Anda di halaman 1dari 21

Sebelum kita masuk kedalam falsafah pers, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian

dari pers. Apa yang dimaksud dengan pers? Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang
artinya menekan atau mengepres. Jadi, secara harfiah kata pers atau pres yang apabila kita
mengacu kepada perngertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan.
Namun sekarang kata pers pres ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik,
terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media
cetak maupun media elektronik.
Berdasarkan uraian diatas, ada dua pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti sempit
dan pengertian pers dalam arti kata luas. Pers dalam arti sempit yaitu yang menyangkut
tentang komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantara barang cetakan, dalam hal ini
komunikasi hanya dilakukan dengan barang cetakan, contohnya adalah: Koran. Sedangkan
dalam arti kata luas pengertian pers lebih mengacu kepada komunikasi yang dilakukan
dengan perantara media cetakan dan media elektronik seperti radio, televise maupun internet.
Dalam penggunaan istilah pengertian arti sempit dan luas dapat diganti dengan pngertian kata
yang lain, tergantung konteksnya.

Falsafah Pers di Indonesia dan di Dunia

Sebelum kita masuk kedalam teori perkembangan pers didunia maka kita haruslah
mengetahui bagaimana falsafah pers.

Seperti juga Negara yang memiliki falsafah, pers pun memiliki falsafahnya sendiri. Falsafah
atau dalam bahasa inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau prinsip-prinsip
untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. Dalam membicarakan
falsafah pers, terdapat sebuah buku klasik akan hal ini, yaitu Four Theories of the
Press (empat teori tentang pers) yang ditulis oleh Siebert bersama Peterson dan Schramm dan
diterbitkan oleh universitas Illinois pada tahun 1956 . dari karya ini, pada tahun 1980, muncul
“teori” baru tentang Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka
berjudul Responsibiliti in Mass Communication.

Baik Sibert dkk, maupun Rivers dkk. pada prinsipnya mewakili pandangan Barat yang pada
dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. ketiga cara
tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang Negara,
tentang kebenaran dan tentang perilaku moral. Hanya saja bagi Sibert dkk, ketiga cara
tersebut merupakan landasan lahirnya empat teori tentang pers atau Four Theories of the
Press(empat teori tentang pers).
Four Theories of the Press (empat teori tentang pers) yang masih sangat besar pengaruhnya
itu memaparkan pandangan normative Sibert dkk. tentang bagaimana media berfungsi dalam
berbagai lapisan masyarakat.

Teori Perkembangan Pers di Dunia.

Teori pertama dalam Four Theories of the Press Four (empat teori tentang pers)
yakni, authoritarian Theory (teori pers otoriter) yang diakui sebagai teori pers paling tua
bersal dari abad ke 16, ia berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolute
jadi pada dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah.

Yang dimaksud dengan pendekatan dari atas kebawah adalah pendekatan yang dilakukan
oleh yang berkuasa terhadap masyarakat biasa, yang mana pada keadaan ini masyarakat biasa
tidak dapat berbuat apapun, kebebasannya dirampas dan tidak bisa mengutarakan aspirasinya.

Jadi disini dimaksudkan pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada
Negara. Yang mana pemerintah bebas melakukan intervensi terhadap pers, dan pers tidak
berhak dan bahkan tidak dapat untuk mengintervensi pemerintah dikarenakan pemerintah
berkuasa penuh atas pers.

Yang penting dicatat juga prinsip authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa
Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan
sosia.Teori ini berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia,
Jerman, Jepang dan Negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin

Bahwa authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa Negara memiliki kedudukan
lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Dalam hal ini kita dapat
mengambil contoh Negara kita sendiri Indonesia. Pers di Indonesia pada jaman pemerintahan
orde baru atau rezim Soeharto pers disaat itu adalah pers yang otoriter, pers tidak berhak
untuk mengomentari kebijakan presiden akan tetapi pers haruslah selalu mendukung
kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam masa itu pers sangat tidak
berkembang dan informasi yang disampaikan pun tidak trasparan dan tidak dapat secara
gamblang diketahui oleh masyarakat. Apabila pers melawan maka pemerintah langsung akan
bertindak.

Itulah gambaran authoritarian Theory (teori pers otoriter), yang terdapat di Indonesia pada
masa era Soeharto didengung-dengungkan adanya pers yang bertanggung jawab namun yang
sesungguhnya dipraktekkan tetap system pers yang otoriter karena masih adanya lembaga
SIUPP (surat izin penerbitan pers) dan pembreidelan, sehinggan nampak jelas bahwa
tanggung jawab itu pada penguasa bukan kepada pablik.

Pers yang bebas dan bertangggung jawab pada rezim orde baru tidaklah sama dengan pers
yang bebas dan bertangggung jawab seperti di Amerika Serikat diawali sejak tahun 1956.

Teori yang kedua adalah Libertarian Theory (Teori Pers Bebas). Ketika kebebasan politik,
agama dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan maka
tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Dalam keadaaan seperti itulah lahir teori
baru yaitu Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) teori ini mencapai puncaknya pada abad ke
19. Dalam teori ini manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan
antara yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian
kebenaran dan bukan sebagai alat pemerintah. Jadi tuntutan bahwa pers mengawasi
pemerintah berkembang berdasarkan teori ini.

Dari sini kita dapat melihat suatu perkembangan pers antara abad 16 ke 19, pada
perkembangan teori ini pers tidak lagi diintervensi oleh pihak manapun termasuk pihak yang
berkuasa atau yang disebut pemerintah. Akan tetapi pers mempunyai hak untuk mengawasi
kegiatan pemerintahan. Mau tidak mau pemerintah harus transparan dalam segala informasi
terhadap pers.

Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) ini memang paling banyak memberikan landasan
kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas juga memberikan
informasi, memberikan hiburan dan paling banyak terjual tiras. Dibalik ketiga keuntungan itu
pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit
melakukan control kepada pemerintah.
Sistem pers libertarian dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian menyeberang ke
Amerika Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Teori ini kebalikan dari authoritarian
Theory (teori pers otoriter).

