Kebebasan pers adalah kebebasan mengemukakan pendapat,baik secara tulisan maupun lisan
melalui media pers seperti harian,majalah dan bulletin. Kebebasan pers dituntut tanggung
jawabnya untuk menegakkan keadilan,ketertiban dan keamanan dalam masyarakat bukan untuk
merusaknya. Selanjutnya komisi kemerdekaan pers menggariskan lima hal yang menjadi
tuntutan masyarakat modern terhadap pers yang merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pers
yaitu :
1. Pers dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadian sehari-hari secara jujur,mendalam dan
cerdas.
2. Pers dituntut untuk menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik,yang berarti pers
diminta untuk menjadi wadah dikalangan masyarakat.
3. Pers hendaknya menonjolkan sebuah gambaran yang representative dari kelompok-kelompok
dalam masyarakat.
4. Pers hendaknya bertanggung jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam
masyarakat.
5. Pers hendaknya menyajikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh berita sehari-
hari,ini berkaitan dengan kebebasan informasi yang diminta masyarakat.
Setelah rezim Orde Baru 1998 jatuh, kehidupan pers di Indonesia memasuki era kebebasan
yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan). Bila di era Orba terjadi banyak restriksi, di era
reformasi ini pers menjadi bebas tanpa lagi ada batasan-batasan dari kebijakan pemerintah.
Konstelasi tersebut, tentu sangat dibutuhkan pers dan dalam upaya perwujudan
masyarakat demokratis serta perlindungan HAM. Bukankah kebebasan untuk memperoleh dan
menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) diakui dalam konstitusi kita (pasal 28
yunto pasal 28F UUD 45 amandemen keempat) serta pasal 19 Deklarasi Universal HAM?
Karena itu, pers yang bebas sangat penting dan fundamental bagi kehidupan demokratis.
Sekalipun bisa diakui, bahwa pers yang bebas bisa baik dan buruk. Tapi, tanpa kebebasan pers,
sebagaimana yang dikatakan novelis Prancis, Albert Camus, yang ada hanya celaka.
Kemudian, dimanakah keburukan pers bebas? Pers bebas menjadi buruk. Menurut Jacob
Oetama, bila kebebasan pers yang dimiliki pengelola pers itu tidak disertai peningkatan
kemampuan profesional, termasuk di dalamnya professional ethics (Jacob Oetama, 2001).
Apakah kemampuan profesional pengelola pers sekarang sudah meningkat? Persoalan tersebut
mungkin bisa diperdebatkan. Namun, apakah etika profesional pengelola pers tersebut sudah
meningkat? Rasanya, pertanyaan itu mudah dijawab, yakni secara umum malah merosot.
Kalangan tokoh pers sendiri mengakui hal tersebut.
Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan Pers menjelaskan, bahwa kebebasan
pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi,
juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis. Kebebasan pers telah menghadirkan secara
telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan
menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi. Tabloid-
tabloid yang sangat sarat berita dan foto pornografi sangat marak. Judul-judulnya pun
sensasional, menakutkan dan bahkan menggemparkan (scare headline).
Mekanisme untuk menghentikan kebebasan pers yang kebablasan tersebut secara formal
hanya bisa dilakukan melalui dua cara. Yakni, melalui pengadilan dan penegakkan etika profesi
oleh dewan pers atau atas kesadaran pengelola pers untuk menjaga kehormatan profesinya
(Lengkapnya baca : “Pasal Pornografi Dalam Pers”). Guna memaksa, cara kedua ini mungkin
lemah dan kekuatannya hanya merupakan moral prefosi. Sejarah membuktikan, mengharapkan
Dewan Pers berdaya menegakkan etika profesi wartawan adalah sesuatu yang otopis. Sedangkan
cara pertama, penegakkan hukum di pengadilan itu lebih efektif karena bersifat memaksa dan
ada institusi negara untuk memaksakannya.
Dalam konteks tersebut, tindakan polisi sebagai ujung tombak sistem peradilan pidana
menjadi tumpuan. Kalau polisi pasif saja dan menunggu laporan, apalagi kalau malah ikut
menikmati, tentu pers porno akan kondusif berkembang. Selama penegak hukum kita gampang
“dikompromi,” maka tidak terlalu salah pendapat yang mengatakan, polisi kita sudah tak berdaya
alias loyo didalam memberantas pornografi.
Hal terpenting yang harus diperhatikan berkaitan antara pers,masyarakat dan pemerintah
adalah sebagai berikut :
Media massa dalam penyampaian beritanya untuk kehidupan masyarakat memiliki manfaat
yang cukup besar. Mereka menggunakan alat atau media seperti Koran,radio,televisi,seni
pertunjukan dan lain sebagainya.peralatan tersebut dapat digunakan untuk menyampaikan
pesan,namun jika fungsi penyampaian informasi/berita disalahgunakan hal ini dapat berdampak
sebagai berikut antara lain : Fungsi media massa sebagai alat pendidikan masyarakat tidak lagi
menjadi cara yang kuat,penayangan adegan yang tidak layak dimedia-media elektronik begitulah
wajah kebebasan pers Indonesia saat ini.Disatu sisi menanamkan tanggung jawab sosial,namun
disisi lain keberadaanya dikhawatirkan menghancurkan moral bangsa ini.Inilah efeknya pers
yang dihasilkan wajah pers Indonesia dengan karakter yang beragam seperti sekarang.