Kelompok 6 Nama anggota: 1. Trio Muhammad Sholeh (22410231) 2. Wisnu Adhi Wibowo (22410235) 3. Ayong Julayansyah (19410177)
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA 2023 a. Pendahuluan Media massa mempunyai tugas dan kewajiban menjadi sarana dan prasarana komunikasi untuk mengakomodasi segala jenis isi dunia dan peristiwa-peristiwa di dunia ini melalui pemberitaan atau publikasinya dalam aneka wujud (berita, artikel, laporan penelitian, dan lain sebagainya), dari yang kurang menarik sampai yang sangat menarik, dari yang tidak menyenangkan sampai yang sangat menyenangkan, tanpa ada batasan kurun waktu. Media massa adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan berdemokrasi untuk menghubungkan masyarakat dengan pemimpin yang mereka pilih melalui pemilu atau pilkada. Karena itu sangatlah penting bagi sebuah pemerintahan untuk memiliki hubungan yang baik dengan media massa agar dapat menyampaikan informasi mengenai kegiatan pemerintahan dengan baik dan benar. Pers diharapkan dalam menyampaikan informasinya dapat menjadi sahabat bagi masyarakat melalui pemberitaan yang konstruktif, akurat, dan berimbang dan tidak megandung fitnah serta mematuhi kode etik jurnalis wartawan Indonesia. Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, yang dimaksud dengan pers ialah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia2. Media pers haruslah berbadan hukum, mencantumkan penanggungjawab dan alamat yang jelas, kemudian terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM juga harus memenuhi syarat perusahaan pers, dan terdaftar di Dewan Pers. b. Teori pers tanggungjawab sosial Pers merupakan lembaga sosial serta wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik mencari mendapatkan, memiliki, menyimpan, mengolah serta menyampaikan informasi. Sekarang ini di dunia terdapat beberapa sistem peers, ada sistem pers yang lebih menonjolkan kebebasan pers, ada juga yang tidak memberikan sama sekali. Setiap negara mempunyai sistem pers yang berbeda-beda, sistem pers yang digunakan juga tergangung pada ideologi yang dianut negara tersebut. Macam-macam sistem pers yang ada di Indonesia saat ini yaitu Otoritarian, Liberartarian, Tanggung Jawab Sosial, Soviet komunis. Teori pers tanggungjawab sosial adalah tanggung jawab media atau pers yang berupaya menunjukan pada suatu konsep tentang kewajiban media untuk mengabdi terhadap kepentingan masyarakat. Teori ini berkembang akibat kesadaran pada abad ke-20, dengan berbagai macam perkembangan media massa (khususnya media massa elektronik), menuntut kepada media massa untuk memiliki suatu tanggung jawab sosial yang baru. Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori tanggung jawab sosial mempunyai asumsi utama: bahwa kebebasan pers mutlak, banyak mendorong terjadinya dekadensi moral. Oleh karan itu, teori ini memandang perlu adanya pers dan sistem jurnalistik yang menggunakan dasar moral dan etika. Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression), sampai sekarang pers tetap dianggap sebagai fourth estate. c. Contoh Biasanya teori tanggung jawab sosial diterapkan di negara- negara yang menganut sistem demokrasi salah satunya adalah negara Indonesia. Teori tanggung jawab sosial menganggap bahwa di dalam kebebasan mengandung yang namanya suatu tanggung jawab yang sama. Selain memiliki kelebihan, teori ini juga memiliki kelemahan yang salah satunya yaitu penyalahgunaan tanggung jawab untuk sebuah kepentingan, yang di mana pemerintah kemudian bisa menggunakan lembaga atau organisasi yang megontrol sistem penyiaran sebagai alat untuk mencapai kepentingannya (AL-Ahmed,1987:9-20). Menurut Bittner (1989), dalam kebebasan pers yang dimiliki dalam teori ini memberikan peluang kepada pers untuk mengkritik pemerintah beserta institusinya, selain itu memiliki tanggung jawab dasar menjaga stabilitas dalam masyarakat. Bentuk dari tanggung jawab sosial pers yaitu melayani masyarakat, pemberitaan yang bertanggung jawab sosial sebagai bentuk kewajiban pemberitaan itu sendiri pada masyarakat. Kasus-kasus yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong atau hoax yang dilakukan oleh pers di Indonesia, dalam praktik penyelesaiannya masih terbilang tumpang tindih pada dua jalur. Pertama, diselesaikan di Dewan Pers, yakni sebuah lembaga independen yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Kedua, dibawa ke jalur hukum dengan delik pidana seperti pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainnya. Dewan Pers memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik hal itu dipertegas pada salah satu fungsi dewan pers yang tertuang pada UU Nomor 40 tahun 1999 pada pasal 15 ayat (2) huruf d yang menyatakan: “Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”6. Dewan Pers dilibatkan dalam koridor bahwa media yang jadi subyek perkara adalah media resmi. Artinya, media tersebut berbadan hukum, nama, alamat, dan penanggungjawabnya tercantum jelas. Bila standar itu tidak ada, sebagian besar kasus itu dilimpahkan menjadi urusan kepolisian. Dewan Pers biasanya diminta untuk memberi saran atau rekomendasi. Dari fungsi yang dirumuskan di atas, secara empiris Dewan Pers telah menjadi mediator dalam sengketa antara pers sebagai pemberita, dengan pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers. Meski sudah jelas jaminan hukumnya, tapi secara faktual di lapangan tidaklah demikian. Polisi, Jaksa dan Hakim masih menggunakan KUHP warisan kolonial dalam memeriksa, menuntut hingga mengadili terdakwa, dengan mengabaikan pendapat kalangan pers bahwa undang-undang pers adalah lex specialis (lex specialis derogate lex generali, hukum khusus menghapuskan hukum umum). Wartawan selalu menjadi tumbal atas pernyataan maupun data yang dia siarkan. Padahal sudah ada mekanisme hak jawab, hak koreksi dan pengadilan internal (Dewan Pers) yang dapat digunakan jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan. Adapun beberapa ciri-ciri dari teori pers tanggung jawab sosial yang menjadi prinsip utama (McQuail, 2010: 171-172), yaitu: 1. Media mau menerim dan memenuhi kewajiban dalam masyarakat. 