Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah pers tidak asing terdengar di telinga kita semua, berbicara tentang pers berarti akan
menyangkut aktivitas jurnalistik. Terkadang istilah pers, jurnalistik, dan komunikasi massa
menjadi tercampur baur dan saling tertukar pengertiannya. Apabila pers merupakan salah satu
bentuk komunikasi massa, maka jurnalistik merupakan kegiatan untuk mengisinya. Beberapa
ahli politik berpendapat bahwa pers merupakan kekuatan keempat dalam sebuah negarasetelah
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pendapat tersebut sekiranya tidak berlebihan karena
kenyataannya pers dapat menciptakan/membentuk opini masyarakat luas, sehingga mampu
menggerakkan kekuatan yang sangat besar.

Dalam era demokratisasi ini, pers telah merasakan kebebasan sehingga peranan dan fungsi
pers dapat dirasakan dan dinikmati masyarakat. Pada masa reformasi ini, kebebasan pers telah
dibuka lebar-lebar. Pers mendapatkan kebebasan untuk melakukan kritik social terhadap
pemerintah. Pers bebas untuk bergerak dalam melakukan pemberitaan. Meskipun bebas, tetapi
pers tetap bertanggung jawab dalam pemberitaannya. Pemerintah pun tetap melakukan control
terhadap kebebasan pers dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian pers?
2. Menjelaskan teori-teori pers?
3. Menjelaskan fungsi pers?
4. Menjelaskan peran pers?
5. Menjelaskan perkembangan pers di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian pers?
2. Mengetahui teori-teori tentang pers?
3. Mengetahui fungsi pers?
4. Mengetahui peran pers?
5. Mengetahui perkembangan pers di Indonesia?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pers

1. Pengertian pers secara umum

Kata pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti perss. Secara
harfiah pers berarti cetak dan secara ilmiah berarti penyiaran yang dilakukan secara tercetak.
Dalam KBBI, kata “pers” berarti: a) alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar; b) alat
untuk menjepit, memadatkan; c) surat kabar dan majalah yang berisi berita: berita seperti
yang ditulis oleh …. ; d) orang yang bekerja di bidang persuratkabaran.

Menurut Ensiklopedi Indonesia, istilah pers merupakan nama seluruh penerbitan berkala:
Koran, majalah, dan kantor berita. Dan menurut Ensiklopedi Pers Indonesia, istilah pers
merupakan sebutan bagi penerbit/perusahaan/kalangan yang berkaitan dengan media massa
atau wartawan. Sebutan ini bermula dari cara bekerjanya media cetak yang awalnya
menekankan huruf-huruf di atas kertas yang akan dicetak. Dengan demikian, segala barang
yang dikerjakan dengan mesin cetak disebut pers.

Istilah “pers” pada umumnya mengandung arti penerbitan yang berkaitan dengan media
massa atau wartawan. Dapat juga merupakan lembaga social dan wahana komunikasi massa
yang melaksanakan kegiatan jurnalistik baik cetak maupun elektronik.

2. Pengertian pers menurut para ahli

 Professor Oemar Seno Adji, pers dalam arti sempit berarti penyiaran-penyiaran
pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti
luas memasukkan di dalmnya semua media mass communications yang memancarkan
pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa pers dalam arti sempit merupakan
manifestasi dari “freedom of the press”, sedangkan pers dalam arti luas merupakan
manifestasi dari “freedom of speech”, dan keduanya tercakup oleh pengertian
“freedom of expression”.
 L. Taufik, dalam bukunya “Sejarah dan Perkembangan pers di Indonesia”,
menyatakan bahwa pengertian pers terbagi atas dua, yaitu pers dalam arti sempit dan
pers dalam arti luas.

2
- Pers dalam arti sempit diartikan sebagai surat kabar, koran, majalah tabloid, dan
buletin-buletin kantor berita. Jadi, pers terbatas pada media cetak.
- Pers dalam arti luas mencakup semua media massa, termasuk radio, televisi, film,
dan internet.
 Weiner, seorang ahli jurnalistik, pers memiliki tiga arti. Pertama, wartawan media
cetak. Kedua, publisitas atau peliputan. Ketiga, mesin cetak-naik cetak

B. Teori-teori tentang Pers

1. Teori pers otoritarian

Teori otoritan menganggap negara sebagai ekspresi tertinggi dari organisasi kelompok
manusia, mengungguli masyarakat dan individu. Negara dianggap sesuatu yang terpenting
dalam membangun dan mengembangkan manusia seutuhnya. Tanpa negara, manusia tidak
dapat mencapai tujuan hidupnya dan akan tetap menjadi manusia primitive. Dengan
demikian, pers merupakan alat penguasa untuk menyampaikan keinginannya kepada rakyat.
Andai pun ada kebebasan pers, kebebasannya itu pun tidak harus menyalahkan atau
mengkritik penguasa.

