginan masyarakat atau tidak. Ini yang diakibatkan orientasi pasar media
begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya.

D. FENOMENA KEBEBASAN PERS ORDE BARU

Pers menyandang atribut yang menyebabkan sering terpojok pada posisi yang dilematis.
Disatu sisi tuntutan masyarakat mengharuskan memotret realitas sosial sehingga pers
berfungsi sebagai alat kontrol. Namun pada posisi lain, sebagai institusi yang tidak lepas
dari pemerintah, menyebabkan pes cenderung tidak vis a vis terhadap pemerintah. Ini
artinya, pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang menjadi otoritas
pemerintah. Inilah yang membuat pers binggung menentukan pilihan, antara kewajiban
moral terhadap masyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan pemerintah sebagai
konsekuensi logis.

Hal demikian tak ubahnya dengan mendikte pers yang telah kehilangan otonominya.
Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimanapun juga pers masih punya otonomi,
salah satu kemampuan untuk bertahan hidup ditengah derasnya iklim demokrasi dan
himpitan struktur yang harus ditaati.

Peringatan pemerintah Orde Baru muncul karena kepedulian pes pada kepentingan
masyarakat. Pers mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai otonomi
sendiri, sebab ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat.

Bagi masyarakat, pers berfungsi sebagai katarsis. Katarsis adalah kelegaan emosional
setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis. Akan
tetapi di lain pihak terbentur oleh ketidak mampuan untuk lepas dari keberadaan negara.
Akibatnya berkembang teori : pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada
sistem politik (Meril dan Lowentein dalm Harsono Suwardi, 1993).

Fakta pertama, fungsi pers sebagai katarsis adalah melalui mana masyarakat
menyalurkan uneg-unegnya, ketidakpuasan,protes, dan keomentarnya terhadap suatu
kejadian. Jadi ketika masyarakat menginginkan perubahan, pers harus berperan aktif.
Namun, pada posisi lain pes harus bisa berperan dalam menyampaikan kebijaksanaan dan
program pembangunan kepada masyarakat (F. Rachmadi, 1990).
Jadi pers sebagai katarsis maupun ketundukan pers pada sistem politik memaksa pers
bersifat pasif dan kurang otonom. Karena dijadikan wahana tarik-menarik kepentingan
antara masyarakat dan pemerintah tanpa pers sendiri diberikan otonomi untuk memilih

Seorang penulis jurnalsitik, Frank Luther Mott dalam bukunya New Survey of
Journalism menyatakan bahwa ada delapan konsep berita yang meminta perhatian kita,
yaitu:

1. Berita sebagai laporan tercepat (news as timely report)

Konsep ini menitik beratkan pada segi 'baru terjadinya' (newsness) sebagai faktor
terpenting dari sebuah berita. Akan tetapi dengan adanya radio dan televisi yang juga
menyiarkan berita, faktor timelyness ini menjadi relatif. Kenyataan menunjukkan bahwa
seseorang, yang pada malam harinya mendengar suatu berita dari radio dan televisi,
keesokan harinya menyempatkan diri untuk membaca berita yang sama dari surat kabar.
Hal ini addalah berkat jurnalsitik surat kabar yang tetap dapat memikat khalayak.

2. berita sebagai rekaman (news a record)

Berita yang tercetak dalam surat kabar merupakan bahan dokumentasi. Sering menjadi
catatan bersejarrah yang sangat berharga. Pernah New York Times, memperoleh
Pulitzer Prizes sebagai penghargaan atass pemuatan berita-berrita yang merupakan
bahan yang bersifat dokumenter.

3. Berita sebagai fakta obyektif (news as objective facts)

Sebuah berita harus faktual dan obyektif, tetapi nilai obyektifitas utnuk suatu fakta
merupakan hal yang membingungkan, karena tidaklah mungkin ada obyektifitas yang
mutlak. Bagi wartawan, berita obyektif ialah laporan mengenai suatu fakta yang
diamatinya tanpa pandangan berat sebelah/berpihak. Ini berarti laporan yang jujur.

4. Berita sebagai intepretasi (news as interpretation)

dalam situasi yang kompleks yang menyangkut bidang politik, ekonomi, atau ilmu
pengetahuan, suatu fakta perlu dijelskan agar pembaca mengerti. Mereka perlu diberri
penjelasan mengenai sebab-sebabnya, latar belakangnya, akibatnya, situasinya, dan
hubungannya dengan hal-hal lain. Ini adalah berita di balik berita (news behind the
news). Untuk menggali dan emnyajikannya diperlukan kepandaian dan kejujuran. Tetapi
bahayanya dalam interpretativee reporting seperti iti ialah timbulnya faktor prasangka
(prejudice) terhadap suatu soal atau seseorang.

5. Berita sebagai sensasi (news as sensation)


Disini terdapat unsur subyektif, yakni sesuatu yang mengejutkan (shocks) dan yang
menggetarkan atau emngharukan (thrills) bagi pembaca yang satu akan berlainan dengan
pembaca yang lain. hal -hal seperti itu terdapat dalam pemberitaan yang serius mengenai
kejadian-kejadian penting seperti bencana alam, perang, dan skandal sserta desas-
desus.

6. berita sebagai insani (newss as human interest)

Menarriknya berita bukan karrena pentingnya peristiwa yang dilaporkan, tetapi karrena
sifatnya menyentuh perasaan insani, menimbulkan perasaan iba, terharu, gembira,
prihatin, dll.

7. berita sebagai ramalan (news as prediction)

Wartaawan cenderung untuk menaruh perhatian ekpada massa depan daripada masa kini
dan massa lalu. Sebabnya ialah karena minat pembaca tterutama terletak pada masa
depan. Pada umumnya yang kita harapkan dari berita, di samping yang merupakan
informasi mengenai kejadian kini, juga ramalan yang massuk akal (intelligent forecast)
mengenai masa depan.

8. Berita sebagai gambaar (news as pictture)

Gambar-gambar yang disajikan dalam halaman surat kabar jumlahnya semakinbanyak.


Ilustrasi halaman surat kabar, selain sifatnya semata-mata hiburan seperti comic strips,
juga mengandung nilai berita (news value). Banyak kejadian yang dialporkan dalam bentuk
gambar yang sering kaali lebih efektif daripada kalau diterangkan dengan kata-kata.

Anda mungkin juga menyukai