Teori yang ketiga yaitu social responsibility theory (teori pers bertanggung jawab sosial)
disini saya berasumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan
persoalan terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada publik dan
dalam versi apa. Teori pers bertanggung jawab sosial yang ingin mengatasi kontradiksi antara
kebebasan media massa dan tanggung jawab sosialnya ini di formulasikan secara jelas sekali
pada tahun 1949 dalam laporan “commission on the freedom of the press” yang diketahui
oleh Robert Hutchins. Yang menganut teori ini adalah Amerika Serikat.

Komisi yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Hutchins commission ini mengajukan 5
persyaratan sebagai syarat bagi pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Lima
persyaratan tersebut adalah:
1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,
lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna. Dalam hal ini media
harus menyajikan informasi kepada masyarakat dan informasi tersebut tidak boleh
berbohong dan harus disertai dengan bukti otentik. Informasi yang disampaikan pun
harus disampaikan dengan lengkap, tidak boleh di tambah atau dikurangi (obyektif).
Informasi yang disampaikan juga harus memberikan makna dan manfaat. Media harus
akurat, harus bisa memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara
yang memberikan arti secara internasional.
2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Disini
media harus menjadi sarana umum, lahan untuk mengutarakan gagasan dan juga
tempat untuk menyanggah atau lebih tepatnya lagi dipakai untuk sarana berdiskusi.
Dalam masyarakat harus diwakili; media harus mengidentifikasi sumber informasi
mereka karena hal ini perlu bagi sebuah masyarakat yang bebas.
3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-
kelompok konstituen dalam masyarakat itu. Ketika gambaran-gamabran yang
disajikan media gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka
pendapat disesatkan; kebenaran tentang kelompok manapun harus benar benar
mewakili; ia harus mencakup nilai – nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia
tidak boleh mengecualikan kelemahan kelemahan dan sifat-sifat buru kelompok.
4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Dalah hal ini media harus memberikan informasi tentang tujuan dan nilai nilai
masyarakat agar masyarakat bisa menyampaikan cita citanya dan nilai yang ada.
Media adalah sebagai instrument pendidikan, mereka harus memikul suatu tanggung
jawab untuk menyatakan dan menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan oleh
masyarakat.
5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang
tersembunyi pada suatu saat. Berita ataupun informasi yang didapatkan oleh media
harus disampaikan secara luas dan disampaikan dengan cepat, agar semualapisan
masyarakan dapat merasakan semua informasi. Masyarakat sangat membutuhkan
pendistribusian informasi secara luas.

Teori yang keempat yaitu The Soviet Communist Theory (teori komunis), baru tumbuh 2
tahun setelah revolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau
teori authoritarian theory. System pers ini menopang kehidupan sistem sosialis Soviet Rusia
dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan
sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Oleh karena itu Negara-negara yang
dibawah payung kekuasaan Uni Republik Sosialis Soviet tidak terdapat pers bebas , yang ada
hanya pers pemerintah.

Perkembangan Pers di Dunia

Sebelum bubarnya Negara Uni Republik Sosialis Soviet, kita bisa dengan mudah
membedakan sistem pers dalam dua kelompok besar: Pers Barat yang menganut teori pers
bebas atau liberal dan Pers Timur yang menganut pers komunis. Pers Barat di wakili oleh
Amerika dan Negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Karena Amerika adalah pencetus teori
tanggung jawab sosial atau dikenal pula sebagai komisi kebebasan pers (1942-1947)
Sedangkan Pers Timur diwakili oleh Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur
Tetapi, sejak bubarnya Negara Uni Soviet, dan sistem politik Negara-negara Eropa Timur
yang menganut paham komunis itupun ikut berubah, maka dikotomi antara Pres Barat dan
Pers Timur itu kiranya sudah tidak relevan lagi.

Sistem Pers Timur berbeda sekali dengan sistem Pers Barat bahkan sangat bertentangan.
Karena dalam sistem Pers Timur, berita tidak dipandang sebagai barang dagangan. Maksud
dari berita tidak dipandang sebagai barang dagangan disini adalah bahwa berita bukan untuk
pemuas nafsu rasa ingin tahu namun berita adalah keharusan ikut berusaha
mengorganisasikan pembangunan dan pemeliharaan Negara sosialis

Sedangkan Pers Barat memandang berita sebagai barang yang dapat diperjual belikan maka
itu berita yang di sampaikan pada khalayak harus menarik.

Perkembangan Pers di Indonesia

Sejak 17 Agustus 1945 sampai 5 juli 1959 Presiden Soekarno dekrit Presiden untuk kembali
ke UUD 1945, pers pada saat itu menggunakan sistem yang mirip dengan sistem barat,
sekalipun pada awalnya sebagai “Pers perjuangan” mendapat banyak bantuan dari pihak
pemerintah.

Sejak 5 juli 1959 sampai 0ktober 1965 di bawah pimpinan Presiden Soekarno Indonesia di
jalankan dengan sistem demokrasi terpimpin. Pada saat itu sruktur politik dan
kemasyarakatan Indonesia berubah secara mendasar. Struktur politik yang baru ini
membawa pula perubahan dalam sistem pers kita.

Pada saat itu lenbaga SIT ( Surat Izin Tjetak) merupakan yang pertama kali dipakai di
Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Dalam buku Beberapa Segi Perkembangan
Sejarah Pers Di Indonesia menuturkan bahwa gubernur Jendral Hindia- Belanda 1920
meminta nasihat pada Dewan Hindia untuk memberlakukan sistem lisensi (ijin terbit) bagi
pers Hindia-Belanda di tolak.

Dewan menolak karna, kebebesan pers adalah sebagai akibat kebebasan hati nurani yang tak
dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, sehingga tidak dapat dihalangi.

Selama rezim Soekarno pers Indonesia seakan-akan menganut sistem pers bertanggung jawab
sosial, namun pada kenyataannya yang di jalankan adalah sistem pers otoriter terselubung.
Berita tidak lagi dinilai harus menarik tetapi harus memiliki tujuan yang sejalan dengan cita-
cita bangsa untuk menyelesaikan revolusi nasional.
Selama pemerintahan orde lama di bawah demokrasi terpimpinnya Soekarno itu, kebebasan
pers benar-benar di pasung. Pada masa ini kebebasan pers hanya angan-angan belaka, surat
kabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat.

Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah meletusnya peristiwa G30S PKI, sistem dan kehidupan
politik di Indonesia mengalami perubahan lagi. Tetapi perubahan politik yang terjadi hanya
mengubah sistem pers kita dari sistem pers yang terselubung ke sistem pers yang terang-
terangan di bawah kuasa Jenderal Soeharto yang diangkat menjadi Presiden RI ke 2 pada
tahun 1967. Beliau mecanangkan untuk melaksanakan UUd 1945 secara murni dan
konsekuen.

Di bawah orde baru ini, pemerintah Indonesia benar-benar menganut sistem pers otoriter
yang keras, sekeras rezim sebelumya. Karena apabila suatu media tidak mematuhi peraturan
yang di tetapkan pada saat itu maka pemerintah dapat mencabut SIUPP ( Surat Ijin Usaha
Penerbitan Pers) media bersangkutan.

Setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi sejak dilengserkannya Soeharto dari tahta
kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia kembali ke keadaannya ketika
kita berada di era 1945 – 1959. Pad masa itu sedikit banyak kebebasan untuk berpikir dan
tidak di batasi oleh rambu-rambu sensor atau larangan-larangan, meskipun pada tahun 1957
mulai muncul lembaga SIT di Jakarta.

B. J. Habibie yang pada saat itu menggantikan Soeharto sebagai Presiden boleh dikatakan
presiden RI pertama yang giat membuka untuk menadi Indonesia yang bersistem Demokrasi.
Sejak itu pers Indonesia kembali ke sistem pers ketika egara ita menganut sistem demokrasi
Parlemen pada tahun 1950an, yaitu sistem pers Liberal Barat.

Kebebasan pers pada masa sekarang ini menganut kebebasan pers yang bertanggung jawab
dibawah kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebebasan pers disini
dimaksudkan perpaduan yang ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media
massa untuk tidak berbuat yang semena-mena sesuai dengan kemampuan dan kekuatan serta
kekuasaan media massa.
A. Sejarah Perkembagan PERS di Indonesia sebelum kemerdekaan

Perkembangan pers di Indonesia mulai terlihat pada masa pergerakan nasional, yaitu
sejak bulan Mei 1908 atau sejak lahirnya pergerakan Budi Utomo. Pers pada masa ini
merupakan sarana komunikasi yang utama yang diperlukan untuk meningkatkan
persatuan, kesadaran nasional dan kebangkitan bangsa Indonesia.

Pada masa sebelum kemerdekaan, pers merupakan bagian yang penting dalam
pergerakan nasional, walaupun pada saat itu kegiatan praktis semakin terlihat yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi di Indonesia. Bahkan perkembangan pergerakan
nasional menuntut lebih banyak sarana penerangan dan perkembangan persatuan
wartawan. Perjuangan memerdekaan Indonesia juga dilakukan oleh kalangan
wartawan dan pers, terbukti dengan pada waktu itu munculnya berbagai majalah dan
surat kabar seperti Benih Merdeka, SoeraRakyat Merdeka, Fikiran Ra'jat, Daulat
Ra'jat Soera Oemoem dan lain sebagainya, serta Organisasi Persatoen Djoernalis
Indonesia (Perdi).

Ketika pendudukan militer jepang, pers di Indonesia ditutup. Jepang takut dengan
adanya pers maka rakyat Indonesia bisa bersatu dan mengusir jepang dari Indonesia.
Jepang kemudian menerbitkan surat kabar dan majalah di beberapa kota-kota besar di
Indonesia dengan kewajiban menyajikan propaganda untuk kepentingan Jepang.

Akan tetapi para para wartawan asal Indonesia yang bekerja di penerbitan-penerbitan
yang dikuasai secara ketat oleh jepang tetap melibatkan diri dalam pergerakan untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia.

Bahkan sebagian tokoh pers Indonesia aktif dalam persiapan proklamasi kemerdekaan
bersama para pemimpin organisasi politik nasional. Setelah soekarno dan hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan
sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan pernyataan kemerdekaan Indonesia
sehingga seluruh rakyat Indonesia dan bangsa-bangsa lain dapat mengetahui bahwa
negara kita sudah merdeka. Jadi para wartawan beperan untuk menyebarluaskan
berita Indonesia merdeka, dan mempertahankan kemerdekaan dan mencegah
kembalinya penjajahan Belanda di Indonesia.
B. Sejarah perkembangan PERS pada massa kemerdekaan

Setelah membahas tentang sejarah perkembangan PERS pada massa awal


kemerdekaan, mari kita lanjutkan dengan membahas sejarah perkembangan PERS
pada massa kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan ini dapat dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu pada era demokrasi perlementer, demokrasi terpimpin dan era demokrasi
Pancasila (Orde baru).

1. Pada era demokrasi parlementer


Pada era demokrasi parlementer pola pertentangan antara kelompok
pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan
dalam dunia pers. sehingga timbul di satu pihak pers mendukung kabinet, dan
dilain pihak pers oposisi. Namun di samping itu, ada juga pers yang memilih
pola pers bebas seperti negara-negara liberal dengan kadar kebebasan dan
persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-
masing.
2. Pada era demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila (Orde lama dan Orde
baru)
Pada era orde lama dan juga orde baru, negara kita mengembangkan pers
otoriter. Pers otoriter menggunakan pers yang digunakan sebagai kontrol
pemerintah, pers digunakan untuk mendukung dan membantu politik
pemerintah yang berkuasa untuk mengabdi kepada negara.