Menurut pendapat Mc. Quail, di dalam teori pers otoritan disebutkan prinsip-prinsip
dasar pelaksanaan sebagai berikut:

 Media selamanya (akhirnya) harus tunduk kepada penguasa yang ada.


 Penyensoran dapat dibenarkan
 Kecaman terhadap penguasa atau terhadap penyimpangan dari kebijakan resmi tidak
dapat diterima.
 Wartawan tidak mempunyai kebebasan di dalam organisasinya.

2. Teori pers libertarian

Menurut teori libertarian, pers merupakan sarana penyalur hati nurani rakyat untuk
mengawasi dan menentukan sikap terhadap kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, pers
bukanlah alat kekuasaan pemerintah, sehingga ia harus bebas dari pengaruh dan pengawasan
pemerintah. Dengan demikian, teori ini memandang sensor sebagai inkonstitusional terhadap
kemerdekaan pers. Menurut Krisna Harahap, pers libertarian mempunyai tugas sebagai
berikut :

3
 Melayani kebutuhan kehidupan ekonomi (iklan).
 Melayani kebutuhan kehidupan politik.
 Mencari keuntungan (demi kelangsungan hidupnya).
 Menjaga hak warga negara.
 Memberi hiburan

3. Teori tanggung jawab social

Teori ini mengemukakan dasar pemikiran bahwa kebebasan pers harus disertai dengan
tanggung jawab kepada masyarakat. Menurut teori tanggung jawab social, kebebasan pers itu
perlu dibatasi oleh dasar moral, etika, dan hati nurani insan pers. Prinsip dasar pandangannya
adalah bahwa kemerdekaan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, antara lain
untuk bertanggung jawab kepada masyarakat.

Mengenai kebebasan pers, Komisi Kemerdekaan Pers menyatakan bahwa kemerdekaan


pers itu harus diberi arti:

 Bahwa kebebasan tersebut tidaklah berarti bebas untuk melanggar kepentingan


kepentingan individu yang lain.
 Bahwa kebebasan harus memperhatikan segi-segi keamanan negara.
 Bahwa pelanggaran terhadap kemerdekaan pers membawa konsekuensi/tanggung
jawab terhadap ukuran yang berlaku

4. Teori pers komunis

Teori ini beranjak dari ajaran Karl Marx, yaitu Marxisme/Komunisme. Menurut teori
pers komunis , pers merupakan alat pemerintah (partai yg berkuasa) dan bagian integral dari
negara sehingga pers harus tunduk kepada pemerintah. Pers komunis berfungsi sebagai alat
untuk melakukan ”indoktrinisasi massa”.Ciri-ciri pers ini adalah :
1. Media berada dibawah pengendalian kelas pekerja,karenanya ia
melayani kepentingan kelas tersebut.
2. Media tidak dimiliki secaraa pribadi.
3. Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah
atau menghukum setelah terjadinya peritiwa publikasi antimasyarakat.

4
C. Fungsi Pers

Pers sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyebaran
penyebaran informasi mempunyai misi sebagai berikut :
 Ikut mencerdaskan masyarakat,
 Menegakkan keadilan,
 Memberantas kebatilan.
Dalam tulisan Kusman Hidayat yg berjudul ”Dasar- dasar Jurnalistik / pers” bahwa pers
mempunyai empat fungsi yaitu :
 Fungsi pendidik, yaitu karya-karya cetaknya dengan segala isi, baik langsung ataupun
tidak langsung dengan sifat keterbukaannya, membantu masyarakat meningkatkan
budayanya. Segala peristiwa yang dimuat pers menolong masyarakat untuk menilai
sendiri ihwal yang dijadikan teladan bagi kehidupannya. Rubrik-rubrik khusus, seperti
ruang kebudayaan atau ruang ilmu pengetahuan dapat menambah pengetahuan
masyarakat.
 Fungsi penghubung, dengan ciri universalitasnya, pers merupakan sarana lalu-lintas
hubungan antarmanusia. Melalui pers, lembaga-lembaga kemasyarakatan berusaha untuk
menumbuhkan kontak antarmanusia sehingga tercipta saling pengertian dan saling tukar
pandangan bagi perkembangan dan kemajuan hidup manusia.
 Fungsi pembentuk pendapat umum, rubrik-rubrik dan kolom-kolm tertentu seperti
tajuk rencana, pikiran pembaca, pojok, dan lain-lain merupakan ruang untuk memberikan
pandangan atau pikiran kepada khalayak pembaca.
 Fungsi kontrol, dengan fungsi ini pers berusaha melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap masyarakat tentang tingkah laku yang benar atau tingkah laku yang tidak
dikehendaki oleh khalayak.