2. Kewajiban dipenuhi dengan standar yang tinggi atau profesionalitas tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan juga keseimbangan. 3. Media sudah harus mandiri dalam hal mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum serta lembaga yang ada. 4. Media sebaiknya menghindari segala hal yang dapat menimbulkan kejahatan, kerusakan, atau ketidak tertiban umum atau penghinaan terhadap kaum minoritas etnik maupun juga agama. 5. Media hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebinekaan , dengan memberikan kesempatam untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab. 6. Masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan profesionalitas mengutamakan kepentingan bersama. Tugas Teori Pers Tanggung Jawab Sosial Terdapat beberapa tugas teori pers tanggung jawab sosial. Berikut ini adalah beberapa tugas dari teori pers tanggung jawab sosial tersebut. Memberikan penerapan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri. Memberikan pelayanan sistem ekonomi dengan mempertemukan antara pembeli dengan penjual barang/ jasa dalam periklanan. Memberi pelayanan kepada sistem politik dengan cara menyediakan informasi, diskusi serta perdebatan pada masalah-masalah yang ada pada masyarakat. Mandiri dalam biaya, sehingga membuat bebas dalam berkepentingan. Menyediakan hiburan. Sebagai pengawas pemerintah. d. Hukum Setiap lembaga penyiaran di Indonesia memiliki tanggung jawab sosial yang sama. Asas, Tujuan, Fungsi, dan Arah lembaga penyiaran di Indonesia tertuang dalam UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Pasal 2 UU tersebut menyatakan, “Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.” Kemudian, di Pasal 3 menegaskan, “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia”. Adapun Pasal 4 ayat (1) UU tersebut berbunyi, “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.” Stasiun televisi yang ditetapkan sebagai lembaga penyiaran publik jelas diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UU Penyiaran, di dalam UU tersebut jugamenetapkan bahwa LPP terdiri atas TVRI dan RRI. KESIMPULAN Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan karya kreatif terbaik dari manusia. Media massa yang, yang tergantung kepada audien yang besar demi kelangsungan hidup ekonominya, sulit untuk menjangkau spektrum yang dikehendaki. Kebebasan pers secara subtansif tidak saja dijadikan indikator atau cermin tingkat kebebasan yang dimilki masyarakat yang bersangkutan, namun ia juga merupakan cermin tingkat kematangan dan kedewasaan politik yang telah mereka perjuangkan. Pemerintah dibentuk sebagai produk demokrasi untuk membuat sejahtera rakyatnya yang dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan karena itu harus dikontrol produk demokrasi lain, yakni parlemen. Namun, keduanya bisa saja tidak harmonis dan dapat merugikan rakyat, karena itu keduanya harus dikontrol oleh alat demokrasi lain yang bernama pers. Pemerintah dibentuk sebagai produk demokrasi untuk membuat sejahtera rakyatnya yang dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan karena itu harus dikontrol produk demokrasi lain, yakni parlemen. Namun, keduanya bisa saja tidak harmonis dan dapat merugikan rakyat, karena itu keduanya harus dikontrol oleh alat demokrasi lain yang bernama pers. Pelopor Commission on Freedom of Fress yang tujuan utama memberi informasi, menghibur, menjual (komersil) namun terutama untuk membangkitkan konflik yang membentuk diskusi. Yang berhak menggunakan media adalah setiap orang yang memiliki sesuatu yang ingin dikatakan. Lalu bagaimana media dikontrol juga dengan opini publik, aksi konsumen, etika profesi kepemilikan swasta, kecuali jika pemerintah mengambil alih untuk memastikan pelayanan publik. Perbedaan mendasar dari teori-teori lain adalah media harus mengambil kewajiban dari tanggung jawab sosial, dan jika mereka lalai, harus ada yang memastikan mereka melaksanakannya. Jika teori libertarian dilahirkan dari konsep kemerdekaan negatif, yang didefinisikan sebagai kemerdekaan dari/kebebasan dari pengekangan eksternal. Sedangkan teori tanggung jawab sosial berpijak pada konsep kebebasan positif, yaitu kebebasan untuk menghendaki menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan. DAFTAR PUSTAKA AL-Ahmed, M. (1987).The six Normative Theories and the role of Social, Political and Economicforces in shaping Media Institutions and Content: Saudi Arabia-a Case Skristudy. Hutagalung, I. (2013). Dinamika sistem pers di Indonesia. Jurnal Interaksi, Vol II No.2. Diakses di https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ interaksi/article/view/6588. Venezia Indra Ghassani, Praptining Sukowati. 2016. Bentuk Hubungan Pers Dengan Pemerintah Terkait Dengan Fungsi Media Sebagai Kontrol Sosial. PUBLISIA (Jurnal Ilmu Administrasi Publik). Vol 1 No. 2. Hh 165-180. Madrid De Fretes, Retor A.W. Kaligis. 2018. Implementasi Teori Pers Tanggung Jawab Sosial Dalam Pemberitaan Tvri Pusat. Jurnal Implementasi Teori Pers Tanggung Jawab Sosial dalam Pemberitaan TVRI Pusat. Vol. 9 No. 1. Hh 26-34.