A. Muis salah seorang ahli/pakar dalam persn nasional menggambarkan


perkembangan pers di kedua era tersebut tampak pada kebijakan
media di tentukan oleh pemerintah ditempatkan di atas hukum media
(media law). Akibat dari kebijakan ini maka akan lahir format
tanggung jawab pers adalah tanggung jawab politik, bukan tanggung
jawab hukum.
B. Pelaksanaan tanggung jawab pers bukan bukan dihadapan hakim
(pengadilan) melainkan dihadapat pejabat-pejabat Departemen
Penerangan dan atau di hadapan pejabat pejabat Departemen
Pertahanan dan tindakan represif lainnya, dalam rangka menciptkan
kondysuo serta menciptakan situasi yang kondusif serta menciptakan
stabilitas nasional yang mantap dan dinamis.
C. Sistem PERS era Orde Baru menggunakan istilah pers Pancasila dan
sistem pers yang bebas dan bertanggung jawab (meniru social
responbility). Tetapi doktrinnya tidak lain adalah doktrin pers otoriter.
Sistem pers Orde Lama tidak memiliki nama khusus, tetapi dalam
praktek sama dengan sistem Orde Baru (otoriter).

3. Pers pada era reformasi

Pada era reformasi dewasa ini tanpak kebijakan media hampir sepenuhnya
berada di tangan pemilik media, maksudnya komunikasi dari pemerintah lebih
berupa himbauan kepada media agar mematuhi rambu rambu etika dan hukum
yang berlaku. Kecuali di daerah daerah rusuh yang dikenakan Keadaan
Darurat Sipil seperti di Maluku, disana kebijakan media sepenuhnya di tangan
penguasa darurat sipil, sehingga bisa terjadi pembredelan dan sensor juga.

Sejak adanya Undang undang. No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, mulai dikenal
yang namanya fenomena pers bebas. Sebagai contoh, salah satu peraturan
yang terdapat dalam UU tersebut yaitu tidak ada syarat-syarat untuk menjadi
wartawan atau penerbit pers.

Kebebasan pers ini ternyata dirasakan oleh Presiden Abdulrahman Wahid kala
itu. Pasalnya kala itu Pers dinilai sangat merugikan presiden, hal itu
dikarenakan pemeberitaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kekayaan serta
cara-cara pemberitaan yang tidak benar termasuk cara yang disebut
"memelintr kata-kata" (spinning of words).

Untuk mengatasi hal tersebut, Presiden kemudian membuat sebuah keputusan


pada bulan Mei 2001 yaitu membuat Tim pemantau media, tim ini hampir
sama denga media wetch (pengawas media) pemerintah. Tujuan dibentuk tim
pemantau media ini adalah untuk menuntut secara hukum (pidana atau
perdata) terhadap media massa yang dinilai merugikan pemerintah.
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri kondidsi perkembangan pers
masih relatif sama dengan pemerintahan sebelumnya, yakni hubungan pers
dengan presiden tidak begitu harmonis. Pemberitaan pers sering dinilai
merugikan presiden.

Baca juga nanti :


 Fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial
 Peranan PERS
Terhadap fenomena kebebasan pers di atas, menunjukan bahwa semua
media massa mempunyai ideologi (Misi) yang ditentukan oleh pemilik dan
dilaksanakan oleh reaksi (editorial policy). Hal ini memang sudah
merupakan tradisi pers terutama pers bebas sejak kemunculan alat cetak
kuno temuan Johan guttenberg di Jerman (1445), tradisi itu kemudian
diikuti oleh media lain khusunya media penyiaran.
Pers islam
Salah satu hal yang turut menentukan perjuangan umat Islam adalah penguasaan media
massa. Melalui media massa, peperangan pemikiran yang sengit, penyebaran ilmu serta
penguasaan opini di masyarakat dapat dikuasai. Perjuangan umat Islam di Indonesia melalui
media massa nyatanya memang telah berurat dan berakar, bahkan jauh sebelum Indonesia
merdeka. Jika kita bercermin dari lembaran sejarah, akan terlihat media massa Islam menjadi
roda-roda penggerak perjuangan umat Islam, menjadi minyak yang membakar perjuangan
umat Islam, bahkan seiring sejalan dengan terbit atau terpuruknya nasib umat di negeri ini.

Selama berabad-abad, Umat Islam di Indonesia telah menjadi satu bagian penting dari umat
Islam di dunia. Ulama-ulama melayu-nusantara merajut ukhuwah sekaligus jaringan
keilmuan dengan ulama-ulama lain berbagai penjuru dunia. Mereka membaur, memusat di
Mekkah dan Madinah yang menjadi pusat menimba ilmu di dunia.

Para penuntut ilmu itu membentuk suatu komunitas jawi (ashab al-jawiyun). Entah mereka
berasal dari Sumatera, Malaya, Jawa, Sulawesi atau bagian lain dari nusantara, mereka akan
dikenal sebagai orang Jawi. Komunitas ini berperan besar dalam transmisi ilmu di nusantara.
Selepas menuntut ilmu, sebagian dari mereka menetap dan mengajar di Tanah Suci, sebagian
lainnya kembali ke kampung halamannya. Menyebarkan ilmunya, mencerahkan umat di
tanah air, dan mendirikan institusi-institusi pendidikan seperti pesantren, surau atau dayah.
Melalui institusi semacam inilah pengetahuan Islam ditimba. Dan Ulama menjadi poros
keilmuan Islam di masyarakat.

Lembaran sejarah memasuki halaman baru, di abad ke 19. Setelah Mekkah dan Madinah,
Kairo kemudian mulai dilirik oleh orang-orang melayu-nusantara sebagai salah satu kiblat
pendidikan Islam di dunia. Pesona institusi bernama Al Azhar menyinarkan kemilaunya.
Namun gerakan pembaruan (atau biasa disebut reformasi) Islam yang menjadi ruh utamanya.
Pengaruh Al Afghany dan khususnya Muhammad Abduh meniupkan sebuah angin perubahan
yang kencang mendera seluruh negeri, sampai menjalar ke tanah air.

Banyak dari penuntut ilmu yang sebelumnya berguru di Mekkah dan Madinah, kemudian
melanjutkan studinya di Kairo. Di sini para penimba ilmu dari Melayu-Nusantara,
membentuk komunitas pelajar yang berasal dari Hindia Belanda dan Malaya, yang
disebut Jawi riwaq] . Mereka kemudian menjadi penyerap ide-ide Muhammad Abduh, yang
tersebar melalui sirkulasi Majalah Al Manar. Seruan pembaruan yang menggelorakan
gerakan kembali ke Al Quran dan Sunnah mendapat sambutan hangat. Ide-ide Abduh yang
berusaha menjawab keterpurukan umat Islam turut menarik perhatian kala itu. Pemikiran
Abduh semakin meluas dengan dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha.