D. Peran Pers

Di dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa pers nasional melaksanakan
peran sebagai berikut:
 Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Hal ini dilakukan melaluitransfer
informasi dalm bebagai bidang (ekonomi, poltik, sosial dan budaya).
 Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan
hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
 Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
 Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum.
 Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

5
Sedangkan menurut Jacob Oetama, dalam konteks masyarakat Indonesia pers mempunyai
peranan khusus sebagai berikut:
 Tugas untuk memperkuat dan mengkreatifkan konsensus-konsensus dasar nasional.
 Pers perlu mengenali masalah-masalah social yang peka dalam masyarakatnya. Hal ini
perlu agar diusahakan pemecahannya bersama pemerintah dan masyarakat secara
bijaksana dengan tetap berorientasi maju.
 Pers perlu menggerakkan prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri,
dan menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki
perikehidupannya.
 Pers menyebarluaskan dan memperkuat rasa mampu masyarakat untuk mengubah
nasibnya sendiri.
 Kekurangan, kegagalan, serta korupsi dilaporkan bukan untuk merusak dan
membangunkan rasa pesimis, tetapi untuk koreksi dan membangkitkan kegairahan dan
selalu melangkah maju.

E. Perkembangan Pers di Indonesia

1. Pers zaman penjajahan Belanda (1744 sampai awal abad 19)

Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen
yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat kabar pertama di
Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel. Lalu Belanda mengetahui dengan
baik pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, mereka
memandang perlu membuat undang-undang khusus untuk membendung pengaruh pers
Indonesia karena merupakan momok yang harus diperangi.

Saruhum dalam tulisannya yang berjudul “Perjuangan Surat Kabar Indonesia” yang
dimuat dalam sekilas “Perjuangan Surat Kabar”, menyatakan: “Maka untuk membatasi
pengaruh momok ini, pemerintah Hindia Belanda memandang tidak cukup mengancamnya
saja dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah ternyata KUHP itu saja tidak
mempan, maka diadakanlah pula artikel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter.
161 bis dan ter. Dan artikel154 KUHP . Hal ini pun belum dianggap cukup, sehingga
diadakan pula Presbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah penjajah
Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar/majalah Indonesia yang dianggap
berbahaya”.

Tindakan lain di samping Presbreidel Ordonantie adalah Haatzai Artikelen, karena pasal-
pasalnya mengancam hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan,
kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda (pasal 154

6
dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (pasal
156 dan 157). Akibatnya, banyak korban berjatuhan salah satunya S.K. Trimutri.

Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam
bahasa Belanda, 27 surat kabar berbahasa Indonesia,satu surat kabar berbahasa Jawa yaitu
surat kabar Bromartani di Surakarta(1855) dan surat kabar berbahasa Melayu yaitu Soerat
Kabar Bahasa Meajoe diSurabaya (1856) dan di Jakarta (1858).

2. Pers di masa pergerakan (1908-1942)

Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada pada detik-detik terakhir
penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers pada masa
pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia melawan
penjajahan.

Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang
dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itumerupakan
“terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Pers menjadi pendorong bangsa
Indonesia dalam perjuanganmemperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Contoh harian yang
terbit padamasa pergerakan, antara lain:

 Harian “Sedio Tomo” sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta
didirikan bulan Juni 1920.
 Harian “Darmo Kondo” terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
 Harian Utusan Hindia” terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
 Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim
 Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir.Soekarno.
 Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir.Soekarno.
 Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.

Karena sifat dan isi pers pergerakan antipenjajahan, pers mendapat tekanan dari
pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah
dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk memberantas dan menutup usaha
penerbitan pers pergerakan. Pada masa pergerakan itu berdirilah Kantor Berita Nasional
Antara pada tanggal 13 Desember 1937.

3. Pers di masa penjajahan Jepang (1942-1945)

7
Dalam era ini juga pers Indonesia belajar tentang kemapuan mediamassa sebagi alat
mobilisasi massa untuk tujuan tertentu. Pada era ini persIndonesia mengalami kemajuan
dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.

