KELAS : 2MA20
NPM : 14819554
Sistem sosial Indonesia terdiri dari beberapa sub-sistem seperti ideologi, politik, ekonomi,
budaya, komunikasi, pertahanan keamanan. Sub-sistem satu dengan yang lainnya saling
memengaruhi, namun sub-sistem ideologi dan politik merupakan sub-sistem yang paling
memengaruhi.
Dua sub-sistem ini menjadi dasar sub-sistem lainnya, termasuk sub-sistem media massa.
Dengan demikian, sistem media massa mencerminkan falsafah dan sistem politik negara di
mana dia berfungsi.
Hubungan antara media massa dengan masyarakat adalah saling memengaruhi. Negara
membuat sebuah sistem media massa, lalu sistem ini akan memodifikasi masyarakat negara
tersebut. Karena setiap negara itu berbeda, maka setiap sistem media massa di negara itu pun
berbeda pula, sehingga pola interaksi antara negara dengan media massanya terus menerus
berubah.
Hal ini dapat dilihat dari dimensi sejarah perkembangan pers (media massa) dunia yang oleh
Siebert dan kawan-kawannya dalam buku Four Theories Of The Press (1963) dibagi menjadi
empat macam teori. Keempat macam teori atau konsep media massa tersebut dapat
menggambarkan keadaan masyarakat dan dasar pemikiran yang hidup pada masa itu.
Teori Otoriter merupakan teori yang paling tua sejalan dengan terbentuknya pemerintahan
negara yang bersifat otoriter yang lahir pada abad 16 dan 17 di Inggris, kemudian meluas dan
diterapkan ke seluruh dunia. Menurut teori ini, media massa mempunyai tujuan utama
mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa, dan untuk
mengabdi kepada negara.
Tidak semua orang dapat menggunakan media komunikasi kecuali mereka yang mendapat izin
dari kerajaan atau pemerintah. Hal yang tidak boleh dilakukan oleh media massa adalah
melakukan kritik terhadap mekanisme pemerintahan dan kritik terhadap pejabat yang sedang
berkuasa.
Teori ini muncul setelah adanya perubahan besar dalam pemikiran masyarakat barat yang
dikenal sebagai masa pencerahan (enlightenment). Asumsi dasar teori libertarian adalah bahwa
manusia pada hakikatnya dilahirkan sebagai mahluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau
akalnya.
Tujuan dan fungsi media massa menurut paham liberalisme adalah memberi penerangan,
menghibur, menjual, namun yang terutama adalah menemukan kebenaran dan mengawasi
pemerintah serta untuk mengecek (to check) atau mengontrol pemerintah.
Teori Tanggung Jawab Sosial (Sosial Responsibility Theory)
Teori ini berasal dari tulisan W.E Hocking, yang merupakan hasil rumusan Komisi Kebebasan
Pers yang diikuti oleh para praktisi jurnalistik tentang kode etik media, yang kemudian dikenal
sebagai Komisi Hutchins. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai
tanggung jawab kepada masyarakat.
Dalam teori tanggung jawab sosial, prinsip kebebasan pers masih dipertahankan, tapi harus
disertai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan tugas
pokoknya. Hal yang paling esensial dalam teori ini adalah media harus memenuhi kewajiban
sosial. Jika tidak, masyarakat akan membuat media tersebut mematuhinya.
Tujuan utama teori ini adalah membantu suksesnya dan berlangsungnya sistem sosialis Soviet,
khususnya keberlangsungan diktator partai. Dalam hal ini, media massa merupakan alat
pemerintah (partai) dan merupakan bagian integral dari negara. Media massa dilarang
melakukan kritik terhadap tujuan dan kebijakan partai. Karena media massa sepenuhnya
menjadi milik pemerintah, maka yang berhak menggunakannya anggota partai yang setia dan
ortodoks.
Setelah mengetahui empat teori pers yang ada di dunia, lantas kita tentu bertanya. Termasuk
dalam kategori manakah teori pers yang dianut di Indonesia? Sistem pers Indonesia tidak dapat
dikategorikan pada salah satu teori pers yang dikemukakan Siebert dan kawan-kawanya.
Meskipun mendekati teori tanggung jawab sosial, tetapi sistem pers Indonesia tidak identik
dengan teori tanggung jawab sosial.
Sistem pers Indonesia memiliki kekhasan karena ideologi dan falsafah negara Indonesia yakni
Pancasila dan budaya masyarakat Indonesia yang khas pula. Selanjutnya sistem pers
Indonesia disebut sebagai Pers Pancasila, sebagaimana yang selalu dikatakan oleh Menteri
Penerangan RI pada saat itu beserta jajarannya, yang juga disepakati oleh insan pers
Indonesia.
Media massa Indonesia sebagai suatu sistem, terkait dengan aspek-aspek lainnya yang
tertuang dalam Keputusan Dewan Pers No. 79/XIV/1974 yang intinya mengemukakan bahwa
kebebasan pers (media massa) Indonesia berlandaskan pada hal-hal:
Idiil: Pancasila
Yuridis: Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982. (Masa mendatang ditambah
dengan Undang-Undang Penyiaran yang sedang dalam proses “pembuatan”.
Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang berdasarkan pada
nilai-nilai Pancasila. Misalnya setiap pemberitaan atau jenis pesan komunikasi lainnya tidak
boleh menyinggung “SARA” (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang pada akhirnya akan
menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal lainnya yang tidak boleh dilakukan adalah menghina Kepala Negara dan menghina aparatur
pemerintah yang sedang bertugas. Apabila media massa melakukan pelanggaran, maka
pemimpin redaksi tersebut akan dapat diajukan ke pengadilan.
Disamping sebagai sarana untuk memberi informasi, memberi pendidikan dan hiburan, pers
Indonesia juga memunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif
(UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1982 Pasal 3). Pers setelah reformasi mengacu kepada
Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.