Salah satu yang terpengaruh oleh ide-ide ini adalah seorang pelajar bernama Tahir Jalaluddin
(1869-1956). Pemuda Minang, keturunan Tuanku Nan Tuo, seorang ulama besar pada masa
paderi, . Setelah 12 tahun belajar di Mekkah dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi,
tahun 1895 Thahir Jalaluddin meneruskan pendidikannya di Kairo. Di sini ia mulai
mengenal Al-Manar dan mengenal Rashid Ridha. Bersama sahabatnya, Syekh Sayid Al Hadi
(1867-1934), Thahir Jalaluddin menempa ilmu di Kairo. Paham pemurnian Islam melaju
deras bersama modernisasi dalam gerak Islam. Pemakaian mesin cetak untuk media massa
dan buku-buku pelajaran Islam, yang sebelumnya ditolak oleh sebagian ulama karena
dianggap bagian dari sekularisasi, nyata-nyata menginspirasi para murid Riwaq Jawi ini.
Pemakaian teknologi ini kemudian melahirkan sebuah budaya cetak yang revolusioner, yang
akan mengubah wajah dunia Islam di Hindia Belanda dan sekitarnya.

Mesin cetak pertama kali dikenalkan ke nusantara, bahkan Asia Tenggara, oleh missionaries
Kristen Jesuit tahun 1588 di Filipina. Namun baru 1744 ketika Vendunieuws muncul sebagai
surat kabar pertama di Batavia. Kemudian Bataviasche Coloniale Courant (1801) menyusul.
Keduanya merupakan surat kabar yang kebanyakan berisi berita pelelangan dan iklan.
Berikutnya perkembangan surat kabar tak lagi terbendung. Pemilikan dan peruntukan surat
kabar mulai dari orang asing, hingga yang diperuntukkan bagi masyarakat melayu, yaitu Al
Djuab (1795-1801) bersemi saat itu. Namun, yang seringkali dikenang adalah Bintang
Hindia, yang di asuh oleh Abdul Rivai, karena mulai memberikan gambaran Hindia sebagai
sebuah bangsa. Ada pula Tirtoadsurjo, tokoh Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dikenal mula-
mula, mendirikan Soenda Berita, sebuah mingguan berbahasa melayu pertama di Indonesia
tahun 1903.

Begitu menjamurnya surat kabar, namun tak satu pun yang membawa Islam sebagai
benderanya. Barulah pada tahun 1906, selepas pulang dari Kairo, Syekh Tahir Jalaluddin
menerbitkan Al Imam di Singapura. Bersama Syekh Al Hadi (Singapura), serta Haji Abbas
bin Muhammad Taha (Aceh) merintis Al Imam menjadi media massa Islam pertama di tanah
Melayu-Nusantara. Tentu saja saati itu belum ada negara bernama Indonesia, Singapura
ataupun Malaysia. Yang ada ialah wilayah-wilayah yang dijajah oleh Inggris dan Belanda. Al
Imam mampu menerobos batas-batas kolonial itu, hingga mampu menciptakan bayangan
akan sebuah komunitas bernama bangsa melayu. Sebuah bayangan yang mampu untuk
menembus sekat-sekat wilayah yang diciptakan penjajah dan mengikat bangsa
Melayu menjadi satu dalam ikatan agama Islam. Pernyataan itu di tandai oleh Al
Imamdengan pemakaian istilah Umat Timur, Umat Melayu, Umat Kita sebelah sini, Umat
Islam kita di sini, oleh Al Imam untuk menyebut bangsa Melayu.

Sejak awal Al Imam memang bersuara menyatakan penyesalannya akan nasib umat Islam di
tanah melayu-nusantara yang tertajajah di mana-mana. Dalam sebuah edisinya, mereka
menyebut Tanah Sumatera, Tanah Manado, Tanah Jawa, Tanah Borneo dalam genggaman
Belanda, hingga tanah melayu peninsula dalam cengkeraman Inggris. (Al Imam Vol. 1, No. 3,
19 September 1906). Harapan mereka tak lain agar umat Islam mampu meraih
kemerdekaannya.

Al imam berdiri mengibarkan Islam sebagai dasarnya. Menyebarkan dakwah Islam.


Mengikuti jejak jejak Al Manar dengan semangat pembaruan dan pemurnian Islam, Al
Imam menegaskan haluannya untuk ; mengingatkan mereka yang terlupa; membangunkan
mereka yang terlelap; menunjukkan arah yang benar kepada mereka yang tersesat; memberi
suara kepada mereka yang berbicara dengan bijak; mengajak umat Islam berupaya sebisa
mungkin untuk hidup menurut perintah Allah; serta mencapai kebahagiaan terbesar di dunia
dan memperoleh kenikmatan Tuhan di Akhirat (Al Imam, I Juli 1906).

Nyatanya pengaruh Abduh dan Ridha memang besar bagi Al Imam. Majalah Al
Manar mewarnai Al Imam begitu kental. Bahkan Al Imam memuat tafsir Muhammad Abduh
yang dimuat oleh Al Manar. Tafsir ini mereka muat tahun 1908, atau dua tahun setelah
terbitnya Al Imam. Pemuatan tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh ini, bagaimana pun
membuka pintu reformasi agama di tanah melayu dan Hindia Belanda. Jika sebelumnya tafsir
yang dipakai di Hindia Belanda umumnya adalah tafsir Jalalain (Al-Suyuthi) yang hanya
dipelajari di pesantren, maka kini Al Imam membuat tafsir yang dapat dibaca oleh kalangan
yang lebih luas.

Melalui media massa cetak pula, Al Imam membuka pintu pembelajaran bagi umat Islam,
yang biasanya hanya di lakukan di pesantren. Hal ini turut melepas ‘monopoli’ ulama
tradisional di Pesantren sebagai satu-satunya pemegang otoritas keilmuan. Dan yang
terpenting Al Imam membawa budaya baru bagi umat Islam di Melayu dan Hindia Belanda,
yaitu budaya cetak. Kemajuan inilah yang akhirnya membuka pintu lahirnya pers Islam
lainnya di Indonesia.