Dalam masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru
diterbitkan meskipun dikontrol ketat oleh Jepang. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa
Shibun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang
ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.

Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan
bersifat pro-Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain:

1. Asia Raya di Jakarta


2. Sinar Baru di Semarang
3. Suara Asia di Surabaya
4. Tjahaya di Bandung

Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan


pengekangan kebebasan yang lebih daripada zaman Belanda. Namun, ada beberapa
keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insane pers di Indonesia yang bekerja pada
penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut:

a. Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan
alat-alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers zaman Belanda. Para
karyawan pers mendapat pengalan banyak dalam menggunakan berbagai fasilitas
tersebut.
b. Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas. Penjajah
Jepang berusaha menghapuskan bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan
bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantu
perkembangan bahasa Indonesia yang nantinya juga menjadi bahasa nasional.
c. Adanya pengajaran untuk rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan
oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang
dialami masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan
semangat untuk melawan penjajahan.

4. Pers di masa revolusi fisik (1945-1949)

Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah

8
perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan,
yaitu:

 Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belandayang
dinamakan Pers Nica (Belanda).
 Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik.

Kedua golongan pers ini sangat berlawanan. Pers Republik yangdisuarakan kaum
Republik berisi semangat mempertahankan kemerdekaandan menentang usaha pendudukan
sekutu. Pers Nica berusahamempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda. Contoh
koranRepublik yang muncul antara lain: harian Merdeka, Sumber, Pemandangan,Kedaulatan
Rakyat, Nasional, dan Pedoman. Pers Nica antara lain: WartaIndonesia di Jakarta, Persatuan
di Bandung, Suluh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan Mustika di Medan.
Pada masa ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat.

Pemerintah kemudian memperlihatkan itikad baik terhadap pers dan berusaha


membantunya dengan mengimpor dan mensubsidi kertas koran dan dengan memberikan
pinjaman uang . Pada awalnya semuanya berjalan lancar, pers telah meyampaikan saran-
saran yang amat diperlukan oleh pemerintah, akan tetapi kritik-kritik pers yang pedas dan
menjengkelkan menjadi beban pemerintahyang terlampau berat, sehingga pemerintah mulai
memukul balik pers. Konflik keduanya berkembang menjadi pertentangan permanen dan
pers dipaksa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah.

Untuk menangani masalah-masalah pers,pemerintah membentuk Dewan Pers pada


tanggal 17 Maret 1950. Dewan pers tersebut terdiri dari orang-orang persuratkabaran,
cendikiawan, dan pejabat-pejabat pemerintah, dengan tugas:

 Penggantian undang-undang pers colonial


 Pemberian dasar social ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya
fasilitas-fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah)
 Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia
 Pengaturan yang memadai tentang kedudukan social dan hukum bagi wartawan
Indonesia (tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukukm, etika jurnalistik, dll).

Namun akibat kekuasaan pemerintahan yang tidak berlawan, organisasi-organisasi pers


tidak berkutik. Tidak tampak bukti bahwa lembaga-lembaga ini berhasil membelokkan
jalannya kegiatan-kegiatan antipers secara berarti.

5. Pers di era demokrasi liberal (1949-1959)

9
Diera demokrasi liberal , landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS 1949) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Dalam
konstitusi RIS (yang isinya banyak diambil dari Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia
sedunia) pada pasal 19 disebutkan ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini kemudian dicantumkan kembali dalam Undang-
Undang Dasar Sementara (1950).

Awal pemberantasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan para
wartawan terhadap pers Belanda dan Cina. Pemerintah mulai mencari cara mengatasi
penerbitan itu karena negara tidak akan membiarkan ideology “asing” merongrong Undang-
Undang Dasar. Pada akhirnya pemerintah melakukan pembreidelan pers dengan tindakan-
tindakannya yang tidak terbatas pada pers asing saja.

Kemudian dilakukanlah pembatasan terhadap kebebasan pers, dengan disahkannya


Undang-Undang yang mengharuskan para penerbit Belanda membayar tiga kali lipat untuk
kertas koran ketimbang pers Indonesia.

Pers di zaman liberal sesuai dengan struktur politik yang berlaku pada waktu itu, lebih
banyak menimbulkan akibat negatif daripada positif. Selama periode tahun 1952-1959
menurut catatan Edward C.Smith,terjadi tindakan antipers sebanyak 374 kali, dan yang
terbanyak selama tahun1957, yaitu mencapai angka 125 kali.

