NIM : 10210047
Fakutas Dakwah
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Tahun 1998 gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Keberhasilangerakan ini
melahirkan peraturan perundang-undangan sebagai pengganti peraturan perundang-undangan yang
menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, yaitu Undang-undang No. 40 Tahun1999 tentang Pers. Agar
penyelenggaraan pemerintah yang baik dapat tercapaimaka dibutuhkan peran pers yang bebas
berekspresi dan berinformasi merupakan wujud darikemerdekaan pers yang merupakan salah satu
wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsuryang sangat penting untuk menciptakankehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Secara konsititusional, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat (HAM) di Indonesia dijamin
dalam UUD 1945 setelah amandemen, yaitu Pasal 28 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat
dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang. Pasal 28 F yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pemaparan substansi UUD 1945 memberikan implikasi atas peran pers dalam konteks demokrasi. Pers
diartikan sebagai bagian (subsistem) dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi. Sistem
komunikasi dapat dilihat sebagai bagian atau sub sistem dari sistem yang lebih besar (yaitu sistem
masyarakat) yang dilayaninya. Suatu sistem komunikasi sebenarnya terkandung (inherent) dalam setiap
sistem masyarakat. Corak dari sistem komunikasi di dalam suatu masyarakat tidak dapat ditentukan oleh
corak, bentuk dan keragaman masyarakat itu sendiri. Pada umumnya orang melihat sistem pers itu
dikaitkan dengan bentuk sistem sosialnya, dan selalu dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang
ada atau bentuk negara dimana sistem pers itu berada. F. Rachmadi berpendapat:
Sistem pers memang tidak terlepas hubungannya dengan sistem sosial dan sistem politik dari suatu
masyarakat atau bangsa, karena hubungan pers itu adalah denganpemerintah dan masyarakat, di mana
hubungannya atau interaksinya itu tidak bisadihilangkan. Jadi sistem pers itu tidak akan terlepas dari
pengaruh pemikiran atau filsafatyang mendasari sistem masyarakat dan sistem pemerintahan, dimana
pers itu berada danberoperasi.
B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini di maksudkan untuk menganalisis kebebasan pers di
Indonesia pada masa Era Reformasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Manfaat dan tujuan makalah tentang etika kebebasan pers ini agar masyarakat
3.Agar dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang
kebebasan pers menurut undang-undang pers.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada runtuhnya rezim orde baru menghasilkan berbagi kelokan sejarah (ephipahy) politik yang cukup
dramatis. Hampir seluruh tatanan poltik mengalami perubahan yang cukup mendasar. UU politik,
kehidupan berdemokrasi, dan produk-produk hukum mengalami perubahan yang sulit
diramalkankeajegannya.[1]
Produk hukum pada era reformasi tentang pers ini dapat dikatakan sebagai sapujagatnya kemerdekaan
pers Indonesia, setelah sekitar dua puluh delapan tahun diderapembelengguan oleh rezim Orde Baru.
Dikatakan sebagai sapu jagat karena undang-undangini menghapus semua ketentuan represif yang
pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti:
a.Pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan
pers.
b.Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999 menghilangkan ketentuansensor dan pembredelan pers dan.
c.Pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999: melindungipraktisi pers dengan
mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp. 500 juta bagi yang menghambat
kemerdekaan pers. [2]
Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut di atas, UU Nomor 40 Tahun 1999 juga
memuat isi pokok sebagai berikut. Pertama, Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 kemerdekaan pers adalah
perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi
hukum dan kedua, Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999. Kemerdekaan pers adalah hak asasi warga
negara yang hakiki dan dalam rangkamenegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan
mencerdaskan bangsa.
Pada masa Reformasi pemerintah juga memberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Akibat
kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali
lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru. [3]
Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan
mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal
organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi
wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan euphoria
kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan
profesionalitas mereka.[4]
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, departemen penerangan yang dianggap mengekang
pers dibubarkan. Pemerintah tidak mempunyai ruang untuk mengekang pers. Pers yang tadinya diawasi
dengan ketat oleh pemerintah pada masa Reformasi ditiadakan. Yang ada hanya Dewan Pers yang
bertugas untuk mengawasi dan menetapkan pelaksanaan kode etik, juga sebagai mediator antara
masyarakat, Pers dan pemerintah apabila ada yang dirugikan.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang
demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara
kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan
utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini,
publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers
diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi
ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya kontrol
pemerintah, akan tetapi hambatan non politik berupa tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami
oleh pers Indonesia. Sampai dengan April 1999, terdapat sedikitnya 47 kasus intimidasi terhadap jurnalis
berupa intimidasi dan kekerasan fisik.
Pelaksanaan kebebasan pers pada Era Reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi
kendala.Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi,ditanggapi dengan banyaknya
diterbitkan suratkabar atau media,serta didirikannya partai-partai politik. Fenomenaeuphoria kebebasan
politikberdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers.Dalam realitasnya keberhasilan gerakan
Reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang,untuk tidak mengatakan
tiada sama sekali terhadap pers. Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah usai.Pada masa
reformasi pers sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok
media yang sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru.Untuk sementara pers Indonesia boleh
bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin.Fenomena ini
kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media,seperti Gramedia Grup,Sinar Kasih
Grup,Pos Kota Grup,Presindo Grup, dan Grafiti/Jawa Pos Grup.
BAB III
KESIIMPULAN
Kebebasan pers yang terjadi pada era reformasi adalah kebebasan struktural seiring dengan perobahan
sistem pemerintahan. Perobahan sistem pemerintahan itu, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh arus
globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini cenderung menganut paham Libertarian.
Dalam era Reformasi,melalui euphoria kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang
luas.Banyak media suratkabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas,sehingga
masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut.Namun dalam
praktiknya,kebebasan pers masih juga menemui hambatan juridis dan politis.Dengan demikian,praktik
kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak
menjerumuskan media itu dan tidak merugikan masyarakat luas. Tidak ada kebebasan pers yang tanpa
batas.
DATAR PUSTAKA
TERPOPULER
Risma Jadi Mensos, Strategi Politik "Singkirkan" Anies dan Taklukan DKI
Jennie Blackpink, Tzuyu Twice, dan 8 Idol Kpop Lain Dikalahkan Lesti Kejora
NILAI TERTINGGI
Makna "Menggebuk Islam" Versi Said Didu, Antara Kilah dan Keluh
Jennie Blackpink, Tzuyu Twice, dan 8 Idol Kpop Lain Dikalahkan Lesti Kejora
Risma Jadi Mensos, Strategi Politik "Singkirkan" Anies dan Taklukan DKI
FEATURE ARTICLE
Natal Hanyalah Perayaan Hura-hura, bila Tidak Ditandai dengan Hidup Berbagi
TERBARU
KKN Tematik UPI; Cara Mengatasi Stres Pada Anak Saat Belajar Di Rumah Dimasa Pandemi Covid-19
Konsep Bagi Hasil: Mudharabah Dan Musyarakah Dalam Perspektif Ekonomi Islam
HEADLINE