Jejak Al Imam meresap begitu mendalam bagi umat Islam di Hindia Belanda, hingga tahun
1911 di Sumatera Barat terbitlah sebuah majalah bernama Al Munir. Al Munir didirikan
sebagai wadah bagi kaum muda yang menggelorakan pembaruan Islam di Sumatera Barat.
Didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad, Al Munir menjadikan Al Imam sebagai contohnya. Haji
Abdullah Ahmad sendiri sebelumnya adalah perwakilan Al Imam di Padang Panjang.
Kunjungannya ke Singapura memungkinkan dirinya untuk mempelajari manajemen
penerbitan ala Al Imam dan keterampilan teknis menerbitkan majalah. Begitu sentralnya
peran Haji Abdullah Ahmad, hingga ia seringkali dipanggil, Haji Abdullah Al Munir.

Haji Abdullah Ahmad tidak sendirian dalam membesarkan Al Munir. Ia membesarkan


bersama dua orang sahabatnya, Haji Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka) dan
Syekh Jamil Jambek. Mereka merupakan murid langsung dari Syekh Ahmad Khatib
Minangkabawi. Sepulang dari Mekkah, mereka kembali ke sumatera Barat untuk
menggerakan paham pembaruan agama di sana. Maka tak heran jika Al munir bertujuan
untuk; memperoleh agama Islam yang sejati serta menegakkan syariat Nabi Muhammad yang
benar dengan dorongan menghidupkan kembali tradisi Nabi dan mengutuk bid’ah dalam
praktik ibadah umat Muslim (Al Munir 3, 2, 1913).

Seperti Al Imam, Al Munir juga memiliki hubungan yang erat dengan Al Manar dibawah
kendali Rashid Ridha. Seringkali Al Munir merujuk pada fatwa-fatwa yang terdapat dalam Al
Manar. Umpamanya mengenai pakaian barat, yang dahulu sering dilarang oleh ulama
tradisional karena indentik dengan orang kafir. Pendapat Rashid Ridha yang menolak
pendapat ini, dijadikan rujukan oleh Haji Abdullah Ahmad.

Pada praktiknya, Al Munir tidak hanya bersuara keras terhadap praktik bid’ah, tetapi juga
pada pemerintah kolonial Belanda. Kritik-kritik keras terhadap pemerintah kolonial membuat
mereka mendapatkan tekanan dan pengawasan dari pemerintah kolonial saat itu. Al
Munir pun kerap bersuara mengenai kemerdekaan bangsa di Hindia Belanda. Namun
ketatnya pengawasan pemerintah kolonial, membuat mereka menyampaikannya secara hati-
hati dan terselubung, misalnya dengan membahas kemerdekaan Turki, Mesir dan India dari
jeratan penjajah. Bahkan ketika membahas suatu tulisan tentang ilmu pengetahuan-pun,
ujungnya akan membahas bagaimana mencapai kemerdekaan.

Pada masa jayanya, Al Munir tidak hanya berpusat pada media massa, tetapi juga memiliki
usaha percetakan. Penyebaran Al Munir tidak hanya di Sumatera barat, namun sampai
ke Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Malaya. Dalam penerbitannya, Al munir memuat tulisan
mengenai persatuan umat Islam, pengetahuan agama, serta hukum agama yang berkaitan
dengan adat. Keistimewaan Al Munir adalah ia menjadi majalah yang masih menggunakan
huruf arab melayu. Namun pemakaian huruf arab melayu memang berada di tepi jurang.
Membanjirnya mesin cetak yang memakai huruf latin membuat pencetakan dengan huruf
arab melayu sulit bersaing. Hal ini pula yang turut menerpa Al Munir. Namun terbakarnya
kantor mereka menjadi pertanda lonceng kematiannya. Di Sumatera Barat tak hanya Al
Munir, pers yang berlandaskan Islam. Hadir pula Al Itqan, Al Bayandan Munirul Manar yang
diterbitkan perguruan Sumatera Thawalib.

Saat itu memang masa-masa keemasan pers di Sumatera Barat. Tetapi di pulau Jawa,tempat
lahirnya Sarekat Islam, gaung pers Islam juga terdengar kencang. Melahirkan berbagai media
massa yang menyokong perjuangan mereka.

Sarekat Islam, semenjak di bawah kemudi Hadji Omar Said Tjokroaminoto memainkan peran
besar dalam pergerakan Islam di tanah air. Dengan karisma dan pidatonya yang memukau
Tjokroaminoto memiliki banyak pengikut, bahkan tak sedikit yang menanggapnya sebagai
Ratu Adil. Namun kepiawaian Raja Jawa tanpa mahkota ini tak hanya di mimbar rapat-rapat
umum. Tetapi juga di media massa. Oetoesan Hindia adalah media massa pertama yang
menjadi corong Sarekat Islam. Terbit tahun 1913, Oetoesan Hindia adalah harian yang di
gawangi oleh Tjokroaminoto. Beberapa bulan kemudian Sarekat Islam (SI) cabang Bandung
menerbitkan Hindia Serikat yang salah satunya dibidani oleh Abdul Muis. Di Batavia, SI
menerbitkan Pantjaran Warta yang dikemudikan oleh Goenawan. Di Semarang, SI
Semarang mulai menerbitkan Sinar Djawa.