6. Pers di zaman orde lama atau pers terpimpin (1956-1966)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD
1945, tindakan tekanan terhadap pers terus berlangsung, yaitu pembreidelan terhadap Kantor
berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan
oleh penguasa perang Jakarta.

Pada awal 1960, penekanan pada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri
Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat
kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang
diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih pada tahun 1960, penguasa
perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan
pemeliharaan ketertiban umuum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit
Harian Republik. Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk hal ini
ditandai bahwa Kementrian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan
pers.

Berdasarkan uraian di atas, tindakan-tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh


penguasa Orde Lama bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam

10
pemerintahan. Tindakan-tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot ketika
ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan-percetakan diambil
alih oleh pemerintah dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik
pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.

7. Pers di era demokrasi pancasila dan orde baru

Memasuki Orde Baru, pers menyambutnya dengan penuh suka cita, karena pemerintah
memberi kebebasan penuh kepada pers setelah mengalami masa traumatic selama tujuh
tahun di zaman Orde Lama. Apalagi apabila pemerintah menyoroti kebobrokan rezim Orde
Lama. Pemerintahan Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang Pers
Pancasila.

Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika itu dipermanis dengan keluarnya
Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) No. 11 Tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembreidelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat izin terbit. Kemesraan
tersebut hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa
Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers kembali seperti zaman Orde
Lama.

Peritiwa Malari Tahun 1974 menyebabkan beberapa surat kabar dilarang terbit. Tujuh
surat kabar terkemuka di Jakarta diberangus untuk beberapa waktu dan baru diizinkan terbit
kembali setelah para pemimpin redaksinya menandatangani surat pernyataan maaf. Penguasa
lebih mengingatkan larangan-larangan melalui telpon supaya pers tidak menyiarkan suatu
berita, ataupun para wartawan diperingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik sebagai
self-censorship.

Pers pasca-Malari merupakan pers yang cenderung “mewakili” kepentingan penguasa,


pemerintah, atau negara. Pada saat itu, pers jarang, malah tidak pernah melakukan control
social secara kritis, tegas, dan berani. Pers pasca-Malari tidak akulturatif dan mirip zaman
demokrasi terpimpin. Perbedaan hanya pada kemasan, yakni rezim Orde Baru melihat pers
tidak lebih dari sekedar institusi politik yang harus diatur dan dikontrol seperti halnya dengan
organisasi massa dan partai politik.

8. Kebebasan pers di era reformasi

Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal
demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan

11
rakyat Indonesia. Pemerintahan pada masa reformasi sangat mempermudah izin penerbitan
pers akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali penerbitan pers atau Koran-koran,
majalah, atau tabloid baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi kemunculan
reformasi ibarat jamur di musim hujan.

Kalangan pers mulai bernafas lega ketika di era reformasi pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No.39 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.40 Tahun
1999 tentang pers. Kendati belum sepenuhnya memenuhi keinginan kalangan pers, kelahiran
Undang-Undang pers tersebut disambut gembira karena tercatat beberapa kemajuan penting
dibanding dengan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No.21 Tahun 1982
tentang pokok-pokok pers (UUPP).

Di dalam Undang-Undang pers yang baru ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan
pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung
perlu tidaknya surat izin terbit. Di samping itu, ada jaminan lain yang diberikan oleh
Undang-Undang ini, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembreidelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai


hak tolak. Tujuan hak tolak adalah agara wartawan dapat melindungi sumber informasi
dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan
jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan/atau dimintai menjadi saksi di
pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau
ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.

12
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Perkembangan Pers di
Indonesia tak dapat dipungkiri, pers sangat berpengaruh terhadap bangsa ini, mulai dari
kemerdekaan, pengakuan kedaulatan, sampai kini masa reformsi, semuanya dipengaruhi oleh
pers. Maka tak heran jika dunia pers memegang peranan penting dalam perjalanan bangsa ini.
Perkembangan Pers di Indonesia pun bisa dibilang sebagai salah satu perkembangan pers paling
kompleks, kenapa? Karena perkembangan pers di Indonesia terbagi menjadi beberapa periode,
dimana setiap periodenya mewakili satu masa atau era. Dan seorang wartawan bebas memilih
menetukan dan mengerjakan tugasnya tetapi harus ada kesadaran bahwa ada aturan rambu-
rambu yang harus diperhatikan dalam kinerjanya.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini tentulah masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan
penulisan kami di masa yang akan datang.

13

Anda mungkin juga menyukai