Sarekat Islam semakin bergerak maju ketika pada tahun 1916, mereka menerbitkan Al Islam.
Di kemudikan oleh Tjokroaminoto dan Haji Abdullah Ahmad (Al Munir), Al Islam bersuara
lebih kencang dalam hal politik. Ia menjadi jembatan bagi gerakan politik Islam. Al
Islam menyatakan dirinya sebagai, ‘ Tempat soeara anak Hindia yang tjinta igama dan tanah
ajernjya.’Dengan darah pembaruan agama yang dibawa Haji Abdullah Ahmad serta
kecenderungan politik radikal Tjokroaminoto, Al Islam menggelorakan pembaruan agama
dan politik. Al Islamsemakin merangsek wacana di Hindia Belanda saat itu, dengan berani
menyuarakan hak untuk memerintah bagi bangsa sendiri. Untuk menyuarakannya, Al
Islam menggulirkan istilah Bangsa Islam tanah Hindia. Al Islamtidak sendirian, tokoh SI
lainnya, Haji Agus Salim, bersama Abdul Muis menerbitkan harian Neratja, yang juga
berorientasi politik. Haji Agus Salim pun nantinya dikenal sebagai orang dibalik Hindia
Baru (1925-1926), Bendera Islam (bersama Tjokroaminoto) dan Fajar Asia (Tjokroaminoto-
H. Agus Salim kemudian Kartosuwirjo; 1927-1930 ). Harian Fajar Asia, saat itu adalah
kerikil tajam bagi pemerintah kolonial. Harian itu terkenal gigih membuka kebusukan
praktek poenale sanctie (yang menggiring puluhan ribu anak bangsa bekerja sebagai kuli
kontrak di perkebunan Sumatera), heerendienst (kerja rodi) dan erfpacht (yang
mengeksploitasi tanah dengan system sewa kontrak), dimana buruh dihisap, tenaganya
diperas habis-habisan serta berbagai kebiadaban yang mengiringinya. Tajamnya kritik H.
Agus Salim melalui Fajar Asia (kemudian) Mustika, membuatnya dikenal sebagai pembela
hak-hak buruh.

Di Jogjakarta, muncullah nama tokoh Muhammadiyah, H. Fachrodin. Ia adalah diantara


murid-murid langsung KH Ahmad Dahlan dan merupakan saudara kandung dari Ki Bagus
Hadikusumo. Nama H. Fachrodin malang melintang di berbagai media massa saat itu. Ia
pernah menjadi koresponden tetap dari Doenia Bergerak (terbit 1914), sebuah surat kabar
berhaluan kiri. Selain itu H. Fachrodin pernah menjadi redaktur Medan Muslimin (1915),
sebuah surat kabar radikal dibawah pimpinan, ‘Haji Merah’ Haji Misbach. Berikutnya H.
Fachrodin menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi), Srie Diponegoro (1918), Soewara
Moehammadijah (195), dan Bintang Islam.

Di tengah Bintang Islam-lah, nama H. Fachrodin banyak meninggalkan kesan. Berdiri tahun
1922, Bintang Islammenjadi majalah dwi mingguan Islam yang dikelola secara professional.
Tirasnya mencapai 1500 eksmeplar dan menjangkau hingga Singapura, Perak dan
Johor. Bintang Islam memuat berita seputar Islam di tanah air dan luar negeri. Bahkan Bung
Hatta pernah menjadi koresponden Bintang Islam, saat ia masih di Amsterdam. Sampai
meninggalnya, H. Fachrodin menjabat selaku hoofdredacteur Bintang Islam.
Tulisan H. Fachrodin menyebar di berbagai media saat itu, merentang pembahasannya, mulai
dari agama Islam, Kristen, hingga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang begitu
menderita. Ia misalnya pernah menulis tentang ‘Christen dan Moehammadijah’ dan ‘Islam
Njawa Kemadjoean’ (di Soewara Moehammadijah), Verslag saja selama bepergian ke
Mekkah (di Soewara Moehammadijah & Islam Bergerak), dan sebuah kritik yang tajam, dan
mengantarkannya meringkuk dibalik terali besi oleh pemerintah kolonial. Penyebabnya
karena kala itu Ia menulis nasib rakyat yang menderita,
“Kebon tebu jang ditanam diatas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan,
sehingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi…” (Srie Diponegoro).

Selepas wafatnya H. Fachrodin, Majalah Bintang Islam kemudian mengenang beliau dalam
edisi khusus ‘Fachrodin Nummer.’
“Pandai beliau menoelis dan mengarang pada kemoediannja itoe, ialah dari kawan-
kawannja jang selaloe bergaoelan dan bermain-main…, Begitoe joega, kerap sekali beliaoe
membawa pertanjakan kepada orang jang lebih pandai, tentang apa sahadja, sehingga
dimengertilah matjam-matjam pengetahoean.” (Bintang Islam no 14-15 th 1930).

Pers Islam pada masa itu memang menjadi pers yang ideologis dan tidak menjaga jarak
dengan penderitaan rakyat. Terlebih jika berhubungan dengan kepentingan umat Islam, maka
menjadi suara yang lantang. Suara-suara itu semakin lantang, jika Islam dinistakan. Dan salah
satu yang dikenal sebagai benteng umat Islam adalah majalah Pembela Islam.

Pembela Islam adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh tokoh Persatuan Islam
(Persis), Ustad A. Hassan tahun 1929. Bersama Fachrudin Al Kahiri dan M. Natsir, Pembela
Islam menjadi pers Islam yang gigih membela Islam. Pembela Islam menjadi salah satu
lawan dari tokoh-tokoh Nasionalis sekuler yang kerap menggelorakan ide sekularisme.
Tulisan-tulisan seperti ‘Merdeka buat apa?’, dan ‘Kebangsaan jangan di Bawa-bawa’
menjadi beberapa contoh aktifnya Pembela Islam mengutuk ide nasionalisme dan
sekularisme. Namun salah satu yang patut dikenang hingga kini adalah polemik antara
Sukarno dan M. Natsir mengenai Islam melawan sekularisme.

Pembela Islam juga kerap bersuara mengecam orang-orang yang menistakan Islam dan
ajarannya. Salah satunya adalah tulisan Dr. Soetomo, yang menganggap pengasingan di
Digul lebih baik daripada Mekkah.Ia menganggap orang yang diasingkan ke Digul adalah
orang-orang yang dihukum, tetapi pergi ke Mekkah hanyalah soal kewajiban agama semata.
M. Natsir menanggapi tulisan Dr. Soetomo dengan menyebutnya meniru dengan buta buku-
buku barat. Natsir justru mengingatkan betapa para haji yang pulang dari Mekkah sangat
ditakuti oleh pemerintah kolonial. Pembela Islam juga menyerang paham sesat Ahmadiyah
Qadian, dengan menurunkan tulisan perdebatan langsung antara A. Hassan dengan Rahmat
Ali dari Ahmadiyah di tahun 1933 dan 1934. Praktek kristenisasi dan pelecehan oleh
missionaries terhadap Islam tak luput dari kritik keras Pembela Islam. Seperti misalnya
tulisan Natsir yang berjudul Zending Contra Islam (1931).

Maka tak salah ketika Buya Hamka, yang menjadi salah satu pembaca Pembela Islam,
mengatakan,
“Mulai saja majalah itu dibaca, timbullah dalam jiwa semangat yang terpendam yaitu
semangat hendak turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya
menggugah perasaan hati untuk bangun, bergerak, berjuang hidup dan mati dalam Islam.”

Ia lalu menambahkan, yang ditunggu-tunggu dari Pembela Islam adalah tulisan-tulisan M.


Natsir.
“Artikel-artikel dari M. Natsir di dalam majalah Pembela Islam itu sangat menarik hati
saya. Saya pun seorang pengarang. Tetapi saya mengakui bahwa karangan Natsir memberi
saya bahan untuk hidup, sehingga saking tertariknya saya kepada tulisan-tulisannya itu, saya
pun mencoba mengirim karangan kepada Pembela Islam,dan karangan saya disambut baik
dan dimuat dalam Pembela Islam.” Begitulah kesaksian Buya Hamka.

Masa-masa semaraknya pers Islam di Indonesia juga menghampiri dunia pesantren. Di


kalangan Nadhlatul Ulama, terbit Suara NU yang beraksara arab pegon. Ada pula Berita NU,
dipimpin oleh KH Mahfudz Shiddiq yang beraksara latin. Tahun 1941 menyusul
terbit Soeloeh NU yang diterbitkan oleh Hoofdbestur NU Bagian Ma’arif. Soeloeh NU di
pimpin langsung oleh KH A. Wahid Hasyim. Terbitnya Soeloeh NU, tak lain sebagai wadah
informasi dan saluran modernisasi di NU, sebagaimana tujuannya; Bulanan, membicarakan
perkara-perkara kemadrasahan.

Pers Islam semakin bertaburan menghiasi pergerakan di Indonesia. Tak hanya di Sumatera
Barat dan Jawa, tetapi merambah hingga Kalimantan, hingga Ambon. Di Kalimantan
hadir Persatuan (Samarinda), Pelita Islam(Banjarmasin). Di Bangkalan, Madura,
terdengar Al Islah (yang kemudian dibredel tahun 1936). Di Ambon, hadir SUISMA yang
terbit tiga kali dalam sebulan. Namun, yang mencolok kala itu adalah Sumatera Utara
(Medan). Medan kemudian dikenal sebagai gudangnya pers Islam. Sebut saja Suluh
Islam (KH Abdul Madjid Abdullah), Medan Islam, Al Hidayah, Medan Islam, Menara
Puteri (Rangkayo Rasuna Said) hingga Panji Islam (ZA Ahmad-kelak menjadi tokoh
Masyumi). Namun tak ada yang dapat menandingi prestasi Pedoman Masyarakat.
Terbit di Medan, Sumatera Utara tahun 1935, Pedoman Masyarakat identik dengan nama
Buya Hamka dan Yunan Nasution (kelak keduanya bertemu kembali di Masyumi).
Bergabung pada usia 28 tahun, Buya Hamka menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman
Masyarakat, awalnya hanya beroplah 500 eksemplar, namun ditangannya, melonjak oplahnya
hingga 4000 eksemplar. Suatu prestasi yang luar biasa untuk sebuah majalah pada masa itu
dikenal sebagai zaman sulit.

Memasang motto ‘Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam’, Pedoman


Masyarakat nyata-nyata bekerja untuk peradaban. Di kupasnya masalah pengetahuan umum,
agama, sejarah,’ Alam perempuan’, ‘Dunia Islam’ serta ‘Cermin Hidup’. Di ruang inilah lahir
karya-karya besar Buya Hamka seperti, Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk, Tasauf Modern dan lain-lain. Sementara Yunan Nasution memegang peran penting
sebagai penulis rubrik editorial, Syma Nare. Namun Pedoman Masyarakat tidak hanya
mengandalkan penulisnya sendiri, beragam kalangan dimuat tulisannya oleh Pedoman
Masyarakat, seperti Soekarno dari nasionalis, sederet tokoh Islam seperti H. Agus Salim,
dan M. Natsir, KH Mas Mansyur, hingga tokoh perempuan seperti Rangkayo Rasuna
Said. Pedoman Masyarakat juga tak luput dari pengawasan pemerintah kolonial. Kritik-kritik
tajamnya membuat Pedoman berkali-kali nyaris bersalaman dengan pembredelan. Namun
dicengkaraman penjajahan Jepang-lah Pedoman Masyarakat beserta banyak media massa
lainnya menemui ajalnya. Sulitnya bahan baku kertas serta penindasan jepang membuat masa
itu menjadi kuburan massal bagi pers kala itu.

Dibalik kesulitan-kesulitan yang mengepung, pers Islam tetap berkiprah dengan semangat
yang membara. Mereka terus bersuara lantang, dengan landasan Islam. Menjadi pembela hak-
hak rakyat yang terjajah, walaupun kerap diintai ranjau undang-undang pers yang sewenang-
wenang dan siap membungkam. Namun nyatanya pers Islam tetap bergerak. Pers Islam tidak
hanya menjadi pembentuk opini untuk meninggikan kalimat Allah, tetapi juga menjadi
pembela agamanya. Pers Islam tidak pernah menanggalkan identitasnya, dan justru karena
identitas Islam itu, pers Islam tidak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa nasional yang
mewarnai perjalanan bangsa ini. Mulai dari pembentukan sebuah bayangan akan komunitas
yang kelak bernama Indonesia, hingga melawan penjajahan dan pendukung
kemerdekaan. Pers Islam tidak hanya berenang-renang ditepian, tapi ia terjun dipusaran
perjalanan negeri kita.

Anda mungkin juga menyukai